PRIVATISASI BUMN DAN OTONOMI DAERAH DALAM

Download seiring dengan semangat era Otonomi Daerah dan globalisasi investasi dan perdagangan bebas. ... menganggur kare...

26 downloads 249 Views 215KB Size
PRIVATISASI BUMN DAN OTONOMI DAERAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA M. Rizal Alif Abstract Privatization is not solely meant as a sale of shares state-owned company, but rather a tool and a way of BUMN reform to achieve several targets at once, including the improvement of performance and value-added enterprises, improvement of financial structure and management, creation of industrial structure yag healthy and competitive, BUMN empowerment-oriented and able to compete globally, the spread of ownership by the public as well as the development of domestic capital. A form of economy which will be built to be fair and equitable, reflecting an increase in the role of regions and empowerment of all people, competitiveness on the basis of efficiency, sert assure the sustainable use of natural resources and the environment in line with the spirit of the era of regional autonomy and the globalization of investment and free trade. Keywords: privatization, BUMN, regional autonomy

Abstrak Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan saham perusahaan BUMN, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yag sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan modal domestik. Wujud perekonomian yang akan dibangun harus adil dan merata, mencerminkan peningkatan peran daerah dan pemberdayaan seluruh rakyat, berdaya saing dengan basis efisiensi, sert mejamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup seiring dengan semangat era Otonomi Daerah dan globalisasi investasi dan perdagangan bebas. Kata kunci: privatiasasi, BUMN, otonomi daerah I. Pendahuluan 1. Latar belakang Privatisasi merupakan gejala yang sedang melanda hampir diseluruh dunia. Bukan hanya dinegara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju, bukan hanya dikawasan Asia, tetapi juga dikawasan Afrika, Australia,

382

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

Amerika dan Eropah. Salah satu pemicunya privatisasi adalah ekonomi yang bertumpu pada kekuatan pasar (market economy) dan era perdagangan bebas, WTO, AFTA dan APEC. Arus privatisasi tersebut diatas juga melanda Indonesia. Ada 4 (tiga) hal yang melatar belakangi privatisasi di Indonesia, yaitu:1 1. Kondisi keuangan negara/APBN menjadi sulit akibat jatuhnya harga minyak pada tahun 1983. 2. Globalisasi, WTO/AFTA dn APEC. 3. Meningkatnya harapan masyarakat akan barang dan jasa yang berkwalitas akibat suksesnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia. 4. Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, dimana nilai mata uang Dollar AS menjadi Rp.15.000,00. Sehingga berakibat hutang swasta dan Pemerintah menjadi bengkak dan implikasinya terkena kepada APBN-Defisit APBN. Oleh karena itu, Indonesia dipaksakan oleh IMF untuk membuat dan menandatangani ―Letter of Intent‖, diantaranya kebijkan privatisasi BUMN, guna memperbaiki ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat badai krisis moneter tersebut. Asal mulanya pelaksanaan privatisasi yang melanda negara-negara di dunia khususnya negara-negara berkembang tidak terlepas dari paket kebijaksanan ekonomi yang dikenal dengan kebijakan konsensus Washington/ arah kebijakan neoliberal. Sebagaimana yang dikemukan Stigliz, kebijakan Washington adalah suatu kebijakan ekonomi yang dirumuskan oleh dana moneter internasional/IMF dan Departemen Keuangan AS pada tahun 1989 sebagai upaya di dalam meyelamatkan perekonomian negara dari tekanan defisit anggaran dan ancaman hiperinflasi. Kebijakan Washington/Neoliberal meliputi kebijakan penghapusan subsidi, pelaksanaan privatisasi dan pelaksanan liberalisasi sektor keuanagan dan perdagangan.2 TAP MPR No. IV/MPR/1999-2004 tentang GBHN telah menetapkan arah kebijakan diantaranya kebijakan hukum, antara lain: Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam mengahadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.

1

Barcelius Ruru, Privatisasi BUMN, Makalah Seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya, FHUI, BPK, Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1999, hal. 10-14, dan Sambutan Rektor Unpad Pada Seminar Nasional: Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Privatisasi BUMN di Indonesia, BEM-UNPAD, Aula Graha Sanusi Hardjadinata, Unpad Bandung, 8 Nopemebr 2003. 2

Revrisond Baswir, Bahaya Privatisasi BUMN, Makalah Seminar Nasional:Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Privatisasi BUMN di Indonesia, BEMUPNAD, Aula Graha Sanusihardjadinata,Unpad, Bandung, 8 Nopember 2003.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

383

Dalam GBHN ini hukum telah ditempatkan sebagai sarana bagi pembangunan nasional (law as a tool of social engenering), sebagaimana yang ditemukan oleh Muchtar Kusumatmadja, yang diadopsi beliau dari Rossco Pound.3 Sehubungan dengan hal tersebut datas, telah banyak peraturan perundang-undangan yang lahir, antara lain UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, dimana di dalam Bab VIII diatur menganai restrukturisasi dan privtisasi BUMN dan UU tentang Otonomi Daerah yang sedang dalam tahap revisi oleh Pemerintah dan DPR. Memajukan kesejahteran bagi seluruh rakyat Indoensia merupakan amanat dari kontitusi UUD 1945, Pasal 33 ayat 2: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional disamping, Swasta/PMA/Kopersi/UKM. Dalam sistim perekonomian nsional. BUMN berperan menghasilkan barang/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan hasil privatisasi serta dapat menciptakan banyak lapangan kerja, dimana menurut ILO hampir 40 juta rakyat Indonesia menganggur karena kehilangan lapangan kerja/jobless, guna memenuhi semangat pasal 27 UUD 1945. Namun dalam kenyataannya, dalam mencapai BUMN sebagai agent of development dan pendorng tercipta korporasi memerlukan biaya yang relatif tinggi. Penyebabnya antara lain, a) Kinerja perusahaan BUMN dinilai belum memadai, seperti tampak pada rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan modal yang ditanamkan; b) BUMN belum sepenuhnya dapat menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi masyarakat dengn harga yang terjangkau; c) belum mampu berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global; d) keterbatasan sumber daya; e) fungsi BUMN sebagai pelopor/perintis maupun sebagi penyeimbang swasta ber juga belum sepenuhnya dilaksanakan; f) perkembangan ekonomi dunia berlangsung dinamis terutama berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan seperti WTO, AFTA/APEC.4 Untuk dapat mengoptimalkan perannya guna mampu mempertahankan kebradaannya dalam perkembngan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme

3

Muchtar Kusumaatmadja, ―Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan‖, (Bandung: Alumni, 2003), hal. V, 35 dan Sunaryati Hartono, ―Politik Hukum Menuju Sistim Hukum Nasional‖, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 53 dan 96. 4

Penjelasan Atas UU. No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, (Bandung: Fokusmedia, 2003), hal. 38.

