SANG PROFESOR MENCARI TUHAN

Download perjalanan hidup penulis dari masa kanak-kanak sampai dengan .... tokoh Lao Tse (570-470 SM) di China telah mem...

0 downloads 272 Views 1MB Size
Sang Profesor Mencari Tuhan

Prof.Dr.Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidayat

Diterbitkan oleh: UB. Press-Malang

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warachmatullahi wabarakatuh Segala puja dan puji hanya bagi Allah semata, penguasa dan pemilik alam raya seisinya, yang dengan-Nyalah penulis dapat menuangkan pemikiran dan isi hati dalam buku yang saat ini berada dalam genggaman para pembaca yang budiman. Buku yang diberi judul “Sang Profesor Mencari Tuhan” ini, adalah sebuah autobiografi atau riwayat perjalanan hidup penulis dari masa kanak-kanak sampai dengan kakek-kakek, yang didalamnya penuh dengan dinamika suka-duka, serta “pemberontakan” intelektual dan batin dalam memaknai artinya sebuah kehidupan. Telah banyak autobiografi sejenis yang dapat para pembaca pelajari baik di perpustakaan maupun di toko-toko buku, yang ditulis oleh orang-orang terkemuka dan mempunyai pengalaman sejarah panjang, sehingga autobigrafi yang penulis sajikan ini tidaklah sepadan dengan pengalaman hidup mereka. Namun demikian, dalam buku ini dikemukakan sisi lain dari sebuah autobiografi, bukan penonjolan peranan penulis dalam merubah sejarah, tetapi lebih banyak pada pengalaman bagaimana memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien dalam menjalani proses penuaan (ageing process). Disadari atau tidak, bahwasanya semenjak manusia dilahirkan oleh sang ibu, maka fungsi-fungsi biologis dan kejiwaan manusia terus berjalan untuk mencapai fase penyempurnaan. Dalam proses inilah peranan kedua orang tua dan lingkungan sekitarnya sangat besar artinya dalam membentuk penampilan biologis dan watak atau karakter insaninya kelak manakala seseorang tersebut diperlukan peranan sosialnya. Bimbingan atau lingkungan yang kurang kondusif atau menguntungkan untuk berkembangnya kedua unsur tersebut (misal: kurang gizi dan pendidikan) akan menyebabkan munculnya manusia “kerdil” baik dalam arti biologis maupun jiwanya; dan sebaliknya dalam kondisi yang menguntungkan tentu saja hasilnya adalah manusia “besar” dalam arti keduanya. Liku-liku kehidupan inilah yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca yang mulia sebagai pesan pendidikan moral dan intelektual sesuai dengan pengalaman penulis sendiri tentunya. Penulis yakin bahwa para pembaca tentu punya pengalaman yang jauh lebih berharga dibanding segala sesuatu yang ditulis dalam buku ini, tentu saja hal tersebut merupakan investasi (tabungan) hari tua pembaca untuk menikmatinya, dan penulis sangat mengharapkan mendapatkan “secercah percikan” dari karunia tersebut sebagai bahan perbaikan diri untuk mengisi sisa hidup yang masih tercecer. Dengan cara demikianlah isi buku yang berisi komentar-komentar penulis 2

yang tidak sesuai dengan kenyataan atau paradigma kebenaran tertentu, perlu ditinjau ulang, sementara mengenai pahit-getirnya kehidupan penulis biarlah tertulis apa adanya, karena memang demikian keadaannya. Dalam buku ini pembaca disajikan sebuah paparan tentang rentang waktu kehidupan yang dijalani penulis sejak dari masa kanak-kanak sampai menjadi seorang kakek-kakek sebagai sebuah autobiografi (riwayat hidup pribadi) tentunya. Tujuan penulis dari paparan tersebut adalah sebagai landasan alamiah dari perjalanan “anak manusia” dalam mencari dimanakan kebenaran yang hakiki itu? Karena hanya itulah yang dapat menyelamatkan diri dan masyarakat manusia untuk waktu yang lama, selama hal tersebut masih utuh dipertahankan, dan akan rontok dengan dibuangnya nilai-nilai tersebut. Selain kisah hidup yang dipaparkan secara kritis oleh penulis, yang tentu saja menjadi guru terbaik bagi penulis untuk menaiki tangga yang lebih tinggi lagi dalam dimensi kehidupan ini; maka harapannya adalah dapat menjadi referensi orang lain dalam mengisi riwayat hidupnya yang tersisa sehingga lebih mempunyai nilai guna. Semoga Allah ridho dan memberikan ampunan atas kealfaan riwayat buruk yang telah dijalani penulis, tidak lupa nasehat pembaca akan sangat membantu penulis dalam memperbaiki citra dan cita yang tersisa ini. Sebagai pengantar terhadap isi buku ini penulis ingin menyampaikan sebuah pantun nasehat yang selama ini digunakan sebagai pembimbing kerohanian penulis sendiri:

Intan di jalan dikira kaca Banyak pejalan tak akan peduli Usia jalan banyak berkaca Agar badan mengenal diri Akhirnya penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tulisan ini tentu tidaklah ada artinya dibandingkan dengan luas dan dalamnya samudra kehidupan sesungguhnya, untuk itulah penulis masih terus belajar sekalipun “onggokan” tulang belulang ini telah tua renta (dalam akhir umur kenabian Muhammad s.a.w = 63 tahun); dan semoga pembaca dapat bersabar dalam menelaah uraian dalam buku ini. Wassalam, Malang, 2012 Hormat penulis 3

DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar

i

Bab I

Pengetahuan membangun peradaban

1

Bab II

Derita membawa nikmat

13

Bab III

Pencarian ketuhanan

48

Bab IV

Berkenalan dengan Tuhan

77

Bab V

Makna kehidupan

105

4

BAB I PENGETAHUAN MEMBANGUN PERADABAN

Banyaklah mendengar agar mendapat rachmat Banyaklah melihat agar mendapat nikmat, Banyaklah berfikir agar mendapat hikmat, Banyaklah berdzikir agar mengenal diri

============================== Pencarian akan adanya Tuhan telah lama dilakukan oleh manusia sejak manusia tersebut mengisi permukaan bumi dengan berbagai cara sesuai pada perkembangan pemikiran dan adanya petunjuk wahyu dari “langit” yang disampaikan oleh para nabinya masing-masing. Pencarian melalui pemikiran (filosofi), pencerahan (ilham) banyak terjadi pada tokoh-tokoh besar yang kemudian berkembang menjadi agama bumi (budaya), sedangkan pemberitaan tentang Tuhan melalui sumber wahyu disebut sebagai agama langit (samawi). Kedua pembahasannya dikemukakan dalam bab berikutnya. Dalam sejarah perkembangan peradaban, terlihat bahwa maju atau mundurnya suatu peradaban dalam suatu bangsa tertentu sangat ditentukan oleh ada atau tidak adanya tokoh yang menjadi pemicu dan pemacu peradaban tersebut. Kemunculan tokoh tadi seringkali membawa pemikiran “baru” yang berbeda dengan adat kebiasaan yang sudah dianut dari generasi ke generasi pada masyarakat tersebut. Munculnya tokoh Lao Tse (570-470 SM) di China telah membawa angin segar bagi peradaban China yang mulai memudar karena kehilangan nilai moral dan etika oleh perilaku para rajaraja dan bangsawannya yang mewarnai kehidupan bangsa China. Ajaran tersebut terus dikembangankan oleh pengikutnya seorang Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM)

yang

memodifikasi ajaranya sesuai dengan zamannya. Baik ajaran Lao tse (Taoisme) maupun Kong Hu Chu (Kongfutsu), saat ini berkembang menjadi agama budaya

5

dengan nama Taoisme dan Konfutsuisme. Peninggalan peradaban China yang spektakuler adalah tembok raksasa (the great wall), seperti terlihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. The great wall di China sepanjang 7300 km. Peninggalan dinasti Zhou (770 SM – 476 SM) dan Ming (1368 – 1644), sebagai benteng pertahanan terhadap suku bangsa di Utara ( seperti Hun, Mongol, Turki, dan lainnya).

Di India muncul seorang tokoh berkelas putra mahkota, yakni Siddartha Gautama (563 - 483 SM), yang karena adanya pencerahan intelektualnya mencari jawab terhadap pertanyaan kerohaniannya tentang makna kehidupan. Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "empat kondisi" yang sangat berbeda: yaitu orang tua-renta, orang sakit, orang mati dan orang hidup tenang. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "apakah arti kehidupan ini, kalau semuanya akan 6

menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan tenang (suci) lah yang akan memberikan semua jawaban tersebut. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan hanya ditemani oleh kusirnya, yang bernama Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan perjalanan kerohanian yang besar, dengan menjalani hidup sebagai pertapa. Melalui tapa-brata yang sungguhsungguh, jauh dari kemewahan duniawiah dan hingar bingarnya pujian manusia, ia mendapatkan pencerahan melalui peristiwa yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memang layak untuk mendapatkannya. Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan: “Wahai anaku bila senar kecapi ini

dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Namun kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Sebaliknya bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu”. Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Sang Pangeran tersebut akhirnya mendapatkan bimbingan melalui “ilham” kerohanian, sehingga dia beralih posisi dari seorang penguasa materi menjadi penguasa “hati manusia”, dengan sebutan “Sang Budha”, yang berarti penguasa akal dan budi, ajarannya dikenal sebagai agama Budha. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu: 1.

Berusaha menolong semua makhluk.

2.

Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.

3.

Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma. 7

4.

Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna. Perkembangan paradaban “barat” nampaknya tidak seindah yang terjadi di

Timur tersebut, karena dalam catatan sejarah bangsa barat hanya sekali mencapai peradaban bernilai tinggi, yakni pada era Yunani dengan munculnya para filosof Yunani awal maupun belakangan. Nilai-nilai peradaban yang dikembangan bangsa ini banyak diwarnai oleh tokoh-tokoh sekelas: 1. Thales

(625-545

SM),

dengan

filsafatnya,

antara

lain:

• “orang yang bercita-cita tinggi adalah orang yang menganggap teguran-teguran keras baginya lembut daripada sanjungan merdu dari penjilat yang berlebih-lebihan”. • “apabila kamu menasihati orang yang bersalah maka berlemah lembutlah agar dia tidak merasa di telanjangi”. • “orang yang secara sembunyi-sembunyi melakukan suatu perbuatan yang tidak di lakukan secara terang-terangan, ia tidak berharga di hadapan dirinya”. 2. Phytagoras ( 572-497 SM ), pemikirannya antara lain: • ”jika engkau ingin hidup senang, maka hendaklah engkau rela di anggap sebagai tidak berakal atau di anggap orang bodoh”. • Pukulan dari sahabatmu lebih baik dari pada ciuman dari musuhmu. • ”jangan sekali-kali percaya pada kasih sayang yang datang tiba-tiba, karena dia akan meninggalkanmu dengan tiba-tiba pula”. • Jangan membanggakan apa yang kamu lakukan hari ini, sebab engkau tidak akan tahu apa yang akan di berikan oleh hari esok. 3. Socrates (470 SM - 399 SM), dengan sikapnya: • Seseorang menampar pipi Socrates, lalu pada bekas tamparan itu Socrates menulis “Seseorang telah menamparku ini balasan dariku”. • Socrates di cela karena makan terlalu sedikit, maka dia menjawab,“aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan”. • Socrates di cela karena dia tidak banyak bicara, dia menjawab,”Allah Taala telah menciptakan dua telinga dan satu lidah untukku, agar aku banyak mendengar daripada berbicara, tetapi kalian lebih banyak bicara daripada mendengar”. 8

• Setelah berusia tua, Socrates belajar musik. Lalu ada orang berkata padanya,” apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua”. • Socrates berkata,”Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Bekerjalah dulu, baru berharap. • Socrates berkata ,” kesedihan membuat akal terpana dan tidak berdaya; maka jika anda tertimpa kesedihan, terimalah dia dengan keteguhan hati dan berdayakanlah akal untuk mencari jalan keluar”. • Janganlah engkau menceritakan isi jiwamu kepada orang lain, karena sungguh jelek orang yang menaruh hartanya di rumah dan memamerkan isinya. • Kesejahteraaan memberikan peringatan, sedangkan bencana memberi nasihat. • Jangan mengomentari kesalahan orang lain, karena orang itu akan mengambil manfaat dari ilmumu lalu dia menjadi musuhmu. 4. Plato (427 SM-347 SM) dengan pemikirannya: • Orang yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja. • Janganlah engkau berteman dengan orang jahat karena sifatmu akan mencuri sifatnya tanpa engkau sadari. • Plato berkata ,”Orang yang berilmu mengetahui orang yang bodoh karena dia pernah bodoh, sedangkan orang yang bodoh tidak mengetahui orang yang berilmu karena dia tidak pernah berilmu”. • Budi pekerti yang tinggi adalah rasa malu terhadap diri sendiri. • Plato di tanya ,”Bagaimana caranya agar seseorang bisa hidup dengan tenang?”. Dia menjawab ,” Jika orang itu tidak melakukan kejahatan dan tidak bersedih akan sesuatu yang di alaminya, maka dia tentu akan merasa tenang”. • Kerendahan seseorang di ketahui melalui dua hal : banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, dan bercerita padahal tidak ditanya. • Jangan terlalu banyak mengenal orang, sebab kalian lebih sering di sakiti oleh orang yang kalian kenal, sedangkan orang yang tidak kalian kenal nyaris tidak dapat menyakiti kalian. 9

• Cinta adalah gerak jiwa yang kosong tanpa pikiran. 5. ARISTOTELES (384 - 322 SM) Nyaris tak terbantahkan, Aristoteles seorang filosof dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan. Banyak ide-ide Aristoteles kini sudah ketinggalan jaman. Tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukan Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya. Tercermin dalam tulisan-tulisan Aristoteles tentang sikapnya, bahwa tiap segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka untuk obyek pemikiran dan analisa. Pendapat Aristoteles, alam semesta tidaklah dikendalikan oleh serba kebetulan, oleh magik, oleh keinginan tak terjajaki kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukumhukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis dan kita mesti memanfaatkan baik pengamatan empiris dan alasan-alasan yang logis sebelum mengambil keputusan. Rangkaian sikap-sikap ini yang bertolak belakang dengan tradisi, takhayul dan mistik telah mempengaruhi secara mendalam peradaban Eropa. Dari contoh para filosof tersebut di atas, hampir semuanya bernuansa tentang memaknai kehidupan manusia. Berkat jasa para tokoh tersebut bangsa Yunani menjadi rujukan bangsa lain dalam mencari nilai kebenaran dan kedamaian hidup. Sayangnya peradaban yang bernilai tinggi tersebut hancur (lihat Gambar 1.2) demikian saja setelah para penguasanya (para raja) tidak memperhatikan pentingnya pilar-pilar membangun bangsa, yakni moral. Mereka lebih senang mengikuti kesenangannya sendiri (hawa nafsu) dan menganggap sebuah misi moral atau etika sebagai ideologi yang akan menghancurkan atau mengambil kekuasaanya. Pilihan demikian justru mempercepat keruntuhannya, sehingga setelah bangsa Yunani hilang dari peta sejarah dan diganti oleh bangsa Romawi, toh akhirnya bangsa tersebut hilang juga oleh dirinya sendiri, karena terjadinya pembusukan dari dalam (self decay).

10

Gambar 1.2. Sisa peninggalan Yunani berupa sebuah kuil Parthenon: Adalah kuil dewi Athena, yang dibangun pada pada abad ke 5 di Akropolis. Bangunan ini adalah bangunan paling penting yang berhasil selamat di masa Yunani Klasik, dan dianggap sebagai puncak perkembangan budaya Klasik Yunani. Munculnya agama-agama samawi di Timur yang cukup mewarnai peradaban, seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam; yang masing-masing membawa konsep moral dan etika untuk membangun peradaban, yang tertuang masing-masingnya dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur‟an dan dibawa oleh para nabi seperti: Musa (sekitar 1527-1408 SM), Isa al Masih (sekitar 1 - 32M), Muhammad (570-632 M) ; terbukti cukup ampuh mewarnai peradaban sampai saat ini. Memang pada masing-masing ajaran agama tersebut telah berkembang menjadi berbagai aliran atau paham (firqah), tetapi tidak menghilangkan pengakuan umat manusia bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya masih dapat diadopsi sebagai tata nilai yang mulia dalam membangun peradaban manusia, hal ini terlihat dari data pemeluk agama tersebut yang terus berkembang sesuai dengan peningkatan populasi manusia. Terdapat hal mendasar yang perlu dipertanyakan mengenai keorisinilan dari konsep Ilahiah yang terdapat dalam ketiga kitab suci tersebut oleh mereka yang berakal, mengingat panjangnya perjalanan risalah yang dibawa sampai saat ini (kehidupan moderen). Bila melihat risalah masing-masing, yakni Musa a.s. (± 2500 tahun), Isa a.s (± 2000 tahun), Muhammad s.a.w. (± 1500 tahun); sungguh hal ini merupakan perjalanan suatu konsepsi hidup yang amat panjang dalam sejarah umat manusia, sehingga terjadinya pemalsuan terhadap isi konsepsi dalam kitab tersebut 11

bukan hal aneh dapat terjadi karena banyaknya kepentingan hawa nafsu manusia (apalagi bila mempunyai kekuasaan untuk melakukannya). Sehingga tidak salahlah generasi saat ini bila menanyakan secara kritis dan rasional, manakah konsepsi yang asli dalam kitab suci tersebut, baik Taurat, Injil, maupun Al-Qur‟an? Terus terang sampai tulisan ini dibuat, penulis masih mencari Taurat dan Injil yang asli, sementara Al-Qur‟an sudah mendapatkannya yang sekarang telah diterjemahkan dalam berbagai jenis bahasa dunia. Dengan uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa adalah sangat riskan apabila manusia hidup di atas bumi ini untuk membangun sebuah masyarakat tanpa adanya nilai yang menjadi pedomannya karena dengan demikian mereka akan menjadi mangsa dan pemangsa satu sama lain. Kalau hal ini telah menjadi warna peradabannya, maka sulit sekali untuk membangun masa depan, manusia telah kehilangan harapan, padahal harapan itulah yang menjadi motor dinamika bermasyarakat. Munculnya peradaban moderen saat ini dengan berpatokan kepada “Sains”, dikenal dengan istilah lain ilmu pengetahuan; secara fisik atau material memang sangat membanggakan dan menggairahkan. Bagaimana tidak menyenangkan, karena kita dapat melihat di malam hari dengan penerangan listrik yang tinggal tekan tombol dan menggeser obor atau lampu tempel dan lilin. Demikian pula dengan air kran yang sudah masuk ke dalam kamar tidur sehingga tidak perlu ke sumur untuk menimba air; perjalanan ribuan kilometer jauhnya yang dahulu ditempuh berbulan-bulan dengan berkuda, kini hanya dalam ukuran jam karena adanya transportasi pesawat terbang; dan demikian seterusnya pada teknologi lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah peradaban yang kita bangun dari fondasi sains tersebut cukup ampuh atau resisten terhadap perkembangan dinamika umat manusia, baik yang menyangkut aspek kebutuhan maupun pemikiran? Kalau hal ini tidak kita pikirkan dengan serius, maka sama artinya kitapun hidup dalam peradaban coba-coba (trial and error), yang tentu saja akan berdampak pada kepunahan bangsa dan peradaban itu sendiri seperti halnya kasus-kasus peradaban lainnya yang sekarang 12

tinggal kenangan. Pertanyaan inilah sebenarnya yang menjadi inti sari dari tulisan dalam buku ini, dan menjadi tanggungjawab para ilmuwan tentunya untuk mempertahankan eksistensi peradaban manusia seutuhnya sehingga harus terus mencari jawaban tentang kebenaran itu sendiri. Sementara itu paradigma ilmiah mengakui tentang relativitas kebenarannya. Apakah kita pertaruhkan umat manusia ini di atas landasan yang rapuh atau relatif tersebut, dan hanya berorientasi kepada kepentingan pragmatisme dan sesaat belaka? Berbeda dengan perkembangan pemikiran yang terjadi melalui tokoh-tokoh seperti tersebut di atas, maka pemikiran pencarian Tuhan melalui agama wahyu sebenarnya telah ada sejak manusia pertama diciptakan (Adam), yang telah mengenal Penciptanya semenjak terciptanya. Hanya karena “kesialan” Adamlah yang mendekati “pohon larangan” menyebabkan dia tersesat dalam belantara kemanusiaan yang membumi dan “terlempar” dari kehidupan mapan didekat Tuhannya (surgawi). Hanya melalui pintu taubatlah Tuhan mengenalkan dirinya kembali kepada Adam dan memberikan tuntunan bagi keturunannya untuk tetap mengenalnya dalam bentuk agama samawi tersebut. Mengingat populasi manusia terus berkembang dan terjadi distribusinya di muka bumi sehingga mengalami perubahan sistem nilai dalam bermasyarakatnya,

maka

agama

samawipun

mengalami

perbaikan

atau

penyempurnaan dalam kandungan ajarannya, yakni yang menyangkut aturan bermasyarakat,

peribadatan,

dan

sistem

nilai;

sedangkan

mengenai

ajaran

Ketuhanannya tidak berubah sama sekali yakni monotheisme (bertuhan satu). Itulah sebabnya dalam ajaran Islam (yang diyakini sebagai agama samawi terakhir atau penutup), maka umat Islam diharuskan mengimani semua bentuk agama samawi tadi sejak dari Adam tanpa membedakannya. Hal tersebut terukir jelas dalam firman Tuhan sebagai berikut: ”Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari

Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul 13

rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" [2: 285]. Masalah yang muncul saat ini adalah bagaimana semua nilai dan aturan yang telah termuat dalam perkembangan peradaban manusia, baik melalui jalur budaya maupun sumber wahyu dapat beradaptasi atau terjadi integrasi dengan perkembangan peradaban yang dibangun atas dasar sains tersebut. Sekulerisasi terhadap sains yang berarti melepaskan pencarian kebenaran melalui metode sains dari nilai moral dan etika khususnya yang diwarnai oleh sumber wahyu, sungguh sangat disesalkan dan merupakan “kebodohan” dari saintis. Hal ini makin terasa pada akhir-akhir ini dimana sains telah mewujudkan dirinya menjadi “monster” atau “iblis” yang lebih berbahaya dari iblis sesungguhnya. Bagaimana tidak, karena sang iblis saja dikutuknya oleh Tuhan karena pembangkangannya terhadap perintah Tuhan agar sujud kepada Adam yang ia tolak mentah-mentah, karena logika iblisnya yang menganggap dirinya lebih mulia dan terhormat. Akan tetapi apakah yang terjadi pada manusia yang jelas-jelas merusak dan menentang aturan Tuhan melalui perkembangan sains pada berbagai fenomena kehidupan. Dahulu orang masih punya harga diri dengan rasa malu bila diketahui bahwa dia berperilaku “wadam” yang “gay”; tetapi saat ini mereka justru menuntut adanya undang-undang bolehnya perkawinan sejenis. Para ahli kedokteran yang masih mempunyai moral tentu tidak akan mau melakukan “pembuatan bayi tabung” melalui semens sperma jantan yang bukan ayahnya (diambil dari bank sperma); tapi logika ini ditolak bagi manusia yang menganut aliran “sains bebas nilai”. Dalam sains lunak (ilmuilmu sosial) sungguh kerusakan peradaban manusia semakin cepat karena menganut aliran kebebasan berfikir yang dianggapnya hak azazi manusia secara individual. Mereka boleh berpendapat dan berperilaku apapun selama tidak merugikan orang lain. Model berfikir demikian pada dasarnya telah menunjukan logika bengkoknya, bagaimana tidak merugikan orang lain sementara perbedaan berfikir dan bertindak anggota masyarakat yang demikian besar itu sangat variatif, dan pasti akan terjadi benturan nilai. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terjadi di negara-negara barat (khususnya Amerika) yang mengagungkan berfikir bebas dan pengusung HAM itu 14

sendiri justru terlihat adanya jurang yang dalam antara orang berlimpah materi ( the

have) dan masyarakat miskin menderita (the have not). Dalam kondisi demikian maka sains tidak bisa berbuat apa-apa, dia akan berlepas tangan dengan mengatakan “itu semua di luar kewenangan kami dan bukan dalam koridor sains”. Hal-hal serupa inilah yang seharusnya menjadi tanggungjawab saintis yang masih memiliki moral khususnya moral agama, karena pada mereka masih tercerahkan oleh cahaya illahiah yang tak akan pernah redup sekalipun tiada daya dan terpinggirkan oleh kekuatan sosial yang rusak.

Apakah saintis cukup mempunyai kekuatan moral

agar laju teknologi yang telah dimilikinya tidak berdampak negatif kepada eksistensi dirinya? Teknologi kloning yang belakangan ramai dibicarakan orang memang telah berhasil pada binatang seperti digambarkan pada Gambar 1.3. Namun bagaimana sikap saintis bila hal tersebut digunakan pada manusia, apakah masih cukup moral untuk menolaknya atau justru menerimanya sebagai perkembangan teknologi biologi yang dianggapnya mutakhir; apakah masih akan terbangun suatu peradaban?

Gambar 1.3. Skema prosedur kloning pada domba yang telah berhasil diuji cobakan, bagaimana dengan manusia?

15

BAB II DERITA MEMBAWA NIKMAT Telah lama aku berjalan; jurang, bukit, gelap dan terang aku lalui, Jangan ditanya tentang kesenangan, karena akan terhampar kesusahan, Kini terkuak cahaya kebenaran melalui pendalaman pengalaman, Biarkan ia bertutur sebagai obat pelipur dalam ujung jalan yang belum terlampaui.

===================================================

Dalam ilmu biologi, baik yang menyangkut manusia, khewan, atau tumbuhan; latarbelakang (background) suatu jenis (spesies) sangat penting untuk diruntut asal muasal tetuanya untuk mengetahui sifat genetikanya, karena ada hubungannya dengan masalah penyakit bawaan (keturunan), kemampuan reproduksi, dan lain sebagainya. Untuk melakukan penelusuran secara silsilah keturunan, penulis mengalami kesulitan mengingat faktor sejarah hidup yang tidak tertulis dan ketersediaan waktu serta dana dalam menggalinya. Oleh karena itu penuangan latarbelakang kehidupan dan garis keturunan penulis, dituangkan atas dasar pengalaman langsung penulis yang sampai usia senja ini (63 tahun) masih terekam dengan baik dalam ingatan intelektual maupun tertanam dalam di hati sanubari penulis. 1. Garis kedua orang tua. 1) Dari pihak ayah Ayah saya bernama Bunyamin Rahayu (1918 – 1998), putra dari mbah Sastroprawiro dan Rinta, yang lahir di Cirebon dan tinggal di perkampungan (Mandalangen), Kraton Kasepuhan. Belakangan penulis mengetahui yang ternyata bahwa sang nenek adalah trah kesultanan Kasepuhan. Sementara sang kakek adalah putra asli Karanganyar (Jawa Tengah) dari keluarga kepala desa tersebut (turun temurun). Nama mbah Sastroprawiro inilah yang kemudian diadopsi oleh saya untuk menambah kata Sastrahidayat dalam nama. Dengan berjalannya waktu antara kakek dan nenek tersebut setelah mempunyai anak dua, yakni: Bunyamin (ayah saya) dan paman saya (tak kenal nama karena mati muda); nampaknya rumah tangga mereka tidak abadi dan 16

terjadi perceraian yang diakibatkan kurang sepahamnya pemahaman keyakinan agama. Dimana kakek saya sangat intensif (mengganti kata fanatik yang konotasinya negatif) dalam kerohanian aliran kebatinan “ilmu sejati”, sementara nenek saya sangat intensif sebagai muslimah yang taat menjalankan syariat Islam. Perceraian tersebut membawa berkah karena nenek saya kemudian menikah lagi dengan seorang “hulubalang” raja Kasepuhan, yakni “mbah Sumaatmaja” (darah sunda Cirebon), yang bekerja sebagai “lurah keraton Kasepuhan”. Dari perkawinan kedua tersebut nenek mempunyai tiga anak yang menjadi oom dan tante saya, yakni: Gunawan, Mulyana, Sri Utami. Semua keluarga ini menetap di kompleks keraton kasepuhan sampai meninggal (rumah induk sekarang sudah ditempati putra-putrinya). Sementara itu mbah Sastroprawiro, juga tidak mau kalah dengan nenek, yang kemudian beliaupun membangun keluarga baru dan mempunyai anak, yakni: Hardini, Tatik, Nanik, Sigit, Sutaryo, dan Sutrisno. Sampai riwayat ini ditulis tiga bulik terdahulu masih hidup sampai saat ini yakni di Kertosono, Surabaya, dan Bangil. Dalam akhir hayatnya mbah Sastroprawiro dirawat oleh bulik Hardini di Kertosono, dan meninggal dalam usia tua, yakni sekitar 95 tahun (tahun 1898 – 1993). Ayah saya nampaknya diboyong oleh mbah Sastroprawiro ke Jawa Timur meninggalkan Cirebon setelah bercerai dan dibesarkan dalam didikan mbah sampai menimba ilmu pengetahuan ke HIS (karena posisi mbah sebagai kepala pegadaian di Nganjuk saat penjajahan Belanda), dan dari sana melanjutkan pendidikan mantri kesehatan (perawat) di rumah sakit Cipto Mangukusumo, Jakarta (sekarang) dan mendapatkan ijasah Diploma A1 voor Algemeene Ziekenverpleging tahun 1941. Setelah selesai pendidikan beliau kemudian bekerja dirumah sakit tersebut sebagai mantri di bawah dokter-dokter Belanda tentunya sampai dengan masa pemerintahan Jepang (1942), yang berarti beliau masih berusia 24 tahun. Dalam masa pemerintahan Jepang beliau bekerja sebagai mantri ditempat yang sama dan banyak menangani pasien sakit akibat 17

kerja paksa (romusa), sehingga beliaupun mendapatkan sangsi penyiksaan Jepang karena dianggap tidak becus menyembuhkan pasien yang banyak mati akibat penyakit menular saat itu (kolera dan malaria). Dari kedua penjajah tersebut beliau mendapat keuntungan sendiri yakni: pengetahuan kesehatan sebagai mantri dari Belanda, dan pengetahuan kemiliteran (Peta) dari Jepang sebagai

konsekuensi

perawat

dijaman

peperangan.

