TINJAUAN PUSTAKA

Download merupakan makanan yang disenangi kambing dan domba. Abu akar nangka dengan abu sejenis Selaginella dapat diguna...

0 downloads 272 Views 329KB Size
TINJAUAN PUSTAKA Nangka Nangka merupakan tanaman asli India yang kini telah menyebar ke seluruh dunia, terutama Asia Tenggara. Nangka dibagi menjadi dua jenis, yakni: 1. Artocarpus heterophyllus Lmk. atau Artocarpus integer Merr. yang biasa disebut nangka, dan 2. Artocarpus champeden (Lour) Stokes atau Artocarpus integrifolia Lf yang biasa disebut cempedak. Cempedak memiliki bulu kasar pada daunnya, sedangkan nangka tidak (Sunaryono 2005). Sifat Botani Menurut Sunaryono (2005), nangka merupakan tanaman hutan yang pohonnya dapat mencapai tinggi 25 meter. Seluruh bagian tanaman bergetah, yang biasa disebut pulut. Daunnya bulat, lonjong, dan lebar. Kayunya keras, apabila telah tua berwarna kuning sampai kemerahan. Bunganya ada dua macam, yakni bunga jantan dan bunga betina. Nangka sebenarnya merupakan tanaman tropika dataran rendah, tetapi tanaman ini dapat pula tumbuh di dataran tinggi yang beriklim dingin. Pohon ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tetapi pertumbuhan yang paling baik adalah pada tanah endapan dalam (Lembaga Biologi Nasional 1977). Sunaryono (2005) menambahkan, tanaman nangka baik dikembangkan di dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter. Daerah tersebut sebaiknya beriklim basah sampai agak kering dengan kedalaman air tanah antara 50-200 cm. Tempat yang terbaik untuk tanaman nangka pada ketinggian 200-600 m. Nangka diperbanyak dengan bijinya. Perbanyakan dapat pula dilakukan dengan cangkok. Nangka berbuah sepanjang tahun, tetapi produksi buah yang tinggi dicapai sekitar bulan Oktober sampai Desember (Lembaga Biologi Nasional 1977). Menurut Pantastico (1986), ciri-ciri buah nangka yang dapat dipanen yakni: 1. Diperolehnya suara rendah, seperti yang biasanya didapatkan dari benda-benda berongga, jika buahnya diketuk dengan jari 2. Daun terakhir pada tangkai buah telah menguning 3. Duri-duri kulit telah berkembang penuh dan berjauhan satu sama lainnya

4. Duri-duri kulit dapat dibengkokkan dengan tekanan lemah yang diberikan kepadanya 5. Telah timbul bau aromatik Buah nangka yang akan langsung dikonsumsi, sebaiknya dipetik bila kulitnya sudah cukup lunak, daun-daun pada tangkai buah telah berwarna jingga, dan buah mengeluarkan bau aromatik. Pada tingkat ini daging buah nangka berlendir, berair, dan berwarna kuning jingga. Buah Nangka Buah nangka relatif besar, berbiji banyak, dan kulitnya berduri lunak. Setiap biji dibalut oleh daging buah (endokarp) dan eksokarp yang mengandung gelatin. Sebenarnya buah nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik), yakni berbunga banyak tersusun tegak lurus pada tangkai buah (porosnya) membentuk bangunan besar yang kompak, bentuknya bulat sampai bulat lonjong. Duri buah yang dilihat sebenarnya bekas kepala putiknya. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan. Daging buahnya tipis sampai tebal yang setelah matang berwarna kuning merah, lunak, manis, dan aromanya spesifik (Sunaryono 2005). Buah nangka yang dikenal orang sebenarnya adalah buah majemuk yang terdiri dari kumpulan banyak buah, sedangkan yang dinamakan satu buah nangka yang sebenarnya dikenal dengan satu buah nyamplung dan di dalamnya berisi satu biji. Di antara nyamplungan buah terdapat dami-dami/serabut/jerami yang sebenarnya merupakan bunga yang tidak diserbuki. Dami-dami tersebut ada yang tebal, berukuran besar dan manis sehingga dapat juga dimakan. Damidami yang kecil dan kecil tidak enak dimakan tanpa diolah lebih dulu. Sifat-sifat dari jerami nangka, baik sifat fisik dan kimianya diduga hampir menyerupai buah nangkanya (Muchtadi 1981 diacu dalam Novandrini 2003). Buah

nangka

sebaiknya

disimpan

pada

suhu

52-550F

dengan

kelembaban 85-90%. Apabila disimpan dengan cara yang benar, buah nangka dapat bertahan sampai enam minggu (Satuhu 2004). Kegunaan Tanaman

nangka

merupakan

tanaman

yang

potensial

untuk

dikembangkan. Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini. Hampir semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan. Selain buah yang merupakan produk utamanya, bagian akar, batang, daun, bakal buah, bahkan kulitnya pun dapat dimanfaatkan (Novandrini 2003).