384

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

antar lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance. Dan guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN di era globalisasi di dalam kerangka pembangunan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat badai krisis moneter berkepanjangan dibandingkankan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Korsel yang sudah bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis moneter, maka perlu dilakukan langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi BUMN di Indonesia. Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan saham perusahaan BUMN, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yag sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan modal domestik. Dengan dilakukan privatisasi BUMN, bukan bearti kendali atau kedaultan negara atas BUMN yang bersangkutan menjdi berkurang atau hilang tetapi negara tetap menjalankan fungsi pengusaan melalui regulasi sektoral. Dengan kata lain peran negara sebagai pemain seperti dimasa rezim Orde Baru berkuasa sudah dikurangi dan lebih banyak berperan sebagai regulator. Namun dalam pelaksanaan privatisasi BUMN disamping telah berhasil menambal defisit APBN bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia, akan tetapi juga telah menimbulkan banyak pro dan kontra ditengah-tenagah masyarakat Disamping itu, sejak Pemerintah menggulirkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga menambah beban masalah dalam pelaksanaan privatisasi BUMN. Misalnya keinginan Pemda MemBUMDkan BUMN, pengklaiman asset-aseet BUMN seperti pelabuhan Pelindo II dan pelabuhan udara Cengkareng di Propini Banten, sumbangan pihak ketiga kepada BUMN melaui Perda di dalam rangka meningkatakan PAD/APBDnya guna pembangunan daerah dan masyarakatnya sesuai semangat era otonomi daerah. Dengan demikian, pembangunan ekonomi Indonesia dimasa yang akan datang harus berbeda dari wujud perekonomian Indonesia sebelum terjadi krisis. Wujud perekonomian yang akan dibangun harus adil dan merata, mencerminkan peningkatan peran daerah dan pemberdayaan seluruh rakyat, berdaya saing dengan basis efisiensi, sert mejamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup seiring dengan semangat era Otonomi Daerah dan globalisasi investasi dan perdagangan bebas. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia masa depan khususnya mengenai privatisasi BUMN disamping harus disesuaikan dengan paradigma baru yang berkembang yaitu globalisasi ekonomi pasar bebas, dan eforia otonomi daerah di dalam pembangunana daerah dan masyarakat, akan tetapi dipihak lain tetap harus setia kepada negara kesatuan Republik Indonesia/NKRI, dan cita-cita bangsa dan konstitusi kita, UUD 1945.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

385

2. Identifikasi Masalah 1. Apa dasar hukum pelaksaan privatisasi BUMN di Indonesia? 2. Bagaimana pelaksanaan privatisasi BUMN di dalam pembangunan ekonomi di Indonesia? 3. Bagaimana privatisasi BUMN dikaitkan dengan Otonomi Daerah? 3. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran privatisasi BUMN dan Otonomi Daerah di dalam pembangunan ekonomi di Indonesia antara lain: 1. Peran Pemerintah sebagai regulator dan promotor bukan sebagai pemain dan pemilik; 2. Asas manfaat lebih penting dari pada asas kepemilikan; 3. Era globalisasi, WTO, AFTA dan APEC; 4. Kondis keuangan negara./Defisit APBN; 5. Kondisi BUMN; 6. Kondisi PAD/APBD daerah dalam rangka pembangunan daerah dan masyarakatnya sesuai semnagat UU No. 22 tahun 1999 tentang Undang-undang Otonomi Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian upaya privatisasi perusahaan-perusahaan BUMN khususnya perusahaan BUMN yang kurang sehat di dalam kerangka Otonomi Daerah, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dan nilai tambah (capita gain) yang significant bagi pembangunan ekonomi Indonesia baik dalam lingkup regional/daerah, nasional maupun internasional sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 4.

Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data di dalam penelitian untuk membuat makalah ini, meliputi studi literatur kepustakaan, wawancara, internet,makalah seminar, koran mengeni obyek yang diteliti.Kemudian data-data ini diolah dan disusun sehingga diharpakan akan dihasilkan kesimpulan yang obyektif. II. Tinjauan Juridis Privatisasi BUMN di Indonesia Sebelum mengambarkan tentang privatisasi BUMN dan pelaksanaannya di Indonesia, ada baiknya untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud BUMN.Sesuai Instruksi Presiden No.5 tahun 1988 (Inpres No.5/1988) pengertian BUMN mencakup:

386

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

1. Badan Usaha yang dimiliki seluruhnya oleh negara. 2. Badan Uasaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu: a. BUMN merupakan patungan antara Pemerintah dan Pemda. b. BUMN mrupakan patungan antara Pemerintah dan BUMN. c. BUMN merupakan Badan Uasaha patungan dengan pihak swasta/asing dimana negara mayoritas (misalnya 51 %). 3. Perusahan BUMN yaitu perusaha yang sebagian besar sahamnya (min 51%) atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN. Dalam perkembangan kebijakan hukum Pemerintah selanjutnya, yaitu menurut UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, pengertian BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. PP No.3 tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengwasan Perjan, Perum dan Persero, menetapkan ada 3 (tiga) jenis BUMN, yaitu: 1. Perusahaan jawatan/Perjan, bersifat public service; 2. Perusahaan umum/Perum, bersifat public service dan sekaligus profit oriented; 3. Perusahaan Perseroan/Persero, bersifat profit oriented. Pembinaan terhadap Perjan, Perum dan Persero tersebut diatas dilakukan oleh Menteri yang membawahi dan bertanggung jawab atas Perjan/Perum dan Persero tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 16 (1) dan (2) PP No. 3 tahun 1983 tersebut: Pasal 16 (1): Apabila berdasarkan pengalaman pembinaan beberapa waktu, Menteri menganggap Direktur Utama Perjan, Direksi Perum, atau Direksi Persero, ataupun salah seorang anggota Direksi tidak cakup cakap atau ternyata tidak melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar perusahaan, maka sebelum habis masa jabatan pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 P.P.ini Menteri dapat: a. b.

c.

Dalam hal Perjan, mengusulkan kepada Presiden pemberhentian/pengantian Direktur Utama. Dalam hal Perum, mengusulkan kepada Presiden pemberhentian/penggantian seluruh atau salah seorang anggota Direksi. Dalam hal Persero, mengusulkan kepada Meneteri Keuangan pemberhentian/penggantian salah seorang anggota Direksi.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

387

Pasal 16 (2): Apabila Menteri Keuangan selaku Rapat Umum Pemegang Saham berpendapat bahwa seluruh anggota Direksi suatu Persero atau salah seorang anggota Direksinya atau lebih, setelah menjabat beberapa waktu ternyata tidak cukup cakap atau ternyata tidak tepat dalam jabatannya ataupun ternyata tidak melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak melaksnakan ketentuan-ketentuan daam Anggaran Dasar Perusahaan, maka ia menyampaikan pendapatnya kepeda Meneteri dan meminta agar diusulkan seluruh anggota Direksi atau salah seorang anggota Direksinya atau lebih, untuk menggantinya sebelum habis masa jabatannya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 17 PP ini. Dalam perkembangan selanjutnya, setiap calon Direktur /Pimpinan BUMN yang ditujuk Pemerintah harus melalui fit and proper test - uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR. Setiap Direktur/Pimpinan BUMN harus profesional, akuntabilitas, kredibel di mata publik. Berdasarkan Pasal 1 PP No. 64 tahun 2001 tentang Pengalihan kedudukan tugas dan wewenang Menkeu pada Persero, Perum dan Perjan kepeda Menteri BUMN menyatakan: a. Pemegang saham/RUPS sebagimana yang diatur dalam PP No.12/1998 tentang Persero/P.T. yang sebagian sahamnya dimiliki negara; b. Wakil pemerintah pada Perum sebagimana yang diatur dalam PP No.13/1998 tentang Perum; dan c. Pembinaan keuangan pada Perjan sebagimana yang diatur dalam PP.No.6/2000 tentang Perjan, dialihkan kepada Menteri BUMN. Pengalihan kedudukan, tugas dan kewenangan Menkeu sebagiamana yang dimaksud dalam Pasal 1 PP No.64 tahun 2001 tidak meliputi: a. Penatausahaan setiap penyertaan modal Negara berikut perubahannya kedalam Persero/PT dan Perum serta kegiatan penatausahaan kekayaan negara yang dimanfaatkan Perjan; b. Pengusulan setiap penyertaan modal negara ke dalam Perero/PT dan Perum, serta pemanfaatan kekayaan negara dalam Perjan; c. Pendirian Persero, Perum dan Perjan. Untuk hal tersebut, Menteri BUMN melaporkan ke Menkeu: a. b. c. d.