Dengan

jatuhnya

pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, dan proklamasi kemerdekaan RI, tahun 1945; beliau kemudian diangkat sebagai pegawai negeri tingkat III (mantri kesehatan) tertanggal 1 Nopember 1945 (atau 2,5 bulan setelah proklamasi kemerdekaan). Terpanggil oleh pergerakan revolusi kemerdekaan, beliau kemudian masuk militer (dalam angkatan laut dengan pangkat Letnan), dan berevolusi bersama rakyat dan angkatan bersenjata lainnya untuk melawan Belanda dan sekutu yang pada saat itu mendarat kembali untuk meneruskan penjajahannya. Dari perjuangan tersebut beliau hanya mendapatkan dua lembar kertas tanda bintang jasa “peristiwa kemerdekaan I dan II dari Presiden RI. Dalam masa sulit itulah agaknya ayah saya bertemu dengan ibu saya, karena sewaktu beliau pulang ke Nganjuk untuk cuti ke mbah Sastro, beliau di bawa ke Madiun untuk dikenalkan dengan ibu saya tadi. Perkenalan itu sendiri nampaknya memang jodoh, karena yang di Madiun tersebut adalah pamannya ibu saya dari pihak ibunya (nenek saya), yang bernama Sunaryo (mbah Naryo). Kebetulan pula istri mbah Naryo tersebut adalah kakak dari istrinya mbah Sastro yang kedua tersebut di atas, sehingga terjadi perkawinan dalam keluarga sebenarnya. Dengan desakan keluarga itulah akhirnya ayah saya menikahi ibu saya, dan akhirnya membawa pulang kembali ke Purwakarta (Jawa Barat) tempat orang tua ibu berada. 2) Dari pihak ibu Garis keturunan dari pihak ibu, dapat disebutkan sebagai berikut: Ibu saya bernama Sutiyah (1928 – 1972), yang dilahirkan dari nenek saya bernama: 18

Suratminah dan kakek bernama Notowidjojo (dipanggil mbah Salam). Beliau adalah anak kedua dari lima bersaudara, yakni: Sukarti, Sutiyah (ibu saya), Sutedja, Suyatmi, Harismayani, Sutinah, dan Suherman. Sampai buku ini ditulis tinggal kedua paman saya yang masih hidup, bahkan Suherman usianya hanya satu tahun lebih tua dari saya, dan sekarang tinggal di Jakarta sebagai pensiunan mantri kesehatan di dinas perhubungan, sementara Sutedja tinggal di Purwakarta sebagai petani, mengisi rumah peninggalan mbah. Silsilah dari nenek pihak ibu relatif masih dapat diingat karena sewaktu kanak-kanak (sampai kelas tiga SR = SD) saya tinggal disana, namun dari pihak kakek (ayah ibu) sama sekali petanya buta, hanya “seletingan” beliau berdarah Karanganyar. Kalau hal ini benar nampaknya akan ketemu dengan silsilah mbah Sastroprawiro tersebut di atas, yang masih darah Jawa. Pihak nenek dari ibu mempunyai silsilah darah campuran antara Jawa dan Sunda, dimana mbah buyut perempuan bernama Uginah berdarah Sunda dan mbah buyut lelaki berdarah Jawa, bernama Mangunkusumo. Saya bersyukur, masih diberi ingatan bahwa waktu masa balita (entah umur berapa), kalau tidur sering dengan mbah buyut perempuan (dikeloni-Jawa), dan sebelum tidur sering diajari do‟a tidur secara Islami dan dalam bulan puasa do‟a niat puasa (walaupun ikut puasa sapi kata orang), yang ternyata berbekas amat dalam pada jiwa kerohanian saya, dan mungkin itulah tinta emas yang diukirkan oleh mbah buyut pada usia emas (the

golden age) saya sehingga saat ini saya begitu haus dan dahaga untuk menggali Islam secara intensif. Dari mbah buyut tersebut menurunkan anak, yakni: mbah Sulmin, Suratminah (nenek saya), Sunaryo, Suparto, Sutinah, Subandi, Suparti, Sudirman, dan Rohendah. Mbah Sulmin ternyata kemudian menjadi lurah dan ahli pengobatan tradisional (dukun) di desa

Cihuni, di Purwakarta. Mbah

Sunaryo setelah dari Madiun kemudian menjadi Administratur kehutanan di Kebonhardjo, Tuban. Sementara mbah saya sekeluarga (termasuk ibu saya), hidup sederhana sebagai petani penggarap didesa Campaka, kecamatan 19

Cikumpai, Purwakarta; yang kemudian menjadi tempat ibu saya melahirkan anak-anaknya. 2. Garis silsilah penulis Dari uraian di atas telah disebutkan bahwa saya mempunyai orang tua, ayah bernama: Bunyamin Rahayu sedangkan ibu bernama Sutiyah, yang darinyalah kami dilahirkan; yakni: Rochdjatun, Dwi Agus Sudjud, dan Sri Sundari. Saya merupakan anak sulung yang kemudian namanya saya minta ijin ke ayah saya untuk ditambahi Ika didepan (karena alasan adik saya diberi nama Dwi), dan Sastrahidayat dibelakang untuk mengabadikan nama Sastra seperti diterangkan di atas;

jadilah lengkap menjadi Ika Rochdjatun Sastrahidayat

sampai saat menjadi kakek ini, dan saya senang dikenal dengan panggilan IKA. 1) Dari kelahiran sampai masa kanak-kanak Seperti dijelaskan di atas, saya di lahirkan didesa Campaka-Purwakarta, pada hari Jum‟at, tanggal 9 Januari 1948. Disini saya sajikan foto ibu, saya dan adik Agus (Gambar 2.1). Gambar 2.1. Ibu penulis, penulis masa balita dan adik Desa ini sekalipun berada dikawasan perkebunan karet Cikumpay, namun

berada di tepi jalan

raya yang

menghubungkan kota Purwakarta dan pangkalan militer Kalijati-Subang, yang pada saat itu hanya dilewati truk pengangkut kayu karet, satu dua dan transportasi antara kota. Kesepian akan terasa dikala malam hari, karena meskipun jalannya mulus beraspal namun gelap karena tidak ada penerangan jalan (maklum di desa); penerangan baru nampak indah di malam hari dikala muncul bulan purnama sehingga biasanya dimanfaatkan oleh kami untuk membuat permainan di jalan berupa gobak sodor (mungkin dari kata go back to the door = kembali ke pintu masuk). Indah memang permainan itu karena selain memerlukan kelincahan dalam berlari dan 20

berliku diperlukan adanya kerjasama dengan kawan (suatu latihan olah raga dan jiwa pada awal pertumbuhan). Sayang permainan tersebut saat ini sudah ditinggalkan karena dianggap kuno dan ndesit, beralih pada permainan games di

komputer yang membangun watak egois dan masa bodoh. Masa kanak-kanak saya di Campaka-Purwakarta relatif pendek, yakni hanya sampai dengan usia sekolah kelas dua SD (tahun 1956), akan tetapi lebih banyak dukanya dibandingkan sukanya (sekalipun dukanya tidak terasa). Mengapa demikian? Yah karena ternyata setelah lahirnya adik ketiga saya, kedua orangtua bercerai, kami bertiga ditinggal di Campaka mengikuti ibu, sementara ayah pergi ke Surabaya mencari kerja setelah ke luar dari angkatan laut, dan tidak pernah kembali. Akibat perceraian tersebut ibu kemudian menikah lagi dengan pemuda sunda lain kampung namun masih dalam satu kecamatan, namanya Bapak Sunaryo. Dari padanya kemudian ibu melahirkan adik-adik tiri saya tiga orang. Dalam kondisi keluarga yang gagal (broken home) itulah saya hidup dengan standar kesehatan dan pendidikan yang minim, sehingga kondisi fisikpun ikut jatuh. Penyakit malaria bertubi-tubi menyerang saya hingga hampir mendekati ajal dan diperparah dengan gizi yang buruk sehingga sering menderita “buta ayam” (bila masuk maghrib tidak dapat melihat). Saya masih ingat betapa “primitifnya” cara nenek saya mengobati buta ayam saya, yakni dengan disembur pakai air kumur ke muka pada saat maghrib dimana saya tidak dapat melihat. Ibu tentu saja tidak berdaya dengan tiga anak yang masih kecil tanpa penghasilan sama sekali sehingga untuk hidup hanya penghasilan kakek dari penggarap sawah orang lain (kerja maro), yang juga punya tanggungan paman dan bibi yang masih kecil. Tidak heranlah apabila dalam kondisi demikian kontrol terhadap saya baik pendidikan, pergaulan, makanan, dan kesehatan menjadi amat rendah; tidak ada yang salah dalam hal ini, hanyalah takdir yang

harus saya lewati. Akibatnya saya bermain bebas, sering ke sawah mencari belut dan ikan dengan cara merogohi lubang-lubang yuyu dipematang sawah, hasilnya 21

memang tidak seberapa, namun bila dapat langsung dibakar, tentu saja hal ini menjadi derita yang membawa nikmat. Kenikmatan kecil tersebut nampaknya harus dibayar, karena besok harinya ketika kembali saya cari ikan di lubang pematang sawah, kali ini didapat ikan keting (dalam marga Mystus lihat Gambar 2.2), namun dia berontak dan mematil jari kiri saya hingga patilnya patah dan tertinggal menancap di sela kuku; saya tidak menangis hingga ditolong ayah tiri saya, yakni dengan mencabut patilnya kemudian tangan yang luka diasapi dengan bakaran jerami di sawah. Gambar 2.2. Ikan keting penghuni air tawar Nampaknya inilah ilmu pertolongan pertama pada kecelakaan (PKK) paling tradisional

untuk

membunuh

bakteri

yang

menyebabkan infeksi, memang malamnya suhu saya naik dan mengggil demam karena infeksi. Dari peristiwa ini setelah di perguruan tinggi, saya baru mengerti bahwa teknologi pengasapan adalah metode pengawetan yang cukup efektif, dan saat ini banyak dilakukan untuk makanan, seperti “bandeng asap” dan sebagainya. Kadangkala sambil “angon” kambing (walaupun hanya beberapa ekor kambing aja) di tegalan, saya isi untuk mencari belalang yang kemudian ditusuki pakai lidi dan dibakar, yah sekedar menambah gizi protein hewani yang tidak saya sadari, yang enak dengan dagingnya besar adalah jenis belalang kayu (nama ilmiahnya Melanoplus cinereus lihat Gambar 2.3), dan ternyata mengandung protein sekitar 18 % lebih tinggi dari udang windu yang hanya 10%. Dalam Agama Islam, belalang dan ikan adalah salah satu dari dua hewan yang apabila telah terlebih dahulu mati (bangkai) masih dihalalkan untuk dimakan.

22

Gambar 2.3. Belalang kayu penghuni tegalan. Disamping belalang seringkali juga saya mencari tanam-tanaman jenis gulma di sawah yang dibero, salah satu yang bisa dijadikan lalapan adalah tanaman dengan nama “jonghe” (Sunda) atau Tĕmpuh uyung (Jawa)” (nama ilmiahnya Emelia sonchifolia (L.) D. lihat Gambar 2.4). Tanaman ini dikenal sebagai jenis sayuran, dimakan dengan dikukus atau sebagai lalapan, dan menjadi tumbuhan inang dari Thrips tabaci Lind. Gambar 2.4. Jonghe di tegalan. Daunnya digunakan untuk luka/sakit di mata dan telinga; dan saat ini telah dimanfaatkan untuk berbagai penawar bagi jenis penyakit seperti: asthma, intermittent fevers, breast cancer, ophthalmia, nyctalopia, dan lain-lain, serta mengandung zat dari kelompok flavonoid yang berguna sebagai pencegah kerusakan peroxidative jaringan sehingga bisa dipakai untuk agen terapi. Atau saya bermain sendiri ke “situ” Cikumpay (semacam telaga penampung air irigasi) yang ada tak jauh di belakang rumah, disitu dengan beraninya saya masuk ditepinya untuk mencari kijing (sejenis keong dengan rumahnya gepeng memanjang lihat Gambar 2.5); lumayan sambil bermain sendirian (semacam outbound mungkin) saya dapat menambah gizi kembali.

23

Gambar 2.5. Siput kijing bergizi tinggi. Memang bila diingat dari sisi pendidikan hal ini termasuk “bonek” tanpa pengawasan sama sekali, segala risiko bisa terjadi; bahkan pada saat itu saya tidak dapat berenang sama sekali; jangan ditanya tentang adanya lintah yang menempel penuh di badan setelah ke luar dari dalam situ tersebut, bahkan kadang sulit dilepas. Kalau hal tersebut belum puas saya sering naik tanaman buah-buahan, yang antara lain pohon “sentul atau kecapi” (nama ilmiahnya Sandoricum koetjape (Burm.f.) Merr. Lihat Gambar 2.6) yang cukup tinggi untuk mengambil buahnya berbentuk bulat warna kuning (seperti bola tenis), sekedar untuk dimakan sebagai pengganjal perut, hal ini biasanya saya lakukan di tegalan etah siapa yang

punya. Gambar 2.6. Buah kecapi rasa masam manis. Banyak

ditegalan

ditanam

kecapi

mungkin

karena peranannya, yakni kayunya bermutu baik sebagai bahan konstruksi rumah, bahan perkakas atau kerajinan, mudah dikerjakan dan mudah dipoles. Sementara rebusan daunnya digunakan sebagai penurun demam, serbuk kulit batangnya untuk pengobatan cacing gelang, akarnya untuk obat kembung, sakit perut dan diare; serta untuk penguat tubuh wanita setelah melahirkan. Pernah pula saking “nakalnya”, saya melihat sarang burung di pohon mangga koweni di depan rumah, kemudian saya naiki hendak diambil burungnya, namun betapa kagetnya saya sewaktu hendak memegang burung 24

ternyata isinya ular, hampir jatuh saya dibuatnya, cepat turun dan setelah di bawah ternyata dada saya luka semua, agaknya turun dengan merosot tanpa dirasa; nah kapok lu ! Apakah benar kapok? Tidak juga. Ini terbukti dengan keinginan saya untuk bisa naik sepeda. Suatu kali saya melihat ada sepeda orang di rumah, tanpa permisi , setiap kali orang tersebut ke rumah saya coba berlatih sendiri untuk mendayungnya, sekalipun sepedanya lebih besar dari badan saya, rasa penasaran saya lebih besar untuk selalu mencobanya tanpa harus diajari. Benar saja setelah beberapa kali berlatih, kesimbangan terjaga, sayapun mulai mendayung agak jauh dari rumah di jalan aspal. Dalam percobaan inilah saya jatuh terlempar ke sungai karena ingin bergaya berhenti dipinggir jembatan dengan kaki satu tetap di sepeda satunya berdiri ke tepi jembatan. Untungnya air sungai tidak banyak dan mengalir, namun kejatuhan itu cukup tinggi untuk seusia anak SD kelas 2, yakni sekitar 3 meter dan malamnya saya demam, sakit keras. Kejadian-kejadian kecil yang saya ceritakan di atas ternyata tidak membuat saya mempunyai rasa takut dan menangis waktu terjadi, sungguh sayapun heran mengapa saya sulit menangis. Saya baru merasa takut dan menangis pada suatu peristiwa, dimana saya disuruh nenek mencari kambing yang belum pulang ke kandang yang digembalakan di kebun karet (dahulu disebut hutan karet). Disitulah manakala saya menggiring pulang kambing bertemu dengan sekelompok monyet yang memang banyak disitu, saya ketakutan dan menangis dan lari melaporkan kejadian tersebut ke nenek saya. Kejadian lain adalah dalam hal berhadapan dengan kenakalan paman saya yang memang berbeda 1 tahun usianya dan lebih besar, hidup dalam satu atap rumah tetapi dalam keseharian saya selalu dijadikan bulan-bulan, apakah dipukul, diketak, dilempar, dan sebagainya. Pada suatu hari saya bermain gangsingan (panggalan-sunda) sendirian, tiba-tiba paman datang dan “menembak” panggal saya yang sedang berputar sehingga terlempar, saya marah dan berkelahi, tetapi

25

saya kalah, saya nangis ketakutan dan berlari ke dalam rumah kemudian sembunyi di bawah kolong tempat tidur, lupa entah berapa lama. Dalam berkomunikasi setiap hari keluarga saya menggunakan bahasa Sunda, sekalipun ibu dan kakek saya bisa bahasa Jawa, demikian pula dalam pergaulan. Mungkin inilah yang disebut dengan bahasa “ibu” sebenarnya, karena semua perbendaharaan kata dan kalimat terekam dengan baik sampai saat ini sekalipun telah puluhan tahun tidak digunakan sama sekali. Bahkan lagu seperti:

acuk bungur, pat lapat, nama-nama kota, dsb, yang diajarkan dikelas 1 dan 2 SD di Campaka lagunya masih ingat hanya baitnya yang tidak lengkap. Mungkin inilah yang perlu mendapat perhatian dari para pendidik bahasa dengan saksama, mengapa bahasa Inggris yang diajarkan sejak SMP, bahkan sekarang sejak SD sulit melekat sekalipun diulang-ulang dan bahkan telah ikut kursus segala sampai sarjana. Perpindahan ke Cirebon. Mungkin sudah nasib atau takdir tak dapat dicegah, untung tak dapat diraih, begitu kata peribahasa. Pada sekitar tahun 1956/1957 saya naik kelas 3 SD, begitu liburan tiba-tiba datang orang yang tidak saya kenal sama sekali yang menurut ibu saya kala itu sebagai paman dan bibi saya dari pihak ayah (yakni Oom Gunawan dan Tante Utami), ingin mengajak saya dan adik saya (Agus) untuk liburan di Cirebon di rumah nenek. Saya baru tahu setelah dewasa bahwa hal ini memang skenario ayah dan ibu saya untuk gantian mengasuh anak. Dalam hidup sejak kecil saya bukan tipe pembantah, sehingga mengiyakan dengan mudah dan jadilah kami berdua meninggalkan tanah kelahiran Campaka yang rupanya untuk selamanya. Memang demikian adanya karena setelah masa liburan selesai, saya mendapat surat dari ibu saya untuk bersekolah di Cirebon agar menjadi anak pintar. Kembali disitu saya bisa menangis tetapi tangisan sementara dan tak berdaya, karena begitu masuk sekolah di SD Pamitran I kota Cirebon, adik saya masuk kelas 1 dan saya masuk kelas 3 SD; maka sayapun 26

lupa dengan rasa kangen keluarga di Campaka. Saya hidup dilingkungan perkampungan keraton Kasepuhan yang tentu lebih baik dibandingkan desa Campaka, meskipun paman dan bibi sayapun masih bersekolah, tetapi kakek saya mbah Sumaatmadja orangnya sangat sabar, dan hampir setiap tiga hari sekali sekitar jam 11 pagi memberi kami uang receh untuk jajan, tidak seberapa memang, tetapi untuk membeli es gandul rasanya tidak ternilai bagi seeorang anak kecil. Dengan kakek inilah saya, adik saya (Agus) dan adik ipar (dari bi Anah) yakni Sri Mahastutik mendapatkan penetrasi perasaan kasih sayang, sementara nenek saya (ibu kandung ayah saya) menurut penilaian saya saat itu adalah sosok yang kurang menarik karena jarang bicara dan tersenyum, sekali bicara isinya tegoran. Dalam pergaulan keseharian saya cukup mendapat banyak kawan disini dibandingkan di Purwakarta, bahkan jumlahnya puluhan teman sebaya, semuanya

menyenangkan;

kecuali

ada

seorang

yang

menjadi

kepala

“hulubalang”, panggilannya si Tamang (entah nama lengkapnya). Anaknya paling besar dan memang usianya mungkin 3-4 tahun di atas kami semua. Perilakunya buruk dan menjadi manajer dalam segala bentuk permainan di kampung tersebut, mulai dari petak umpet, cari layangan, main kelereng dan sebagainya. Rupanya anak ini takdirnya calon preman, sehingga semua anak takut dan harus nurut dia, sayapun takut karena ancamannya yang paling sadis adalah boikot sosial yakni tidak mendapatkan kawan bermain dan dicegat disetiap sudut kampung untuk diadu berkelahi dengan lainnya. Pernah saya “disiksa” dengan cara disuruh naik sebuah pohon palma di dalam keraton, sampai tinggi ke pucuk begitu turun langsung disuruh berkelahi dengan teman lain yang sudah disiapkan, untungnya teman saya tersebut punya perasaan iba sambil mendekap ia berbisik “kita pura-pura saja”. Disitu saya belajar siasat secara tak sengaja bagaimana seharusnya menghadapi tekanan hidup. Suatu ketika hari minggu kami diajak main ke tepi pantai yang dikenal dengan sebutan “tropic garden”, begitu dipantai saya disuruh mengejar binatang kecil-kecil yang 27

banyak dibatuan licin, kemudian saya ditinggal beramai-ramai. Pada hari lain kami bermain (tentu atas perintah si Tamang) disungai besar di belakang Keraton, disitu saya dikerjain lagi dengan disuruh masuk kesungai padahal saya tidak bisa berenang sama sekali. Namun rasa takut si Tamang jauh lebih besar dari rasa takut tenggelam; dan setelah berkali-kali minum air sungai saya mendapatkan batang pisang, berpegangan menepi sendiri, sementara preman kampung dan kawan-kawan sudah pergi meninggalkan saya seorang diri. Dalam gambar nampak halaman depan kraton Kasepuhan Cirebon tempat biasanya kami bermain karena memang istananya telah menjadi semacam museum yang terbuka untuk umum dan sampai tulisan ini dimuat, dari masa kecil saya pada bangunan tersebut tidak banyak perubahan (lihat Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Halaman depan Keraton Kasepuhan Cirebon tak berubah Itulah kesulitan hidup sosial pertama kali, tanpa salah apapun saya dikucilkan, dan hal ini ternyata menjadi pemicu saya untuk menghadapinya dengan tabah. Masalah serupa ini saya buktikan kemudian setelah saya dibawa 28

ke Surabaya oleh ayah dan dididik hingga dewasa (mahasiswa). Waktu pulang ke Cirebon menjenguk nenek dan paman, maka orang pertama yang saya cari adalah sahabat saya si Tardiwan (sebelah rumah), darinya saya tanya tentang si Tamang, jawabnya benar dia menjadi sopir truk dan sekaligus preman; dasar takdir sejak awalpun sudah nampak. Perpindahan ke Surabaya Sekolah di Cirebon akhirnya saya tempuh sampai kelas 5 SD, yang naik kelas dengan status naik dengan percobaan (lihat dokumen terlampir). Dua minggu masuk sekolah di kelas 5, saya diturunkan lagi ke kelas 4 karena disuruh maju ke papan tulis untuk menghitung sesuatu saya tidak bisa, pak guru berkata begini: besok kamu masuk kelas empat lagi yah. Saya tidak menangis dan diam tidak bilang paman dan bibi di rumah, hanya ada perasaan malu. Belum juga kembali ke kelas empat tahu-tahu ayah datang dari Surabaya untuk mengambil saya dan adik saya, dan otomatis di Surabaya saya di masukan ke kelas 5, karena di rapot ditulis naik kelas V dengan percobaan, naassiiiiib! Di Surabaya saya tinggal di kampung Krembangan Jaya gg V/18 (dahulu Krembangan Tegal karena banyak tegalan), yang merupakan rumah pribadi ayah saya. Kampung ini sebenarnya berada di pusat kota karena dekat dengan tugu pahlawan, dimana terdapat banyak sekolahan disekitarnya, saya dimasukan SD Bubutan I persis berdekatan dengan tugu pahlawan, pasar Turi, kantor pos besar, dan terminal trem listrik dan kereta uap Kebon Rojo. Bersekolah di sini saya mulai melihatkan bakat intelektualnya sekalipun tidak tinggi, yakni pada kuwartal awal (dahulu rapotan tiap 4 bulan, jadi 3 kali setahun), angka rapot saya banyak merahnya dari pada birunya (dari 18 mata pelajaran 9 merah dengan angka rata-rata 5,5). Hasil rapotan ini tidak menjadikan saya diturunkan kembali ke kelas 4 seperti yang dilakukan guru saya di Cirebon, namun saya diberi kesempatan oleh guru saya yang namanya Pak Liesman yang sangat

29

berwibawa dan benar-benar pendidik (yang di Cirebon itu monster), untuk giat belajar. Dan benarlah, karena ayah sayapun ikut turun tangan, bukan hanya pada hal sekolah tetapi juga di luar sekolah, saya dimasukan dalam kegiatan kepanduan (sekarang Pramuka) yakni, Kepanduan Bangsa Indonesia (disingkat KBI, seperti terlihat dalam Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Penulis waktu SD di Kepanduan (KBI) Disini selain diajarkan ketrampilan dan kesenangan bersosialisasi juga perasaan ingin menolong sesama telah ditumbuhkan dalam jiwa saya tanpa saya sadari. Dalam hal pelajaran meskipun tidak mengikuti kursus atau private pelajaran, tetapi ayah membantunya di rumah sehingga pada kuwartal II nilai rapot merahnya tinggal 1 dengan angka rata-rata 6,3; dan pada kuwartal III, rata-rata nilai menjadi 6,7; sehingga saya naik kelas VI. Dikelas VI inilah saya kembali digodog oleh pak Liesman disekolah dengan memberikan banyak harapan sehingga saya bersaing ketat dengan sahabat saya dalam pelajaran yang bernama Muhammad Hafidz, ia seorang pandai yang saat ini menjadi dokter kenamaan di Surabaya karena ahli bedah syaraf otak; sayang pada ujian akhir nasional SD dia kalah satu angka oleh saya, yakni: saya ratarata nilai 8, dia ada yang 7. Dari sini saya mendapat pelajaran bahwa bila seorang itu diberi harapan dan ditangani dengan baik, insya Allah prestasinya akan meningkat. Dengan angka demikian maka tidak sulit bagi saya mencari sekolah SMP dan kemudian saya masuk di SMP VI Jl. Jawa Surabaya. Ini ada alasannya, karena ayah saya mendapatkan rumah dinas di pabrik karung Rossela, Jl. Ngagel Timur no. 35, pada waktu saya kelas VI, sehingga lebih dekat ke sekolah. Di 30

komplek perumahan ini pengaruh elite sosial mulai terasa, karena saya berada di lingkungan anak-anak rumah gedongan, padahal saya ndesit

alias deso dan

kampungan. Hal ini terasa langsung manakala saya pergi kesekolah SD kelas VI (biasanya jalan kaki dari Ngagel Timur ke Jl. Bengawan) naik trem listrik dengan sandalan, memang di sekolah tersebut tidak dilarang. Teman saya sebelah rumah yang lebih muda kelasnya, bertanya “lho kok ke sekolah pakai sandal?” Pertanyaan tersebut tidak saya mengerti sebagaimana tidak mengertinya ia dengan sekolah bersandal yang seharusnya bersepatu. Setelah hal tersebut disampaikan ke ayah, barulah saya dibelikan sepatu. Dasar nasib! Setelah saya bersekolah di SMP, mulailah di rumah saya bergaul dengan kelompok anak dengan sosial cukup, sehingga permainannya meningkat menjadi: main musik (ngeband), main pingpong, main voli, dan acara ulang tahunan. Di sekolah kebiasaan saya lama masih terbawa, yakni senang main kelereng meskipun tidak pernah menang, sehingga mencari kawan yang bisa diajak main tentunya. Prestasi belajar biasa saja tidak menonjol namun tidak tertinggal. Hingga akhirnya saya mendapatkan teman sekelas yang relatif menonjol

dalam

hal

menyanyi

dikelas dialah

jagoannya,

dia

bernama

Hermunanto. Dengan dialah saya bermain kelereng baik di sekolah dan biasanya diajak terus di rumahnya (di kampung Kedondong Surabaya). Teman saya ini pinter bicara dan membujuk, namun nakalnya bukan main, dan saya sering

diketaki (dijitak) karena dia merasa lebih kuat dari saya; konyolnya saya selalu mau diajak bermain kelereng olehnya. Sampai akhirnya terjadi suatu keadaan yang nantinya merubah situasi keluarga saya, yakni karena saya sering bermain di rumah Hermunanto, maka siangnya sering diajak makan, sehingga pulang tidak makan lagi. Hal ini ditanyakan oleh ayah saya, yang dijawab bahwa saya makan di rumah teman saya yang ibunya menjanda, namun bekerja di kesehatan angkatan darat. Penasaran nampaknya, hingga minta diajak untuk mengucapkan terima kasih, dan ternyata setelah bertemu ayah saya, ia adalah temannya sekolah waktu di rumah sakit Cipto Jakarta (ayah mantri, dia bidan). 31

Pertemuan ini rupanya diproses oleh mereka berdua tanpa sepengetahuan saya, yakni karena ayah saya bujangan setelah cerai dengan ibu saya, ibunya Hermunanto janda, maka akhirnya diputuskan oleh ayah untuk menikahinya. Sang ibu membawa 4 anak peninggalan suami lama, ayah membawa dua anak yakni saya dan adik saya. Terus terang saya berontak, karena Hermunanto pada dasarnya musuh saya dalam pergaulan bukan teman sejati karena sifatnya yang kurang terpuji. Namun apa daya, nasib beribu tiri saya terima, dan jadilah keluarga Hermunanto pindah ke rumah dinas pabrik karung sehingga menjadi ramai. Ramai bukan hanya dalam arti jumlah namun lebih parah dalam arti sesungguhnya yakni perkelahian antara saya dengan Hermunanto dilain pihak. Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa saya adalah anak yang tak mau dijajah dan tidak merasa takut, maka meskipun dalam setiap perkelahian selalu kalah, tetap melawan sekalipun sakit, tidak menangis. Melihat kondisi ini orang tua kuwalahan karena masing-masing membela anaknya, hingga untuk menghindarinya kami dipisah (setelah di kelas 2), Hermunanto dipindah ke Madium ikut oom nya, sementara saya di pindah ke pelosok hutan jati di Kebon Hardjo – Tuban, ikut mbah Sunar (adik mbah dari ibu) yang pada saat itu menjadi administratur (ADM) disana. Saya senang saja tanpa perlawanan, karena kebetulan mbah saya tersebut tidak punya keturunan, sehingga saya amat disayang, tetapi nenek saya sengitnya bukan main (wah bingung nih). Sebagai administratur tentu saja hidup dengan kemewahan karena selain rumah dinas yang megah dan luas ditengah hutan, ia pun dihormati masyarakat karena memang orangnya santun dan berwibawa. Sekolah saya cukup jauh dari rumah yakni di SMPN, Jatirogo (sekitar 5 km) yang saya tempuh setiap hari dengan bersepeda. Mungkin karena sayangnya mbah saya terhadap cucu, saya kurang mendapatkan perhatian dalam hal belajar sehingga setiap malam tidak pernah belajar atau membaca buku, yang ada hanya main badminton, jangan heran bila disekolah prestasi saya jeblog, sehingga begitu kuwartal pertama rapot saya “terbakar” bahkan banyak angka 4 nya, memang menyebalkan, yang tentu saja 32

bila diteruskan takdirnya adalah tidak naik kelas. Dalam kondisi demikian, takdir berubah lagi karena setelah ayah saya datang dan melihat prestasi yang gawat, saya dipulangkan lagi ke Surabaya dan dimasukan kembali ke SMP VI yang saya tinggal satu kuwartal; hasilnya alhamdulillah saya bisa naik kelas 3. Namun apa daya, kembali perang “bratayudha” terjadi di rumah, yang selalu saya menjadi bulan-bulanan karena tidak pernah mau menyerah untuk dijajah. Dalam kondisi gawat demikian, tiba-tiba “ada tangan bermain”, yakni seorang buruh pabrik karung datang ke rumah, namanya mas Abas, ia menawarkan pada saya apakah mau belajar silat. Kontan tawaran tersebut saya respon dan langsung saya dan adik saya (Agus) diajak mendaftar di sebuah perguruan silat yang pada saat itu (tahun 60 an) sangat terkenal dan disegani, yakni “Perisai Diri” (disingkat PD), dibawah asuhan Bapak R.M.S. Dirdjoatmodjo (biasa disebut pak Dirdjo, lihat Gambar 2.9), yang tempat berlatihnya di Gedung Taman MayangkaraWonokromo, Surabaya (sekarang jadi museum Mpu Tantular).