Buah nangka yang muda dapat disayur (gudeg), sedang buah yang matang enak dimakan segar. Bijinya enak dimakan setelah direbus, dan daunnya untuk pakan ternak. Batang yang telah tua baik sekali untuk bahan bangunan. Makin tua warna kuningnya, makin bermutu tinggi kayunya. Buah nangka yang telah matang dapat dibuat dodol dan keripik nangka yang tahan lama disimpan (Sunaryono 2005). Di samping kegunaan tersebut, daun nangka ternyata merupakan makanan yang disenangi kambing dan domba. Abu akar nangka dengan abu sejenis Selaginella dapat digunakan untuk obat. Di samping itu kulit kayunya dapat dipakai sebagai pembalur luka (Lembaga Biologi Nasional 1997). Kandungan Gizi Kandungan gizi buah nangka dan jeraminya tidak jauh berbeda. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan komposisi kimia buah dan jerami nangka Komponen Air (%bb) Protein (%bk) Lemak (%bk) Karbohidrat (%bk) Serat kasar (%bk) Abu (%bk)

Daging buah 80,29 1,91 1,86 9,85 1,58 0,69

Jerami 65,12 1,95 10,00 9,30 1,94 1,11

Sumber: Muchtadi 1981 diacu dalam Risanti 1992 Hasil analisis kimia lainnya pada jerami nangka muda ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia jerami nangka muda Komponen Air (% b/b) Abu (% b/k) Lemak (% b/k) Protein (% b/k) Karbohidrat (% b/k) IDF (% b/k) SDF (% b/k) TDF (% b/k)

Hasil Analisis 87,36 8,69 4,29 15,48 71,53 69,71 6,87 75,58

Sumber: Novandrini (2003) Tepung Jerami Nangka Pembuatan tepung jerami nangka terdiri dari beberapa tahap, yaitu pembersihan, blanching, penggilingan dengan blender, sulfurisasi, pengeringan dengan drum dryer, penggilingan, dan pengayakan. Cleaning Cleaning

(pembersihan)

adalah

proses

menghilangkan

bahan

kontaminasi dari makanan dan memisahkannya dari permukaan makanan sebelum dilakukannya proses lebih lanjut. Cleaning termasuk mengupas dan

perlakuan blanching. Tujuannya adalah mencegah kerusakan makanan (Fellows 2000). Blanching Pada pengawetan buah-buahan, sebelum proses lebih lanjut dilakukan pemanasan pendahuluan pada bahan yang akan diolah. Pemanasan ini dikenal dengan blanching atau blansir (Satuhu 2004). Menurut Fellows (2000), blanching adalah memanaskan makanan, terutama sayuran, di bawah 1000C dalam waktu singkat. Blanching dilakukan untuk menginaktivasi enzim penyebab menurunnya kualitas selama penyimpanan dan untuk melembutkan tekstur makanan. Suhu maksimal dalam pembekuan dan pengeringan tidak cukup untuk menginaktivasi enzim. Jika makanan tidak diblansir, perubahan yang tidak diinginkan pada karakteristik sensorik dan zat gizi akan terjadi selama penyimpanan. Oleh karena itu blanching perlu dilakukan sebelum proses lainnya. Lama perlakuan blanching tergantung pada jenis komoditi, umumnya 510 menit. Semakin banyak bahan dan semakin tebal irisannya semakin lama waktu yang diperlukan. Jenis buah yang berdaging buah padat membutuhkan waktu lebih lama dibanding buah yang banyak mengandung air (Satuhu 2004). Enzim yang dapat menyebabkan hilangnya eating quality dan zat gizi dalam