Pembubaran BUMN; Penggabungan, Peleburan dan Pemecahan Pesero; Perencanaan pembagian dan pnggunaan laba Prsero; Perubahan bentuk hukum BUMN.

388

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

Namun di dalam perkembangan berikutnya, menurut UU No.19 tahun 2003, tentang BUMN, bentuk Badan Usaha menjadi 2 (dua), yaitu Perum dan Persero. Dalam perkembangan keberadaan BUMN sebagian besar berasal dari hasil nasionalisasi perusahaan Belanda, perkiraan tahun 1957-1963. Hingga tahun 1966 jumlah seluruh BUMN tercatat sebanyak 822 perusahaan. Lahirnya Orde Baru merupakan tonggak sejarah perekonomian Indonesia, Pemerintah melakukan pengelolaan, pembinaan dan pengawasan terhadap BUMN perlu ditertibkan. Melalui Inpres No17 tahun 1967 juncto UU No. 9 tahun 1969, jumlah perusahaannegara yang tadinya 822 diciutkan menjadi lebih kurang 200perusahaan. Setelah melalui berbagai kebijaksanaan Pemerintah, BUMN sekarang berjumlah 161 BUMN dengan nilai total asetnya sebesar 900 triliun rupiah.5 Kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional selama ini antara lain: 1. 2. 3. 4.

Kontribusi finansial (deviden/DPS dan pajak penghasilan); Kontribusi terhadap penyediaan barang dan jasa (penjualan); Kontribusi terhadap kesempatan kerja; Kontribusi sosial berupa tanggung jawab terhadap usaha pemerataan kesempatan berusaha (Pembinaan usaha kecil dan Koperasi).

Bebeberapa ketentuan yang secara langsung mengatur masalah privatisasi BUMN di Indonesia, yaitu Inpres No. 5/1988 dan Keputusan Menkeu No. 740/KMK.00/1989 tertanggal; 28 Juni 1989 (KMK No. 740/1989 dan KMK No.791/1989 dan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. Ada 3 (tiga) pokok pemikiran yang ditetapkn Pemerintah dalam rangka peyehatan dan pengelolaan BUMN:6 1. 2. 3.

Pengembangan lebih lanjut BUMN yang tergolong sehat sekali atau sehat; Penataan kembali atas BUMN yang kurang sehat; Penyelesaian atas BUMN yang tergolong tidak sehat.

Bagi BUMN yang tergolong sehat sekali atau sehat, apabila ingin dikembangkan lebih lanjut dapat ditempuh: 1. Melakukan konsolidasi; 2. Penggabungan; 5

Barcelius Ruru. Op. Cit., hal. 2 dan 3, dan Mahmuddin Yasin, Privatisasi BUMN: Perkembangan dan kendala, BUMN Expo 2003, Jakarta Convention Centre, Jakarta 17-21 September 2003, hal. 2. 6

Felix O. Soebagjo, Privatisasi Dan Keyaan Negara Lainnya Pandangan Dari Sudut Hukum, Makalah Seminar privatisasi BUMN dan keyaaan negara lainnya, FHUI, BPK dan Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1996.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

3. 4. 5.

389

Memasyarakatkan saham; Menerima penyertaan langsung; Kerjasama perusahan patungan.

Bagi BUMN yang tergolong kurang sehat, dapat ditempuh dengan cara:7 1. Melakukan restrukturisasi permodalan; 2. Penyempuraan/penyederhanaan struktur organisasi; 3. Konsolidasi/penggabungan, baik antara BUMN maupun dengn Swasta; 4. Memecahkan Perusahaan mejadi beberapa BUMN; 5. Mengikutsertakan partisipasi masyarakat melalui penyertaan langsung; dan 6. Kontrak manajemen. Sedangkan bagi BUMN yang tidak sehat, cara yang ditempuh adalah:8 1. Cara-cara penyehatan yang diterapkan pada BUMN yang kurang sehat; 2. Dijual; 3. Dilikuidasi; Dalam pekembangan produk hukum selanjutnya, yaitu menurut Pasal 78 UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, privatisasi BUMN dilaksanakan dengan cara-cara: 1. 2. 3.

Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal; Penjulan saham secara langsung kepada investor; Penjualan saham kepada manajemen dan atau karyawan yang bersangkutan.

1. Pengertian Privatisasi BUMN Pengertian privatisasi BUMN adalah penjualan saham Perseroa, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat, (Pasal 1 butir 12 UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN).

2. Maksud dan tujuan privatisasi BUMN 1.

Meningkatkan kepemilikan masyarakat atas Persero;

7

Ibid.

8

Ibid.

390

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Meningkatkan efisiensi dan produktifitas perusahaan; Menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat; Menciptakan struktur industri yang sehat dan komptetitif; Menciptakan Pesero yang berdaya saing dan berorientasi global; Menumbuhkan iklim usaha,ekonomi makro dan kapasitas; Meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero.

3. Metode Privatisasi BUMN Terdapat berbagai metode privatisasi BUMN yang dapat dijalan, yaitu:9 1.

2.

3.

Privatisasi BUMN melalui penawaran umum perdana di pasar modal atau dikenal dengan istilah initial public offering (IPO).Cara ini adalah dengan menjual saham kepada masyarakat umum yang berminat untuk membeli serta dicatatkan di bursa efek agar pemilik saham dapat memperdagangkannya; Penjualan saham langsung pada investor tertentu (Direct Placement). Investor ini dapat berupa investor keuangan, yaitu pihak yang mewakili dana saja, atau dapat pula merupakan investasi strategis yaitu investor yang memiliki dana sekaligus bergerak di bidang industri yang terkait dengan BUMN yang akan diprivatisasi; Menerbitkan obligasi konversi yaitu surat hutang jangka panjang yang dapat ditukar dengan saham BUMN tersebut. Investor yang menjadi sasaran dalam penjualan obligasi ini bisa masyarakat umum yang berminat dan investor tertentu,tergantung pada kondisi ekonomi dan pasar modal.

Dan metode privatisasi BUMN lain yang sedang dikaji kantor Menteri BUMN antara lain: 1. 2.

3.

9

kantor

Management Buy Out, dimana manajemen BUMN membeli seluruh atau sebagian besar saham BUMN dari Pemerintah; Employee Buy Out, dimana seluruh karyawan BUMN bersama-sama dengan manajemen mengambil alih saham yang dimiliki negara pada BUMN terkait; Regional Government Buy Out, dimana Pmerintah Daerah membeli saham BUMN dari Pemerintah Pusat.