Gambar 2.9. Pak Dirdjoatmodjo pendekar PD, guru penulis. Situasi ini langsung merubah kepercayaan diri saya, karena semakin berani dan tegas (bukan pengecut), yang hanya dalam waktu 6 bulan saja gerakan saya sudah lebih gesit. Celakanya, hasil latihan ini nampaknya diuji langsung oleh Hermunanto yang selalu menjajah saya di rumah, tiba-tiba ia menghadang saya di jalan (didepan markas KKO = Korps Komado Operasi - Gubeng) yang sekarang telah jadi dua jalan, sewaktu baru masuk sekolah SMA VII di Kompleks Wijaya Kesumah. Disitulah ilmu silat saya praktekan yang tentu dengan kemenangan saya, dan dia langsung lari, bahkan waktu pulangpun dia saya cari ternyata setelah itu ia “minggat” entah kemana.

33

2) Masa remaja Masuknya saya ke SMA VII adalah suatu hal yang tidak saya pahami sampai saat ini, karena pada waktu itu saya hanya mendaftar di SMA III Genteng Kali. Tetapi waktu melihat pengumuman disana, nama saya tidak ada alias tak diterima. Dalam rangka pulang dari Genteng Kali ke Ngagel Timur, saya dengan berspeda lewat jalan Wijaya Kesuma (sekedar lewat), tetapi “tiba-tiba” dari pintu gerbang SMA kompleks tersebut ada teman berteriak memanggil saya yang kebutalan lewat itu, katanya saya diterima di SMA VII, yang pengumumannya ada disitu. Benar saya turun untuk melihat dan ternyata ada, padahal saya tidak mendaftar dan tidak tahu ada SMA VII (angkatan saya baru tahun II); lho koq bisa ya? Yah suatu karunia Illahi tentunya sehingga akhirnya saya bersekolah disitu, sekalipun masuk siang sampai selesai. Di muka disebutkan bahwa kondisi rumah tangga ayah dengan ibu tiri ini tidak harmonis karena anak bawaannya selalu ribut dan berdampak pada daya bela masing-masing. Dalam kondisi itulah ayah saya mencari jawab untuk ketenangan batinnya sehingga berbagai cara ditempuhnya, antara lain kepada “paranormal” dan “perewangan”. Bahkan saya pernah diajak kesuatu tempat di daerah Lamongan, jauh masuk didesa berkendaraan speda motor pinjaman kantor mendatangi seorang perempuan yang dianggap sakti (dukun), padahal sekarang saya tahu orang tersebut “kesurupan”. Daripadanya ayah mendapat sebuah cincin yang tak boleh dibawa masuk WC katanya, hingga akhirnya cincin itu hilang, saya lagi yang jadi sasaran untuk mencarinya. Paling sering saya diajak ayah mendatangi komplek Sunan Ampel, untuk berdoa di makam sang Sunan; tentu saja minta macam-macam pada makam beliau karena dianggap keramat. Tulisan besar waktu masuk yang berbunyi “Ojo nyenyuwun menyang pesarean Sunan Ampel, ning nyenyuwun menyang Gusti Allah” sama sekali tidak diperhatikan oleh semua penziarah termasuk ayah (usia sekitar 45 tahun) dan 34

saya yang waktu pertama kesitu masih SMP (sekitar umur 15 tahun). Inilah semua sebenarnya awal pencarian KEBENARAN yang tidak benar, tetapi diakui sebagai kebenaran pada saat itu. Hingga akhirnya, datanglah cahaya keyakinan yang benar, manakala seorang tokoh, yakni ketua Buruh Muhammadiyah (pak Tadjarudin) di pabrik karung tersebut mengajak ayah saya untuk mengikuti pengajian rutin di jalan Irian Barat di masjid Dorowati (sekarang telah digusur), tentu saja saya dan adik saya dipaksa ikut sekalipun masih senang bermain. Alhamdulillah, inilah awal pertama kami (ayah, saya, dan adik) mengenal Islam pertama (sekalipun lahir sudah Islam), yang dibina oleh seorang guru yang tegas, kritis, dan dengan dalil yang benar; yakni Bapak K.H. Abd. Madjid Iljas. Dialah guru kedua bagi saya dalam hidup ini dalam keagamaan yang ajarannya masih tertanam sampai saat ini. Dia berani menentang arus pendapat umum (common sense) untuk memisahkan ajarah Islam dari tahayul, bid‟ah, musyrik, khurafat, dan bentuk kebohongan serta penyesatan berkedok agama lainnya. Tidak heran apabila “musuhnya” banyak karena banyak para kyai atau para santri yang kebakaran jenggot dengan dakwah beliau, baik di atas mimbar harian dan mingguan, pengajian umum, siaran radio dorowati, maupun melalui media cetak yang rutin dikeluarkan mingguan di masjid Bubutan (belakang makam Dr. Soetomo, dikenal GNI), dengan judul “Jamaah Pengajian Surabaya” disingkat JPS; beberapa edaran saya simpan, dan contohnya dapat dibaca di lampiran. Dari sekian ceramah beliau yang selalu disampaikan dengan suara “keras” menggelegar, adalah apa yang saya dengar manakala khutbah Jum‟at di masjid Bubutan tersebut. Demikan kata-katanya dalam bahasa jawa Surabaya: “Sing sopo ngomong pejah gesang nderek Bung Karno, terus kepetrapan mate, mlebu nroko wong iku”. Artinya: barang siapa bicara atau berpendapat hidup mati ikut Bung Karno, terus mati benar, maka pasti masuk neraka. Argumentasi beliau sangat rasional bagi saya, karena menggunakan nas Al-Qur‟an yakni: "Sesungguhnya

salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam; 35

tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" [6.162163]. Ayat ini digunakan oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai bacaan awal shalat setelah takbir. Sungguh untuk saya yang sedang mengijak masa remaja (kala itu sudah di SMA) pendapat ini adalah sebagai kebenaran luar biasa karena berani menentang arus dimana nama Bung Karno sedang ada di puncak kekuasaannya; karena pada saat itupun saya termasuk pemuda yang simpati perjuangan Sukarno, maka tentu saja hal ini menjadi arus balik politik remaja saya. Sekalipun dalam masa remaja ini saya terus aktif mengikuti latihan silat Perisai Diri yang langsung dibina Pak Dirdjo dari pendidikan dasar tangan kosong (serang-hindar) hingga penggunaan senjata (pisau, pedang satu dan dua, dan toya) hingga mencapai tingkat cukup tinggi setelah lulus SMA (tahun 1967), yakni “ban biru”, yang kemudian diteruskan di Malang setelah kuliah hingga “ban merah”, yakni tingkat pelatih. Tetapi aktifitas keagamaan saya terus berkembang karena rasa haus saya dengan nilai-nilai baru yang belum dikenal diwaktu masa kanak-kanak saya, yang kebetulan ayahpun belajarnya bersama-sama. Tidak heran bila dasar-dasar pengetahuan Islam saya pelajari dengan mengikuti ceramah dan pengajian pak Majid, yang meliputi pengetahuan ilmu hadist dan Qur‟an tentunya, serta pengetahuan politik yang berkembang saat itu. Selain Islam saya belajar agama lain “kristologi” dari Bapak Abdulah Wasian, seorang tokoh ahli injil, sehingga tidak heran setelah itu saya sering debat dengan orangorang nasrani tentang isi bibel yang dianggap membingungkan; yah tentunya termasuk paman dan bibi saya karena diantara mereka ada yang beragama kristen. Hal ini mungkin yang kemudian membina saya menjadi “tukang debat” dan senang diskusi diberbagai situasi, yah tentu saja seadanya karena keterbatasan pengetahuan. Di SMA prestasi akademik saya biasa saja, tidak menonjol dan hanya pada tingkat rata-rata, namun hal ini cukup bagi saya untuk masuk jurusan yang paling “bergengsi” kala itu, yakni: Pengetahuan Alam (PAL). Karena pada saat itu 36

dibagi empat jurusan, ialah: pengetahuan alam (PAL), pengetahuan ilmu pasti (PAS), Ilmu Budaya (Bud), dan Ilmu Sosial (Sos). Disini saya punya sahabat namanya Mochamad Thohir yang sekaligus jadi guru tentir saya, karena anaknya pandai (dirapotnya banyak angka 9, hanya olah raga yang 6), sementara saya sebaliknya banyak angka enamnya hanya olah raganya yang bagus (Gambar 2.10 saya waktu di SMA dengan kawan-kawan). Itu pula yang mengantar Thohir masuk mulus ke Fakultas Farmasi Unair Surabaya, sementara saya dengan nilai pas bandrol masuk ke Pertanian Unibraw Malang. Gambar 2.10. Penulis dengan para sahabat di SMA VII, Surabaya. Sayangnya setalah tua ketemu sahabat saya tersebut nasibnya “kurang beruntung”, ia memilih

ke luar

ditingkat 5, untuk cari pekerjaan, yang akhirnya pekerjaannyapun berantakan. Masih ada seorang teman SMA, yang biasanya menjadi lawan “politik saya”, dikelas dia dikenal sebagai ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), suatu organisasi siswa di bawah PNI saat itu, yang kebanyakan nantinya menjadi anggota GMNI di perguruan tinggi. Orang ini namanya Mochamad Romdhoni, dia dikelas prestasinya sama saja dengan saya, berarti di bawah Thohir, namun dia masuk Fakultas Kedokteran Unair, dan sekarang jadi Guru Besar dan ahli jantung di Unair seperti saya di Unibraw. Dasar nasib! Lulus SMA tahun 1968, sempat saya ditanya ayah, mau meneruskan studi kemana? Saya jawab ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Ampel” Surabaya, yah mungkin karena sedang “gandrung” dengan pengetahuan ke Islaman dari pada Majid tersebut. Ayah saya memberi saran sebaiknya ke perguruan tinggi umum, agar mempunyai pengetahuan umum yang luas sekaligus nantinya memperdalam masalah keagamaan. Saran tersebut saya terima, karena memang saya penurut pada orang tua; hingga saya mendaftar ke 37

Fakultas Kehutanan UGM dan Pertanian Unibraw pada tahun 1968 (pada saat itu belum dikenal UMPTN, yang ada SKALU jadi tes masuknya sendiri-sendiri). Alhamdulillah pertama saya diterima di UGM dan langsung bayar pendaftaran, kemudian diterima pula di Brawijaya; dan atas saran ayah dipilih Brawijaya (kembali saya nurut), dengan alasan dekat rumah, yakni Surabaya. Pada saat masuk di FP. Unibraw saya langsung mencari organisasi kemahasiswaan yang berbau Islam, dan saya pilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang pada saat itu merupakan organisasi paling disegani dan bergengsi karena langsung berhadapan dengan rejim komunis (khususnya CGMI = Central Gerakan Mahasiswa Indonesia). Dengan tumbangnya rejim komunis otomatis yang hidup dari Islam adalah HMI dan PMII, dari kristen adalah PMKRI dan GMKI, dan paling dominan di fakultas Pertanian adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di bawah PNI. HMI saya pilih selain karena popularitasnya, juga tentir-tentirnya pada saat itu, dan kebebasanya yang bukan merupakan underbouw partai tertentu. Ternyata pilihan ini tepat bagi saya, karena di dalamnya saya digodog menjadi kader umat atau bangsa melalui training-trainingnya yang sangat briliant saat itu, yakni: basic training, intermediate training 1 dan 2, serta advance training. Melalui training itulah mahasiswa dilatih berorganisasi dan menjadi pemimpin, sayangnya saya hanya sampai ketua komisariat fakultas pertanian saja; dasar tidak bakat! Dalam halnya dengan prestasi akademik dikampus, banyak matakuliah bisa lulus karena melalui tentir, dimana diktat atau latihan soal ujian selalu dilatih dan diutamakan, sehingga kekurangan atau kesulitan di kampus dapat ditutupi oleh kebiasaan belajar bersama tersebut. Bank-bank soal dari angkatan sebelumnya merupakan topik utama dalam tentir, sehingga saking hafalnya, maka sangat membantu dalam kelulusan mata kuliah tersebut, yang tentu saja hal ini sangat membantu kelancaran kenaikan tingkat sehingga tidak pernah tinggal kelas. Namun demikian pernah pada suatu waktu saya hampir tinggal kelas dalam matakuliah genetika karena tidak mendapatkan surat lolos butuh dari ujian praktikum yang 38

pada saat itu diasuh Mas Subur Djatiwaluyo. Tiga kali saya ikut ujian dan hasilnya selalu tidak lulus, sayapun heran karena saya tidak pernah diberitahu dimana letak kesalahan saya sehingga dapat memperbaiki kebodohannya. Maka bila hal ini diteruskan pasti saya tidak bisa ikut ujian dan tinggal kelas. Untung pertolongan Tuhan datang, disaat kritis itu, saya ketemu asisten genetika lainnya yakni Mas Soenarso; saya sampaikan permasalahan saya, dan alhamdulillah saya langsung diuji dan dinyatakan lulus, sehingga mendapatkan surat lolos butuh tersebut, dengan itu saya bisa ikut ujian matakuliah genetika dan lulus; semoga beliau (almarhum) mendapat pahala atas kebaikannya menolong sesama tersebut. Kuliah sampai tingkat sarjana muda saya tempuh tiga tahun tepat sehingga bisa meneruskan ke tingkat doktoral, di tingkat inilah waktu studi cukup lama saya jalani, yakni sekitar empat tahun, sehingga S1 saya tempuh selama 7 tahun. Sebenarnya lamanya studi bukan karena kebodohan saya, misalnya tinggal kelas, bukan itu, karena selama studi saya tidak pernah “ngendon”. Faktor utama saat itu adalah karena masalah kurikulum yang demikian luas, matakuliah yang harus ditempuh ditambah tugas akhir yang banyak dan berjenjang: antara lain minor 1 dan 2, major, skripsi, Bimas, study pustaka di perpustakaan pusat Bogor milik LIPI, dan sebagainya; yang masingmasingnya kalau dikonversikan pada lamanya waktu setingkat dengan membuat skripsi S1 sekarang. Itulah sebabnya banyak kawan yang sampai sarjana muda langsung cari kerja karena alasan ekonomi dan kepraktisan. Hal yang sama saya lakukan pula, hanya saya tidak tetap namun cari “gandolan” lewat proyek-proyek yang ditawarkan oleh Fakultas yang bisa saya gunakan untuk menyelesaikan tugas akhir tersebut. Dalam kondisi serba kekurangan tenaga dosen itulah fakultas melakukan penjaringan tenaga pengajar dengan menawarkan ke mahasiswa sebagai asisten dosen tetap (melalui biasiswa ikatan dinas atau fakultas), yakni bila telah lulus harus mau jadi dosen. Perlu saya kemukakan disini bahwa pada saat itu jarang yang mau jadi dosen karena bayarannya kecil, kata orang dozen itu singkatan 39

dari pekerjaannya satu dos, bayarannya satu sen! Hal ini nyata karena bila lulus S1 (Ir. Pertanian) pada saat itu (tahun 70‟an) bekerja di perkebunan swasta saja langsung dapat gaji Rp. 150.000, sementara jadi dosen hanya Rp. 15.000, atau di luar dosen gajinya 10 kali lipat. Akan tetapi pada saat itu saya mengambil aspek praktis dan peluang; sehingga saya ambil keputusan untuk menjadi asisten tetap (SK. Dekan tgl. 1 Nop. 1973) yang ditawarkan fakultas yang berarti siap jadi dosen pada matakuliah Fitopatologi. Bayaran pertama sebagai asisten tetap saya mendapatkan honor hanya Rp. 5.000,- namun cukup untuk bayar kost dan makan, sedangkan untuk biaya kuliah, alhamdulillah semua asisten tetap dibebaskan. Dasar nasib lagi mujur! Itulah yang menyebabkan saya bisa selesai studi di fakultas, tanpa itu semua saya sudah drop out, karena ayah saya pensiun tidak mampu lagi membayar biaya hidup sekaligus kuliah. Perlu saya tambahkan disini bahwa dikala saya naik ke tingkat 3 (sarjana muda), adik saya Agus Sudjud ikut menyusul saya masuk di fakultas yang sama dan sempat ikut dalam masa perploncoan (mapram). Tetapi setelah mapram tersebut tiba-tiba saya mendengar berita dari teman bahwa IPB sudah ada pengumuman dan daftar ulang, berita yang tak diduga ini saya cepat respon. Saya perintahkan adik saya pulang ke Surabaya (rumah) untuk melihat apakah ada panggilan kalau tak ada cek langsung ke Bogor. Saya katakan padanya pada saat itu, sebuah kalimat yang menjadi kenyataan: “kalau diterima di IPB (kehutanan) kamu harus kuliah disana jangan dekat saya, karena bila dengan saya kamu tak akan berkembang disebabkan berada di bawah bayang-bayang saya”. Setelah tua baru saya sadari bahwa kalimat itu mengnadung kebenaran

hikmah yang saya keluarkan pada saat remaja tanpa saya sadari. Dan benar menjadi kenyataan, prestasi adik saya dalam pekerjaan cukup berhasil, karena dengan adanya perombakan Departemen Kehutanan secara terpusat di Manggala Wana Bhakti, adik saya terbawa arus promosi ke tempat strategis di Bina Program Pusat, dan dari sana dia diperbantukan menjadi Direktur HPH di

40

sebuah perusahaan swasta hingga pensiun (tahun 2005), yang tentu saja secara ekonomi sangat menjanjikan. Kembali kestudi saya; pada tahun 1975 saya dinyatakan lulus sarjana pertanian dengan titel Insinyur Pertanian (Ir.) dalam jurusan Teknik Pertanian, yang saya tempuh 7 tahun (1968-1975). Maka sesuai dengan perjanjian semula saya harus menjadi dosen di Unibraw, sehingga persyaratan untuk menjadi CPNS saya siapkan. Namun betapa terkejutnya saya dikala menghadap PD I FP Unibraw yang waktu itu dijabat Bapak Ir. Sumaryo (dulu dipanggil mas Maryo), beliau menjelaskan bahwa tidak ada posisi jabatan gol. III A yang biasanya diduduki pegawai berpendidikan S1. Dengan berbagai argumentasi pada saat itu, tetap pada kesimpulan dengan pernyataannya, yakni bila mau tetap di fakultas, maka akan diusulkan pada gol. II B, bila tidak mau dipersilahkan mencari pekerjaan di tempat lain. Kenyataan itu sampai saat ini tetap menjadi pertanyaan bagi saya, karena yang lulus di bawah saya langsung diproses ke gol. III A. Sebenarnya pada saat itu bisa saja saya benar-benar angkat kaki dari fakultas, namun sudah menjadi “dasar tabiat saya” sejak kecil seperti diuraikan di depan, bahwa setiap ada rasa ketidak-adilan menimpa saya pasti melawan dan bukan melarikan diri. Sehingga opsi ke 2 yakni untuk posisi gol. II B saya terima (setelah tua baru tahu bahwa itu adalah untuk posisi tatausaha bukan dosen), tekad saya adalah akan bersaing didalam dengan menunjukan prestasi kerja dan akademik. Hal ini saya buktikan benar, karena setelah itu dalam tahun yang sama

saya

diikutkan

training

atau

Short

Course

on

Agronomy

yang

diselenggarakan oleh AAUCS Australia di Denpasar, Bali selama 1 bulan (Oktober 1975) bersama mas Bambang (Ir. Bambang Guritno). Pada tanggal 9 Februari tahun 1976 SK sebagai CPNS dalam gol. II B saya terima dari Menteri P & K dengan gaji bulanan (80%) sebesar Rp. 1488,- (seribu empat ratus delapan puluh

rupiah).

Alhamdulillah

Januari

1977,

saya

dikirim

ke

Landbouw

Hogeschool, Wageningen-Belanda selama satu tahun untuk mengikuti training riset melalui program kerjasama NUFFIC; kembali saya berangkat dengan mas 41

Bambang Guritno (dalam karier saya di Universitas Brawijaya ternyata banyak

ditolong beliau, semoga Allah menerima amal shalehnya). Selama di Wageningen saya aktif di laboratorium penyakit tumbuhan (Laboratory of Phytopathology Wageningen University - Wageningen, The Netherlands) di bawah Prof. Dr. Dekker, tetapi saya di bimbing oleh bawahan beliau yakni Drs. G.J. Bollen. Pak Bollen ini orangnya ternyata produktif dan menguasai benar teknik-teknik penelitian laboratorium dan rumah kaca, publikasi dalam jurnalnya amat banyak, dan anehnya beliau banyak membimbing kandidat Doctor, meskipun beliau sendiri tidak mau jadi Doctor. Saya sungguh beruntung karena dengan bimbingan beliau semua keperluan saya dalam riset di Wageningen di fasilitasi. Rasanya saya menjadi “pemula” kembali dalam hal penelitian, dan hal ini benarbenar saya manfaatkan sehingga penanganan penelitian yang berskala laboratorium pada saat itu saya banyak belajar; mulai dari perencanaan proposal, penguasaan teknik peralatan, pengenalan bahan-bahan penelitian, penelusuran pustaka, dan sebagainya. Hasil riset tersebut ternyata setelah pulang ke Indonesia dapat digunakan untuk mengikuti program doktor (S3) di UGM lewat jalur riset (by research). Pada sekitar bulan Oktober 1977, Prof. Soetono, dekan saya di Fakultas Pertanian Unibraw berkunjung ke Wageningen dalam rangka kerjasama Nuffic tersebut sekaligus menengok saya dan mas Bambang sebagai stafnya. Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi dengan beliau bahwa saya minta izin untuk pulang lebih awal ke Indonesia karena bulan Nopember saya mau naik haji dari Amsterdam. Permintaan tersebut langsung ditolak beliau dengan alasan masa studi belum selesai; kembali disini saya menunjukan “pemberontakan” saya dengan mengatakan bahwa niat tersebut sudah saya rencanakan dari Indonesia. Melihat kengototan saya, beliau minta saya berfikir 24 jam dan kembali besok. Sesuai dengan perjanjian, esoknya saya berdiskusi kembali sekitar jam 10 pagi di lobby “hotel” IAC tentang niat saya tersebut. Saya katakan padanya bahwa tekad itu tak dapat dibatalkan dan sudah saya pikir 1 tahun 42

(bukan

semalam).

Beliau

kaget,

sehingga

“menggertak”

saya

dengan

ancamannya, yakni saya akan dipetikotakan (black list) bila nekad. Dengan entengnya saya jawab, maaf pak saya lebih takut di black list Allah bila saya tidak berangkat untuk menunaikan perintahNya pada saat ada kesempatan. Saya baru ingat, bahwa pada saat itu usia saya masih muda yakni sekitar 29 tahun. Atas jawaban tersebut beliau terkejut, sehingga beliau melunak dengan mengajukan opsi membujuk: kenapa tidak nanti saja setelah anda jadi doktor,

bukankan nanti bayarannya cukup dan kesempatannya masih panjang? Saya menjawab: “maaf pak sayapun tidak tahu apakah saya masih diberi umur untuk

mencapai itu”. Ternyata benar, 3 tahun kemudian justru beliaulah yang wafat dalam usia ± 50 tahun. Dengan kokohnya argumentasi saya, kemudian beliau mengajukan opsi lain, demikian: “kenapa tidak anda lakukan umrah saja

sepulangnya dari studi di Belanda”. Dengan entengnya sayapun menjawab: “Maaf pak masalah Umrah dan Haji saya lebih paham karena saya sudah belajar sejak remaja”. Beliau tercengang, dan akhirnya lelehlah gunung es argumnetasi beliau: “Oke, silahkan dengan tekad anda, namun darimana anda mendapat tiket ? Tiket sudah ditangan pak karena menggunakan tiket pulang-pergi (return ticket), bahkan sudah saya booking tanggal berangkat ke Saudia ke Garuda serta saya sudah mendapatkan visa dari kedutaan Saudia Arabia, semua sudah ditangan, demikian jawaban saya. Wah! Ini namanya memojokan saya, katanya. Saya jawab kembali, ya maaf bapak saya tidak bermaksud memojok siapapun, apalagi saya mau ibadah haji, namun itu semua merupakan suatu perencaan yang sudah matang yang mungkin baru sampai informasinya kepada bapak. Sungguh diluar dugaan saya, nampaknya hasil diskusi tersebut telah membalik pandangan beliau terhadap saya, yang mungkin selama ini negatif menjadi positif. Karena tiba-tiba beliau berkata: “Baiklah, lalu bagaimana saudara mengurus visa dan cara melakukan peribadatan tersebut”. Saya balik tanya karena penasaran: kenapa pak? Jawabnya mengejutkan saya: “Sayapun ingin berangkat haji, tolong antar saya untuk mengurus prosedurnya”. Betapa 43

senangnya saya karena telah menyadarkan seorang tokoh yang sangat dikenal dengan rasionalnya (sekuler) dan argumentasinya tidak ada yang dapat mematahkannya. Allahu Akbar! Besoknya kami (saya, pak Soetono, mas Bambang Guritno) berangkat ke atase Kedutaan Besar RI di Den Haag untuk mengurus izin beliau berangkat haji. Kebetulah yang jadi atasenya adalah Bapak Prof. Dr. Kusnadi Hardjo Soemantri, SH. Yang tak lain adalah teman beliau di UGM dulu. Pak Kusnadi malah menganjurkan agar semua teman-teman yang sedang belajar silahkan untuk berangkat haji, akan dibantu prosesnya. Yah semoga ucapan beliau tersebut (1977) menjadi pintu ampunan Allah kepadanya dan diterima amalnya; sebagaimana kita tahu beliau meninggal dalam kecelakaan pesawat Garuda yang jatuh terbakar di lapangan terbang Adi Sutjipto Yogyakarta beberapa tahun yang lalu. Dari situ saya antar pak Soetono ke kedutaan Saudia Arabia yang visanya keluar langsung waktu itu pula, kemudian karena beliau ingin keliling negara Eropa dahulu maka diuruslah visa ke beberapa negara seperti Perancis, Swedia, dll yang saya lupa lagi. Sepulang dari kedutaan-kedutaan itulah beliau berkata: “saya akan keliling Eropa dahulu selama satu minggu dan silahkan pak Rochdjatun berangkat dahulu, nanti tolong saya dijemput di Jedah”. Saya spontan menjawab, bagaimana pak kalau saya yang mundur nunggu bapak sehingga kita bisa berangkat bersama? Saya langsung dibentaknya: “Bagaimana saudara ini kemarin sudah nekad mau berangkat, sekarang mau mundur, nanti malah tidak jadi! Wow! disinilah saya mendapatkan pelajaran yang hebat tentang arti “sebuah kebijasanaan (wisdom), yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya kecuali ayah saya tentunya”. Rupanya perdebatan beberapa hari yang lalu dan ancaman-acaman mautnya tersebut sekedar menguji keteguhan atau keseriusan hati saya dalam suatu cita-cita, bukan untuk menghukum orang. Disinilah saya mendapatkan seorang guru yang ketiga (setelah pak Dirdjo untuk silat dan pak Majid untuk agama) dengan kuwalitas intelektual bertaraf internasional. Hal ini pula dibuktikan oleh beliau setelah ibadah haji selesai ketika 44