buah

dan

sayur

adalah

lipoxygenase,

polyphenoloxidase,

polygalacturonase, dan chlorophyllase. Dua enzim tahan panas yang ditemukan di sebagian besar sayuran adalah katalase dan peroksidase. Meskipun tidak menimbulkan kerusakan selama penyimpanan, enzim tersebut digunakan sebagai pembatas untuk menentukan keberhasilan blanching (Fellows 2000). Fellows (2000) juga menyebutkan, blanching dapat mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan pada permukaan makanan. Pengaruh blanching pada zat gizi, yakni dapat menyebabkan hilangnya beberapa mineral, vitamin larut air, dan komponen larut air lainnya. Blanching dapat mencerahkan warna makanan melalui pelepasan udara dan abu pada permukaan sehingga mengubah panjang gelombang yang merefleksikan cahaya. Waktu dan suhu blanching juga berpengaruh terhadap perubahan pigmen makanan. Pengeringan Dehidrasi atau pengeringan adalah aplikasi pemanasan dalam kondisi terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang normalnya ada dalam makanan melalui evaporasi (penguapan) (Fellows 2000). Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi. Prinsip dari

pengeringan adalah memberikan panas ke dalam makanan dan mengeluarkan uap air (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Fellows (2000), tujuan utama dilakukannya pengeringan adalah memperpanjang waktu simpan makanan dengan mengurangi aktivitas air. Hal ini mencegah

pertumbuhan

mikroba

dan

aktivitas

enzim,

tetapi

tidak

menginaktivasinya. Pada beberapa jenis makanan, pengeringan menyediakan produk yang tepat untuk konsumen dan lebih mudah ditangani (Fellows 2000). Selain itu pengeringan makanan bertujuan untuk mengurangi berat produk (Potter & Hotchkiss 1995). Satuhu (2004) menyebutkan, cara pengeringan bisa dengan penjemuran atau pemanasan langsung dengan sinar matahari. Selain itu bisa juga memakai alat. Penggunaan alat pengering lebih menguntungkan dibanding dengan penjemuran. Hasil lebih bersih, suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan menjadi lebih cepat. Penjemuran memiliki kelemahan, yakni kurang higienis, mudah terkontaminasi, tergantung cuaca dan intensitas sinar matahari, serta waktunya yang lama. Umumnya, makanan yang akan dikeringkan dibagi ke dalam potonganpotongan kecil atau tipis untuk mempercepat transfer massa dan panas. Pembagian ini bertujuan untuk dua alasan. Pertama, permukaan yang lebih lebar menyediakan area yang lebih besar untuk kontak dengan medium panas sehingga lebih banyak uap air yang dapat dibebaskan. Kedua, partikel yang lebih kecil atau lapisan lebih tipis mengurangi jarak yang harus dilalui panas untuk mencapai bagian tengah makanan dan mengurangi jarak yang harus dilalui air untuk mencapai permukaan kemudian dibebaskan (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Fellows (2004), pengeringan menyebabkan penurunan eating quality dan zat gizi makanan. Perubahan tekstur terjadi selama pengeringan disebabkan oleh gelatinisasi pati, kristalisasi selulosa, dan lokalisasi kadar air. Kerusakan ini mengubah sel kaku secara permanen, dan memberi penampakan kerut atau kisut pada makanan. Umumnya, pemanasan cepat dan suhu tinggi menyebabkan perubahan lebih besar terhadap tekstur makanan dibanding pemanasan dengan suhu rendah. Saat air dilepaskan selama pengeringan, larutan berpindah dari dalam makanan ke permukaan. Penguapan air menyebabkan terkonsentrasinya larutan pada permukaan. Suhu udara yang tinggi menyebabkan perubahan kimia dan fisik dan pembentukan lapisan yang keras. Hal ini disebut case hardening.

Fellows (2000) menambahkan, pada buah dan sayur, perubahan kimia pigmen klorofil dan karotenoid disebabkan oleh panas dan oksidasi selama pengeringan dan aktivitas residu enzim polifenol oksidase menyebabkan pencoklatan selama penyimpanan. Hal ini dapat dicegah dengan blanching, atau pemberian asam askorbat atau sulfur dioksida. Drum dryer Drum dryer merupakan alat pengering yang terdiri dari drum cekung baja yang berputar lambat yang dipanaskan secara internal oleh tekanan udara mencapai suhu 120-1700C (Fellows 2000). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), drum dryer biasanya digunakan pada makanan yang berbentuk cair, puree, dan pasta. Drum biasanya dipanaskan dari dalam menggunakan uap. Pengering ini mungkin memiliki sebuah atau sepasang drum. Pengeringan