Mahmuddin Yasin, Privatisasi: Antara Kepentingan Pemerintah, Investor dan Publik, , hal. 5-6.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

391

II. Pelaksanaan Privatisasi BUMN Di Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia 1. Pelaksanaan Privatisasi BUMN Di Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia Pelaksanaan privatisasi BUMN di dalam pembangunan ekonom di Indonesia, dimulai setelah Pemerintah menerbitkan PP No. 55 tahun 1990 tentang Perusahaan Perseroan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal.10 PT. Semen Gresik (Persero) mendapat kesempatan pertama memasuki pasar modal (go public) pada tanggal 4 juli 1991, setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan, berdasarkan Keputusan No. 859/KMK.01/1987 tangal 23 Desember 1987 juncto Keputusan Menteri Keuangan No. 1548/KMK.013/1990 tanggal 4 Desember 1990. Jumlah saham yang ditawarkan kepada masyarakat 26,9% atau 40.000.000 lembar saham dengan nilai nominal Rp 1000 setiap lembarnya dan harga penawaran Rp.7000 setiap lembarnya. Dana dari masyarakat yang berhasil dihimpun dari pasar modal pada saat go public sebesar 280 milyar Rupiah. Dana tersebut digunakan untuk memenuhi sebagian biaya pembangunan Pabrik di Tuban yang seluruhnya berjumlah 644,9 milyar Rupiah. Selanjutnya, PT.Semen Gresik (Perero) juga mendapt kesempatan melaksanakan Right Issues setelah dalam Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham tanggal 20 Juli 1995 para pemegang saham menyetujui rencana PT Semen Gersik (Persero) menerbitkan 444,864.000 saham baru melalaui penerbitan Right Issue dengan perbanding 3:1 dan harga penawaran Rp 3.275 setiap saham. Dana masyarakat yang berhsil dihimpun dari pasar modal pada saat right issue sebesar 1,063 triliun Rupih. Dana tersebut sebesar 74 % digunakna untuk membiayai pengalihan 100 % saham milik Negara; 5 % digunakan untuk menambah penyertan modal Perseroan dalam Semen Padang dan 21 % digunakan untuk Proyek perluasan Tuban II,Tuban III serta Indarung V. Berikutnya, penjualan saham PT.Indosat tahun 1994,Telkom dan Tambah Timah tahun 1995, BNI tahun 1996, Antam tahun 1997.Saham ke enam BUMN tersebut ditawarkan melalui bursa efek Jakarta, Surabaya, New York dan London. Penjualan saham ini sangat sukses dalam terminologi pasar modal, dimana sebesar US$ 4,34 miliar berhasil diperoleh dari penjulan tersebut.Sebanyak 55 % dari hasil penjualan masuk kepada Pemerintah serta 45 % kepada Perseroan-perseron. BUMN-BUMN yang sahamnya dijual Pemerintah antara lain:11

10

Urip Timuyono, Segi-segi Praktek Privatisasi BUMN, Makalah seminar privatisasi BUMN dan kekayaan negara lainnya, FHUI, BPK dan Depku, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1996 hal. 1-2.

392

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

1. PT.Indo Farma Farmasi (100%) 10-49%; 2. PT.Wisma Nusantara Hotel (42%) 42%; 3. PT. Sucofindo surveyor (95%) 15-29%; 4. PT.Sarinah Ritel (100%) sd. 100%; 5. PT.Bukit Asam –Pertambangan (100%) 10-35%; 6. PT.Bank Mandiri (100%) sd. 35%; 7. PT.Indocement (25%) sd.25%; 8. PT. Telkom (65%) sd. 11%; 9. PT.Pupuk Kaltim (100%) 10-49%; 10. PT.Kimia Farma (100%) 10-35%; 11. PTPN II Perkebunan (40%) 2—30%; 12. PT.Krakatau Steel Industri Baja (100%) sd.49%; 13. PT.Angkasa Pura II Manajemen (100%) sd. 49%; 14. PT.Semen Gresik Industri; 15. PT.Indosat Industri (65%) sd. 11; 16. PT Sucofindo Perkebunan (40%) 20-30%; Selama keberadaan IMF di Indonesia, IMF telah memaksakan Indonesia untuk melaksanakan Privatisasi BUMN tersebut diatas. Beberapa BUMN yang diperintah tersebut termasuk BUMN strategis seperti PT. Pupuk Kaltim, PT Kimia Farma, PT Telkom, PT.Indosat, PT Angkasa Pura dan PT Semen Gresik Group. Dari pelaksanan privatisasi BUMN-BUMN tersebut, Pemerintah menerima tambahan pemasukan dana sebesar rata-rata Rp.6,5 trilun setiap tahun. 2. Analisa Pelaksanaan Privatisasi BUMN: PT. Indosat, Tbk. Berangkat dari privatisasi BUMN-BUMN tersebut diatas di dalam rangka pembangunan ekonomi di Indonesia, maka dibawah ini akan diuraikan analisa 1 (satu) privatisasi BUMN: PT. Indosat,Tbk yang paling banyak menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat, termasuk dari para pakar hukum dan ketua MPR waktu itu, Amin Rais dari berbagai peraturan per-undangan-undang yang terkait.12 a. UUD 1945 Mengacu kepada amanat Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, maka penjualan 41,9 % saham Indosat kepada STT (Singapore Technologies Telemedia) atau ICL (Indonesia Communication Limited) yang dilakukan Menteri Negara BUMN,Laksaman Sukardi telah menghilangkan hak negara (Indonesia) untuk menguasai dan mengendalikan aset strategis bagi negara. 11

12

Revrison Baswir, Op. Cit., hal. 3.

Barisan Penyelamat Aset Bangsa, Kejahatan Terhadap Aset Bangsa, Kasus Divestasi Indosat, Jakarta, June, 2003, hal 104-114.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

393

Hak negara menguasai dan mengandalikan aset-set strategis bagi negara sebagaimana yang dimaksud Pasal 33 UUD 1945, artinya dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka negara memiliki hak untuk mengendalikan kegiatannya. Pasal 33 (2) UUD 1945 menyatakan: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pasal 33 (3) UUD 1945 menyatakan: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negra dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari yang tersurat pada pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945 tersebut jelas bahwa yang menjadi tujuan adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun pengertian dikuasai negara adalah sebagai ―alat‖ untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian dikuasai oleh negra bukan identik dengan dimiliki secara fisik serta dimanfaatkan secara langsung oleh negara. Negara dalam hal ini bukan memilki tetapi hanya mengusai saja dan atau hak mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting yang mengusai hajat hidup orang banyak bagi sebesa-bebsarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia sesuai peraturan peundang-undangan yang dibuat negara (Pemerintah dan DPR).13 b. TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Dalam Bab IV angka 28 TP MPR No.IV/MPR/1999 ditentukan arah kebijakan ekonomi: ‖Menyehatkan BUMN atau BUMD terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum.Bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal‖. Dalam kaitannya dengan Indosat, mengingat Indosat merupakan BUMN yang sehat dan sangat menguntungkan, maka berdasarkan Tap MPR tersebut diatas, Indosat tidak termasuk BUMN yang boleh diprivatisasi.Oleh karenanya, privatisasi yang telah dilakukan Pemerintah terhadap Indosat telah melanggar Tap MPR tersebut diatas.