bertemu dengan saya di kantor Garuda dengan penerbangan pertama; saya meminta maaf bahwa saya tidak bisa jemput beliau di Jedah dari Belanda karena setelah masuk Mekah saya tidak bisa keluar lagi, dan beliau berkata: tidak menjadi masalah pak Rochdjatun yang penting kita telah selamat dan mari kita pulang ke tanah air. Dalam satu pesawat kami pulang dan saya duduk berdekatan dengan beliau. Kurang afdol kiranya apabila selama ibadah haji yang pertama kali saya lakukan (1977) tersebut tidak saya uraikan karena didalamnya saya banyak mendapat kemudahan. Untuk mendapat visa Saudia dengan haji individual pada saat itu, seseorang harus menyerahkan uang jaminan hidup yang akan diserahkan oleh kedutaan Saudia ke Syech (penyedia akomodasi) di negaranya, yang jumlahnya sekitar 1000 rial (sekitar Rp. 2.500.000). Tentu saja semua ini telah saya siapkan dari tabungan uang saku saya selama di Belanda yang per bulannya sekitar 500 gulden. Saya berangkat dari Amsterdam hari kamis, sekitar 2 minggu sebelum hari Arafah (wukuf), yang setelah itu Lanud-nya ditutup. Pada saat itu Lanud di Jedah sangat sederhana karena pintu pemeriksaannya (embarkasi) masih seperti pintu di Lanud Abdurahman Saleh-Malang (dari ramraman kawat). Di pintu keluar lanud saya antri dengan rombongan haji dari Amsterdam. Tiba-tiba nama saya dipanggil dengan beberapa orang lolos dari pemeriksaan, yang ternyata saya dikumpulkan dengan orang-orang Indonesia yang berpaspor sama dengan saya yakni paspor biru (paspor dinas). Dari Lanud. saya dengan rombongan dibawa kekedutaan RI di untuk Saudia di Jedah dan dinginapkan di wisma tamunya semalam. Disitu saya baru tahu rupanya saya ditempelkan dengan rombongan bapak duta Besar RI dari Jerman Barat (kalau tidak salah namannya Bapak Parman), yang jumlahnya sekitar 25 orang. Mungkin dikira saya rombongan duta besar oleh embarkasi lanud Jedah karena paspornya sama-sama biru, padahal saya berangkat sendirian. Kejadian ini saya baru terasa adanya sentuhan “tangan” Illahi yang langsung mengatur posisi saya di Saudia karena dengan kondisi ini oleh kedutaan di Jedah kami dicarikan Syech 45

untuk pemondokan selama di Mekah. Besok paginya kami dikumpulkan di ruangan untuk menentukan perjalanan kembali yakni ke Medinah dahulu, tetapi ada beberapa orang yang ingin langsung ke Mekah. Melihat ini saya langsung berbisik kepada yang ingin ke Mekah, demikian kata-kata saya: “Bapak kalau saran saya sebaiknya kita langsung ke Mekah saja karena waktu wukuf tinggal 1 minggu, kita bisa langsung umrah dan bersiap haji; saya khawatir bila ke Medinah dahulu nanti ada hambatan di jalan maka jadi batal hajinya, sementara ke sana bisa dilakukan setelah haji”. Terus terang saja sebenarnya ada alasan lain dari argumentasi saya adalah mencari teman ke Mekah saja karena saya tidak punya niat ke Medinah dengan alasan tidak ada biaya lagi untuk kesana. Alhamdulillah, saran saya didengar beliau yang ternyata juga “orang penting” yakni Bapak Adang Suhendar dengan jabatannya sebagai atase perbendaharaan ekonomi RI untuk Eropa. Beliau bertanya: “Apakah adik bisa membimbing manasik hajinya? Yang saya jawab dengan mantap: “Insya Allah”. Maka jadilah kami memisahkan diri dengan rombongan pak Parman dan janji ketemu di Mekah saja. Sejak itulah saya menjadi pimpinan cakupan rombongan haji pak Adang yang ternyata anggotanya semuanya perempuan yang bejumlah sekitar 10 orang, dan hanya saya dan pak Adang saja lelaki. Disini kembali “tangan Tuhan” bermain, saya oleh rombongan tersebut tidak boleh pisah kamar dan selalu bersama, sehingga selama di Mekah makan saya ditanggung pak Adang Cs. dan saya menjadi kesayangan ibu-ibu karena pada saat itu kesabaran saya betul-betul teruji menghadapi kesulitan disana. Bagaimana tidak! Begitu berangkat ke Arafah untuk wukuf dan kembali untuk mabit di Mina dan ke Mekah kembali, saya tidak banyak bicara dan hanya membantu memikul barangbarang jamaah. Pernah saya dengan pak Adang jalan kaki dari Mina ke Mekah (± 5 km, memikul barang), walaupun saya sering jatuh karena konidisi sakit namun tidak saya rasakan, disebabkan semangat sebagai adanya karunia Illahi memperkenankan saya untuk berhaji. Pada gambar nampak saya dan pak Adang waktu wukuf di Arafah dalam pakaian ihram (Gambar 2.11). Dalam haji pertama 46

inilah yang menjadi momentum bagi saya untuk menyongsong hari depan yang berbeda dengan masa lalu. Sehingga pada waktu perpisahan dengan rombongan untuk kembali ke tanah air kami hanya bisa menyapa salam haru karena tahu bahwa setelah itu tak akan jumpa kembali karena beliau kembali ke Eropa melanjutkan tugas sementara saya ditunggu tugas di Unibraw. Gambar 2.11. Penulis waktu haji I tahun 1977. Benarlah, nasib saya setelah haji tersebut mulai terasa berubah ke arah lebih meningkat dalam status sosialnya. Karena sepulang dari Belanda SK Gol II B saya diterima penuh (100%) sehingga gaji naik menjadi Rp. 29.300,-. Setelah itu saya proses penyesuaian ke III A dan SKnya keluar per tanggal 1 April 1979, sehingga gaji yang diterima naik lagi menjadi Rp. 45.000,-. Dari situ kenaikan pangkat dan golongan saya mulai lancar dan tepat waktu setiap 2 tahun sekali, sehingga saya dapat mencapai Guru Besar (Profesor) dari Presiden Suharto pada tahun 1997. Disamping

status

kepegawaian

yang

menjadi

lancar,

sayapun

mendapatkan pasangan hidup setelah haji tersebut dengan istri saya sekarang Ir. Siti Hamidah. Pernikahan saya terjadi pada bulan April 1978, yang prosesnya sebenarnya sudah saya lakukan lamaran padanya melalui surat menyurat dari negeri Belanda. Hal ini saya lakukan karena tadinya hanya coba coba aja (trial and error) saya minta lewat surat tersebut dengan alasan kalau ditolak saya tidak malu karena tak terlihat muka; namun alhamdulillah nampaknya itulah suratan jodoh dari Allah hingga sampai saat ini kami dianugerahi anak sebanyak lima orang yang sebagian sudah berkeluarga yang lainnya masih kuliah, yakni: Saintpaulia Yonantha, S.E., M.M; Mychelia Champaca, S.E.Ak., M.M; dr. Camellia Nucivera; Renanthera Candra Nuralam; dan Arumdina Sandriana. Sebagai 47

gambaran keluarga yang telah saya bina dan asuh di bawah saya sajikan foto keluarganya pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12. Keluarga saya (dari kiri ke kanan): menantu dari anak kedua (M. Nur Hidayat, ST, MM), anak kedua (Mychelia Champaca, SE.Ak., MM), anak pertama (Saintpaulia Yonantha, SE, MM), anak ketiga (dr. Camellia Nucifera), istri (Ir. Siti Hamidah), saya (Prof. Ika Rochdjatun S.), anak kelima (Arumdina Sandriana, S.Kg), anak keempat (Renanthera Candra Nuralam, S.Ap.), yang memfoto tak nampak (Krisna Slamet Andriawan, S.si, MM).

Setelah pernikahan yakni pada tahun 1980 saya akhirnya diberi kesempatan oleh Prof. Soetono (Dekan) untuk melanjutkan studi langsung ke S3 tanpa lewat S2 di UGM. Karena sepulangnya dari Belanda, saya dipanggil beliau untuk menagih janji bahwa saya dapat menunjukan prestasi dari satu bulan waktu studi di Belanda yang hilang karena berangkat haji, yakni dengan membuat paper penelitian untuk dipresentasikan dalam Kongres Nasional Fitopatologi (Penyakit Tanaman) yang akan diselenggarakan tahun 1979 di Malang dimana beliau menjadi ketua panitianya. Sayapun menyanggupinya dengan dua paper secara mandiri dan saya presentasikan dalam seminar nasional tersebut. Pada saat saya mempresentasikan tersebut terdapat tiga orang senior (Dr. Oka, Dr. Mien A. Rifai, Dr. Tantre) yang mengkritisi dan mencecar makalah saya, yang saya jawab dengan lancar karena itu semua adalah hasil penelitian saya di Belanda. Diluar dugaan Dr. Oka ketua lembaga penelitian Hama & Penyakit Deptan di Bogor tersebut memuji saya dalam forum seminar, dan hal inilah yang menjadi kartu pertama bagi diri saya dikukuhkan sebagai Peneliti Muda Terbaik Tingkat Nasional pada waktu penutupan kongres. Atas dasar itu pula besoknya saya dipanggil pak Soetono dan 48

ditemukan dengan Prof. Haryono Semangun bahwa saya bisa diterima sebagai kandidat Doktor di UGM sehingga saya segera menyiapkan diri untuk proses berikutnya dengan Promotornya Prof. Haryono dan Ko-promotornya Prof. Soetono. Kembali disini saya dipaparkan oleh strategi pak Soetono dalam mengarahkan anak buahnya untuk berkarier dalam dunia akademik, sulit diduga dan tak mau ditentang, tapi pasti terbukti lebih baik bagi yang bersangkutan. Pola inilah yang kemudian saya adopsi dalam membimbing mahasiswa dan masyarakat yang ternyata hasilnya juga cukup efektif dan efisien. Begitu masuk program doktor saya langsung riset dengan topik penelitian adalah penyakit tepung (powdery mildew) pada apel di Batu. Saya pilih Batu karena dengan begitu saya tidak perlu meninggalkan keluarga di Malang ke Yogyakarta, selain itu penyakit tersebut baru saja outbreak (meledak) yang merusak pertanaman apel yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Kembali tangan Tuhan bekerja, karena untuk penelitian saya memerlukan kebun apel yang tidak perlu disemprot pestisida demi untuk melihat perkembangan penyakit. Tentu untuk itu saya harus sewa lahan petani yang berarti saya harus mengganti kehilangan produksinya. Namun ternyata Bapak R. Widodo yang pada waktu itu sebagai Ketua Lembaga Penelitian Hortikultura (LPH) di Jl. Wilis Malang membantu saya untuk menggunakan kebun apel di desa Tlekung Batu dipakai untuk riset. Untuk itu semua semoga amal kebajikan beliau dalam membantu sesama dan membimbing mantan mahasiswanya mendapatkan imbalan yang

jauh lebih baik dari Tuhan. Penelitian saya berjalan selama dua tahun untuk skala laboratorium, rumah kaca dan lapangan tersebut, sehingga tahun ke III saya gunakan untuk konsultasi penulisan desertasinya. Konsultasi penulisan pertama dilakukan di Malang dengan Prof. Soetono yang kala itu masih menjabat Dekan FP Unibraw. Dalam kesibukan beliau hampir setiap saat saya bisa konsultasi selama beliau ada di Malang, setiap selesai saya disuruh datang lagi esok harinya dengan ketikan baru dari apa yang sudah diperbaiki; sayapun lakukan sekalipun harus melekan malam (maklum waktu itu belum ada 49

komputer). Hingga datanglah suatu peristiwa yang diluar dugaan saya, yakni dikala setelah konsultasi beliau menyatakan: “Oke dengan saya sudah selesai, mana lembaran persetujuannya”. Tentu saja saya jawab bahwa hal itu belum diketik dan diperbaiki tulisannya secara lengkap. Beliau berkata lagi: Ambil kertas kosong saya tanda tangani sekarang. Perintah itu saya laksanakan dengan mengetik lembar persetujuan yang berisi nama Prof. Haryono dan Prof. Soetono dikantor beliau langsung, sehingga merupakan lembar kosongan karena desertasinya belum ditulis lagi. Setelah saya sodori lima lembar, beliau bertanya “tidak kurang nih”, kemudian saya tambahi yang kurang lebih berjumlah 20 lembar yang semuanya ditandatangani detik itu pula. Selesai itu didepan saya beliau langsung menelpon ke Yogya kepada Prof. Haryono Semangun, katakatanya masih terngiang ditelinga saya dalam bahasa Jawa: “Mas Har (demikian beliau memanggil pak Haryono), pak Rochdjatun wis mari karo aku, tak kirim nang Yogya yo?

Itulah usaha beliau terakhir dalam membantu saya untuk

menjadi doktor, karena besok harinya beliau pergi ke Jakarta selama seminggu, dan waktu kembali ke rumah barunya di jalan Mawar Malang, beliau terkena serangan jantung saat baru tiba dan langsung meninggal dunia. Disitu pula “tangan” Tuhan bermain untuk saya, karena dengan berbekal tanda tangan beliau pada desertasi saya, proses selanjutnya dengan pak Haryono tidak begitu sulit dan pada bulan April 1984 saya telah dinyatakan lulus S3 dengan titel Doktor (Dr.) dalam bidang pertanian. Sepulangnya dari studi saya terus mengembangkan diri dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan dan akademik, sehingga saya masih berkesempatan untuk memperdalam keilmuan dalam bidang mikoriza di UPLB Los Banos-Filipina dan mengikuti training tentang ilmu lingkungan di ICETT, Yokkaichi-Jepang (lihat Gambar 2.13). Dari hasil training itulah saya terus mengembangkan diri dengan terlibat dalam penelitian yang panjang sampai saat ini (2010), yakni mendapatkan hibah dana penelitian baik dari DP2M Dikti maupun kerjasama dengan Deptan. Hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah 50

dan penulisan buku-buku ilmiah menjadi aktivitas saya keseharian disamping mengajar tentunya baik dalam Unibraw sendiri maupun di universitas swasta pada saat itu.

Gambar 2.13. Training lingkungan hidup di ICETT, Yokkaichi-Jepang tahun 1993. Kerja keras dalam bidang akademik itulah yang memuluskan saya untuk mencapai gelar Guru Besar (Profesor) karena saya tidak mengalami kesulitan untuk mengumpulkan persyaratan akademiknya (KUM) sebesar 1000 kredit, dan alhamdulillah saya diangkat jadi profesor pada tahun 1997 sepulang dari tanah suci untuk yang ketiga kalinya. Memang ada juga gebrakan masyarakat yang saya kerjakan bersama teman-teman dari kampus lain, salah satu yang cukup fenomenal dan berskala luas adalah mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Terus terang asal muasal ICMI digarap di rumah saya dengan beberapa mahasiswa yang ternyata terus bergulir; disini saya tidak ingin menuliskan kembali riwayatnya karena didalamnya telah banyak ditunggangi nuansa politik sejak kelahirannya, yang bagi saya pribadi kurang sesuai karena saya seorang ilmuwan dan religius yang cenderung polos sehingga mudah dipermainkan “orang lain”.

51

BAB III PENCARIAN KETUHANAN Pengelanaan pencarian Tuhan adalah perjalanan sejarah yang amat panjang yang tidak ada ujung dan pangkalnya serta awal dan akhirnya karena yang dicari telah “mewujudkan dirinya” pada penciptaan-Nya, tergantung tingkat kelayakan seseorang untuk mngenalNya pada perwujudan tersebut. Semakin diraba semakin terasa, semakin dilihat akan terwujud, semakin didengar akan tersibak makna dibalik fakta.

============================================= Dengan ungkapan riwayat hidup saya tersebut dalam bab sebelumnya, maka nampaklah bahwa manusia itu hanyalah sebuah boneka tidak berdaya dari rekayasa atau skenario global (luas) dan amat rumit dari Sang Penciptanya, yang kita kenal sebagai Tuhan (Islam menyebut banyak nama sebagaimana disebutkan dalam asmaul

husna). Perjalanan hidup itu sendiri adalah bagian dari skenario tersebut, sebab mana mungkin seorang anak kecil yang hidup miskin di desa dengan kondisi keluarga “berantakan” dapat mencapai status sosial akademik demikian tinggi (Profesor) apabila tidak ada yang menjalankan ke arah itu bahkan diluar kemampuan si anak dan kedua orang tuanya sendiri. Disinilah banyak manusia “misunderstand” atau salah tafsir, karena dikiranya semua apa yang dihasilkan atau terjadi saat ini adalah merupakan kekuatan usahanya sendiri sehingga ia tidak mau menerima adanya “kekuatan dahsyat” di luar dirinya. Memang manusia diberi naluri ikhtiar atau berusaha namun kita sering melihat bahwa banyak manusia yang telah berikhtiar dengan segala potensi dan tenaganya namun toh, hasilnya nihil; sementara keadaan sebaliknya banyak terjadi dimana kesuksesan hidup didapat dengan mudah tanpa menghabiskan potensi yang ada. Kebanyakan manusia ingin hidup sehat, namun betapa banyaknya yang diberi bertubu-tubi penyakit. Banyak yang ingin naik jadi penguasa namun betapa banyak penguasa jatuh dari kekuasaannya, mengapa hal ini tidak menjadi bahan renungan? Banyak orang putus asa menghadapi beratnya kehidupan dan ingin segera mati sekalipun dengan bunuh diri, tetapi malah diberi umur panjang; demikian pula banyak orang sukses dalam materi sehingga ingin umur panjang justru berumur pendek. Masih 52

banyak fenomena kehidupan yang apabila diuraikan satu persatu maka akan menjadi tumpukan tulisan yang berjilid-jilid sehinga sipenulis capai membuatnya sementara si pembaca menjadi bosan menyimaknya. Kalau hal ini terjadi maka menjadi tidak bergunalah segala bentuk tulisan tersebut karena jangankan mempengaruhi pola tindak orang, sementara pola pikir saja tidak “nutut” (gak nyandak, bahasa Jawa). Dari pengalaman hidup saya dalam bab II tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang dapat disimak sebagai suatu karunia yang diberikan Illahi tanpa saya sadari karena memang saya hanya merupakan elemen dari proses waktu itu sendiri yang pasti tidak akan sadar. Tentu saja kalau saya uraikan satu persatu maka karunia tersebut sulit disebutkan, tetapi beberapa hal yang amat menonjol dikemukakan sebagai berikut: 1. Tentang penderitaan hidup Manusia kebanyakan lebih memilih opsi “mengeluh” pada saat menghadapi kesulitan atau penderitaan hidup, baik itu kesulitan ekonomi, kesehatan, sandang pangan, dan lain sebagainya. Sehingga jangan aneh bila dikantor atau dijalan bertemu dengan teman yang akrab yang muncul pertama adalah keluhan hidupnya, hingga kitapun sulit untuk tidak mendengarkannya walaupun kitapun tak tahu bagaimana jalan keluarnya. Pada awalnya sayapun sama seperti kebanyakan manusia atau orang awam umumnya. Bagaimana tidak, dikala kita membantu kesulitan orang dengan memberikan fasilitas baik materi, kedudukan, status sosial, dan lain-lain; lalu justru orang tersebut menjadi penghianat dan musuh yang nyata setelah lepas dari kesulitannya. Saya yakin pembaca yang budiman dalam hidupnya pernah mengalami hal yang pahit tersebut. Banyak kejadian dalam kehidupan ini yang benar-benar bukan karena yang bersangkutan yang membuatnya, seperti contohnya kejadian saya waktu kecil dan remaja tersebut di atas. Faktor “broken home” kedua orang tua tentu dampaknya ke si anak yang menyebabkan anak tidak terawat secara fisik, kejiwaan, materi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Dalam kondisi demikian ada yang tenggelam, tetapi banyak juga yang justru terangkat ke atas 53

seperti yang terjadi pada diri saya tersebut. Bagi yang mengalami penderitaan jenis ini seringkali kondisinya tidak terasa bahwa dia menderita karena faktor adaptasi dari kejadian yang bertubi-tubi. Hanya orang luarlah yang sering melihatnya kasihan, namun merekapun tidak pernah mau bergeser untuk mengulurkan tangan dari sekedar ucapan (lips service) menjadi tindakan (action

service). Oleh karena pada dasarnya penderitaan tersebut dibagi menjadi dua jenis atau bentuk, yakni: Penderitaan yang bukan disebabkan oleh si penderita dan penderitaan yang terjadi akibat pilihan si penderita itu sendiri. Penderitaan yang menimpa penulis berkali-kali sejak kecil tersebut nampak sebagai penderitaan jenis pertama, yakni bukan atas pilihan saya sendiri; melainkan bentuk “pemberian” (given) yang harus saya jalani suka atau tidak suka. Menghadapi jenis pertama ini agaknya siapapun tidak dapat melarikan diri sehingga dia harus mau menghadapinya dengan senang hati (ikhlas) yang dengan cara itulah ia akan menjadi matang dan dewasa oleh tempaan kesulitan hidup yang akan dihadapi pula dikemudian hari. Kesadaran demikian akan menyebabkan tereliminasinya beban penderitaan tersebut, sehingga dengan tidak terasa waktunya telah berlalu. Waktu mencari kijing, dihisap lintah, makan belalang, disiksa teman, buta ayam, dipatil lele, dan bentuk tempaan lainnya telah lewat dan saya menjadi matang oleh kesulitan tersebut. Dari kasus serupa inilah saya menyadari (setelah tua), bahwa kita pada dasarnya tidak dapat melarikan diri dari hukum-hukum (sunatullah) Illahi yang memiliki konsep global tentang peruntukan suatu makhluk diciptakan. Burung walet dicipta memang sebagai predator serangga tertentu yang tanpa adanya itu ia akan mengalami ledakan yang dahsyat sehingga dapat merugikan kehidupan manusia. Manusia punya berbagai peranan atau fungsi, yang salah satunya adalah fungsi sosial; untuk itu dia perlu dipersiapkan sejak awal agar fungsi tersebut menjadi optimal. Saya nampaknya sudah terprogram menjadi manusia yang dimanfaatkan dalam fungsi sosial sebagai pendidik dalam bidang pertanian khususnya, maka sejak awal tanpa lewat jalur sekolah saya sudah dibina oleh Tuhan melalui perjalanan 54

waktu hidup sedikit demi sedikit sesuai dengan daya tahan fisik dan mental saya. Begitu melekatnya saya dengan dunia pertanian dan pengenalan alam tersebut maka telah menjadikan saya demikian mencintainya dalam arti sesungguhnya, yakni: menanam, memelihara, mengkoleksi, menimba ilmu, menyampaikan pengetahuan, bahkan semua anak dan cucu, saya beri nama jenis tanaman dalam istilah latin (nama ilmiah). Hal ini kemudian menjadi model cara saya berfikir dan bertindak dalam menjalani sisa hidup atau usia yang tersisa ini manakala problema hidup yang umumnya menyebabkan penderitaan, seperti: penyakit, dikhianati teman, dihina orang, kesulitan rezeki, dan sebagainya. Semua saya terima seperti masa kecil saya yang tidak pernah mengeluh dan merasa takut, biarkan kehidupan itu tetap berjalan, toh masing-masing jenis problema itu punya waktu datang, ngendon (menetap), dan perginya. Pada saat datang saya sudah siapkan untuk kondisi ngendon, pada saat ngendon (misal penyakit tidak hilang-hilang) maka saya sudah beranjak pada fase kepergiannya (dianggap sembuh), dan pada saat telah pergi saya sudah siapkan diri untuk menerima jenis problema yang baru. Itulah siklus hidup yang menjadi bagian dari sunatullah atau hukum alam tadi, yang harus diterima dengan senang hati sebagaimana senangnya hati ini pada saat menerima rezeki, kesehatan, posisi sosial, dan sebagainya. Saat ini pola saya dalam menerima semua problema hidup tersebut yang memang bukan pilihan saya, adalah diterima dengan rasa syukur yang dalam (dan setiap saat saya meminta petunjuknya untuk pandai bersyukur) dengan permohonan agar diberi ketabahan (sabar) dan kekuatan dalam memikul penderitaan tersebut. Format berfikir demikian ternyata telah menjadi bagian dari obat kerohanian yang amat mujarab sehingga sekalipun menderita, ia menjadi tidak terasa sebagaimana tidak terasanya saya dalam penderitaan masa kecil tersebut. Format ini ternyata diperkokoh oleh hukum Allah yang pasti berlaku pada orang yang ingin menjadi kekasihnya, yakni mesti melewati pintu ujian tersebut, sebagaimana difirmankan-Nya: 55

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” [2: 155-157] Demikian tegasnya ayat tersebut di atas, sehingga sungguh menjadi anehlah bagi mereka yang mungkin diberi ujian berupa penyakit, tiba-tiba dia “berontak” dengan berbagai keluhan dan omelan. Bukankah penyakit itu sendiri datangnya tidak dikehendaki dan bukankah pada waktunya akan pergi juga? Obat mujarab dalam menghadapi dilematis ini saya dapatkan dalam sabda nabi: bahwa penyakit itu dapat dikelompokan kedalam tiga kretaria, yakni: penyakit yang menjadi batu ujian, penyakit yang menjadi pembersih dari segala dosa, dan penyakit yang merupakan tiket menuju el-maut (kematian). Bagi orang yang dalam hidupnya hanya bersandar kepada kekuatan yang Maha Dashyat, maka tentu ia akan malu meminta kesembuhan, sekalipun syariat mencari obat telah ia jalani sekedar untuk “menggugurkan” ketentuan syariat yakni adanya ikhtiar. Bagaimana ia tidak malu padahal apa yang menjadi cobaannya adalah bagian dari perhatian Tuhan kepadanya agar mampu menaiki tangga-tangga kerohanian yang lebih tinggi lagi? Karena tempat tersebut hanya pantas bagi orang-orang terpilih, bukan mereka yang suka berkeluh kesah. Mengenai hal ini saya punya pengalaman menarik bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi kesulitan hidup tadi. Pada suatu saat istri saya, Siti Hamidah, mengalami sakit parah demam berdarah yang hampir merenggut jiwanya. Pada saat sudah berbaring di rumah sakit, saya bicara begini: Dik! Saya, dokter dan dirimu tidak bisa berbuat apapun saat ini kecuali menyerah pada taqdir. Dokter hanya mengusahakan berdasarkan teori kedokterannya, namun penyakit ini obatnya hanya ada pada kekebalan dari diri sendiri, oleh karena itu obatnya hanyalah “penyerahan total” dan mintalah pada Allah rasa sabar dan kekuatan menahan 56

sakit dari gangguan penyakit ini. Yah, penyerahan total itulah yang membuat datangnya takdir kesembuhan sedangkan obat hanya sarana dan dokter sebagai prasarana, rumah sakit sebagai ajang ikhtiar atau usaha. Pada hari yang bersamaan masuknya istri saya kerumah sakit, dokter tetangga saya baru keluar dari rumah sakit karena sakit juga; saya diskusikan masalah tersebut, dan saya katakan bahwa bagi mereka yang ingin mengenal Tuhannya dengan lebih dekat, maka bentuk ujian berupa sakit atau penyakit ini sebaiknya yang bersangkutan tidak meminta sembuh. Betapa terkejutnya beliau karena profesi dokternya menolak, lho kok bisa, mengapa demikian; tanyanya. Saya mencoba meyakinkan dia bahwa pendapat saya itu benar adanya dengan logika religi, yakni dengan mengemukakan klasifikasi jenis penyakit seperti tersebut di atas (sebagai ujian, sebagai penghapus dosa, dan sebagai tiket akhir kehidupan). Bagi orang yang ingin kenal Tuhannya, manakah dari ketiga kretarium tersebut yang merugikan dan ia yakin bahwa itu semua kehendak Illahi adanya; bukankah bila dipandang dari sisi illahiah hal tersebut menguntungkan? Dia bertanya, lalu dimana gunanya kita disuruh berobat dan bertanya kepada ahlinya, dan bahwa setiap penyakit itu ada obatnya. Saya jawab kembali: disuruh berobat dan bertanya kepada ahlinya merupakan bentuk ajaran syariat yang memang harus (wajib) dilakukan setiap manusia, setiap penyakit ada obatnya merupakan informasi tentang harapan agar manusia mau melakukan hal pertama tadi. Masalahnya kita tidak tahu apakah obatnya; memang banyak penyakit yang tersembuhkan oleh obatnya, tetapi masih jauh lebih banyak penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya, termasuk demam berdarah tersebut. Menghadapi dilematis yang demikian itulah kita tidak cukup hanya mengandalkan analisis rasional semata dengan coba-coba, namun kita perlu menempatkan diri dalam posisi hakiki yakni apakah sebenarnya suatu penyakit bagi seorang yang beriman?