menggunakan

drum drier

memiliki kelebihan,

yakni

kecepatan pengeringan tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis serta dapat memperbaiki daya cerna dan mengawetkan (Brennan et al. 1974). Keuntungan lain menurut Juming, Feng, Shen (2003) adalah produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan sangat bersih dan higienis karena adanya panas tinggi yang dapat menginaktifkan mikroorganisme, serta mudah dioperasikan. Harris dan Karmas (1989) juga menambahkan bahwa pengeringan dengan drum drier merupakan salah satu metode pengeringan termurah. Sulfurisasi Umumnya, setelah buah dikeringkan warnanya menjadi kecoklatan dan untuk memperbaiki mutu tersebut dapat dilakukan perlakuan dengan sulfur. Sulfur ini bersifat sebagai pemucat dan bahan pengawet. Bentuk sulfur yang digunakan dapat berupa belerang atau sodium metabisulfit. Dosis pemakaiannya 1000-1200 ppm tergantung jenis olahannya. Buah yang dikeringkan dengan sulfur lebih baik mutunya daripada pengeringan biasa. Warna tidak terlalu coklat dan lebih awet disimpan (Satuhu 2004). Cookies Cookies atau biskuit adalah produk pemanggangan dengan kandungan gula dan lemak yang tinggi relatif terhadap tepung dan sedikit air (Faridi 1994). Cookies yang bermutu baik harus memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan. Syarat mutu cookies di Indonesia tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu cookies (SNI No. 01-2973-1992) Kriteria Uji Bau, rasa, warna, tekstur Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Serat kasar Kalori

Satuan % b/b % b/k % b/k % b/k % b/k % b/k Kal/100g

Klasifikasi Normal Maksimum 5 Maksimum 2 Minimum 6 Minimum 9,5 Minimum 70 Maksimum 0,5 Minimum 400

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992) Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies dibagi menjadi dua, yakni bahan pengikat dan pembentuk tekstur cookies, seperti tepung terigu, air, garam, susu tanpa lemak (susu skim), dan putih telur. Menurut Winarno, Fardiaz, dan Fardiaz (1980), bahan pengikat adalah material yang dapat meningkatkan daya ikat air dan emulsifikasi lemak. Umumnya jenis bahan pengikat yang ditambahkan adalah tepung tapioka, beras, maizena, sagu, dan terigu. Bahan yang kedua adalah bahan pelembut tekstur, seperti shortening (lemak), emulsifier, gula, leavening agent (baking powder), dan kuning telur (Matz & Matz 1978). Tepung Terigu Tepung terigu adalah dasar dalam pembuatan produk bakery. Sebagian besar produk bakery membutuhkan pengembangan. Tepung terigu dapat memberikan tekstur dan karakteristik penampilan yang unik pada produk yang menggunakannya dibandingkan dengan tepung sereal lain, seperti tepung gandum hitam, jagung, oat, dan sorgum. Tepung terigu dikatakan unik karena dapat membuat adonan elastis yang kohesif ketika dicampur dengan air. Oleh karena itu, adonan dapat menahan gas sehingga produk lebih mengembang (Matz 1992). Dalam pembuatan cookies tepung berfungsi untuk membentuk adonan selama proses pencampuran, mengikat bahan lainnya, membentuk struktur cookies, dan membentuk cita rasa (Matz & Matz 1978). Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004), secara prinsip tepung terigu dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut: 1. Tepung terigu protein rendah. Terigu protein rendah berasal dari penggilingan gandum jenis soft atau lunak. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten yang lemah, kandungan protein 8-9%, sifat elastisitasnya kurang, dan mudah putus. Biasanya jenis terigu ini digunakan untuk bahan pembuatan cake, cookies, dan kue kering. Contoh terigu jenis ini yang beredar di pasaran adalah cap Kunci Biru.