13

JB Sumarlin, Pokok-pokok sambutan tentang privatisasi BUMN dan Kekyaan Negara Lainnya, FHUI, BPK dan Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1996, hal. 7-8.

394

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

c. TAP MPR No. VIII/MPR/200 tentang Laporan Tahunan Lembaga Tinggi Negara Berkenaan dengan laporan Presiden pada sidang Tahunana MPR tahun 2000, MPR telah menugaskan kepada Presiden, antara lain sebagai berikut: Privatisasi agar dilakukan secara selektif dan dikonsultasikan dengan DPR. Konsultasi yang telah dilakukan Pemerintah, yang diwakili Menteri Negara BUMN berkaitan dengan privatisasi BUMN baru dilakukan dengan Komisi IX DPR, sebagaimana ternyata dari Risalah Kesimpulan Komisi IX DPR, Sub Komisi Privatisasi.Sedangkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum antara Komisi IV DPR dengan Direksi Indosat, Komisi IV DPR telah meminta Pemerintah untuk menunda privatisasi. Komisi IX DPR saja tidak dapat mengatasnamakan lembaga DPR, kecuali telah diberi kuasa penuh oleh sidang paripurna DPR untuk bertindak atas nama DPR. Oleh karena itu, untuk urusan konsultasi ini, DPR menyangkal dan menegaskan bahwa Pemerintah belum berkonsultasi dengan DPR. DPR juga belum memberikan persetujuan mengenai privatisasi Indosat. d. UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas a) Pasal 103 ayat 3 tentang pengambil alihan perseroan Pengambil alihan perseroan harus dilakukan dengan persetujuan RUPS, dimana rencana pengambilalihan perseroan diajukan oleh Direksi masing-masing Perseroan. Pertanyaannya, apakah pernah dilakukan RUPS dimasingmasing Perseroan untuk membicarakan dan memberikan persetujuan terhadap rancangan pengambilalihan. Hanya ada satu kali RUPS yang dilakukan dalam rangka privatisasi Indosat, yakni RUPS luar biasa pada tanggal 27 Desember 2002, dengan agenda: Agenda pertama: Perusahaan Anggaran Dasar Indosat termasuk untuk mengubah status Indosat mejadi suatu Perusahaan Penanaman Modal Asing sesuai dengan UURI No./1967 sebagaimana telah diubah dengan UURI NO. 11/1970. Agenda kedua: Perubahan susunan anggota Direksi dan Komisaris Indosat. Agenda ketiga: Persetujua prinsip atas rencana penerbitan Program Kepemilikan Saham oleh Karyawanan (ESOP) Indosat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

395

Dengan demikian dalam daftar Agenda tersebut diatas tidak terdapat agenda untuk memberikan persetujuan mengenai Rancangan Pengambil alihan perseroan Indosat oleh STT ataupun ICL. b) Pasal 104 ayat 1 Perbuatan hukum penggabungan, peleburan dan pengambialihan perseroan harus memperhatikan: 1. Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan, dan 2. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. ad.1. Kepentingan perseroan Bahwa nilai harga saham Indosat antara Rp.18.000 – Rp.19.000 per lembar, maka penjualan dengan harga Rp.12.950 per lembar saham terlalu murah sehinga mengakibatkan kerugian Rp.2,19 triliun-Rp.2,63 triliun untuk penjualan sebanyak 434.250.000 lembar. ad. 2. Kepentingan pemegang saham minoritas Nilai jual yang rendah yakni hanya Rp.12.950 persaham yang jauh dari nilai sesungguhnya, sudah barang tentu sangat merugikan pemegang saham publik. Mereka mengalami penurunan harga. ad.3. Kepentingan karyawan perseroan Sampai sat ini gonjang ganjing demonstrasi karyawan yang menentang dan menolak penjulan saham Indosat masih berlangsung.Hal ini disebabkan karena kepantingan karyawan tidak diperhatiakn ad.4. Kepentingan masyarakat Penjualan 41,9 persen sham Indosat telah menimbulkan reaksi dari dari berbagai masyarakat. Bahkan Amin Rais,Ketua MPR dan Gus Dur,mantan Presiden RI melemparkan kritik tajam terhadap pelaksanaan privatisasi Indosat dan terhadap Meneg BUMN.Banyak pakar juga tidak setuju. Mahasiwa dan elemen masyarakat telah melancarkan demonstrasi tidak setuju. c) Pasal 105 ayat 2 Yang menentukan ―Direksi wajib mengumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian mengenai rencana penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseron paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS‖. Dalam kenyatan publik tidak pernah membaca di surat kabar manapunikwal pegumuman Direksi Indoat mengenai rencana

396

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

pengambilalihan perseroan sebagaimana diharuskan oleh pasal 105 ayat 2 UU No.1 tahun 1995. e. UU. No. 8/1995 tentang Pasar Modal Pasal 90 menentukan ―Dalam perdagangan efek,setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung: 1. Menipu atau mengelabuhi pihak lain dengan menggunakan sarana dana atau cara apapun; 2. Turut serta menipu atau mengelabui pihak lain; dan 3. Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyatan dibuat dengan maksud utuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek‖. Oleh karena yang diumumkan oleh Pemerintah sebagai pemenang adalah STT sedangkn berdasarkan Share Purchase Agreement/SPA tertanggal 15 Desember 2002 yang secara yuridis menjadi pembeli (purchaser) adalah Indonesia Communication Limited (ICL) yang didirikan pada hukum Mauritius, maka Pemerintah Indonesia telah melanggar psal 90 UU No.8/1995 tentang Pasar Modal. f. UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi a) Penjelasan Umum. Dikemukan‖ .. hal-hal yang menyangkut pemanfatan spektrum frekwensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara ―. Dengan berlihnya status pemegang saham pengendali dari pemerintah RI kepada ICL/STT, maka pelaksaan privatisasi Indosat tidak sejalan dengan semangat yang dituangkan dalam UU Telekomunikasi, termasuk Pasal 3, Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 2 dari UU Telekomunikasi. g. UU. No. 5 /1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Kepemilikan saham Indosat dan Telkomsel oleh perusahn Temasek Holding Company/BUMN Singapura, dengan sendirinya menjadikan Satelindo dan IM3 milik kelompok usaha mereka. Hal ini jelas bertentang dengan Pasal 28 ayat 2 UU No.5/1999 tentang

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

397

larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, termasuk pasal 10 ayat 1 UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi.. Menurut ketentuan pasal ayat 2 UU No.5 /1999. ‖Pelaku usaha dilarang melakukan pengambil alihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan usaha persaingan tidak sehat‖. Apakah Pemegang saham, Direksi dan Komisaris seperti dalam kasus PT. Indosat, Tbk dapat diminta pertanggung jawaban secara hukum sesuai UUPT. Prinsip tangung jawab terbatas (limited liability) pada pemegang saham dalam UUPT, yaitu berdasarkan Pasal 3 (1) UUPT: Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Pasal 85 (1) UUPT: Setiap anggota Direksi wjib dengan etikat baik dan penuh tanggung jawab menjaan tugas utuk kepentingan usaha perseroan. Namun prinsip pertanggungjawaban terbats tersebut diatas tidak bersifat absolut karena ada pengecualiannya yaitu prinsip piercing the corporate veil (menyingkap tabir/cadar perusahaan).Dalam prinsip piercing the corporate veil ini dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham (Direksi/Komisaris) dapat menjadi tidak terbatas.14 UUPT juga menganut prinsip piercing the corporate veil ini. Dalam Pasal 3 (2) UUPT menyebutkan: (3) Ketentuan sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila: a. Persyratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. b. Pemegang saham yang brsangkutan baik langsung maupun tidak langsung dngan etikat buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau d. Pemegng saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan

14

Chatamarrasjid Ais, ―Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan‖, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 2-7.