57

2. Tentang pilihan hidup Dalam hidup duniawiah ini tentu pula kita pernah merasakan, bahwa apa yang kita pilih dengan segala cara yang tadinya dikira adalah suatu nikmat, ternyata setelah dicapai menjadi laknat. Dalam dimensi sosial saya pernah mengalami suatu pilihan yang untuk diri saya bukan tempatnya, yakni dunia politik yang dalam hal ini menjadi pengurus partai politik tertentu. Posisi saya sebenarnya cukup strategis karena berada dalam level pimpinan sehingga mudah mengaksek kemana-mana. Dengan munculnya undang-undang kepartaian saya harus menentukan berkarier di partai politik atau di akademik (perguruan tingg), saya hampir memilih yang pertama (partai politik) karena posisi saya yang memungkinkan itu yang berarti saya harus keluar. Namun Allah kembali menolong saya melalui pertimbangan keluarga dan sahabat agar saya tetap di kampus karena strategis kampus dalam membentuk karakter kader bangsa, yang tidak setiap orang dapat mengaksesnya, sedangkan saya mempunyai powerfull karena sebagai seorang Profesor. Namun ada juga kawan yang tidak beruntung dengan pilihan hidup yang salah tersebut sehingga apa yang sudah dicapainya selama ini ia buang begitu saja tanpa hasil apapun baik di politik maupun di akademisnya. Salahkah Tuhan? Tentu saja tidak, karena Sang Pencipta telah membuat rambu-rambu, baik yang terang (explicit) maupun samar-samar (implicit) yang harusnya telah diketahui oleh manusia yang dianggap dewasa (akil balig). Kalau Tuhan melarang minum chamar, bukanlah ingin membatasi kebebasan manusia, melainkan karena adanya dampak yang amat buruk bagi si peminum, baik ditinjau dari sisi biologis (kerusakan sel otak), humanitas (etika dan moral), maupun sosial (patologi sosial). Jika hal tersebut dipilih (orang menyebutnya melanggar aturan agama), maka konsekuensinya pasti akan ia terima disaat hidup itu juga dan tidak usah menunggu kelak di akherat. Demikian juga dengan pilihan untuk “jajan” seksual di pasar gelap atau terang, itu adalah pilihannya sendiri; sekalipun anak-istrinya tidak bisa mencegahnya. Maka jangan heran bila dia divonis dengan menderita penyakit AID-HIV atau Sipilis yang 58

mematikan; jangan menunggu konsekuensi diakherat karena pelanggaran syar‟i, karena di dunia itupun ia menderita kesakitan fisik yang bukan main dan isolasi sosial yang menghinakan. Masih banyak contoh lainnya yang seringkali kita salah memilih dalam hidup ini yang dikarenakan “kerdilnya” pengetahuan kita tentang memaknai arti sesungguhnya kehidupan ini, sehingga manakala pilihan telah kita tetapkan ternyata menemui jalan buntu yang sulit terus dan sulit kembali. Orang yang nalarnya panjang, setelah menempuh hidup panjang berkeluarga penuh cinta-kasih, cita dan citra dari istri, anak, saudara, kawan, masyarakat; akan berfikir seribu kali untuk menempuh perkawinan baru (poligami), sekalipun syariat membolehkannya. Karena bukankah dengan yang baru tersebut ia akan kehilangan kasih sayang yang ada tadi dan muncul kebencian dari istri pertama, rasa jijik dan malu dari anak-anaknya yang mengijak dewasa, rasa tidak percaya dari masyarakat, beban ekonomi yang menyesakan dada, dan reduksi jihad terhadap kebenaran karena jiwanya telah tergadaikan demi wanita. Sering penyesalan dirasakan setelah “buah ranum yang baru” menjadi pahit. Tapi itulah pilihannya sendiri. Rasaiin Lhu, kata orang Betawi. Disamping pilihan hidup yang berbau aktifitas keseharian, pilihan hidup yang tidak kalah penting adalah manakala kita menentukan jodoh yang dengannyalah menentukan

dibangun atau

mahligai

mengira

rumah

apakah

tangga.

setelah

Memang

terjadinya

sulit

pernikahan

untuk atau

perkawinan dapat berlangsung lama atau justru hanya sekejap (seumur jagung kata orang Jawa). Banyak faktor yang dominan dalam menentukan pilihan jodoh, antara lain: masalah pendidikan, masalah watak, masalah kerupawanan (wajah), masalah status sosial, masalah agama, dan sebagainya. Kurang luasnya penglihatan seseorang pada faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan pendeknya umur perkawinan tadi. Sering kita dihadapkan pada pilihan yang sulit dipilih, misalnya: status sosial bagus, tapi wajahnya buruk; wajahnya indah, tapi wataknya buruk (ketus, emosional, dll); cantik, status sosial baik, tapi berbeda agama dan keyakinan; wajah buruk, status sosial rendah, pendidikan rendah, 59

watak tak terpuji, ekonomi miskin, yah sebaiknya dihindarilah karena tidak ada yang tersisa untuk dipilih. Mungkin masalah inilah yang menyebabkan saya masuk perkawinan relatif lambat (usia 30 tahun), disamping faktor studi tentunya. Dalam tulisan ini saya sajikan Gambar 3.1. akad nikah saya tahun 1979 didepan penghulu, disamping istri dan ayah mertua.

Gambar

3.1.

Akad

nikah

penulis di KUA Malang dengan Siti Hamidah. Karena meskipun faktor-faktor dominan

tersebut

di

atas

semuanya memenuhi syarat, masih ada faktor lain yang sulit dilihat yakni keserasian nantinya dalam mengarungi samodra lautan kehidupan. Faktor tersebut saya hadapkan ke hadirat illahi di baitullah sekalipun pilihan telah dijatuhkan dengan yang jadi istri saya saat ini, saya hanya berdoa: Tuhan mantapkanlah kami dalam pilihan kami apabila itu baik bagi kami, namun jauhkanlah kami seperti jauhnya langit dan bumi bila hal itu buruk bagi kami, dan bila pilihan telah terjadi maka janganlah Engkau uji diriku dengan wanita! Alhamdulillah, doa itulah nampaknya yang menjaga kami berdua sehingga mampu menapaki mahligai berkeluarga saat ini yang telah ditempuh selama ± 32 tahun. Mahligai perkawinan ini telah berkembang menjadi sebuah keluarga “kecil” yang dibangun di atas dasar lima pilar utama untuk membangun keluarga sakinah yang penuh kasih sayang dan diridhoi Allah, yakni: intelektual (ilmu), ketaqwaan (religius), kesejahteraan (kecukupan dan kesehatan jasmani dan 60

rohani), kebersamaan (saling asah, asuh, dan asih), dan kesadaran penuh akan misi berumah tangga. Dengan dasar itulah maka standarisasi pendidikan anak-anak saya ditegakan, demikian pula dengan bagaimana seharusnya mereka meneruskan hidup berumah tangga (regenerasi) agar supaya kuwantitas (beranak banyak) dan kuwalitas (berakhlaq dan intelektual) terjamin. Maka hidup menjadi lebih mudah karena segala kemelut atau ujian hidup tidak terlihat gelap gulita seperti gelapnya malam tanpa bintang, namun menjadi terang benderang seperti siang bolong. 3. Tentang profesi hidup Di dalam bermasyarakat, kita sering ditawari berbagai lapangan kerja yang tentu nantinya akan menjadi profesinya dalam mencari “sesuap nasi” bagi diri dan keluarga kita. Disaat itu kita dibingungkan oleh tawaran tadi dan menurut keinginan diri, rasanya semuanya mau tanpa pikir panjang dan renungan yang mendalam. Menjadi pedagang mau, menjadi politikus senang, menjadi ilmuwan oke, menjadi pejabat apalagi, menjadi pengusaha tambah mau, dan sebagainya. Kondisi demikian pernah saya alami disaat saya lulus sarjana S1 dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya tahun 1975, tiba-tiba lamaran saya diterima di perusahaan tebu “Gunung Madu” Lampung yang baru dibuka saat itu, dan saya dipanggil ke Jakarta. Tentu saja saya tertarik karena tawaran gaji yang 10 kali lipat dibandingkan sebagai dosen; maka berangkatlah saya angkat koper akan pamit ke pada bapak di Surabaya, namun apa dikata, bapak melarang dan memerintahkan saya kembali ke Unibraw sebagai dosen. Maka sejak itu sayapun menjadi semakin mantap bahwa profesi sebagai seorang guru nampaknya merupakan suratan hidup saya sampai saat ini yang dengannyalah segala kebutuhan hidup saya untuk hidup layak telah terpenuhi sekalipun tidak melimpah, namun semuanya tercukupi. Benar pula kata guru saya dari UGM, Prof. Haryono Semangun yang berujar demikian dalam kelas Filsafat Ilmunya: 61

“Saudara sebagai ilmuwan, memang bukan jalan untuk mencari harta, namun mencari ilmu, yang dengannyalah pula maka kebutuhan harta sekalipun tidak melimpah namun cukup”. Yah beliau tentu menimba dari pengalaman hidupnya yang tercukupi secara ekonomi dan sosial. Alur hidup sebagai seorang guru sekaligus ilmuwan nampaknya menempati posisi tersendiri dari sisi kemuliaan hakekat hidup sebagai mana suatu uraian Ali bin Abu Thalib yang saya pelajari setelah dewasa. Ceritanya begini. Pada suatu waktu Ali setelah jadi khalifah didatangi oleh 10 orang tokoh perwakilan kaum khawarij (kelompok penentang Ali), yang mengajukan masing-masing satu pertanyaan

yang

sama,

namun

dijawab

dengan

10

jawaban

berbeda

(menunjukan keluasan pengetahuan beliau). Pertanyaannya adalah: Wahai Ali manakah yang lebih utama antara ilmu pengetahuan dan harta. Maka Ali menjawabnya dengan jawaban demikian; Ilmu lebih utama karena: (1) Ilmu merupakan warisan (pusaka) para nabi dan rasul, sedangkan harta pusaka dari Qarun, Fir‟aun, dll. (2) Ilmu dapat menjaga dan memelihara pemiliknya, sedangkan harta harus dijaga dan dipelihara oleh pemiliknya. (3) Ilmu

membentuk

banyak

sahabat

dan

kawan,

sedangkan

harta

memperbanyak musuh dan lawan. (4) Ilmu apabila dikeluarkan (diajarkan) semakin bertambah, sedangkan harta jika dikeluarkan (dibelanjakan) semakin berkurang dan habis. (5) Orang yang berilmu mendapatkan panggilan mulia (terhormat), hartawan seringkali mendapatkan panggilan rendah dan hina dalam masyarakat (si bakhil, dll). (6) Ilmu tidak bisa dicuri dari pemiliknya, sedangkan harta dapat dicuri dan hilang. (7) Orang berilmu pada hari kiamat akan mendapatkan syafa‟at (pertolongan) dari ilmu yang dikembangkannya, sedangkan hartawan akan dihisab dan diminta tanggungjawabnya terhadap asal dan penggunaannya. 62

(8) Ilmu tidak bisa habis walaupun tidak ditambah, sedangkan harta lambat laun pasti habis. (9) Ilmu membentuk pikiran seorang menjadi cerah dan hatinya terang benderang, sedangkan harta lebih banyak membuat pemiliknya kusut pikiran dan kesat hati. (10)

Ilmu yang mendatangkan manfa‟at merupakan pahala, sedangkan harta

lebih banyak menimbulkan silang-sengketa, azab dan siksa. Demikian pula dengan nabi Sulaeman dikala diminta memilih oleh Tuhan antara kerajaan plus kekayaan yang ada didalamnya dengan ilmu pengetahuan. Maka Sulaeman lebih memilih ilmu pengetahuan, maka ia memiliki kerajaan plus kekayaan. Nikmat itulah yang menjadikan beliau mawas diri (bukan angkuh), seraya doanya: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham (ilmu pengetahuan) untuk tetap

mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh". Mungkin riwayat-riwayat berhikmah itu pulalah yang memantapkan saya untuk konsisten berada dalam jalur keilmuan sebagai dosen yang diwujudkan dengan berbagai kegiatan seperti mengikuti seminar-seminar, penelitian, menulis buku

(termasuk

buku

ini),

ceramah,

mengajar,

melakukan

kegiatan

kemasyarakatan yang berbau keilmuan, dan sebagainya. Dunia keilmuan itulah yang sangat membantu saya untuk mengenal, merasakan, memahami, dan membimbing saya membuka cakrawala dunia seisinya, baik yang menyangkut alam materi maupun non materi. Bagaimana tidak, yang tadinya tugas utama saya hanya dalam bidang hama dan penyakit tumbuhan, saat ini diminta pemikirannya kearah yang lebih luas karena kita hidup dalam masyarakat yang amat luas. Maka dengan pemberian kunci-kunci ilmu pengetahuan itulah saya menjelajah dunia lebih luas lagi, antara lain: filsafat (dosen di Pascasarjana), 63

politik (pernah menjadi wakil ketua partai politik tertentu Provinsi Jatim), lingkungan global (anggota Kementerial Lingkungan Hidup tahun 80-an dan ICETT Yokkaichi Jepang), ekonomi (baitul-mal), agama (pembina Pusat Kajian Islam & Sains “Bhima Sakti” Malang), sejarah (khususnya perkembangan peradaban dan Islam & Iptek), biotek (pengembangan potensi plasma nutfah dalam pertanian), sosial (aktif dalam perkembangan pemikiran sosial), hukum (pernah kuliah di FH UMM), dan sebagainya. Dengan pengetahuan itulah saya menjadi lebih tahu, mana boleh dan mana tidak boleh dimasuki; sehingga hidup tidak menjadi sia-sia dan terseokseok pada jalan yang penuh duga. Saya paham ilmu ekonomi, dan dengan ilmu pertanian sayapun sanggup memasuki praktek ekonomi untuk mendapatkan limpahan keuntungan yang lebih “berjibun” dibandingkan hanya menunggu gaji bulanan PNS. Tetapi dengan pengetahuan itu pula melarang saya untuk menerjuninya karena adanya kendala waktu, ketidak jujuran dalam barter, sosial, dan lain-lain sehingga bila dipaksakan maka akan menjadi bumerang bagi keilmuan yang selama ini saya geluti. Profesi

sebagai

guru

ini

pulalah

yang

memacu

saya

untuk

mengembangkan bakat saya dalam mentransfer pengetahuan ke orang lain, sehingga pada tahun 1985 (satu tahun setelah mendapatkan titel doktor, Dr.) saya mendirikan sebuah perguruan tinggi yang berbasis pertanian yang saya beri nama Institut Pertanian Malang (IPM). Semua konsep saya siapkan mulai dari studi kelayakan, kurikulum, silabus, perizinan, yayasan, program studi, lokasi, dan lain-lain. Dalam tahun pertama dengan status izin operasional, saya mendapatkan mahasiswa sebanyak 300 orang yang terbagi dalam tiga fakultas, yakni: Pertanian, Teknologi Pertanian, dan Kehutanan. Pada awal berdiri, saya harus memilih antara sebagai pengelola perguruan (Rektor) atau pengelola yayasan (ketua), karena tidak boleh dirangkap. Mengingat saya yang tahu seluk beluk perguruan tinggi maka saya bertanggungjawab sebagai Rektor, sedang ketua yayasan saya pasang orang lain yang tidak tahu menahu pendidikan dan 64

bukan sarjana, yah saya anggap orang baik dan mau berbuat baik (ternyata kemudian menjadi blunder). Demikian pula untuk mengisi berbagai jabatan dari dekan, sekretaris dekan, pembantu rektor, kepala tata usaha, dosen tetap, dan sebagainya, saya tawarkan kepada orang-orang terdekat dan saya kenal. Perkuliahan berjalan normal dari awal dan selalu mendapatkan mahasiswa baru serta pertambahan staf pengajar. Mengijak tahun ketiga (1988), mulailah orangorang yang selama ini saya bantu (tolong) yakni dari ketua yayasan dan seorang PR dan Dekan bermanuver untuk menguasai perguruan yang saya buat dengan tangan saya tersebut. Mereka membuat SK baru untuk mangganti saya agar supaya menguasai asetnya (memang ternyata oleh kelompok ini kemudian dijual dan uangnya dibagi-bagi), yang tentu saja tidak sesuai dengan maksud saya mendirikan institut tersebut. Disinilah saya mulai menghadapi nilai sosial yang dikenal sebagai pengkhianatan yang pelakunya disebut sebagai para pengkhianat. Sebagai manusia biasa rasa jengkel, marah, dendam, jijik, dan lain sebagainya kegalauan hati menjadi satu. Namun dampak pemahaman nilai agama saya tentang makna hidup menginsyafkan saya untuk melihat dibalik kejadian itu semua, ada apakah ini? Akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan menengok tentang usia saya, yakni pada kejadian tersebut mengijak 40 tahun, yang kata orang merupakan umur awal kenabian atau hampir semua nabi diangkat menjadi pesuruh Tuhan pada usia yang matang tersebut. Disitulah saya bertafakur untuk melihat kejadian apa saja pada usia tersebut, yang tenyata sungguh mengejutkan saya, yakni: saya mendapatkan ujian fisik dan mental yang berat secara bertubi-tubi, bukan karena saya berbuat salah melainkan karena taqdir semata. Bagaimana tidak? Tepat Januari 1988 di saat usia awal 40 tahun (lahir 9 Januari 1948), saya menderita penyakit lever Hepatitis B sehingga harus dirawat di RS selama 2 minggu; sekitar bulan Juni-Juli terjadi pengkhiatan oleh orang yang saya percaya dengan merebut IPM yang saya buat, akibatnya saya dihijrahkan Allah untuk mengikuti pelatihan biotek mikoriza di UPLB-Filipina pada bulan Oktober; sepulang dari Filipina bulan Nopevember saya berurusan 65

dengan Polda menjadi saksi kasus “lemak babi” hasil penelitian Dr. Tri Susanto, yang menurut hemat saya sudah dipolitisir menjadi sebuah fitnah yang keji dari penguasa saat itu tetapi sekarang justru menjadi undang-undang negara tentang “sertifikasi halal-haram” makanan. Akhir tahun yakni bulan Desember kembali saya berurusan dengan pengadilan sebagai saksi dari orang yang menipu banyak orang dengan alasan “masuk agama Islam”, saya dan kawan-kawan termasuk yang tertipu. Nah kapok lhu, mau lari kemana apabila ujian Allah telah diselenggarakan, maka jalan yang terbaik adalah saya jalani dengan sabar dan tawakal mengikuti resep-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah

pertolongan

(kepada

Allah)

dengan

sabar

dan

(mengerjakan)

salat,

sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [2.153]. Resep inilah yang saya “minum” untuk menghadapi cobaan hidup yang tidak saya minta tersebut sambil menunggu janji Allah lainnya, yakni: Allah Pelindung orang-orang yang

beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran dan kesulitan hidup) kepada cahaya (iman dan kemudahan). [2.257]. Ternyata resep ini benarbenar sangat ampuh setelah saya praktekan; karena setelah tahun duka itu maka munculah kemudahan yang sangat menggembirakan. Yakni sepulangnya dari Filipina (tahun 1989) saya mendapat dana penelitian Hibah Bersaing I melalui DP2M Dikti selama 5 tahun (umumnya maksimal 3 tahun). Dengan dana yang relatif besar pada saat itu, saya bisa mengembangkan karier akademik untuk ke Guru Besar (1997), bisa menabung untuk pendidikan anak-anak, dan ibadah haji dengan istri tercinta (1992 dan 1997), dll. Mungkin itulah jalan hidup saya yang harus di penelitian dan pendidikan, sehingga setelah itu selesai, setiap tahun saya selalu mendapatkan dana bantuan, baik melalui Dikti, Departemen Pertanian, maupun pihak swasta. Bahkan sampai buku ini ditulis bersamaan dengan laporan akhir saya dalam bidang penelitian multi years dari Dikti (Hibah Kompetensi) dan dari Deptan (Dana Kerjasama Deptan dengan Perguruan Tinggi). Inilah janji Tuhan yang langsung terbayar di dunia semoga rahman rahim Allah tercurah pula pada saya dan keluarga di akherat kelak. 66

Dengan pengetahuan dan pengalaman hidup itu pula saya dipercaya pemerintah sebagai anggota penilai (assesor) perguruan tinggi se Indonesia (BAN PT) sejak tahun 1989 sampai sekarang. Ditengah-tengah itu pula pada tahun 2001 saya diminta bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur untuk mendirikan perguruan tinggi pertanian, dan saya laksanakan dari nol sampai saat ini masih berdiri. Sepulang dari Kalimantan saya ditunjuk pemerintah sebagai anggota detasering (detaser) yang ditugaskan untuk membina perguruan tinggi yang baru dinegerikan yakni di Unijoyo-Bangkalan dan Syah Kuala (Aceh) tahun 20032005. Dan sebagai rasa syukur saya dan keluarga pada karunia Illahi yang demikian besar tersebut maka saya bangkit untuk menyampaikan pengetahuan sains yang selama ini saya timba dan pengetahuan agama Islam yang telah saya dalami dan laksanakan sejak masih remaja. Maka sejak tahun 2001 sepulang dari Kalimantan tadi berdirilah Pusat Kajian Islam dan Sains “Bhima Sakti” dengan posnya di rumah saya, dan cabang-cabangnya diberbagai daerah (kota) di Jawa Timur, yang saya bina langsung setiap minggu pagi, dan berjalan sampai saat ini (sudah 10 tahun). 4. Tentang memaknai hidup Memang sulit untuk memberikan makna terhadap setiap kejadian yang kita lewati dalam kehidupan ini, apalagi kalau kita kurang peka terhadap momentum (peristiwa kejadian) tersebut. Sadar atau tidak bahwa setiap saat (detik) siapapun orangnya selalu akan berjalan di atas waktu (umur), yang diatasnya dibangun segala bentuk hasil usahanya; sehingga setelah sekian kurun waktu tentu akan terlihat wujudnya. Proses ini bila dijabarkan atas perjalanan kehidupan saya sebagai contoh adalah demikian: masa kanak-kanak (7-13 tahun) adalah masa bermain, untuk belajar bersosialisasi dan mengenal alam lingkungan; masa remaja (13- 20 tahun) digunakan untuk menimba ilmu pengetahuan dan meneruskan tingkat sosialisasinya; masa dewasa (20 – 30 tahun) digunakan untuk membangun rumah tangga baru (berkeluarga); masa 67

pasca dewasa (30 – 40 tahun) digunakan untuk memperdalam tingkat intelektual; masa pemantapan (40 – 50 tahun) digunakan untuk memperkuat fondasi kerohanian dan perjuangan kebenaran; masa kerohanian (50 – 60 tahun) digunakan untuk mengembangkan nalar kerohanian dan memperkuat bangunan bermasyarakat; masa lansia (> 60 tahun) persiapan untuk regenerasi dan pengkaderan agar supaya nilai-nilai kebenaran tidak roboh kembali setelah ditinggalkannya. Dengan pereodenisasi yang elastis (tidak kaku) tersebut maka hendaknya kita dapat mengisinya dengan mudah dan sistematis segala jenis aktivitas hidup baik yang menyangkut individual, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia sepenuhnya. Pada pereode awal kehidupan (balita) memang kita sangat tergantung pada kedua orang tua, bentuk apa yang diajarkan dan ditanamkan. Masa kanak-kanak sekalipun peranan orang tua masih dominan namun lingkungan pendidikan ikut memberi warna, sehingga masih perlu adanya kontrol yang saksama agar warna yang dituangkan tidak salah, karena sulit untuk dicuci kembali bila telah merasuk kedalam jiwa. Masa remaja peranan orang tua memang masih dominan namun mulai kedodoran karena adanya dinamika remaja, maka diperlukan “menitipkan” kepada teman atau sahabat yang mampu dipercaya untuk saling menjaga, disamping “guru” yang layak digugu dan ditiru dalam membangun kepribadian seseorang. Masa dewasa adalah masa dimana manusia mulai mempraktekan hidupnya lepas dari kontrol orang tua dan gurunya, sehingga rasa tanggungjawab individu menjadi menonjol. Disinilah mulai terjadi konflik pemikiran dan jiwa manusia yang apabila ia mampu menemukan jalan keluarnya maka menjadi tenang dan lancarlah perjalanan hidupnya, namun bila buntu mencari celah keluarnya, maka tingkatan stress demi stress akan “menghantuinya”. Pasca dewasa seharusnya telah dijadikan landasan utama bagi seseorang untuk punya peranan penting di masyarakat sebagai hasil atau buah pendidikannya dan kedewasaannya sehingga sungguh sangat

disesalkan

atau

disayangkan 68

apabila

ia

masih

menjadi

beban

masyarakatnya. Oleh karena itu luasnya pengetahuan seseorang akan sangat membantu individu tersebut dalam menghadapi tantangan sosialnya. Dari masa pemantapan ke atas pada hakekatnya merupakan perjuangan yang berat karena seseorang harus telah mampu mewarnai bentuk masyarakatnya melalui pengetahuan dan pengalaman hidupnya serta terus memberikan corak yang dikehendakinya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang nilai kebenaran. Untuk usia yang sudah uzur apakah mungkin masih mencari status sosial yang sudah tidak berguna itu, mengapa ia tidak menggunakannya untuk melepaskan ke generasi berikut yang memang masih membutuhkan untuk menapaki sisa hidup duniawiahnya. Khusus dengan masalah ini saya punya pengalaman yang menarik dengan ayah saya yang pada saat itu sudah mendekati usia 80-an, ia masih suka menggunakan simbol-simbol “kepahlawanannya” yakni bintang veteran, baju veteran, topi veteran, dan bahkan HR veterannya. Pada suatu saat saya berdiskusi dengan beliau: “Pak apakah boleh saya punya pendapat yang bisa membawa bapak lebih kenal dengan Illlahi? Tentu saja hal ini bukan merendahkan ayah saya, karena beliau adalah ahli ibadah dan tirakat. Dengan tercengang beliau bertanya: “ Apakah itu? Saya bilang: “Sudah saatnya bapak mengganti semua simbol ini dan biar saya simpan sebagai kenangan, agar supaya semakin terkuak hijab kebenaran hakiki! Diluar dugaan pendapat tersebut diikuti oleh ayah, dengan kata-katanya: “Darimana kamu mendapatkan pengetahuan itu? Saya jawab itulah hasil pendidikan bapak kepada saya, sehingga Allah memasukannya kedalam rongga dada ini tanpa sekolah! Diskusi inilah sebenarnya yang menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pada hakekatnya sesuatu yang kita cari dalam kehidupan ini tersembunyi dibalik semua asesori yang gemerlapan dan menarik, apakah itu pangkat, jabatan, harta benda, rumah mewah, wajah cantik, kendaraan, dan sebagainya. Kita dalam hidup sering tergiur oleh kulit luar tersebut dan selalu disibukan oleh mengganti dan mempercantik etalase kehidupan tadi sehingga tidak terasa rambut menjadi putih, kulit mengeriput, jalan mulai terseok, mata sudah rabun, pendengaran 69

berkurang, dan sebagainya. Isyarat tersebut bagi yang mau membuka tabir hakekat, sudah seharusnya mulai berfikir dan berperasaan yang lebih “pintar” dan “cerdik” bahwa sudah waktunya merasakan apa yang ada dibalik kulitnya tadi agar supaya terasa lezatnya hidup setelah kelezatan biologis tergusur habis oleh ketuaannya. Sudah bukan saatnya memakan “kulit” pisang sekalipun indah warna dan bentuknya, namun pilihlah isinya dengan mengupas kulitnya perlahan-lahan agar supaya mendapatkan tambahan nilai dari ikhtiarnya. Setelah itu kupaslah semangka, pepaya, durian, srikaya, dan lain-lain buah kehidupan, sayur mayur kehidupan, dan bentuk makanan kehidupan lainnya. Maka akan sampai pada pintu hakekat, seraya tersenyum dikulum penuh rasa malu: betapa bodohnya saya ini, semua yang diperebutkan dan dimakan selama ini ternyata hanyalah kulit duniawiah yang pahit dan keras!!! Bukankah bila kita menderita sakit, mengeluh dan frustasi setengah mati, sementara bila hidup sehat bersenang tak kenal batas? Tidakah apabila mendapatkan kedudukan baru, bergembira dengan merayakannya berkedok syukuran, sementara bila lengser dari jabatan bermuram durja dan menutup diri? Mengapa jika dikecam dan dicaci cepat emosi dan balas mencaci sementara bila dipuji bersenang hati dan minta terus dipuja! Kenapa dikala usia muda habis terkuras untuk berbuat hal yang tidak berguna, namun ketika usia senja tiba merasa masih muda? Tidakah mencari harta sangat melelahkan dan menyita seluruh potensi diri, lalu mengapa setelah didapat ditinggal pergi (sakit dan mati). Hakekat itulah yang hendak dibuka oleh Tuhan agar manusia tidak salah duga terhadap apa yang dicarinya seperti dikemukakannya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan

suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang

70

tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur” [57.20]. Mungkin disitulah kesalahan kita dalam melihat segala bentuk isi duniawiah itu, kita tersilaukan sesaat dan disaat lain setelahnya kita tidak pernah belajar dengan pintar bahwa apa yang kita genggam atau jalankan itu hanyalah kulit luarnya, yang isinya masih perlu digali lagi agar terasa cita rasanya. Dalam melakukan peribadatanpun demikian, betapa banyak manusia menjalankan shalat yang kadang berjamaah, namun hatinya sendiri-sendiri dan setelahnya sampai hati untuk nyikut teman sesama jamaah tadi. Mengapa demikian, yah tidak lain karena perintah shalat hanya sampai kulit luarnya, yakni sekadar ibadah mahdah (penyembahan) padahal makna yang sesungguhnya adalah penyerahan. Hanya orang-orang yang telah menyerahlah yang mau mendengar dan menjalankan semua perintah-Nya dengan penuh keikhlasan sebagai bentuk penyembahan. Dalam sebuah hadist diriwayatkan oleh Haritsah bin Wahab r.a. berkata: Nabi

saw.

bersabda: Allah ta'ala berfirman: Tiada semua orang yang

sembahyang dapat dikatakan sembahyang. Aku hanya menerima sembahyang dari orang yang merendah diri karena keagungan-Ku serta menahan hawanafsunya

dari

perbuatan-perbuatan haram

dan

tidak

terus-menerus

melakukan ma'siyat, disamping itu ia juga memberi perlindungan dan naungan kepada orang musafir kelana. la berbuat itu semua untuk-Ku, maka demi kemulyaan dan kebesaranKu bahwa wajahnya lebih bercahaya disisiKu dari cahaya matahari. Aku memberinya ilmu menggantikan kebodohannya dan cahaya

menggantikan

kegelapannya.

Aku

mendengarkan

do'anya

serta

memberinya apa yang ia minta dan memenuhi sumpahnya. Aku melindunginya dengan

kekuasaan-Ku

dan

menitipkannya

kepada

malaikat-Ku.