2. Terigu protein tinggi. Terigu jenis ini dihasilkan dari penggilingan gandum jenis hard atau keras. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten yang kuat, kandungan proteinnya 11-12%, sifat elastisitasnya baik, dan tidak mudah putus. Terigu jenis hard biasanya digunakan untuk membuat mi dan roti. Contoh terigu jenis ini di pasaran adalah cap Cakra Kembar. 3. Terigu protein sedang. Terigu protein sedang merupakan terigu campuran dari terigu jenis soft dan hard. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten sedang dan kadar protein 10-11%. Biasanya terigu protein sedang digunakan untuk membuat mi, roti, dan keperluan rumah tangga, contoh terigu jenis ini yang beredar di pasaran adalah cap Segitiga Biru. Karakter adonan yang terbentuk tergantung pada tepung yang digunakan. Tepung terigu kuat mengandung gluten lebih banyak, sehingga biasa digunakan dalam pembuatan roti karena adonan roti harus dapat dilebarkan dan menghasilkan produk dengan densitas rendah. Tepung lebih lemah mengandung gluten lebih sedikit, ketika dipanggang menghasilkan struktur yang lebih kenyal dan empuk (Potter & Hotchkiss 1995). Cookies yang baik dapat dihasilkan dengan penggunaan tepung gandum lunak yang memiliki kadar protein 8-10% dan kadar abu kurang dari 0,4% (Matz & Matz 1978). Telur Menurut Gaman dan Sherrington (1992), selain meningkatkan nilai gizi masakan, telur juga mempunyai beberapa sifat fungsional yang bermanfaat, yakni: protein telur yang terkoagulasi bila dipanaskan dapat berperan sebagai agen pengental dan pengikat; kuning telur mengandung lesitin yang dapat digunakan sebagai pengemulsi; serta sebagai pembusa, yakni apabila putih telur dikocok sehingga udara akan terjebak dan protein terkoagulasi sebagian. Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi yaitu kemampuan menangkap udara. Telur melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat putih telur. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna (Matz & Matz 1978). Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi cairan dalam cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Gelatin dan albumen (putih telur) merupakan protein yang bersifat

sebagai emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur merupakan emulsifier yang kuat (Winarno 1992). Pada telur yang masih segar, bagian kuningnya terletak ditengah-tengah. Komposisi kuning telur antara lain 15-16% protein, 35% lemak, 4000 IU/100 gram vitamin A. Protein telur bermutu tinggi sehingga digunakan sebagai standar untuk mengukur mutu bahan makanan lain (Tarwotjo 1998). Gula Widyati (2000) menjelaskan, gula merupakan bahan makanan penting sebagai sumber kalori yang mudah dicerna. Selain sebagai makanan dan pemberi rasa manis, gula juga bermanfaat sebagai bahan pengawet. Dalam pembuatan cookies, gula tidak hanya befungsi sebagai pemanis, tetapi juga membentuk tekstur, pemberi warna, dan sebagai kontrol pengembang adonan (Matz & Matz 1978). Faridi (1994) menambahkan, fungsi gula adalah memberi rasa, memperpanjang umur roti (shelf life), menambah kandungan gizi, membuat tekstur menjadi lebih empuk, memberikan daya pembasah, dan memberikan warna cokelat yang menarik karena proses Maillard atau karamelisasi. Leavening agents Fungsi utama dari leavening agent yaitu mengembangkan produk yang prinsipnya adalah untuk menghasilkan gas CO2 (Matz & Matz 1978). Leavening agent adalah senyawa kimia yang akan terurai dengan menghasilkan gas dalam adonan (Winarno 1992). Pembuatan cookies menggunakan baking powder sebagai leavening agent. Baking powder yang digunakan dalam pembuatan kue dan sejenisnya mengandung partikel sodium bikarbonat sebagai sumber karbondioksida, dan partikel asam untuk membangkitkan karbondioksida ketika tersedia air dan panas (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Matz (1992), penggunaan baking powder sebagai leavening agent memiliki keuntungan, yakni harganya murah, tidak beracun, mudah ditangani,

tidak

mempengaruhi

rasa

produk,

dan

kemurniannya

tinggi.