398

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

kekayaan perseroan mnjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseran. Sementara itu, Direksi dapat dimintakan pertanggung jawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dan 90 UUPT. Pasal 85 UUPT menyebutkan: (1) Setiap anggota Direksi wajib dengan etkat baik dan penuh tanggng jawab menjalan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah dan lali menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (1). (3) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (stu persepuluh) bagian dari junlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mngajukan gugtan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Dirksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan keugian pada perseroan. Pasal 90 UUPT (1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Dirksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (2) Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Adapun mengenai Komisaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPT. (1) Komisaris wajib dengan etikat baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. (2) Atas nama perseroan pemegang saham yang mewakili paling sdikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komiris yang terkena kesalahan atau kelalainya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

399

Dengan demikian privatisasi BUMN di Indonsia khususnya PT.Indosat,Tbk telah menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat antara lain karena ―menabrak‖ konstitusi UUD 1945 khususnya pasal 33, 34 dan pasal 27 UUD 1945 dan peraturan perundang-undang lainnya serta prinsip-prinsip ―good corporate governance‖ sebagaiaman yang diatur dalam Kepmen BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek good corporate governance pada BUMN yaitu prinsip transparansi/keterbukaan, accountabilitas/tanggung jawab dan fairness/kewajaran sebagaimana dimaksud dalam Bab II Pasal 3 Kepmen BUMN tersebut, adalah: a. Tranparansi adalah keterbukaan dalam melaksankan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. b. Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ tertingi pengelola perusahaan secara efektif. c. Fairness adalah keadian dan kesetaraan di dalam memenuhi hakhak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, apakah UU, PP, Kepres, Inpres, Kepmen tentang privatisasi BUMN merupakan landasan hukum yang kuat atau bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945. Ketentuan UUD 1945 bukan dimaksudkan sebagai ketentuan yang mati, tetapi sbagai ketentuan yang hidup (living law). Dia berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat dan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya dalam hal memberikan penafsiran law as a tool of social engenering/ hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Permasalahannya menyiapkan dan menghaslkan UU bukanlah suatu pekerjaan mudah.Membentuk UU membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan ada yang puluhan tahun.Sementara kegiatan bisnis tidak bisa ditunda dan harus segera dilaksanakan.Kurang tepat bila hukum akan menjadi penghambat bagi kemungkinan dilaksanakannya transaksi bisnis. Kebijaksanaan Ekonomi Nasional (dalam hal ini privatisasi BUMN) seyogyanya disamping disesuaikan dengan paradigma baru yang berkembang yaitu globalisasi ekonomi/ekonomi pasar bebas, gar dapat bersaing dengan plaku asing, akan tetapi dipihak lain juga harus seti dengan cita-cita bangsa dan arah kontitusi kita UUD 1945. Oleh karena itu, sistim hukum nasional (misalnya privatisasi BUMN) itu harus memuat antara lain: a. Bahwa kaidah-kaidah hukum nasional kita harus berlandaskan falsafah Pancasila dan UUD 1945; b. Kaidah hukum nasional kita harus menecrminkan trjadinya perubahan dari sistim masyarakat agraris kepada masyarakat yang lebih indsutrialis/modern;

400

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

c. Sistim hukum nasional kita harus dapat menjamin dinamika pembaharuan hukum nasional sesuai dengan perkembangan zaman/era globalisasi. Sistim hukum nasional (misalnya privatisai BUMN) yang merupakan pembangunan hukum (law development) harus memeuat 4 (empat) fungsi:15 1. Sebagai pemilihara ketertiban dan keamanan; 2. Sebagai sarana pembangunan; 3. Sebagai saran penegak keadian; 4. Sebagai saran pndidik masyarakat. Oleh karena hukum itu bukan mrupakan tujuan, akan tetapi merupakan jembatan yang kan membawa kita kepada ide yang kita cita-citakan yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1045 Berangkat dari pmikiran tersebut, masalah pelaksanaan privatisasi BUMN di Indonesia seyogya masih perlu dikaji lagi agar tidak menimbulkan pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat kita, disamping agar dapat memenuhi tuntatan paradigma ekonomi global/ekonomi pasar bebas, tetapi juga harus sesuai dengan semangat tatatan ekonomi nasional bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. VI. Privatisasi BUMN dan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Sejak Pemerintah menggulirkan pelaksanaan Otonomi Daerah, dengan diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (UU OTDA) dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan keuagan Pusat dan Daerah, semua privatisasi BUMN menghadapi masalah tambahan berkaitan dengan keinginan beberap Pemerintah Daerah untuk mengmbil alih kepemilikan BUMN di daerahnya dari Pemerintah Pusat. Semua Pemda beranggapan bahwa pengambilalihan BUMN akan meningkatkan pendapatan bagi daerah-daerah. Dalam Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah disebutkan: 1. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang Pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal agama serta kewenangan bidang lain.

15

Sunaryati Hartono, ―Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia‖, (Bandung: Bina Cipta, 1988), hal. 34.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

401

2. Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud dalam butir 1 diatas, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistim administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Sementara itu, dalam Pasal 9 juncto Pasal 11 UU OTDA disebutkan: Pasal 9 UU OTDA: 1. Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. 2. Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 3. Kewenagan priopinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah.

Pasal 11 UU OTDA: 1. Kewenangan daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintah selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 tersebut dan yang diatur dalam Pasal 9 UU OTDA. 2. Bidang pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabuaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Selanjutnya mengenai kewenangan daerah ini, diatur lebih detail dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom Dalam Pasal 81 UU OTDA disebutkan bahwa Pemda dapat melakukan peminjaman dana keluar negeri untuk membayai kegiatan pemerintahannya dengan catatan harus sepersetujuan Pemerintah Pusat. Sehingga Pemda tidak bisa secara langsung melakukan peminjaman dana keluar negeri. Sementara dalam pasal 3 UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa penerimaan daerah diantaranya pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, peminjaman daerah, dan lain penerimaan yang sah. Sumber PAD yang dimaksd dlm hasil pjak daerah,hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik

402

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

dan hasil pegeloaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lain yang dipisahkan, serta lain PAD yang sah. Dana perimbangan yang menurut pasal 6 UU No. 25 tahun 1999 terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan bagi hasil merupakan sumber dana utama pendukung berjalannya proses otonomi darah di Indonesia Bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PHB) 10% untuk Pemerintah Pusat sisanya, 90% untuk Daerah, bea perolahan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), 20% untuk Pusat dan 80% untuk Daerah, dimana hasil pajak yang diterima Pemerintah Pusat tersebut dibagikan keseluruh Kabupaten dan Kota serta pajak penghasiln perseorangan (PPH individu). Sementara itu, bagi hasil yag bukan pajak yang menonjol dalah bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (SDA)-(berupa Izin dan royalt SDA). Penerima SDA dari sektor pertambangan umum dan perikanan, 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% utuk Daerah. Sementara SDA dari sektor pertambangan minyak bumi dan gas alam dibagi. Untuk sektor minyak bumi, Pemerintah Pusat menerima 85% dan 15% untuk Daerah. Dan untuk gas alam 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% jatuh ke Daerah.16 Bila dilihat dari pembagian antara Pemerinth Pusat dan Derah tersebut diatas, sebagiamana tertuang dalam UU No.25 thun 1999 juncto PP 104/2000 tentang dana perimbangan pusat dan daerah menunjukan belum adanya perhitungan secara rinci pembgian hasil untuk BUMN di daerah. Hal tersebut dapat berarti tidak ada kewajiban BUMN untuk memberikan bagian keuntungannya kepada daerah sebagai sumber penerimaan daerah sesuai dengan UU No. 25/1999. Yang ada adalah kewajiban membayar pajak dan retribusi seperti para pelaku ekonomi lainnya di daerah. Dengan dmikian seyogya tidak perlu terjadi kasus pengklaiman asset-asset BUMN sebagai milik daerah, seperti yang terjadi pada kasus Pelabuhan Pelindo II dan Pelabuhan Cengkareng di wilayah Propinsi Banten melalui Perda. Dan klaim BUMN-BUMN di daerah lainnya mlalui Perda setempat.17 Klaim Pemda yang baru-baru ini terjadi adalah Perda Kota Bontang, Samarinda, No 25 tahun 2003 tentang Sumbangan Pihak Ketiga. Berdasarkan Perda ini, PT. Pupuk Kaltim (BUMN) yang berlokasi disana diwajibakan memberikan sumbangan ke Pemda setempat sebsar Rp1000/zak. Perda ini diberlakukan terhadap semua Perusahaan termasuk BUMN. Tujuan Perda ini untuk memberikan kontribusi yang lebih besar bagi APBD karena kontribusi pemberdayaan masyarakat atau community development dikelola sendiri oleh perusahaan. Paling ideal kontribusi pihak ketiga ini, 50% untuk Kota Bontang dan 50 % untuk Propinsi. Namun Kantor Meneg BUMN telah membuat surat No.S-549/S.MBU/2003 tertanggal 5 Nopember 2003 yang tembusannya disampaikan kepada Pemprov dan DPRD Kaltim serta Pemkot Bontang, yang isinya tidak bisa memenuhi permintaan sumbangan apapun, seperti dalam

16

Teras Narang, Otonomi Daerah: Tantangan dan peluang BUMN, Makalah seminar BUMN Expo 2003, Jakarta Convention Centre, Jakarta, 17-21 September 2003, hal 6 17

Ibid.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

403

perda megenai Sumbangan Pihak Ketiga kecuali tentang retribusi sesuai UU Otonomi Daerah. Di dalam Pasal 87 ayat 3 UUOTDA diatur bahwa daerah dapat mengadakan kerjasama dengan badan lain/BUMN yang diatur dengan Keputusan Bersama. Sebagai perbandingan, Bupati Kutai Timur, Mahyudin yang telah membeli 18,6 persen saham PT. Kaltim Prima Coal/KPC (perusahan milik Sangatta Holding da Kalimantan Coal Limited yang dibeli PT. Bumi Resources,Tbk) senilai 104 juta Dollar AS. Pembelian saham itu sudah disepakati dengan ditandatangani perjanjian jual beli saham (Sale and Purchase Agreement) di Sangatta, Kutai Timur, Kaltim. Pembayarannya dengan surat hutang, yang dijamin konsorsium, yang terdiri bebrapa lembaga keuangan. Namun, Mahyudin, tidak mau menyebut lembaga yang ikut dalam konsorsium tersebut. Seperti diketahui, bahwa KPC kini dimiliki PT. Bumi Resources, TBk, yang telah menyelesaikan pembelian saham BP Pls dan Rio Tonto di KPC senilai 500 juta Dollar AS. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana yang diuraikan tersebut diatas, jelas-jelas bertentangan dengan semangat UU No. 17 tahun 20003 tentang Keuangan Negara. Pasal 24 UU No. Tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa: Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah. Kalau kita tafsirkan Pasal 24 UU ini terkandung semangat prinsip timbal balik hubungan keuangan pusat dan daerah. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak semua daerah di Indonesia memiliki potensi Sumber Daya Manusia(SDM)/Sumberdaya Alam (SDA) ―sehebat‖ Kabupaten Kutai, Kaltim, misalnya di dalam membangun daerah dan masyarakat di daerahnya. Bagaimana mungkin daerah-daerah miskin/‖tertindas‖ SDM/SDA di era sistim Pemerintahan yang ―sentralilistis‖ dan otoriter di era rezim Orde baru berkuasa, dapat membangun daerahnya agar dapat duduk sejajar/mengejar ketinggalannya dengan daerah lain yang sudah maju seperti beberapa daerah di pulau Jawa khususnya Propinsi DKI, apabila Pemerintah Pusat/Daerah lain yang sudah maju SDM/SDAnya tidak saling memberikan bantuan keuangan bagi Pembangunan Daerah-daerah yang tertinggal/tertindas tersebut. Implikasinya antara lain dapat menimbukan ketidakadilan/diskriminasi/ kecemburuan sosial/kesenjangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Daerah-daerah maju dan daerah-daerah yang belum maju/miskin/masih terbelakang di Indonesia ini. Dan ujung-ujungnya, dapat meimbulkan disintegrasi bangsa ini. Oleh karena itu, seyogyanya Pemerintah Pusat di dalam kerangka semangat UU OTDA dan UU Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, tidak ―setengah hati‖ dan kontradiktif di dalam pelaksanaannya karena sudah bukan zamannya kebijakan seperti itu diterapkan di era reformasi dan globaliasi ini.