Perumpamaannya dalam anggapanKu seperti syurga "Firdaus" tidak rusak buahbuahnya dan tidak berubah keadaannya. (R. Addailami). Itulah makna ibadah shalat sesungguhnya yakni kebersihan jiwa, pikiran dan pengamalan sosial. 71

5. Tentang harapan hidup Manusia menjadi dinamis dan kreatif sebagai sifat utamanya dibandingkan makhluk lain, disebabkan mereka mempunyai harapan hidup kearah yang lebih baik dan terhormat serta penuh kemuliaan. Apabila harapan tersebut telah tercabut dari dirinya disebabkan berbagai alasan, seperti pahitnya kegagalan, traumatik, merasa rendah diri, teraniaya, putus cinta, dan sebagainya; maka ia akan masuk pada suatu ruangan hidup tanpa gerak yakni keputus-asaan. Apabila ruangan ini telah dimasukinya maka sungguh sulit siapapun untuk mengeluarkannya, apalagi dirinya sendiri yang nyata-nyata telah menyatukan diri dengan kepus-asaan tadi. Fenomena keputus-asaan selain yang fatal berupa bunuh diri, masih banyak bentuknya sehingga dengan mudah kita dapat menilai dengan terang benderang apakah teman, saudara, keluarga, atau bahkan kita sendiri sedang menuju ruang atau lembah nestapa tersebut. Beberapa diantaranya adalah: (a) mengisolasi diri dari pergaulan bermasyarakat dengan berbagai alasan, mulai dari alasan peribadatan, alasan keluarga (anak dan cucu), alasan tidak sesuai, alasan status sosial, dll; (b) penampilan berlebihan dan aneh (mutrofin) dengan cara mentato atau merajam diri, rambut gondrong, laki-laki beranting dan bercela, bercadar, dll; (c) melarikan diri dari tantangan hidup, seperti: bermabuk-mabukan; narkoba, merokok, sibuk dengan permainan yang menyita waktu (time killing) seperti main catur, kartu, berjudi, dll; (d) asyik masuk dalam dunia khayal yang khayalinya diwujudkan dalam istilah seni, seperti: melukis, pemahat patung, pemusik, dsb. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa manusia masuk dalam dunia keputus-asaan tersebut, antara lain: (1) Kurang bisanya keluar dari kemelut tantangan hidup yang dihadapinya, apalagi bila terjadi secara bertubi-tubi. Jalan keluarnya adalah berlatih olah nalar dan olah batin, sehingga antara perasaan dan intelektual menempati

72

posnya masing-masing; karena apabila dicampur maka akan terjadi konflik kepribadian yang semakin akut. (2) Kurangnya menimba pengetahuan secara luas dari berbagai sumber yang benar sehingga tidak terjadi saling tubruk pemahaman yang menyebabkan kebingungan

dalam

mengambil

kesimpulan.

Banyak

membaca

dan

mendengar serta melihat, kemudian mencoba menghayati apa yang diinformasikannya, sekecil apapun azaz manfaatnya lama kelamaan akan menjadi segunung tumpukan informasi yang mempunyai nilai guna. (3) Kurangnya pergaulan dengan sesama yang mampu menghasilkan manfaat bagi

harkat

berakhlak

dirinya, mulia,

seperti:

orang

bersopan-santun,

berpengetahuan, berpendidikan,

berpengalaman, bergaul

luas,

berperikemanusiaan, dan sebagainya. Imbas dari teman atau sahabat dengan ciri-ciri tersebut lambat laun pasti akan membentuk kepribadiannya yang jauh berbeda bila seseorang bergaul dengan manusia bersifat tercela. (4) Adanya faktor luar (eksternal) yang mengkondisikan seseorang dalam dunia yang tidak punya pilihan, ia merasa terpojok dan dipojokan; faktor ini antara lain: pendidikan

orang tua yang otoriter, pendidikan

sekolah

yang

menekankan pada prestasi akademik semata bukan kepribadian, salah memilih teman hidup maupun pergaulan, dll. (5) Faktor bawaan (internal) khususnya yang berhubungan dengan kejiwaan, seperti: emosional, kesurupan, pelamun, dsb. Jalan terbaik adalah dijauhkan dari penyebabnya dengan mengkondisikan lingkungan hidupnya, sifatnya bukan penyembuhan namun penghindaran; dan perlu pengawasan khusus dari akhlinya (psyater) atau ahli hikmah. Mengapa harapan hidup tersebut harus dibangun, sementara untuk membangunnya diperlukan demikian besarnya tenaga dan pengorbanan yang harus dikerahkan. Jawabnya adalah: justru disitulah indahnya hidup dan nikmatnya hidup yakni manakala kita telah punya suatu harapan kemudian untuk 73

mencapainya diusahakan berbagai cara, dan akhirnya harapan itu tercapai maka betapa lezatnya harga pencapaian tersebut walaupun didapat hanya sesaat. Untuk itu marilah kita belajar pada petani yang mungkin tidak mengenyam pendidikan formal yang layak (SD saja tidak tamat). Ia mungkin hanya punya sekedok (sebidang) lahan sawah, yang ia olah setiap hari dari setelah subuh sampai dengan waktu dhuhur, dipacul, dibajak, digaru, diairi, disemainya biji padi berhari-hari ia tunggu, kemudian ia pindah untuk ditanam disawahnya, berbulan-bulan ia tunggu untuk diketam bulirnya; dan hasilnya tidak seberapa apalagi untuk menghidupi keluarga. Namun mengapa ia tidak juga mau berajak dari sawahnya, dari tahun ke tahun rutinitas dijalaninya dengan pendapatan yang tidak memadai, mengapa ia mau dan senang; jawabnya adalah karena ia mempunyai sebuah harapan akan adanya panen esok hari. Demikian mulianya sebuah harapan, yang ternyata telah mampu menghidupi umat manusia dikolong langit ini, karena tanpa adanya sang petani yang sederhana dan bersahaja cara hidupnya tersebut, maka betapa susahnya kita mencari makan. Oleh karena itulah Tuhan membimbing manusia agar tidak mudah putus-asa dan selalu mencari harapan hidup berupa ikhtiar dalam segala tantangannya. Bahkan diwahyukannya aturan Tuhan tidak lain dimaksudkan agar manusia mampu menghadapi tantangan hidup karena ada pedomannya, dan bila belum berhasil atau gagal ia tidak berputus-asa. Demikian lembut dan indahnya nasihat Tuhan pada makhluknya tersebut seperti tercantum dalam firman berikut:”

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. [94: 1- 8]. 74

Berharap kepada Tuhan tentu saja menjadi sebuah motivator yang sangat dahsyat karena manusia percaya bahwa apa yang dijanjikan-Nya pasti terwujud, dan bahkan dalam mewujudkannya sulit diperhitungkan oleh nalar manusia; kalaupun tidak terwujud kitapun menjadi tenang dan sejuk hati ini karena kita telah melakukan suatu ikhtiar yang belum tentu mampu dilakukan pada kesempatan lainnya. Kalau hal ini yang menjadi motivasi seseorang dalam mengisi lembaran hidupnya tentu semua coretan hidupnya akan bermakna sekalipun tidak ditulis dengan tinta emas. Marilah simak sebuah pembelajaran kepribadian yang penuh harap dari seorang yang tidak kenal Tuhannya menjadi manusia yang ditunjukan kejalan Tuhannya, sebagaimana cerita berikut. Konon dalam sebuah masyarakat ada seorang penyembah api (majusi) yang pada suatu waktu di musim dingin, setiap hari ia tebarkan biji gandum ditegalannya sehingga membuat heran seorang muslim ahli ibadah (abid), sehingga berucap: ”Aneh kamu ini dimusim dingin kok menyebar bibit gandum mana bisa tumbuh”. Dijawablah oleh si Majusi tadi: “ Emangnya aku mau bertanam, apa yang aku lakukan adalah untuk memberi makan burung-burung yang sulit mencari pangan”. Dijawab lagi oleh si Abid tadi: “ Jadi anda rupanya mengamalkan kebajikan untuk mendapatkan pahala”. Dengan cueknya si Majusi mendengus: Entahlah, akupun tak tahu apakah itu pahala! Mana mungkin Tuhan memberi pahala kepada seorang penyembah api, demikian terusan si Abid tadi. Yah terserahlah dia karena akupun tidak menyembah Tuhan yang tidak punya perasaan, karena kalau benar dia itu Tuhan tentu dia tahu apa yang aku perbuat, demikian jawabnya. Beberapa tahun setelah kejadian tersebut, dikala si Abid melaksanakan ibadah haji bertawaf di Baitullah, betapa terkejutnya ia karena dilihatnya si Majusipun sedang bertawaf. Setelah selesai ia hampiri dan bertanya: Bukankah kamu si Majusi dahulu yang memberi makan burung diwaktu musim dingin? Dijawabnya: Benar itulah aku! Lho mengapa sekarang engkau menjadi muslim dengan berhaji? Tanya si Abid kembali. Yang dijawabnya 75

dengan jitu: „Itulah tabiat Tuhan yang tidak pernah menutup pintu harap bagi hambanya! Bahkan Tuhanpun memberikan amnesi secara majemuk kepada semua umat manusia agar supaya jangan putus-asa dan tetap penuh harap terhadap ampunan ilahi bagi mereka yang berbuat dosa dan maksiat seperti firman berikut:

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal [3:135-136]. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [4: 110]. Harapan inilah yang jarang kita dapatkan dari guru-guru kita sehingga mengapa kita membenci matapelajaran tertentu waktu sekolah (matematika misalnya), tidak lain karena sang guru hanya memberikan ancaman dengan nilai buruk, muka cemberut, bahkan tidak naik kelas. Demikian pula pada guru-guru agama waktu kecil sampai dewasa, yang disampaikan adalah tentang sadisnya Tuhan dengan siksa nerakanya bagi sipembangkang, sementara harapan yang menjadi sisi welas asihnya, seperti ayat tersebut di atas tidak banyak dikemukakan. Kembali disini peranan kebijakan dan kebajikan sang guru memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas seorang manusia; apabila si penyampai adalah para guru atau ustadz “karbitan” yang juga seharusnya dalam posisi untuk dibina, maka wajah ilmu pengetahuan atau nilainilai agama menjadi buram. 76

Nilai-nilai harapan bukan hanya difirmankan oleh Tuhan dalam bentuk kitab suci (tersurat), tetapi ditebarkan di alam disekitar kita hidup (tersirat); sayangnya dari kedua sumber tersebut kita jarang memanfaatkannya sehingga menjadikan hidup ini terjal dan penuh duri yang menusuk kaki. Untuk itu perlu kita berlatih setiap saat tanpa harus malu karena status sosial kita, sebagaimana suatu kasus yang diceritakan dalam buku “The 7 habits of highly effective people karangan Stephen R. Covey berikut ini. Arthur Gordon (seorang penulis populer Amerika) menceritakan sebuah kisah yang menakjubkan mengenai pembaruan spiritualnya sendiri pada sebuah kisah pendek yang disebut "The Turn of the Tide." Kisah ini menceritakan suatu masa

dalam

hidupnya

ketika

ia

mulai

merasakan

bahwa

segalanya

membosankan dan datar. Antusiasmenya semakin berkurang; usahanya untuk menulis tidak membuahkan hasil. Dan situasinya semakin buruk hari demi hari. Akhirnya, ia bertekad untuk mendapatkan bantuan dari seorang dokter. Setelah mengamati bahwa tidak ada yang salah secara fisik, dokter bertanya kepadanya apakah ia dapat mengikuti instruksinya selama satu hari. Ketika Gordon menjawab dapat, dokter tersebut menyuruhnya menghabiskan hari berikutnya di tempat dimana ia merasa paling bahagia sewaktu ia masih anak-anak. Ia boleh makan, tetapi ia tidak boleh berbicara dengan siapa pun atau membaca atau menulis atau mendengarkan radio. Dokter tersebut kemudian menulis empat buah resep dan menyuruhnya membuka satu demi satu pada pukul sembilan,

pukul dua belas, pukul tiga, dan pukul enam.

"Anda serius?" Gordon bertanya

kepadanya. "Anda tidak akan berpikir saya bergurau jika anda mendapat tagihan saya!" jawab dokter tersebut tersenyum. Keesokan paginya, Gordon pergi ke pantai. Ketika ia membuka resep pertama (jam 9 pagi), ia membaca "Dengarkan dengan cermat." Ia berpikir dokter tersebut tidak waras. Bagaimana ia dapat mendengarkan selama tiga jam? Tetapi ia sudah setuju untuk mematuhi perintah dokter tersebut, maka ia pun mendengarkan. Ia mendengar bunyi-bunyi yang biasa dari laut dan burung77

burung. Sesudah beberapa saat, ia dapat mendengar bunyi-bunyi lain yang tidak begitu jelas pada mulanya. Ketika ia mendengarkan, ia mulai berpikir tentang pelajaran yang diberikan oleh laut kepadanya ketika ia masih anak-anak yakni tentang: kesabaran, respek, kesadaran akan kesaling tergantungan segala sesuatunya. Ia mulai mendengarkan bunyi-bunyian dan keheningan dan mulai merasakan kedamaian yang semakin meningkat. Pada tengah hari (jam 12), ia membuka

resep

kedua

dan

membaca

"Cobalah

mengingat-ingat."

"Mengingat-ingat apa?" ia bertanya dalam hati. Barangkali masa kanak-kanak, barangkali kenangan masa-masa bahagia.

Ia berpikir tentang masa lalunya,

tentang banyak kegembiraan kecil yang dialaminya. Ia berusaha mengingat itu semua dengan cermat. Dan sewaktu mengingat, ia merasakan kehangatan semakin berkembang dalam dirinya. Pada pukul tiga sore, ia membuka lembaran kertas ketiga. Sampai saat ini, resep-resep tersebut mudah dijalani. Tetapi yang satu ini berbeda, bunyinya "Periksalah motif-motif anda." Pada mulanya ia defensif (bertahan). Ia berpikir tentang apa yang ia inginkan: keberhasilan, pengakuan, jaminan - dan ia membenarkan itu semua. Akan tetapi kemudian terlintas pikiran bahwa motif-motif itu tidak cukup baik, dan barangkali di sanalah terletak jawaban untuk situasinya yang mandek. Ia mempertimbangkan motif-motifnya secara mendalam. Ia berpikir tentang kebahagiaan masa lalu. Dan akhirnya, jawaban itu muncul kepadanya. “Dalam kilasan yang pasti, “ia menulis", saya melihat bahwa jika motif seseorang salah, tidak akan ada yang dapat menjadi benar. Tidak ada bedanya apakah anda seorang tukang pos, penata rambut, wiraniaga asuransi, ibu rumah tangga atau apa saja. Selama anda merasa melayani orang lain, anda melakukan pekerjaan itu dengan baik. Jika anda hanya peduli untuk menolong diri sendiri, anda mengerjakannya dengan kurang baik

sebuah hukum yang tidak dapat

ditawar-tawar seperti halnya gravitasi." Ketika pukul enam tiba, resep terakhir, tidak membutuhkan waktu lama untuk dipenuhi. "Tulislah kekhawatiran anda di atas pasir," bunyi resep itu. 78

Ia berlutut dan menuliskan beberapa kata dengan pecahan kulit kerang; lalu ia berbalik dan berjalan menjauh. Ia tidak menengok kembali; ia tahu air pasang akan datang dan problema hidupnya akan hilang laksana tulisan pasir ditelan air laut tersebut. Maka kembalilah ia dengan sebuah harapan baru dan bukan dengan problema baru yang menumpuk di atas yang lama. Esensi ajaran agama pada hakekatnya adalah menekankan pada manusia agar supaya tidak mudah putus asa terhadap rahmat Illahi dalam segala bentuk kemelut kehidupan yang hal ini dikemukakan dalam Hadist Qudsi: Dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi bersabda : "Seorang pendosa yang sangat mengharap

rahmat Allah lebih dekat di sisi Allah daripada ahli ibadah yang putus asa akan rahmat Allah." Beberapa hikayat menerangkan cerita berikut: Hikayat 1. Rahmat Allah kepada HambaNya Abu Hurairah berkisah berdasar cerita Nabi: Hiduplah seorang laki-laki yang selama hidup tak pernah berbuat baik selain keyakinan hanya Allah Yang Maha Esa. Ketika ajal siap menjemput, ia berpesan kepada keluarganya, "Jika aku mati, bakarlah! Buang abunya ke laut saat angin bertiup." Keluarganya memenuhi pesan tersebut. Ketika di akhirat Allah bertanya kepadanya, "Amal apakah yang kau jadikan bekal ?" "Hanya rasa takut menghadap Engkau, wahai Tuhan," jawabnya. Lantas Allah mengampuninya. Sedangkan dia sama sekali tak pernah berbuat baik selain mengesakan Allah. Hikayat 2. Nabi Musa dan Lelaki Sesat Pada masa Nabi Musa, seorang laki-laki meninggal. Karena ia sesat maka para penduduk enggan memandikan dan menguburkannya. Mereka menendanginya dan membuang ke tempat sampah. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa dan berfirman, "Hai Musa! Ada laki-laki yang mati. Mayatnya dibuang di tempat sampah. Ia salah satu wali-Ku. Ia belum dimandikan, dikafani dan belum dikuburkan. Pergilah 79

kamu kesana! Mandikanlah, kafanilah, shalatilah lalu kuburkan dengan baik. Kemudian Nabi Musa mendatangi tempat tersebut. Ia bertanya kepada penduduk setempat tentang mayat tersebut. "Ya. Seorang laki-laki sesat, bermoral rusak telah mati di sini." "Dimana mayatnya? Allah menyuruhku kemari adalah karena laki-laki itu. "Bersama mereka Nabi Musa pergi. Ketika melihat langsung mayat yang terbuang di tempat sampah itu dan mendengar penuturan penduduk tentang keburukan perbuatannya, maka Musa penasaran. "Wahai Tuhan, Kau suruh aku mengkafani dan menshalatinya, sementara kaumnya menyaksikan dia seorang yang tercela. Engkau lebih tahu dari mereka tentang kebaikan dan keburukan." Allah berfirman, "Wahai Musa!

Kaumnya

memang

benar

menjatuhkan

hukuman

karena

keburukan

perbuatannya. Hanya saja ketika ia mati aku mengampuninya karena tiga hal. Orangorang yang berbuat dosa yang memohon ampunan-Ku pastilah Aku memberikannya. Bagaimana Aku tidak mengampuni dia? Akulah Yang Maha Penyayang." "Apakah tiga hal itu, wahai Tuhan ?" tanya Musa. Allah berfirman, "Ketika akan meninggal ia berkata: Wahai Tuhan! Engkau tahu dengan semua maksiat yang aku lakukan.

Hatiku

sebenarnya sangat membenci maksiat itu. Ada tiga hal yang membuatku begitu. Pertama karena hawa nafsu, pergaulan buruk dan karena Iblis terkutuk. Tiga hal ini menyeretku ke kancah maksiat. Engkau tahu itu. Ampunilah aku. Kedua : Kamu tahu kenapa aku berbuat maksiat. Itu karena hidupku dikitari oleh kemaksiatan. Padahal aku lebih suka bergaul di lingkungan orang shalih dan zuhud. Bersama mereka lebih kusuka daripada dengan orang-orang sesat. Ketiga; Sungguh, orang shalih lebih baik daripada orang jahat. Orang shalih lebih kusukai. Bila datang kepadaku orang shalih dan jahat, pasti akan kudahulukan orang shalih. (Dalam riwayat Wahab bin Munabbih lelaki itu berkata : Wahai Tuhan ! Andaikan Kau ampuni dosaku maka akan bergembiralah para wali dan Nabi-Mu. Sedangkan setan yang memusuhiMu dan musuhku akan bersedih. Apabila Kau siksa aku karena ulah dosaku maka setan dan sekutunya akan bergembira. Sedangkan para Nabi dan para wali akan bersedih. Kutahu kegembiraan para Nabi dan para wali lebih Kau suka daripada kegembiraan setan dan sekutunya. Ampunilah aku! Ya Allah, Kau tahu apa 80

yang kukatakan. Maka rahmatilah dan ampunilah dosaku). Maka Kurahmati dan Kuampuni dia karena Aku Maha Penyayang.

Lebih-lebih kepada orang yang telah

mengakui dosanya, maka Kuampuni dia dan kumaafkan semua dosanya. Wahai Musa lakukanlah apa yang Kuperintahkan. Akan Kuampuni orang-orang yang menshalatinya, menghadiri pemakamannya karena kemuliaan lelaki tersebut."

81

BAB IV BERKENALAN DENGAN TUHAN Dia adalah zat yang amat tersembunyi yang tempat persembunyiannya tidak tersembunyi; Dia hadir (dhohir) dibalik ketidak hadirannya (batin) yang apabila mewujudkan dirinya maka menjadi batalah segala sesuatu yang wujud; Dia amat dekat dan yang didengar hanyalah bisikan hati yang tulus, tidak berjarak dan tidak membutuhkan perantara untuk didekati; luas pengetahuan-Nya setitik dari ilmunya telah mencukupi kebutuhan hajat hidup makhluknya, yang diberikan kepada mereka yang membutuhkannya tanpa harus lewat belajar; Dia pencipta jarak, waktu, dan ruang sehingga mustahil terkungkung di dalamnya, yang sifatnya tersebut dapat diberikan kepada siapa yang dikehendakinya. =====================================================

Istilah berkenalan dengan Tuhan bisa menjadi diskusi yang panjang bagi mereka yang hanya membatasi dirinya kepada penampakan kulit luarnya atau hanya berstandar kepada aspek syariat dan terminologi semata. Sebaliknya bagi mereka yang ingin menjenguk kepada penjelajahan ketuhanan lebih jauh dan mendalam tentu saja hal tersebut tidak sempat diperdebatkan karena setiap alam pikiran dan kerohaniannya manakala menyentuh satu titik tertentu ia telah melihat garis yang panjang, begitu menginjakan kakinya pada garis tersebut iapun telah melebar kepada bidang yang luas, demikian juga bila ia melangkahkan kakinya kepada bidang tersebut iapun telah berada dalam ruang tanpa batas. Itulah dimensi atau tingkatan-tingkatan pengenalan kepada Tuhannya dari dahulu dan kedepan, apakah hal tersebut dikemukakan oleh para nabi dan rasul atau oleh mereka yang diberi pencerahan langsung oleh Tuhan melalui ilham, firasat, filsafat, atau sumber pengetahuan lainnya. Benar kiranya dikala Muhammad s.a.w. diperjalankan Allah ke Sidratul Muntaha melalui peristiwa Isro‟ dan Mi‟rajnya, ketika Jibril tak mampu menembus alam tersebut, maka beliau dibawa oleh gumpalan awan untuk menghadap Ilahi; maka ketika ditanya peristiwa tersebut seperti apakah awan tadi, beliau menjawab berwarna-warni tanpa ada padanannya (yakni bukan warna biasa). Sahabat bertanya dengan dimensi alam dunia (titik), sementara Rasulullah menjawab dengan dimensi langit (ruang); maka terjadi jurang yang dalam 82

dan panjang untuk menerangkan, baik yang bertanya dan ditanya tidak cukup perbendaharaan pengetahuannya untuk menerangkan dan diterangkan. Dalam pengembaraannya mencari Tuhan, maka manusia dibagi dalam beberapa golongan atau kelompok sesuai dengan lorong waktu dan koridor pemahamannya, yang apabila diuraikan dalam bentuk pengelompokannya adalah sebagai berikut: 1. Kelompok naturalis atau serba alam wujud. Pemahaman kelompok ini adalah sederhana, yakni mengenal Tuhan bukan pada wujud zatnya melainkan kepada kreatifitasnya dalam menciptakan alam raya seisinya. Terdapat beberapa argumentasi logis tentang adanya kreatifitas tersebut, yakni: adanya variasi bentuk dan jenis yang tidak terbatas jumlahnya, adanya ukuran yang pasti dan tetap pada setiap varians tersebut, adanya konsistensi aturan sehingga tidak terjadi tubrukan atau benturan yang mengakibatkan hancurnya varians tadi, adanya fase awal dan akhir yang sulit diduga dengan dimensi waktu planet biasa, adanya perubahan bentuk, warna, dan ukuran karena suatu sebab yang bergerak dari waktu ke waktu; adanya kesinambungan peruntukan dan fungsi dari berbagai varians yang saling bergantung; dan lain sebagainya. Dalam perjalanannya dalam kelompok inipun masih dibagi pula pada sub-kelompok, antara lain: 1) Kelompok yang berhenti hanya sampai pada pengenalan hukum-hukum alam sehingga menjadi pengetahuan bersifat universal dan mampu memanfaatkan keuniversalan tersebut untuk kepentingan hidup duniawiahnya. Dalam kelompok ini umumnya diisi para ilmuwan (saintis), yang kemudian muncul dengan istilah penguasaan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). 2) Kelompok yang berhenti pada dimensi terpukau oleh bentuk alam raya seperti yang disebutkan di atas, sehingga tidak henti-hentinya ia tergagap dalam rasa kagum yang tidak berujung. Kekagumannya tersebut diukir dalam ekpresi hatinya melalui lukisan, puisi dan pantun, ukiran, nyanyian, musik, 83

dan sebagainya. Kelompok ini dikenal sebagai seniman atau sastrawan, yang kemudian terbagi lagi dalam berbagai aliran seni atau sastra, seperti aliran naturalis, abstraksi, bebas nilai, dan lain-lain. 3) Kelompok yang mencoba mencari rahasia dibalik yang ada tersebut dalam dimensi pemikiran, karena tidak mungkin bintang yang jumlahnya triliunan di langit menjadi mubazir belaka karena tak satupun yang dapat digapai manusia.

Kelompok

ini

dikenal

dengan

kaum

pemikir

atau

filsafati

(manusianya disebut filosof). Ditemukannya hukum gravitasi bumi tidak lain karena Isaac Newton mempunyai nalar filosofis tersebut, dengan logikanya yang sederhana, mengapa benda selalu jatuh ke tanah (bumi) ? 2. Kelompok serba benda (materi). Pemikiran atau pendapat dari kelompok ini amat bersahaja saja yakni, bahwa alam raya ini pada dasarnya hanya merupakan kumpulan materi atau benda dan energi atau tenaga saja. Setiap bentuk materi sekecil apapun ia (atom misalnya) tentu mempunyai energi yang tersimpan (energi kinetik atau energi potensial) yang dapat diukur dan dimanfaatkan. Apabila terjadi perubahan bentuk dari materi tersebut, apakah menjadi bagian kecil (fraksi), memadat atau menyatu dengan materi lain (fusi); maka tentu akan terjadi pelepasan energi yang energi tersebut tidak akan hilang. Munculnya ilmu fisika berupa teori dinamika I dan II tidak lain adalah mengikuti paham tentang kekekalan materi dan energi tersebut. Dalam kelompok ini dapat terjadi dua aliran yang jangkauannya sangat luas dan mendasar, antara lain: 1) Kelompok yang memandang materi apa adanya sebagai benda yang mempunyai hukum alami (masuk dalam kelompok ilmuwan) yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia. Yang paling kuat dan dominan peranannya dalam kelompok ini adalah kaum fisikawan (yang analisisnya berdasarkan hukum fisika). Kemajuan peradaban manusia sangat dibantu oleh kelompok ini karena dengan ilmunyalah manusia mampu menguasi air, angin, api, transportasi, energi, komunikasi, dan sebagainya. 84

2) Kelompok yang memandang alam seisinya pada dasarnya tidak ada bedanya semua benda atau materi semata, yang berbeda hanyalah variasinya. Batu adalah benda, tanaman benda, monyet adalah benda, manusia juga benda; semua makhluk hidup adalah benda yang apabila mati akan menjadi benda mati seperti tanah, air, dan abu. Nilai guna dari benda-benda tersebut tergantung pada fungsinya, apabila masih berfungsi maka berguna, jika tidak maka ia tak punya nilai guna. Manusia berguna bila masih produktif menghasilkan barang dan jasa, namun bila tidak seperti sakit atau uzur ketuaan, pikun, dan sebagainya; maka kehadirannya hanya akan mengurangi fungsi-fungsi produksi lainnya. Dalam perjalanan sejarah kelompok ini mewujudkan ide dan citranya dalam bentuk pemahaman atheisme yang kemudian menjadi gerakan politik komunisme. 3. Kelompok religius atau mendekati Tuhan dengan menggunakan norma agama. Melihat begitu banyaknya aliran keagamaan yang terdapat di muka bumi ini yang berkembang dari generasi ke genarasi adalah menjadi bukti bahwa manusia pada prinsipnya punya keinginan untuk mengenal Tuhannya dan berdekatan dengan-Nya. Tentu saja masing-masing aliran tersebut mempunyai argumentasi yang demikian kental sebagai keyakinannya atas dasar berbagai latar belakangnya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pencarian pengenalan ketuhan dalam kelompok religius dapat dibagi dua, yaitu: 1) Aliran religius (spiritualis) yang cara pengenalan ketuhanannya melalui jalur perkembangan kebudayaan manusia, dikenal sebagai agama budaya. Dalam aliran ini terdapat agama filsafat (yakni dari filsafat berkembang jadi sistem agama), seperti Kong Hut Chu dan Budha; serta agama polytheisme (bertuhan banyak), seperti Hindu; dan agama berhala (anggapan adanya kekuatan magis pada benda tertentu), seperti Majusi, Kejawen, dll. Dengan berjalannya waktu semua aliran ini bisa melakukan asimilasi (penyatuan) sehingga bisa terbentuk aliran baru. Contoh: Orang China menyatukan antara 85

aliran Konfusius dengan Budha; pada relief Borobudur terjadi asimilasi antara cerita Hindu dan Budha; dll. Penonjolan pada aliran religius ini adalah adanya aktualisasi (perwujudan tuhan) menurut asumsi manusianya yang kemudian dilukis atau dibuat patung dengan berbagai versinya. Bisa saja orang barat yang bergama hindu menggambarkan tuhan Krisna dengan warna kulit putih, orang Afrika dengan warna hitam, sementara orang Asia dengan warna coklat. Kejawen menganggapnya semua pusaka peninggalan leluhur bertuah, sehingga kekuatan tuhan atau wujud tuhan diformulasikan pada kekuatan magis dari tuahnya tersebut. Orang Budha cara mengenalkan tuhannya melalui gambaran berupa patung atau lukisan Budha yang dalam berbagai bentuk dan posisinya yang dianggapnya mengandung berbagai simbol ajaran, ada Budha bersila, tidur, berdiri, dan lain sebagainya. 2) Aliran religius yang pengenalan Tuhannya melalui sumber wahyu atau kitab suci. Berdasarkan sumber wahyu tersebut pada dasarnya aliran dalam kelompok ini jauh lebih awal datangnya dan paling tua usianya. Pengakuan tersebut berdasarkan atas munculnya manusia pertama yang disebut Adam yang mengenal Tuhannya jauh sebelum dia sendiri bersama istrinya (Hawa) mengisi bumi ini untuk beranak pinak (regenerasi). Akan tetapi dengan semakin jauhnya jarak usia generasi awal dengan berikutnya, maka Tuhan berdasarkan wahyu tersebut semakin tidak dikenal. Itulah yang menyebabkan manusia mencari jalannnya sendiri untuk mencari tuhan karena kebutuhan insting rohaninya. Sehingga dikemudian hari terjadilah pelurusan jalan menuju