Keuntungan lainnya adalah larutannya tidak begitu bersifat alkali, karena ketika pH meningkat warna dan aroma yang tidak diinginkan mungkin terjadi ketika adonan dipanggang. Susu Susu yang umum dipakai adalah susu yang berasal dari sapi. Berdasarkan kandungan lemak di dalamnya, susu dibedakan menjadi full cream

(kadar lemak belum dihilangkan), half cream (50% kadar lemak sudah dihilangkan), dan susu skim, yakni susu yang tidak mengandung lemak karena sudah dihilangkan (Widyati 2000). Menurut Buckle et al (1985), susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu, kecuali lemak dan vitamin larut lemak. Susu skim digunakan untuk memperbaiki penerimaan (warna, rasa, aroma) serta sebagai bahan pengisi dan untuk meningkatkan zat gizi. Faridi (1994) menambahkan, susu dapat meningkatkan toleransi waktu pengadukan karena adonan susu padat lebih toleran terhadap over mixing. Warna kerak yang terbentuk akan lebih baik karena laktosa, kasein, dan protein susu akan membantu menghasilkan kerak kekuning-kuningan dan mempertinggi mutu pemanggangan. Susu padat juga menjadikan remah lebih baik dan halus, meningkatkan mutu simpan, mempertahankan keempukan selama penyimpanan, serta menambah nilai gizi karena mengandung mineral, protein, lemak, dan vitamin. Garam Garam adalah bahan utama untuk mengatur rasa. Garam akan membangkitkan rasa pada bahan-bahan lainnya dan membantu untuk meningkatkan sifat-sifat adonan. Selain itu garam berfungsi untuk menguatkan flavor dan menambah struktur. Sebagian besar formula cookies menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk Kristal-kristal halus untuk mempermudah kelarutannya (Matz & Matz 1978). Shortening Shortening merupakan komponen yang penting dalam pembuatan cookies. Jumlah dan jenis shortening di dalam formula berpengaruh terhadap adonan dan kualitas akhir produk. Shortening bisa berasal dari hewani (mentega) dan nabati (margarin). Shortening yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah mentega. Rendahnya titik cair pada mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Efek berminyak ini dapat dikurangi dengan menambahkan margarin (Matz & Matz 1978). Tidak seperti tepung dan telur yang bersifat membentuk dan memperkuat struktur, shortening berfungsi sebagai pengempuk. Ketika adonan dipanggang dalam oven, shortening akan meleleh dan melepaskan CO2 yang berkontribusi untuk pengembangan dari baking powder. Shortening yang meleleh kemudian

tersimpan di sekeliling dinding sel struktur untuk berkontribusi dalam pengempukkan dan tekstur yang berminyak. Struktur sel dan volume kue dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran gelembung udara dan tetesan air yang terjebak dalam shortening. Hal ini ditentukan oleh sifat plastis dan penggunaan emulsifier (Potter & Hotchkiss 1995). Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau, konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin merupakan emulsi air dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak. Lemak yang digunakan dapat berasal dari lemak hewani atau nabati (Winarno 1992). Mixing Menurut Fellows (2000), mixing atau pencampuran digunakan untuk mendapatkan karakteristik produk yang diinginkan serta untuk mencapai homogenitas atau campuran yang seragam. Mixing berfungsi untuk mencampur semua bahan, mendapatkan hidrasi yang sempurna pada karbohidrat dan protein, membentuk dan melunakkan gluten, serta menahan gas pada gluten (gas retention) (Mudjajanto & Yulianti 2004). Modifikasi dalam pencampuran bahan-bahan cookies dapat memberikan perbedaan dalam struktur dan volume kue walaupun dengan formulasi yang sama (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Faridi (1994), kualitas adonan cookies tergantung pada formulasi, sifat alamiah bahan, dan derajat mixing. Baking Istilah

baking

dan

roasting

(memanggang)

sebenarnya

memiliki

pengertian yang sama, yakni keduanya menggunakan udara untuk mengubah eating quality makanan. Perbedaan terletak penggunaannya, baking biasanya diterapkan untuk makanan yang berbahan dasar tepung dan untuk buah-buahan, sedangkan roasting untuk daging, kacang-kacangan, dan sayuran. Tujuan lain dari pemanggangan adalah pengawetan melalui penghancuran mikroorganisme dan pengurangan aktivitas air pada permukaan makanan (Fellows 2000). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), pemanggangan adalah proses pemanasan dimana banyak reaksi terjadi pada tingkat yang berbeda. Beberapa reaksi tersebut meliputi: 1. Evolusi dan ekspansi gas 2. Koagulasi gluten dan protein telur serta gelatinisasi pati 3. Dehidrasi parsial dari penguapan air 4. Pembangkitan flavor