Tuhan

itu

dengan

diutusnya

para

Rasul

dan

Nabi

untuk

menyampaikan formula wahyu tentang cara mengenal Tuhan yang dilengkapi dengan softwarenya dan tersempurnakan pada kenabian Muhammad s.a.w. Dalam konsep wahyu ini Tuhan diaktualisasikan sebagai Zat Tunggal (Esa), yang keberadaannya dapat dikenal melalui sifat, tabiat, dan perbuatannya 86

yang semuanya menyatu dalam wujud tunggal yakni asmaul husna (zatnya tunggal namun sifatnya terwujud dalam alam raya seisinya). Semua jenis kitab suci yang diturunkan dan nama-nama nabi atau rasulnya disebutkan secara

gamblang,

hanya

ada

yang

tidak

dijelaskan

karena

diduga

berhubungan dengan kegunaannya. Sayangnya yang sampai pada generasi sekarang, hanya tinggal satu kitab suci yakni Al-Qur‟an yang masih mampu bertahan

keasliannya

(originalitasnya),

sementara

kitab

suci

lainnya

diragukan keasliannya. Tidak sulit untuk menguji keaslian suatu sumber informasi tersebut karena dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: bahasa ibu yang digunakan pada saat diturunkan, kodifikasi (pensyahan) oleh generasi awal atas pembawa risalahnya, sulit dipalsukan karena adanya kunci-kunci hafalan yang kuat dari generasi ke genarasi, isi (matan) kandungannya tidak bertubrukan satu sama lain dan mengandung kewajaran logika (mantik), siap untuk dikoreksi dengan argumentasi sejenis atau lebih tinggi derajatnya. Bahkan Al-Qur‟an sendiri dibukukan justru oleh para sahabat

nabi

sendiri

sebagaimana

cerita

berikut:

Setelah

wafatnya

Muhammad s.a.w. terjadilah suatu peristiwa dimana seorang penipu bernama Musailamah Al-Kazzab menganggap dirinya sebagai nabi. Maka orang yang lemah imannya banyaklah yang kembali murtad. Setelah keadaan bertambah genting Abu Bakar r.a. (sebagai khalifah) telah memerintahkan memerangi untuk memberantas gejala buruk ini, maka terjadilah satu peperangan yang hebat. Dengan bantuan Allah s.w.t. tentara Islam dapat menewaskan dan membunuh Musailamah. Dalam peperangan ini banyak para hafiz (penghafal Qur‟an) yang terbunuh. Hal ini amat membimbangkan Abu Bakar. Maka beliau memerintahkan Zaid bin Thabith untuk mengumpulkan lembaran ayatayat Al-Quran untuk dibukukan. Ketika mendengar perintah itu Zaid berkata: Dengan nama Allah, jika tuan menyuruh saya mengubah gunung dari satu tempat ke satu tempat yang lain tidaklah ia membebankanku dari mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Quran. Bagaimanakah sanggup tuan 87

melakukan sesuatu yang Rasulullah sendiri tidak melakukannya?" Abu Bakar r.a. menerangkan bahwa tindakan ini terpaksa dibuat demi menyelamatkan Al-Quran dari terpupus (hilang). Setelah Zaid mendengar penerangan itu, maka iapun menemui penduduk-penduduk di situ dan mengumpulkan satu demi satu lembaran ayat-ayat Al-Quran dari mereka yang ada dan menyalinnya. Zaid r.a. juga menemui para hafiz yang menghafalnya dalam hati mereka sehingga dapatlah Zaid mengumpulkan hingga ayat yang terakhir. Dengan uraian tersebut di atas maka menjadi bahan renungan bagi kita, mungkinkan kita mampu mengenal tuhannya apabila tidak ada peta yang menuntun kesana atau tidak ada buku software yang bisa kita gunakan untuk mengenalnya. Ilmuwan saat ini telah terjerumus pada paham yang menyulitkan dirinya sendiri untuk jauh dari pengenalan terhadap tuhannya dengan membingkai dirinya dalam figura methode

ilmiah yang sekuler (segala sesuatu yang berbau tuhan ditolak). Demikian pula kaum religius yang mencari tuhan atas pencariannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam sangka-sangka semakin abstrak dan berbenturannya nilai tuhan bila diejawatahkan dalam dimensi sosial dan berbudaya. Arca-arca, simbol-simbol berbau keagamaan, piramid, stupa, ritual persembahan dan pengorbanan, dan sebagainya, menjadi bukti tentang kegagalan manusia dalam menjumpai tuhannnya. Hal serupa bisa juga terjadi pada kaum yang mengikuti aliran monotheisme yang kemudian berbelok menjadi aliran polytheisme dan mendekati kepada mistik dan ritual. Dari kelompok ini yang paling ketara adalah agama Nasrani yang telah pecah belah menjadi berbagai sub aliran yang sama sekali berbeda dalam sistem kepercayaannya dan ritualnya (silahkan dilihat perbedaan antara Katolik, Protestan, Pantekosta, Advent, Ortodoks, Anglikant, dsb.). Dalam Islampun sebenarnya telah terjadi pula adanya sub aliran seperti Syiah (hanya bersumber pada garis keluarga nabi, khususnya Ali bin Abu Thalib) dan Sunni (tidak membedakan garis keturunan), serta adanya sekte-sekte (pecahan) di dalamnya. Hanya perlu dikritisi disini bahwa adanya aliran dalam Islam tersebut tidak sampai kepada hal yang sifatnya prinsip yakni tentang Keesaan Tuhan dan cara peribadatan (ritual). Prinsip 88

tauhid tersebut demikian dijaga dalam Islam sehingga simbol aktualisasi Tuhan dan nabinya dilarang sama sekali sampai saat ini dan dikontrol ketat oleh setiap muslim. Demikian pula dalam hal ritual apakah itu shalat, puasa, zakat, haji dan umrah, serta shahadatnya tidak ada perbedaan sama sekali. Memang ada sekte-sekte tertentu seperti aboge (Jawa), Ahmadyah (Pakistan), Bahiyyah (Iran), dsb; semuanya mengaku sebagai pembaharu dalam Islam namun semua ulama Islam sepakat bahwa sekte-sekte tersebut bukan Islam melainkan mengaku Islam yang disebabkan oleh kepentingan politik tertentu. Adanya pengelompokan dalam Islam sehingga teraktualisasi dalam gerakan dakwah eksklusif seperti: kelompok bergamis, bercadar, berjenggot, celana “cingkrang”, dari mesjid ke mesjid, dan lain-lain yang sekarang berkembang pesat adalah semata-mata karena pemahaman hadist nabi yang “sempit” yang kemudian menjadi gerakan sosial. Sementara gerakan-gerakan keIslaman yang berbau politik juga mewabah saat ini sebagai respon dari tekanan sosial dan politik umat lain, di dalamnya terdapat: Hisbut Thahir (Yordania), Ikhwanul Muslimin (Mesir), Wahabi (Saudi Arabia), dan lain sebagainnya. Memang terdapat pula aliran Islam yang menyerempet pada persoalan akidah pada masa lalu dan pernah menjadi gerakan politik atau dipolitisir antara lain: Aliran Mu‟tazilah, Aliran Asy‟ariah, Aliran Maturidiyah, Aliran Jabariyah, Aliran Qadariyah, dan sebagainya. Setelah kita ikuti berbagai aliran yang mencari ketuhanan tersebut di atas, maka tentu kita akan bertanya apakah sampai mereka semua itu menemukan Tuhannya? Saya tidak berani untuk menjawab secara vulgar karena keterbatasan pengetahuan saya tentang hakekat sesungguhnya dari pertemuan antara hamba dan kholiknya. Keterbatasan pandangan tersebut sama juga seperti halnya nabi Musa a.s. ketika “berguru” kepada Khidir tentang ilmu yang diberikan secara khusus kepada Khidir, sekalipun ilmu kitab sudah dikuasai oleh Musa karena memang dia adalah Rasulullah. Orang musyrik bisa saja secara tiba-tiba mendapatkan Tuhannya, sementara orang beriman bisa saja terhempas atau terlempar jauh dari hadapan-Nya. Demikian tertutupnya rahasia Tuhan tentang segala kejadian, maka tidak aneh pula tentang keberadaannya; sebenarnya tidak sulit bagi siapapun untuk mengenal 89

Tuhannya selama dia mau “mencampakan” keakuannya yang umumnya menjadi tembok tertutup rapat bagi masuknya petunjuk dan bimbingan Illahi yang akan mengenalkan dirinya. Isyarat ini telah dikemukakan oleh Tuhan itu sendiri melalui wahyunya sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,

kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” [2: 6-7]. Manusia cenderung selalu merasa sudah tahu segalanya sehingga perlu merubah pandangan dan sikap untuk menjadi insani yang butuh pengetahuan. Dengan perubahan tersebut maka mata hatinya akan menjadi lebih sensitif terhadap segala informasi yang masuk sekecil apapun “bisikannya”. Bagi seorang ibu yang mempunyai hati ke-ibuan, maka rengekan atau tangisan bayinya akan direspon dengan perhatian yang mendalam dan luas, mungkin bayi tersebut gatal, sakit, lapar, takut, kaget, buang hajat, ingin didekap, dan sebagainya. Tetapi bagi si ibu yang telah tercabut hati keibuannya, mungkin akan mengumpat, apalagi maunya anak ini, sudah disusui kok masih rewel saja (sebenarnya yang rewel ibunya yang telah tertutup matahatinya). Pada manusia tipe kedua Tuhan enggan “mendekat” sekalipun dekat yang disebabkan ketidak layakan hati sang ibu tersebut yang kesat dan keras, sementara Tuhan Maha Halus dan Lembut. Sementara pada tipe ibu pertama, Tuhan akan memberi jalanjalannya semakin terbuka dan naik pada pintu “makrifat” yang semakin hari akan semakin terang benderang. Ilmu pengetahuan pada dasarnya telah pula memberikan sinyal tentang jalan menuju pengenalan Tuhan, sayangnya manusia hatinya terkesatkan atau menjadi semakin keras oleh “kesombongan” dan kebanggaan terhadap apa yang diketahuinya sekalipun baru mencapai permukaannya. Maka apabila ilmu pengetahuan tidak membukakan jalan bagi si pencinta ilmu tersebut, ia laksana lumpur hidup yang tak tampak dari permukaan tetapi bila terinjak atau dimasukinya, maka ia akan menjadi kuburan masal bagi para ilmuwan itu sendiri. Jasmaninya hidup sehat, namun hatinya 90

telah mengeras menjadi batu bahkan lebih keras lagi, sehingga mana mungkin ia kenal akan Tuhannya. Melihat fenomena itulah maka sudah saatnya kita yang diberi ilmu pengetahuan dan bisa mengaksesnya, mencoba mencarikan terobosan baru agar supaya segala sesuatu yang dipelajari dan didapat dari pelajaran tersebut sanggup mengenal Tuhannya. Terdapat beberapa anak tangga untuk mencapai hal tersebut, yang apabila dinaiki secara perlahan dan sistematis, maka taqdir pencarian Tuhan akan terpenuhi juga. Apakah anak tangga tersebut? 1. Tangga pertama disebut tangga pengetahuan. Derajat manusia sangat ditentukan oleh seberapa luas pengetahuannya akan segala sesuatu yang ada di alam raya ini, dan seberapa dalam pengungkapan maknawinya tentang sesuatu tersebut. Bagi seseorang yang mendengar istilah tentang hari kemarin hanyalah sejarah atau kenangan, hari ini adalah kenyataan,

dan hari esok adalah harapan atau lamunan; mungkin tidak mempunyai maknawi sama sekali kecuali sekedar ungkapan penyederhanaan permasalahan yang

dihadapinya.

Sedangkan

bagi

seseorang

yang

mempunyai

dasar

pengetahuan cukup luas; maka hal tersebut dilihatnya sebagai rangkaian gerbong kehidupan yang sangat menarik untuk disimak dengan saksama dan dirinci (Jawa: dipetani) satu persatu agar menjadikan sebuah cerita yang dapat dijadikan tolak ukur keteladanan seseorang. Sayapun dalam menulis buku ini dimaksudkan sebagai bacaan akuntabilitas diri saya untuk mengukur dan menghitung segala sesuatu tindak tanduk saya dalam hidup, agar supaya dapat memperbaiki tingkat kesalahan dalam umur yang tersisa ini. Agar supaya ia mampu menilai harga sejarah masa lalunya, maka ia harus melakukan studi banding (comparative study) dengan orang lain yang telah meninggalkan jejak sejarah secara benar dan penuh kemuliaan bagi peradaban manusia. Studi banding terhadap sejarah para nabi dan rasul nampaknya tidak representatif (terwakili atau bukan padanannya), mengingat beliau-beliau itu adalah perwujudan firman Tuhan dalam bentuk insani yang perlu diteladani. Namun 91

studi banding dengan tingkatan sosial lain sangat banyak dalam sejarah umat manusia, apakah mereka itu kaum pemikir, hartawan, pejuang, negarawan, ahli ibadah, hakim yang adil, pendidik, dan lain-lain. Maka kalau hal ini yang dijadikan cara berfikir untuk melihat sejarah, betapa “kerdilnya” jejak sejarah hidup kita, bahkan kita belum mampu merubah atau mewarnai sejarah seperti orang-orang mulia yang mendahului kita. Dalam posisi berfikir dan kesadaran demikianlah kita baru bisa memperbaiki diri dengan mengukir hari ini sebagai kenyataan hidup karena saat inilah kita bisa berbuat. Banyak nian warna yang dapat kita torehkan pada waktu saat ini supaya menjadi sejarah hidup yang indah dimasa akan datang. Bukankah pada diri kita masih diberi tangan yang dengan itu kita menggapai dan bekerja; mempunyai kaki yang dengan itu kita bisa mencapai; mempunyai panca indra yang dengan itu kita membaca, melihat, merasa, mengecap dan meraba; kita masih diberi akal fikiran yang sehat (belum pikun)

yang

dengan

itu

bisa

membuat

kreasi

dan

mengembangkan

pengetahuan; mempunyai perasaan yang dengan itu dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Itulah faktor internal kita yang perlu difungsikan secara maksimal agar supaya kenyataan hari ini menjadi fakta bagi hari esok. Hari esok yang menjadi lamunan adalah apabila kita dalam berpijak pada hari ini selalu menunda waktu untuk berbuat sesuatu dengan dalih masih ada hari esok, padahal tidak ada seorangpun yang menjamin apakah hari esok itu benar-benar milik kita! Janganlah kita menjadi si Kabayan dalam cerita rakyat Sunda. Dikala disuruh mertuanya pergi ke huma (ladang atau kebun) untuk bertani menanam jagung, dipilihnya dangau (tempat istirahat di sawah atau ladang) kemudian dia berleha-leha sambil tiduran menikmati angin pagi yang sejuk seraya berkhayal atau melamun. Dipaculnya tanah, dibalik dan diolah agar gembur, setelah itu ia tugal untuk lubang tanaman biji jagung satu per satu, ditunggunya hujan, dilihatnya tumbuh dan membesar tanamannya, mulailah dia membentuk bunga dan jadilah tongkol jagung, kemudian sambil bernyanyi dipetiknya jagung muda untuk dibakar karena perutnya terasa lapar, namun betapa kagetnya ia waktu 92

akan menggigit biji jagung digebah (disablek) orang yang ternyata si Iteung (istrinya) membangunkan disianghari sambil ngomel ia berkata: mana kang pekerjaannya, kok malah molor! Mungkin sayapun adalah bagian dari si Kabayan yang banyak berkhayal sehingga hidup tidak produktif dan untuk itulah saya berusaha memperbaiki diri merubah lamunan menjadi harapan. Lalu bagaimana caranya, bisakah? Tentu bisa bila kita mempunyai ilmunya, maka baiklah kita belajar pada seorang petani tua yang sedang menanam tanaman korma disiang hari yang panas. Datanglah padanya seorang raja yang menyamar sebagai rakyat jelata, didekatinya si petani tersebut seranya bertanya: Wahai orang tua tumbuhan apakah yang kamu tanam? Bibit korma, jawabnya singkat. Ia bertanya kembali: Lho dari raut muka tuan nampaknya sudah berusia lanjut! Benar, saya sudah umur 70 tahun saat ini jelasnya. Diteruskan oleh sang Raja: Lalu bagaimana kamu menikmati hasil panennya karena korma berumur panjang? Jawabnya: Emangnya hasil panennya untuk saya, kalau dahulu kakek saya tidak menanamnya tentu saya tak menuai hasilnya! Betapa terkejutnya sang raja mendengar hal tersebut, karena iapun hanyalah memanen hasil orang tuanya sebagai raja, maka disuruhnyalah pengawalnya untuk memberi sekantong uang sebagai hadiah kebajikan orang tua tersebut, dengan katanya: Orang tua terimalah ini sebagai rasa syukur saya menerima pengetahuan tentang kebijakan dari tuan. Melihat hal ini si petani tersenyum (bukan gembira karena hadiah, melainkan karena berhasil memberi pelajaran) dan katanya: Ha ha, belum juga tumbuh ternyata pohon kurma saya sudah berbuah! Itulah sebuah argumentasi harapan yang sungguh berbeda dengan si Kabayan sekalipun sama-sama kaum tani, yang satu berjalan di atas lamunan sedangkan yang lainnya berjalan tegap di atas harapan. Pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk menguasai semua dimensi ruang dan waktu tersebut, baik masa lalu, saat kini, maupun masa depan; tanpanya kita akan dimakan oleh waktu dan digencet oleh ruang sehingga cepat tua 93

dengan organ tubuh baik jasmani dan rohani yang menjadi rapuh. Kelihatan besar, indah menarik, tetapi apalah artinya semua itu kalau hanya laksana sebuah krupuk yang hancur digenggaman anak kecil dan melempem dikala dicelup ke dalam air. Pengetahuan menjadi penting bukan saja ia akan menjadi penerang bagi dirinya sehingga ia mudah menjalani kehidupan ini namun juga berguna untuk orang lain yang membutuhkannya, hal ini dijelaskan oleh suatu hadist berikut. Dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi bersabda : "Barangsiapa mempelajari satu bagian dari ilmu yang akan berguna untuk

akhirat dan dunianya, maka Allah akan memberikan kebaikan dari orang-orang yang mendiami dunia selama 7000 tahun. Puasanya pada siang hari dan shalatnya di saat malam pasti diterima dan tak akan ditolak." Menurut riwayat yang sama Nabi bersabda : "Membaca al-Qur'an adalah amalan orang-orang yang cukup. Shalat adalah amalan orang yang lemah. Puasa adalah amalan orang yang fakir. Bertasbih adalah amalan wanita. Sedekah adalah amalan orang berada. Tafakur adalah amalan orang yang lemah. Inginkah kalian kutunjukkan amalan para pahlawan ?"

"Apakah amalan para pahlawan itu, Ya Rasul ?"

"Mencari ilmu. la akan menjadi penerang bagi orang mukmin di dunia dan akhirat." Ilmu pengetahuan

apapun bentuknya, apakah itu masalah

yang

membahas pengetahuan umum (alam raya seisinya) ataupun yang berhubungan dengan masalah keagamaan (biasanya disebut ilmu agama), pada prinsipnya berada pada level atau tingkatan tangga pertama ini. Setinggi dan seluas apapun pengetahuan seseorang apakah menyangkut masalah biologi, astronomi, filsafat, ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan sebagainya hanya berada dalam anak tangga tersebut; sehingga tidak heran bila masih terjadi rasa harga diri “maha tahu” sehingga terjadi perdebatan tak berkesudahan.

94

2. Tangga kedua disebut tangga penyerahan Hanya manusia yang mempunyai ilmu pengetahuanlah yang mau menyerah kepada kebenaran, karena dengannyalah ia mengerti bahwa bilamana tidak ia ikuti semua “hukum kebenaran” tersebut maka akan menyulitkan hidupnya dan merendahkan derajat kemuliaan dirinya. Suatu kebenaran darimana saja datangnya tetaplah dia akan menempati posisi benar adanya sekalipun dimanupulasi, mungkin saja ia tertutupi tetapi pada akhirnya akan muncul kembali cahayanya ke permukaan. Inilah yang disampaikan Qur‟an: Katakanlah yang haq (benar) itu benar adanya dan bila kebenaran telah datang maka akan sirnalah kebatilan”. Dalam kehidupan sering kita dapati banyak manusia selalu berkecimpung dalam kemungkaran dan kemaksiatan, sehingga timbulah pertanyaan apakah mereka itu belum mengetahui bahwa yang benar itu indah dan terhormat, sementara apa yang mereka perbuat itu menyebabkan mereka berada dalam lembah yang sulit dan hina? Tentu saja tidak demikian; karena kebenaran dan kebatilan adalah merupakan “sejoli” kehidupan yang tak dapat dipisahkan karena laksana sekeping mata uang. Orang berbuat mungkar bukan berarti ia tak melihat kebajikan atau kebenaran, seperti halnya orang berbuat kebajikan tentu saja dapat melihat kemungkaran. Masalahnya adalah terletak pada sisimana yang ingin ia pilih; nah kembali pilihan memegang peranan. Orang mampu memilih tentu ia sadar dan sehat akal jasmaninya sehingga iapun tahu risikonya terhadap pilihan tersebut, tetapi ia enggan keluar dari pilihan tersebut karena berbagai alasan, seperti: ekonomi, gengsi, takut, dsb. Bagi manusia demikian tentu saja ia akan jatuh dari tangga kemuliaan tanpa ada seorangpun yang dapat menolongnya, bahkan apabila ia telah “termabukan” oleh pilihannya tersebut iapun sudah tidak akan mampu lagi untuk melihat cahaya kebenaran. Mereka telah menyerah (Jawa: pasrah bongkokan) terhadap perilaku buruknya karena segala sesuatu yang semakin buruk dari itu akan terlihat “indah”. Penyerahan demikian tentu saja bukan yang saya maksud dalam tulisan ini karena mereka tidak layak untuk berdiri tegak di atas anak tangga 95

kedua ini. Mereka bahkan hanya berada di dasar anak tangga pertama bahkan hanya sebagai “debu” kehinaan. Tuhan tidak menghendaki hal tersebut, karena manusia dicipta bukanlah untuk hal tersebut, melainkan untuk “dibanggakan” Illlahi terhadap makhluk lainnya yang Dia cipta. Untuk itulah Tuhan memberikan bimbingan bagaimana seharusnya manusia menyerahkan hidupnya pada kebenaran yang standarnya telah Ia tentukan dengan terang benderang sehingga siapapun dapat melihatnya. Terdapat berbagai bimbingan Tuhan bagaimana cara kita menyerah dan pada aturan apa saja kita menyerah; maka penjelasannya tentu saja berada pada tingkatan-tingkatan kebenaran yang ditawarkannya. Apabila kebenaran berskala ilmiah yang ditawarkan maka sudah sewajarnya siapapun mengikutinya selama kebenaran lain yang lebih tinggi derajatnya belum diketahui atau belum datang. Contoh sederhana adalah demikian: dahulu untuk membunuh kuman (patogen) setelah ditemukannya antibiotika, para dokter selalu memberikan terapi berupa penyuntikan antabiotika pada diri si pasien dan memang hasilnya “ces pleng”. Namun dengan berkembangnya pengetahuan tentang daya resistensi patogen terhadap antibiotika, maka pola terapi tersebut berubah, dari yang bernuansa “selalu” menjadi “jika perlu”. Saat ini telah diikuti oleh para ahli medis sebagai “penyerahan diri” terhadap kebenaran yang bersifat ilmiah (karena dibuktikan dengan metode ilmiah). Dengan cara inilah para dokter tersebut memberikan kesempatan pada tubuh si pasien agar supaya mampu memunculkan ketahanan alami yang terdapat pada tubuhnya, dan hasilnya sekalipun tidak mencapai tingkat kebenaran mutlak (artinya ada yang gagal), namun peluang hidup relatif berhasil dengan menggembirakan. Dalam hal menaiki tangga penyerahan yang bersifat keagamaan, maka metodenya berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap kebenaran ilmiah atau saintifik tersebut di atas. Metode yang digunakan disebut sebagai “action method (metode diperbuat)”, dalam bahasa Jawa lebih mengena dengan istilah metode 96

laku, dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah sami‟na wa a‟thona (kami dengar dan kami taat). Dengan metode ini maka setiap informasi kebenaran yang sampai lewat sumber wahyu hendaknya pembuktiannya melewati diperbuat dahulu, sehingga ia akan membentuk kharakter baru dari si pelaku, yang kemudian akan berubah menjadi pola baru pula dari yang bersangkutan baik menyangkut

cara

berfikir,

berbuat,

berprasangka,

bermasyarakat

dan

sebagainya. Dalam bahasa ilmiah hal ini disebut sebagai “multiplier effect (pengaruh pelipatan)” yang akan merubah dinamika struktur jiwa dan raga manusia yang bersangkutan. Ia akan hidup sehat, kreatif, dinamis, motivatif dan inovatif, berfikir jauh kedepan, pemaaf, dapat dipercaya, dsb. Disinilah arti sesungguhnya dari seorang yang telah menyerah, yakni ia campakan kekerdilan dirinya pada kebenaran yang hakiki tanpa harus menengok kepada orang lain karena semata-mata tersilaukan oleh kebenaran tersebut. Seorang Umar bin Chatab mau menyerah sehingga menerima Islam yang dibawa Muhammad adalah semata-mata karena terbukanya matahati nuraninya dikala melihat kebenaran yang diwahyukan Alllah lewat surat Thaha sebagai berikut ini: “Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi

susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah); yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaulhusna (nama-nama yang baik). [20: 1-8]. Orang sering menuduh bahwa Umar itu keras (ekstrim) dan berperilaku buruk pada masa sebelum menjadi muslim. Pertanyaannya adalah apakah mungkin, ayat tersebut dapat terbaca oleh mereka yang hatinya kasar dan keras, 97

padahal firman Allah itu demikian santun dan lembut, dan zat yang demikian Maha Tinggi mau mengenalkan dirinya. Disinilah kita sering salah menilai orang, orang keras pada prinsip dianggapnya jahat sementara orang yang plin plan (tak punya prinsip) dikiranya baik dan mulia. Sungguh orang yang baik adalah mereka yang mau tunduk dan menyerah pada kebenaran apalagi bila datangnya dari

Tuhan

sendiri

serta

mau

memanfaatkan

potensi

dirinya

untuk

kemasylahatan alam raya seisinya. Mungkin cerita di bawah yang saya ambil dari buku Piano on the beach (Jim Dornan) ini dapat kita jadikan suritauladan tentang siapakah sebenarnya diri kita. Selama bertahun-tahun sebuah patung Budha duduk bersila dengan khidmatnya di pusat kota Bangkok, Thailand. Patung yang terbuat dari semen dan tingginya kurang lebih 2,43 meter ini keberadaannya kurang dihargai dan dihormati, baik sebagai benda seni maupun sebagai simbol keagamaan. Para pengunjung yang datang dari seluruh dunia kerap kali dengan seenaknya meletakkan kaleng bekas minuman di atas patung itu. Tidak kurang pula yang memanfaatkannya sebagai alas untuk meletakkan kamera pada saat mengganti film. Pendeknya, sebagian besar pengunjung tidak terlalu peduli akan keberadaan patung itu. Empat puluh (40) tahun yang lalu seorang pendeta Budha membawa patung tua ini kebiaranya. Sewaktu dipindahkan patung tersebut retak. Saat pecahan-pecahan patung itu berjatuhan, si pendeta melihat sesuatu yang bercahaya di bawah batu betonnya. Dengan bantuan temantemannya dia menarik rangka betonnya. Ternyata, di dalamnya ia menemukan sebongkah emas berukir terbesar di dunia. Ternyata patung tersebut bernilai tinggi! Dan selamanya akan tetap seperti itu. Inilah contoh kasus dari sesuatu yang bermakna yang luput dari perhatian. Keindahan yang tersembunyi dan potensi yang tidak pernah tergali. Ini juga merupakan contoh aset yang tidak pernah dimanfaatkan! Kita tahu siapa saja orang yang memiliki emas di dalam dirinya. Hanya, emasnya masih tersembunyi di bawah penutup baja. Anda pun tahu kalau emas itu berada dalam diri Anda. Pada dasarnya semua orang 98

memiliki potensi dan bakat yang unik yang diberikan oleh Tuhan. Namun, salah satu hal yang sulit dimiliki dan dipertahankan dalam hidup ini adalah sikap menghargai apa yang kita miliki dan siapa kita. Jutaan orang hidup di dunia ini dengan memberikan citra buruk terhadap diri sendiri, karena mereka tidak menghargai potensi yang ada dalam diri mereka. Mereka hanya terfokus pada kegagalan yang tampak dari luar saja dan bukan melihat potensi-potensi yang ada di dalam diri mereka. Mereka hanya membiarkan kemampuan luar biasa mereka tertutup rangka keras berupa keragu-raguan dan perasaan tidak aman. Karena itu, mereka segera menutupi rasa mindernya dengan pakaian model terakhir agar tampak terkesan percaya diri dan berharga di mata orang lain. Memberikan citra diri yang positif bukan dilakukan dengan cara menyenangkan orang lain atau dengan mengikuti tren yang sedang populer, tetapi mengenal dengan baik siapa diri Anda, kelebihan-kelebihan apa yang anda miliki. Anda juga harus tahu apa yang Anda tuju dan apa yang Anda cari. Galilah kelebihankelebihan dan bakat-bakat yang Anda miliki, tetapi Anda juga harus belajar bagaimana Memberikan

menerima citra

diri

dan yang

mengendalikan positif

jangan

kelemahan-kelemahan diartikan

dengan

Anda. mencari

kesempurnaan, tetapi berusahalah untuk memberikan hal yang terbaik dari diri kita. Citra diri yang positif juga bukan berarti harus memenangkan persaingan atau membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain. Yang benar adalah Anda harus senantiasa memaksimalkan apa yang mampu Anda lakukan. Orang yang memiliki citra diri positif yang sebenarnya-benarnya memiliki: Kemampuan untuk melakukan keseimbangan; Kemampuan untuk menentukan tujuan; Kemampuan untuk menerima secara wajar segala kesuksesan dan kegagalan; Kepribadian yang kuat. 3. Tangga ketiga disebut tangga pengabdian Istilah pengabdian tentu saja banyak corak ragamnya, tetapi yang dimaksud dalam anak tangga ini mengabdi untuk menegakan kebenaran yang tata caranya 99

tentu saja tergantung pada skala atau ruang gerak pengabdian tersebut. Seorang ilmuwan yang selama hidupnya seluruh potensi dirinya hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sudah pasti akan mendapatkan reward (pahala) dari pengabdiannya tersebut baik berupa sebutan kemuliaan atau posisi duniawiahnya. Manusia yang telah menyerah terhadap Tuhan bisa saja dia ilmuwan, hartawan, politikus, agamawan, dsb; yang dengan itu ia sudah sewajarnya mau tunduk taat dalam menjalankan dan mempromosikan kebenaran pengetahuan yang ada didalam firmannya. Pengabdian kepada Tuhan tentu berbeda dengan kepada makhluk (sesama manusia). Karena pengabdian kepada Tuhan dimaksudkan untuk mengangkat derajat kemuliaan dan kemudahan hidupnya baik di dunia ini maupun akheratnya karena telah tercerahkan akal-fikiran dan nuraninya. Sementara pengabdian kepada makhluk cenderung untuk mendapatkan “upah duniawiah”

yang

dapat

membutakan

matahatinya

terhadap

kebenaran.

Pengabdian kepada Tuhan banyak bentuk ragamnya dari yang berupa penyembahan, pengamalan perintah dan larangan, penyampaian kebenaran kepada khalayak, sampai kepada pembelaan dengan jiwa, raga, dan harta terhadap nilai kebenarannya, dll. Penilaian Tuhan terhadap pengabdian hamba kepadaNya bersifat pelipatan pangkat 10 sampai 700 berarti kepastian; sementara penilaian sesama manusia atas dasar untung rugi antara yang mengabdi dan yang diabdi, kalau untung ia mendapatkan reward bila rugi tentu hanya kehampaan yang didapat. Manusia yang telah berpijak pada anak tangga ke 2, tentu akan mudah untuk memahami mengapa Tuhan “mengiming-iming” adanya reward atau pahala tersebut yang tak lain karena memang itulah logika manusia yakni selalu mengabdi atas dasar untung rugi. Bila hal ini tetap dipertahankan maka tentu ia tak akan dapat naik ke anak tangga ke tiga ini. Oleh karena itu bentuk pengabdiannya adalah bersifat “lepas” dari ikatan apapun, dan hanya semata100

mata karena ia senang berbuat dan malu bila tidak berbuat, orang demikian disebut sebagai “mukhlish” atau manusia yang ikhlash. Ukurannya adalah hanya pada hasil karyanya sekalipun tanpa namanya namun penuh dengan makna. Pengabdian demikian sulit dipahami oleh manusia biasa atau kaum awam yang memang motivasinya hanya duniawiah semata, tetapi bagi mereka yang memang layak untuk berdiri tegak diatas anak tangga ketiga ini maka semuanya akan mudah dilakukan, bukan untuk dirinya (vested interst) namun semata-mata karena ia tahu bahwa yang diabdinya adalah zat yang layak dan tahu cara menempatkan kelayakan tersebut. Pedoman tersebut bagi kaum beragama (khususnya muslim) sangat gamblang sekali terukir dalam retorika hadist dibawah. Ibn Abbas r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda: Allah ta‟ala berfirman: Apabila seorang hambaKu berdzikir (ingat) padaKu sendiri, maka Aku dzikir padanya sendirian, dan apabila ia ingat (berdzikir) padaKu ditengah-tengah khalayak ramai, niscaya Aku dzikir padanya ditengah-tengah kumpulan yang jauh lebih baik dari kumpulan yang ia berdzikir kepadaKu itu. (R. Atthabarani). Diingat Tuhan dan ditempatkan pada posisi kemulyaan itulah yang menjadi tujuan pengabdiannya karena tidak ada kenikmatan, keamanan, kesejahteraan, kemudahan, dan lain sebagainya dalam kehidupan ini baik duniawiah apalagi akheratnya kecuali bila kita telah mampu menapaki atau beridiri di atas anak tangga demikian. 4. Tangga keempat disebut tangga tawakal Tawakal atau penyerahan diri memang mudah dikatakan namun sungguh mustahil terjadi bila anak tangga ketiga saja tidak mampu dilewati. Karena penjabaran tawakal adalah amat luas, yang didalamnya termasuk adanya ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita mulia. Orang yang sudah berada pada anak tangga tawakal akan nampak pada dinamika kreativitas, motivasi, dan inovasinya dalam 101

berbuat. Ia tidak akan pernah mengalami titik jenuh atau masa bodoh dalam merespon perkembangan dinamika sosial; sehingga perlu adanya prasyarat untuk menjadi seorang bertawakal yakni, cerdik dan jujur. Kecerdikan diperlukan untuk bermanuver atau mencari jalan keluar bila ada kesulitan, sedangkan kejujuran diperlukan untuk mau terbuka bila tidak mempunyai kemampuan sehingga

memberi

kesempatan

orang

lain

yang

lebih

mampu

untuk

meneruskannya. Saya punya cerita yang menarik dalam tawakal ini dari pengalaman hidup yang benar terjadi. Ketika saya berhaji pertama kalinya, yakni tahun 1977 seperti tersebut di atas, saya akan melakukan tawaf sunah di ka‟bah, begitu masuk masjidil Haram saya dipanggil penjaga keamanan kabah untuk melepaskan tustel saya padanya. Tanpa pikiran macam-macam saya berikan dia, yang nanti saya ambil setelah tawaf. Masalahnya justru begitu selesai tawaf orang tersebut tidak ada ditempat, dan saya tidak tahu kemana perginya. Maka tawakal pertama yang saya lakukan adalah shalat sunah untuk mendapatkan petunjuk-Nya kemana saya harus mencari, seraya saya berdoa setelahnya: Tuhanku! tustel tersebut hanyalah benda biasa, namun punya arti penting bagiku yakni untuk sarana riset tentang makhlukmu, maka tunjukilah kemana aku mencarinya! Selesai itu tawakal kedua saya lakukan, yakni dengan mengitari serambi masjid dari ruang ke ruang; nah tiba-tiba di suatu ruang kosong saya melihat tustel Praktica saya digeletakan di atas bangku ubin begitu saja, tentu saja saya masuki dan saya ambil. Tuhan mengabulkan doa saya langsung setelah bertawakal. Seorang yang bertawakal pada dasarnya melihat segala sesuatu yang menyangkut kehidupan duniawiah ini datangnya hanya dari Allah semata, dengan kata lain orang yang menyampingkan fungsi atau peranan Tuhan dalam kehidupan tidak akan mungkin mampu menaiki tangga tawakal ini. Bagi orang yang telah ada pada anak tangga ini, sungguh sederhana hidup ini karena semua taqdir pada 102

dasarnya telah menjadi ketetapan Tuhan, kita hanya menjalani taqdir itu dengan tetap berprasangka baik terhadap kemuliaan dan kebijakan Tuhan. Agama sendiri telah menuntun manusia bahwa taqdir Allah telah terukir pada tiga hal bagi manusia, yakni: umur hidup, rezeki, dan pasangan hidup (jodoh). Dalam masalah umur kita harus bertawakal melalui pemeliharaan diri agar supaya angka harapan hidup meningkat dengan memperlambat proses penuaan (ageing process), yakni melalui pola hidup yang sehat, pola batin yang bersih, makanan yang halal dan bergizi, dan sebagainya. Dirahasiakannya umur seseorang merupakan berkah agar ia mau berbuat banyak dan punya harapan hari esok, sementara bila dibuka tentu manusia akan stress dan menjadi putus-asa (hopeless). Memang dalam riwayat kenabian, pernah ada seorang sahabat Muhammad s.a.w. bercerita pada beliau, bahwa ia diberi pengetahuan tentang umur seseorang dan penyebab kematiannya. Mendengar hal ini nabi berbisik: Tolong rahasiakan dan jangan diceritakan kepada siapapun. Yah! Itu rahasia yang dibocorkan Allah, namun tetap harus dirahasiakan; yang tersirat dari peristiwa itu bahwa seseorang yang berbuat kebajikan tentu akan mendapatkan “bonus” pahala di dunia ini. Dalam hal rezeki, seseorang dikatakan tawakal tentu melalui proses usaha bagaimana suatu rezeki tersebut seharusnya diambil. Makanan di piringpun tidak akan menjadi rezeki baginya bila tidak diambil tangannya dan dimasukan ke mulutnya. Konon masalah rezeki ini banyak manusia salah pengertian yang mendasar mengenai bentuk ikhtiar atau usaha untuk mencari rezeki dengan tawakal. Karena rezeki ini berada dalam taqdir Illahi, maka rumus yang digunakan dalam mendapatkannya adalah melalui pintu illahi pula. Rezeki menurut Illahi adalah sesuatu yang sudah dipaket sepertinya umur dan paket tersebut telah ditempatkan Allah disuatu tempat yang dirahasiakan pula, oleh karena itu banyak manusia menjadi frustasi karena sulitnya mendapatkan rezeki tersebut sekalipun telah “membanting tulang”. Jawabnya amat sederhana, yakni tanyalah kepada yang menyimpannya dimana rezeki itu ditaroh, sehingga kita 103

tinggal

mengambilnya.

Tuhan

menciptakan

makhluk

hidup

dan

telah

menentukan rezekinya. Dan hanya Dialah yang tahu dimana rezeki tersebut disimpan. Informasi wahyu tersebut adalah peluang kemudahan seseorang untuk mendapatkannya, oleh karena itu bertawakal dalam mendapatkan rezeki adalah melalui dialogis intensif dengan yang menyimpannya dan setelah tahu bertawakalah untuk mengambilnya. Tawakal terhadap jodoh kretariumnya sudah saya sebutkan dalam bab terdahulu, maka tawakal berikutnya adalah dialogis intensif dengan yang bersangkutan, keluarganya dan keluarga kita, serta berakhir dengan pernikahan. Demikian pula tawakal untuk mempertahankan hasil perjodohan tersebut perlu dilakukan melalui bangunan keluarga sakinah seperti dalam bab yang lalu. Semua paduan softwarenya tentang hal ini telah dengan detail disampaikan melalui informasi wahyu dan percontohan nabinya, maka hanya mereka yang bisa memanfaatkannya dengan benar akan mendapatkan kebahagiaan dari taqdir yang telah ditentukan tadi. 5. Tangga kelima disebut tangga penghayatan Seseorang dikatakan mempunyai tingkat penghayatan adalah apabila dia telah paham benar antara kulit dan isi, sehingga dia semakin mencintainya dan menjadi sedih dan gelisah dengan kehilangannya. Mari kita bertanya pada seorang petani, mengapa ia harus membajak dan menggaru sawahnya pada saat akan tanam padi. Tentu saja jawabnya adalah untuk menggemburkan tanah dan menghaluskan partikelnya agar supaya akar semai padi mudah berkembang. Dengan penghayatan itulah pak tani mau bersusah payah dan dilakukannya dalam seumur hidupnya. Yah hanya mereka yang telah berdiri di atas tangga penghayatanlah yang mampu mengerjakan atau mengamalkan segala bentuk kebajikan karena kebajikan yang diperbuat pada prinsipnya menunjukan derajat kemuliaannya. 104

Maka apabila norma ini telah melekat pada insani manusia ialah yang layak berdiri di atas tangga kelima ini, seperti halnya cerita tasawuh yang diceritakan berikut. Junaid (ahli sufi dan ibadah) punya seorang murid yang lebih dicintai. Para murid lain menjadi iri. Hal ini diketahui oleh Junaid melalui intuisinya. "la lebih tinggi dari kalian dalam hal prilaku dan pengetahuan," kata Junaid kepada murid-muridnya. "Itulah yang kuketahui. Tidak percaya, marilah kita buktikan, agar kalian menyadarinya." Lalu, Junaid memerintahkan semua murid agar diberi seekor burung, dan masing-masing diperintah untuk menyembelihnya dengan syarat tidak terlihat oleh siapapun. Setelah itu mereka diharapkan kembali sembari membawa burung yang disembelihnya. Semua murid tersebut pergi dan segera

melaksanakan

perintah

gurunya,

kecuali

murid

kesayangannya.

Semuanya membawa seekor burungnya dalam keadaan telah disembelih dan mati. Sementara, murid kesayangannya masih hidup burungnya. "Kenapa engkau tidak menyembelihnya?" tanya Junaid kepada murid kesayangan itu. “Karena guru berkata bahwa aku harus menyembelihnya ditempat yang tidak terlihat oleh siapapun," jawab murid tersebut."Ke mana pun makhluk pergi, Allah selalu melihatnya."

"Sekarang, kalian tahu sendiri tingkat pengetahuannya,"

sambung Junaid. "Silakan bandingkan dengan pengetahuan kalian." Kemudian semua murid yang iri hati tersebut mohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya. Tuhan telah mampu dihayati sebagai zat yang wujud dan dhohir dalam diri murid yang satu tersebut, dan itulah essensi ajaran kebenaran hakiki bagsimana Tuhan yang sulit tersentuh indrawi jasmani dapat dilihat dengan mata rohani. Kepada orang demikian dunia seisinya menjadi aman dan damai karena ia telah menghayati kehadiran zat yang Maha Damai.

105

6. Tangga keenam disebut tangga penyatuan Harga dari suatu komoditas material adalah adanya kesatuan antara bentuk, warna, dan rasa yang sudah terpaket secara lengket dan alamiah. Orang tentu tidak akan mencari “semangka berbuah sirih” karena memang tak mungkin ada di bumi ini; rasa semangka melekat dengan bentuk buah dan warnanya, kalau toh bergeser hanya variasinya namun tak menghilangkan essensi buah semangka tersebut. Kalau kita menolak taqdir buah-buahan tersebut maka akan mendapatkan kesulitan pilihan lain yang serasi; sifat-sifat itulah yang telah disatukan oleh Tuhan dalam tubuh makhluk hidup dalam bentuk gen. Demikian pula antara kholik dengan makhluk seharusnya menjadi suatu kesatuan yang utuh sehingga si makhluk akan terjaga aman dalam kediriannya karena sang kholik tidak pernah lengah. Dalam konteks ini saya mengajak pembaca untuk berfikir “dewasa” agar supaya memahami makna sesungguhnya dari anak tangga ke enam tersebut. Dalam kelas Filsafat di S3, saya pernah bertanya demikian: Tolong, anda lihat dengan benar, apakah saya ini ada atau tiada; dan dijawab dengan koor: Ada! Saya tersenyum, mahasiswa penasaran. Kemudian saya letakan kacamata di atas meja seraya bertanya: Kacamata ini ada atau tiada? Dan jawabannya tetap sama. Ada! Kemudian saya ambil dan sembunyikan di dalam kantong dan bertanya: Apakah sekarang kacamata ada? Jawabnya tentu saja: Tiada! Itulah jawaban sesungguhnya bahwa suatu benda yang diadakan pada hakekatnya adalah tiada, ia menjadi ada karena diadakan, lalu siapa yang ada, tentu saja yang mengadakan; yakni, saya (Ika Rochdjatun) dalam kasus kaca mata tadi. Lalu bagaimana dengan manusia, alam raya, bumi seisinya, dll, apakah mereka itu ada? Kalau kita mau mengikuti nalar tersebut di atas maka harus menjawab jujur adalah tiada sekalipun berhadapan dengan fakta yang ada. Inilah salah satu logika untuk mampu berdiri di atas tangga ke enam yakni penyatuan, tentu saja logika lainnya masih banyak sebanyak rasa, bentuk dan warna kehidupan duniawiah ini. Pada tingkatan ini ilmuwan sulit 106

untuk menerima, namun filosof dan ahli kerohanian akan lebih mudah menerimanya. Kemampuan perwujudan Tuhan agar mampu menyatu dengan makhluknya tentu saja bukan dalam pengertian fisik karena memang bukan tempatnya. Bagaimana bisa menyatu dengan fisik jika manusia tersebut berada dalam dimensi ruang dan waktu (dan tak mampu keluar darinya), sementara Tuhan adalah pencipta keduanya. Maka perwujudan penyatuan adalah bersifat kerohanian atau jiwa yang sulit dinalar tapi faktual ada. Ayat Qur‟an dan Hadist Qudsi tersebut di bawah menjadi bukti adanya indikasi penyatuan makhluk dan kholiknya. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (50.16]. Anas dan Abuhurairah r.a. keduanya berkata: Nabi s.a.w. bersabda: Allah ta‟ala berfirman: Jika seorang hamba mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekatinya sehasta dan jika ia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat padanya sedepa, dan jika ia datang kepadaKu berjalan, Aku akan datang kepadanya berlari. (R. Bukhari, At-tabarani meriwayatkan dari Salman r.a.). 7. Tangga ketujuh disebut dengan tangga kefanaan Sungguh berat bagi saya untuk menerangkan anak tangga ketujuh ini karena sudah bersinggungan langsung dengan essensi Tuhan itu sendiri sehingga tidak ada satu kata apalagi kalimat yang bisa menerangkan secara gamblang. Untuk itu saya hanya bisa mensitir ayat dalam Qur‟an yakni sebagai berikut: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa (tiada).

Dan tetap kekal (baqa‟)

Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” [55: 26-27]. Bukankah ruang, waktu, dan seluruh materi yang mengandung energi di alam ini selalu datang dan hilang silih berganti? Bukankan bintang yang nampak 107

di langit tersebut, justru sebagian besar telah binasa, hilang entah kemana, sementara yang nampak berkilau tersebut hanyalah pancaranan cahayanya yang baru sampai kepada kita setelah menempuh milyaran tahun cahaya! Apalah artinya umur manusia yang terputarkan oleh rotasi bumi dengan kecepatan yang rendah, dibandingkan perjalanan cahaya dengan kecepatan tinggi tersebut (300 ribu km per detik). Berhitung dengan penampakan kecepatan cahaya ini saja manusia sudah menjadi makhluk yang tiada, demikian pula dengan alam raya tersebut, yang hal ini telah dikemukakan melalui teori relativitas Einstain atau kuwantum Planck. Muhammad s.a.w menteladaninya dengan peristiwa isro‟ dan mi‟raj yang menakjubkan tersebut, telah menunjukan bukti akan ketiadaan makhluk manakala “kehadiran khaliqnya”. Waktu menjadi fana; bila seseorang bergerak dengan kecepatan 1000 km/jam untuk menempuh jarak 1000 km, maka tentu waktu 1 jam ia gunakan; tetapi bila ia bergerak dengan kecepatan cahaya tersebut di atas maka ia akan menempuhnya hanya dalam waktu 0,003 detik, dengan demikian waktu 1 jam menjadi fana terhadap waktu 0,003 detik. Demikian pula waktu 0,003 detik akan semakin fana bila berhadapan dengan waktu berkecepatan gejala “black hole”, yakni lobang maha besar yang gelap namun benda langit berkecepatan cahayapun akan lenyap ditelannya. Lalu bagaimana dengan Tuhan pencipta kecepatan dan materi tersebut apakah masih ada yang tersisa dari kehadiran makhluk dalam jagad raya ini? Teori kuwantum Planck salah satunya menyebutkan tentang apa yang disebut dengan “The Uncertainty Principle”, yakni prinsip mengenai segala sesuatu yang tidak menentu: position/momentum and time/energy (including the rest mass energy mc2), it

is impossible to have a precisely determined value of each member of the pair at the same time. Dengan memahami teori tersebut maka mustahilah seseorang akan mendapatkan suatu wujud keberadaan benda tertentu yang sama dalam suatu waktu apalagi bila waktunya telah berubah maka berubah pula benda tersebut hakekatnya. 108

Mungkin inilah yang dipahami oleh Ibrahim manakala mencari keberadaan tuhannya, yang dengan metode ekplorasinya mempelajari planet (bintang, bulan dan matahari); ia sampai suatu kesimpulan yang cerdik, yakni mana mungkin tuhan itu tidak menentu yang bila demikian sama dengan ciptaannya yang bersifat tidak menentu.

Ketika

malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:"Saya tidak suka kepada yang tenggelam" [6.76]. Ya Ibrahim tidak suka kepada sesuatu yang tidak menentu, ia mencari zat yang pasti sehingga kehadirannya menghilangkan keraguannya, keabadiannya menjadikan segala bentuk mengalami kefanaan. Di tangga demikianlah manusia akan menempati posisi utamanya sebagai makhluk yang tercerahkan oleh yang baqa‟, sehingga tindak tanduknya hanya semata untuk mencari keabadian dan bukan kefanaan. Sulit memang, tetapi dengan keabadian-Nya tersebut maka segala yang nampak mustahil menjadi faktual, dan perjalanan ketuhanan demikianlah yang hendaknya menjadi cita-cita insani manusia.

Banyak orang merasa tahu, sekalipun ia tak tahu apa yang mesti tahu Inilah awal datangnya awan kegelapan, sebelum datangnya badai kehinaan Sayangnya sadar selalu datang terlambat, dikala daya tak cukup kuat Tinggalah takdir penentu nasib, penderitaan mesti ditempuh

109

BAB V MAKNA KEHIDUPAN Dari apa yang ditulis didepan maka perlu kiranya disampaikan beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan atau rujukan pengalaman hidup dalam mencari Tuhan. Paradigma ilmiah memang sangatlah menguntungkan dalam mempelajari kaidah hukum alam dan interaksinya sehingga manusia dapat memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan hidupnya. Namun paradigma tersebut menjadi “kerdil” untuk mengungkap eksistensi Tuhan, karena ia telah menolak “kehadiran-Nya” melalui rumusan alam raya seisinya dengan keaneka ragaman bentuk, warna, rasa, isi, guna, ukuran, dan sebagainya. Harga diri demikian telah terbangun oleh mereka yang memang dari awalnya terfrustasikan oleh ketidak mampuannya untuk mengenal Tuhan, sehingga ia campakan dan mewujudkan tuhan dalam paradigma saintifik tersebut. Para ilmuwan telah didorong untuk menggantikan kata yang kurang senonoh “diperosokan” kedalam lubang kebodohan yang amat dalam untuk memaknai sesuatu kejadian atau kehadiran benda dan materi. Intelektual ilmuwan ditantang oleh sumber wahyu untuk berfikir objektif dan mau mengenal Tuhannya melalui stimulus berikut: “Maka

terangkanlah

kepadaku

tentang

yang

kamu

tanam?

Kamukah

yang

menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” [56.63-64]. Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum

yang

memikirkan.

Dan

di

bumi 110

ini

terdapat

bagian-bagian

yang

berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir [13.2-4]. Sungguh sulit diterima akal sehat, bahwa kaedah keilmuan (scientific method) yang disadari para ilmuwan mempunyai keterbatasan dan sifat kebenaran yang didapatnya relatif, tetapi ia tidak mau membuka cakrawala berfikir yang lebih luas dan maju, yakni merintis dirinya untuk mengenal Tuhannya sebagaimana tuntunan sumber wahyu di atas. Memang terdapat kontradiktif faktual dalam kehidupan bahwa mereka yang “katanya” telah mengenal tuhan karena telah banyak mempelajari “kitabkitab keagamaan”, tetapi dalam kehidupan duniawiahnya mereka memprihatinkan. Kebodohan, kelaparan, kerusuhan sosial, kemiskinan, dan sebagainya justru melanda bangsa-bangsa yang menyangka dirinya telah bertuhan. Mengapa hal demikian terjadi, apakah memang peranan aturan Tuhan tidak dioperasikan dalam kehidupan sosialnya ataukan adanya paham yang salah “bahwa kehidupan dunia ini bukan tujuan utama orang bertuhan”? Dari hasil pengamatan dan pengalaman penulis terdapat beberapa hal yang sudah terstruktur dalam pola pemikiran masyarakat bertuhan yang justru kontra produktif dengan maksud Tuhan memberi software agama dan menciptakan manusia. Khususnya pada masyarakat muslim yang saat ini telah mencapai hampir 1,6 milyar orang ternyata telah terjadi pendangkalan pemahaman ajarannya melalui berbagai sekte atau aliran dan analisis dalil Al-Qur‟an dan Hadist yang sempit. Bagaimana tidak, bahwa dalam Al-Qur‟an Tuhan itu amat dekat dan mendengar apa yang menjadi bisikan hati di dalam dada, tetapi mengapa umat Islam berteriak-teriak menggunakan loud speaker bervolume tinggi di masjid-masjid, manakala berdo‟a atau memuji-Nya. Bagaimana mungkin mendakwahkan hidup sederhana, bersih dari najis jasmani-rohani, banyak tafakur dari pada tertawa, dan sebagainya; kemudian berdalih demi siar agama 111

ia menyanyi, menari, dan dikelilingi sumber maksiat wanita cantik-cantik disekitarnya di atas panggung dengan hingar bingarnya suara musik dan tepuk tangan pemujanya. Bagaimana mungkin dakwah berkembang sesuai dengan peruntukannya yakni sejahteraan masyarakat, sementara umat Islam untuk membangun masjid saja masih meminta-minta di tepi jalan. Bagaimana mungkin, manusia memahami isi ajaran agamanya, sementara kitab sucinya hanya sebagai bacaan untuk orang mati dan dikhatamkan hanya “semalam” dengan dalih telah mendapatkan pahala dari bacaannya. Padahala pahala atau reward seharusnya baru ia dapatkan setelah konsepsi yang ada didalamnya diamalkan, buah amalan itulah yang disebut pahala. Bagaimana mungkin seseorang mendapatkan khikmah dari perjuangan nabi dan para shabatnya bila tarech kenabian hanya untuk pengkultusan terhadap diri Muhammad, sahabat beliau, keluarga beliau, para mujahid (misal ahlul Badr), dan sebagainya; yang seharusnya dianalisis dari berbagai segi keilmuan seperti: politik, sosial, ekonomi, tatanegara, hukum, dan lainnya. Yah! Masih banyak lagi ke bagaimana mungkinan yang dapat kita rasakan disekitar kita untuk diperbaiki agar umat ini lebih kenal dengan ilmu Tuhannya, maksud-Nya, dan keberadaan-Nya. Mari kita ikuti alur taqdir illahi dengan penuh rasa tawakal dan penyerahan total dengan mematuhi aturan yang ada didalamnya dan mengurangi tingkat kesalahan. 1. Bahwa Tuhan sebenarnya telah “mewujudkan dirinya” dalam bentuk sifat dan perbuatan di alam raya ini yang dapat kita akses atau pelajari agar supaya kita berada dalam “kedekatannya”. Pengetahuan seseorang untuk memaknai setiap bentuk dan kejadian dalam perjalanan hidup akan sangat membantu dalam “membuka” tabir atau tirai “kerahasiaan-Nya”. 2. Jauh-dekatnya Tuhan bukan ditentukan oleh ruang dan waktu melainkan atas dasar “prasangka” dan tindak tanduk seseorang dalam dinamika kehidupan kesehariannya. Elastisitas jarak sangat ditentukan oleh yang bersangkutan sesuai dengan kemampuannya masing-masing dalam menapaki tangga-tangga naik kerohiannya. 112

3. Suka dan duka pada dasarnya adalah ketiadaan semata yang dapat dikelola dengan baik berdasarkan pola pikir dan pola rasa. Perjalanan hidup adalah merupakan laboratorium lapangan bagi setiap orang untuk memanfaatkannya agar supaya dapat mengelola hal tersebut. 4. Waktu adalah kesempatan untuk bertanam amal kebajikan, yang dengannyalah pula seseorang menantikan saatnya panen buah kebajikan. 5. Umat Islam telah termarginalkan oleh pemahaman keIslaman yang semu sehingga menjadi kontra produktif dan bersifat reaktif, sungguh amat sulit untuk merubah paradigma baru kearah yang lebih produktif, kreatif, inovatif, dan menjadi motivator bagi terwujudnya peradaban manusia baru. 6. Islam dapat hilang dari peradaban manusia sekalipun Al-Qur‟an sulit dipalsukan, namun ia hanya akan tersimpan di rak-rak perpustakaan; sebagaimana hilangnya agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani. Negara-negara Balkan yang dahulunya menjadikan Islam sebagai rujukan hidup, saat ini telah menjadi masyarakat atheis sekuler, itulah contoh konkrit di jaman moderen ini yang harus menjadi bahan pemikiran dan keprihatinan. 7. Manusia tanpa mengenal Tuhan akan laksana planet tanpa matahari, ia akan dingin, beku, mati, dan tidak menarik karena sulitnya melihat potensi yang ada. Setinggi apapun posisi yang bersangkutan didalam masyarakatnya, hanyalah laksana tumpukan mayat beku yang berjalan, essensi manusianya telah hilang, berupa kesantunan, kehormatan, penyayang, cerdik, keadilan, kebijakan, dan sebagainya. Banyak orang mencari jalan ke surga, berujung di neraka Bukanlah diri tak tahu diciri, namun langkah tak tahan goda Padahal itulah tangga menuju suka Mengapa jatuh dihimpit duka

113