5. Perubahan warna akibat reaksi Maillard antara susu, gluten, dan protein telur dengan gula pereduksi 6. Pembentukan kulit (crust) dari dehidrasi permukaan, dan 7. Penggelapan kerak dari rekasi Maillard dan karamelisasi gula. Pemanggangan melibatkan pemanasan serentak dan transfer massa. Panas ditransfer ke dalam makanan dari permukaan yang panas dan udara dalam oven serta kadar air ditransfer dari makanan ke udara di sekitarnya (Fellows 2000). Fellows (2000) menambahkan, ketika makanan diletakkan dalam oven panas, kelembaban udara yang rendah dalam oven menimbulkan gradien tekanan uap, sehingga terjadi perpindahan air dari dalam makanan ke permukaan. Banyaknya kehilangan air ditentukan oleh sifat alamiah makanan, pergerakan udara dalam oven, dan tingkat transfer panas. Saat tingkat kehilangan air di permukaan melebihi tingkat pergerakan dari dalam, zona penguapan berpindah ke dalam makanan, permukaan mengering, suhu meningkat mencapai 110-2400C dan terbentuk kerak. Perubahan tersebut meningkatkan eating quality dan mempertahankan air dalam makanan. Berbeda dengan pengeringan yang bertujuan melepaskan air sebanyak mungkin, pemanggangan mengubah permukaan makanan dan menahan air pada bagian dalam beberapa produk. Produk lain seperti biskuit, kehilangan air bagian dalam dibutuhkan untuk menghasilkan tekstur yang renyah. Menurut Potter dan Hotckiss (1995), jika oven terlalu panas, kerak akan terbentuk sebelum bagian tengah adonan matang. Tingkat transfer panas juga dipengaruhi oleh loyang yang digunakan. Loyang berwarna terang bersifat melepaskan panas dan akan terjadi transfer panas yang lambat, sedang loyang berwarna gelap menyerap panas lebih banyak dan cepat sehingga transfer panas juga cepat terjadi. Kondisi

panas

yang

hebat

di

permukaan

menyebabkan

reaksi

pencoklatan Maillard antara gula dan asam amino. Suhu tinggi dan kadar air rendah di permukaan juga dapat menyebabkan karamelisasi gula dan oksidasi asam lemak. Hal ini menghasilkan aroma berbeda yang merupakan kombinasi asam amino bebas dan gula yang ada dalam makanan. Pemanasan lebih lanjut mendegradasi volatil sehingga menghasilkan aroma asap atau terbakar (Fellows 2000).

Oven yang digunakan untuk memanggang dapat berbahan bakar minyak, gas, atau listrik. Oven listrik memiliki keuntungan karena merupakan sumber tenaga (bahan bakar) yang bersih sehingga tidak mengontaminasi produk yang dipanggang, selain itu oven listrik mudah dikontrol (Almond 1988). Serat Pangan Serat pangan merupakan salah satu jenis polisakarida yang lazimnya disebut karbohidrat kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang. Serat makanan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk ke sirkulasi darah, namun dilewatkan menuju usus besar (kolon) dengan gerak peristaltik usus (Sulistijani 2005). Menurut Almatsier (2006) berdasarkan sifat kimia dan manfaatnya, serat dalam makanan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu larut air dan tak larut air. Serat tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat larut air antara lain pektin, gum, mukilase, glukan, dan algal. Serat larut cenderung bercampur dengan air dengan membentuk jaringan gel (seperti agar-agar) atau jaringan yang pekat. Serat tak larut umumnya bersifat higroskopis, yakni mampu menahan air 20 kali dari beratnya. Serat yang berasal dari biji-bijian umumnya tidak larut air, sedang serat yang berasal dari sayur, buah, dan kacang-kacangan cenderung larut air (Widianarko 2002). Lebih lanjut dijelaskan manfaat serat makanan dalam tubuh yang paling dikenal adalah mengurangi gangguan sembelit (konstipasi). Tidak semua serat berperan sebagai obat sembelit. Hanya jenis serat tidak larut air yang berkhasiat mengurangi gangguan buang air besar. Serat tidak larut air memegang peranan utama dalam menentukan berat atau volume feses. Winarno (1992) menambahkan, pengaruh konsumsi serat pangan pada kadar kolesterol tinggi telah dibuktikan pada pasien sukarelawan, yang kemudian juga dibuktikan pada hewan percobaan. Pasien yang memiliki kandungan kolesterol tinggi tetapi rendah konsumsi serat bahan makanan, dengan meningkatkan konsumsi dietary fiber akan nyata turun kadar kolesterol dalam darahnya, terutama bila hal tersebut dilakukan secara kontinyu. Fungsi dietary fiber dalam hal ini ternyata melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat yang tinggi dapat mengeluarkan lebih banyak asam empedu, juga lebih banyak sterol dan lemak dikeluarkan bersama feses. Serat tersebut

ternyata mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak. Para peneliti masa kini menduga bahwa kandungan serat dalam makanan yang dikonsumsi sebagian besar orang sangat kurang memadai. Di negara-negara industri, kebanyakan karbohidrat yang dikonsumsi adalah dalam bentuk yang amat murni, seperti gula putih, tepung terigu dan roti tawar. Di negara inilah terjadi kenaikan serangan penyakit saluaran pencernaan seperti divertikulosis (tonjolan-tonjolan kecil atau borok-borok pada usus besar), kanker usus besar dan hernia. Penyakit-penyakit ini berkaitan dengan sembelit dan lambatnya makanan bergerak dalam saluran pencernaan. Diduga pula susunan makanan yang mengandung banyak serat memperlambat kecepatan absorpsi glukosa dan lemak dari usus halus sehingga menhurangi resiko diabetes dan penyakit-penyakit pembuluh darah (Gaman & Sherrington 1992). Pengertian konsumsi serat makanan adalah jumlah jenis pangan sumber serat yang dikonsumsi per hari. Konsumsi serat makanan berpengaruh positif bagi tubuh dan sangat dianjurkan, namun harus memperhatikan nilai kecukupannya bagi tubuh. Konsumsi serat makanan berlebihan akan berdampak negatif. Tubuh akan mengalami defisiensi mineral dan perut menjadi kembung. Kondisi ini muncul akibat menumpuknya serat di dalam kolon sehingga menyebabkan fermentasi serat di dalam kolon dan memicu timbulnya gas (Sulistijani 2005). Hasil penelitian Puslitbang Gizi Bogor menunjukkan bahwa konsumsi serat rata-rata penduduk Indonesia tahun 2001 adalah sekitar 10,5 gram per hari. Angka konsumsi tersebut tentu saja masih sangat jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan.

Dietary Guidelines for American

menganjurkan untuk

mengonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari) (Depkes 2008). National Cancer Institute menganjurkan konsumsi serat makanan untuk orang dewasa adalah sebanyak 20-30 gram/hari, sementara America Diet Association (ADA) merekomendasikan 25-35 gram/hari (Sulistijani 2005). Batas bawah konsumsi serat makanan menurut WHO adalah 27 gram serat/hari dan batas atasnya adalah 40 gram serat/hari (Sizer & Whitney 2000). Saat ini banyak beredar serat komersial yang dijual dalam bentuk serbuk atau minuman dengan promosi dapat melangsingkan tubuh sampai melancarkan buang air besar. Menurut Badan POM (2002), serat tersebut sebagian besar

mengandung Psyllium husk atau sering disebut Plantago ovate atau Isphagula husk yang merupakan serat larut air. Bahan ini bermanfaat dalam menurunkan kadar kolesterol, membantu diet penurunan berat badan, mengurangi gsngguan konstipasi dan hemorrhoid. Bahan ini dapat membentuk gel sehingga digunakan sebagai laxative. Serat dalam minuman serbuk serat merupakan senyawa yang struktur kimianya berbentuk jarring. Jika dicampur air akan membuat air terperangkap di dalamnya sehingga membentuk gel. Jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan lainnya menyebabkan makanan terperangkap dalam gel sehingga sulit diserap usus halus (Anonim 2001 diacu dalam Nyiwarsini 2003). Minuman ini bila dikonsumsi seseorang dengan status gizi lebih akan berpengaruh baik. Namun bila dikonsumsi anak-anak bisa mengakibatkan kekurangan gizi dan bila dikonsumsi orang berusia di atas 60 tahun dapat mengakibatkan obstruksi usus. Meskipun sudah dicairkan dengan air, bila dikonsumsi akan mengembang di perut sehingga menyebabkan lambung dan usus menjadi penuh. Minuman ini tidak boleh digunakan tanpa air atau dimakan dalam bentuk serbuk serta tidak boleh diberikan pada penderita obstruksi usus, penyempitan saluran cerna, dan diabetes mellitus (Anonim 2001 diacu dalam Nyiwarsini 2003).