404

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

Sehubungan dengan persoalan tersebut, perlu dicari solusi agar keberadaan BUMN di daerah didukung oleh iklim berusaha yang kondusif untuk menjadikan BUMN yang sehat dan berkembang. Misalnya Pemerintah Daerah dapat membeli saham milik BUMN.Atau melalui BUMD/Perusahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama/kemitraan dengan BUMN atau Pemda dapat membeli saham milik BUMN.Sehingga dapat terjadi sinergi yang saling menguntungkan antara BUMN dan BUMD dalam memberikan kontribusinya kepada APBN/PBD. Oleh karena itu, keberadan BUMN di daerah harus diperjelas hak dan kewajibannya terhadap daerah.Karena jika tidak, maka timbul kebingungan bagi pemerintah daerah juga BUMN di daerah.Disamping itu, perlu dipahami daerah bahwa konsep otonomi daerah tidak semata-mata secara mutlak memiliki kebebasan ata kemrdekaan yang sepenuhnya, akan tetapi adanya suatu pembagian kewenangan yang diatur melalui UU.Interpretasi Pemda atas hak terhadap keberadaan BUMN kurang mengarah pada fungsinya sebagai sumber PAD, sehinga seolah-olah kurang bermanfaat. Hal inlah yang semestinya diperhatian oleh Pemerintah, baik pusat dan daerah. Upaya Pemda saat ini untuk turut campur dalam pengeloaan BUMN khususnya BUMN yang ada di daerah dapat berpengaruh terhadap prospek penerimaan laba BUMN di masa mendatang. Intervensi Pemda tersebut sangat bervariasi dari mulai keinginan membeli saham BUMN (meskipun saham kosong), bagi hasil penerimaan, bagi hasil keuntungan,penolakan terhadap pemilikan saham asing,pungutan khusus untuk BUMN dan lain-lain. Bahkan ada beberapa kasus dimana daerah meminta BUMN di daerahnya untuk di BUMDkan. Intervensi ini ternyata dialami oleh BUMN yang sifatnya nasional seperti Telkom, Indosat, Pertamina dan PLN. Berkaitan dengan BUMN, yang mengelola kawasan juga diintervensi Pemda. Banyak daerah menginginkan bagian lebih besar atau bahkan kepemilikan penuh dari sarana seperti pelabuhan, bandar udara, komplek olah raga, kawasan berikat dan lainnya. Kondisi seperti ini merupakan eforia otonomi daerah yang kebablasan guna memperoleh PAD/APBD bagi pembangunan daerah, yang dimasa rezim Orde Baru berkuasa dianak tirikan karena sistim pemerintaha yang saat itu terlalu sentralistis dan otoriter. Seyogyanya eforia Otonomi daerah tersebut harus dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sesuai semangat desentralisasi sebagiamana yang diatur dalam Pasal 1 (e) UU OTDA yaitu penyerahan kewenangan Pemerintah kepada Daerah dalam kerangka NKRI dan tidak menimbulkan ―tumpang tindih‖/benturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga menyebakan Pemerintah perlu merevisi UU OTDA dalam rangka kepastian hukum. Sebaliknya Pemerintah Pusat juga jangan ―setengah hati‖ di dalam memberikan kewenagan Otonomi daerah kepada Pemerintah Daerah sesuai semangat UU OTDA. Berdasarkan Pasal 84 UU OTDA, daerah dapat membentuk BUMD sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pembentukannnya diatur dengan Perda. Sebagai perbandingan, Pemda Tangerang telah mengeluarkan Perda No. 17 tahun 2000 tentang kerjasama Pemda dengan Badan Usaha Swasta dalam rangka meningkatkan pendapatan PAD/APBDnya Dengan

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

405

demikian tidak perlu daerah memBUMDkan BUMN-BUMN yang ada di daerah. VII.

Penutup 1.

Kesimpulan 1)

2)

3)

2.

Privatisasi BUMN di Indonesia secara yuridis sudah didukung oleh perangkat hukum baik dalam bentuk Tap MPR.GBHN maupun dalam bentuk UU dan peraturan pelaksana lainnya. Di dalam pelaksanaan BUMN disamping telah berhasil menambal defisit APBN bagi pembangunan ekonomi Indonesia, kontradiktif hubungan keuangan antara pusat dan daerah sebgaimana yang diatur dengan UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, termasuk PeraturanPerda/Perda dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (overlapping), karena ―menabrak‖ perangkat perUndang-undangan yang berlaku serta menimbulkan banyak pengangguran baru/PHK Massal. Contohnya. kasus privatisasi BUMN, pada PT. Indosat, Tbk. Pelaksanaan Privatisasi BUMN di dalam kerangka otonomi daerah telah menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan keinginan Pemerintah Daerah untuk mengambil alih kepemilikan BUMN di daerah sesuai dengan digulirkan UU. No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui Peraturan Daerah/Perda di dalam rangka meningkatkan PAD/APBD daerah bagi kepentingan pembangunan ekonomi daerah di daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota serta untuk kesejahteraan masyarakat di daerah sesuai semangat otonomi daerah. Sehingga banyak lahir Peraturan Perda/Perda yang dikeluarkan Pemerintah Daerah bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (overlapping).

Saran 1)

2)

Pemerintah Pusat seyogyanya melakukan sosialisasi terlebih dulu kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat serta instansi terkait sebelum melakukan privitasisi BUMN, sehingga dapat diciptakan kesamaan persepsi mengenai privatisasi BUMN. Privatisasi BUMN seyogyanya dilakukan berdasarkan semangat Pancasila, UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya untuk perusahaan BUMN yang strategis dan sehat, dominasi saham Indonesia harus lebih banyak, minimal 51% dari pada mitra asing/swasta. Atau setelah 10 tahun BUMN

406

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

3) 4)

5)

6)

7)

tersebut beroperasi, dominasi saham harus beralih ke pihak Indonesia, sehingga Indonesia dapat mengendalikan perusahan BUMN tersebut. Dan ketentuan seperti ini, pernah diberlakukan pada Perusahaan PT. PMA dimasa lalu, sebelum pihak asing sekarang ini bisa memilik saham 100%. Di Perusahaan PT. PMA. Institusi hukum dan penegakan hukum harus kuat di dalam pelaksanaan privatisasi BUMN Praktek-praktek KKN/Korupsi didalam pelaksanaan privatisasi BUMN seyogyanya diberantas dan dihukum berat bagi pelakunya yang terbukti melakukan tindak pidana KKN/Korupsi yang merugikan keuangan negara/rakyat (misalnya dihukum mati seperti di RRC/Korsel) tanpa mengenal pengkat, kedudukan dan jabatan (equal before the law) meskipun langit akan runtuh. Privatisasi BUMN seyogyanya dilakukan menurut prinsipprinsip good corporate governance yaitu secara transparan/keterbukaan, akuntabilitas/bertanggungjawab dan fairness/adil dan hasilnya ditujukan semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat. Dan bukan hanya untuk menambal defisit APBN dan di KKN. Privatisasi BUMN yang dijual seyogyanya yang tidak sehat/jelek, yang mendapatkan nilai tambah (capital gain) dan menciptakan lapangan kerja. Semangat kemitraan antara Pemerintah Pusat dan Pemda perlu digalakan dalam melaksanakan pengelolaan dan pengawasan BUMN.

Privatisasi BUMN Dan Otonomi Daerah, Alif

407

Daftar Kepustakaan Buku Barisan Penyelamat Aset Bangsa, Kejahatan Terhadap Aset Bangsa, Kasus Divestasi Indosat, Jakarta, June 2003. Ais, Chatamarrasjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Hartono, Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1988. -----------------------, Politik Hukum Menuju Sistim Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. Kusumaatmadja, Muchtar. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002 Makalah Baswir, Revrisond. Bahaya Privatisasi BUMN, Seminar Nasional: Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Privatisasi BUMN, BEMUNPAD, Aula Graha Sanusi Hardjadinata, Unpad, Bandung, 8 Nopember 2003. Hartono, Sunaryati. Upaya Menyusun Sistim Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, BPHN, Denpasar,14-18 Juli 2003. Narang, Teras. Otonomi Daerah: Tantangan dan Peluang BUMN, BUMN Expo 2003, JCC, Jakarta 17-21 September 2003. Ruru, Barcelius. Seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya, FHUI, BPK, Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta 14-15 Mei 1996. Soebagjo, Felix O. (Praktisi Hukum), Privatisasi BUMN Dan Kekayaan Negara Lainnya, Pandangan Dari Sudut Hukum, FHUI, BPK dan Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1996. Sumarlin, J.B. Pokok-pokok Sambutan Tentang Privatisasi BUMN Dan Kekayaan Negara Lainnya, FHUI, BPK dan Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1996 Timuryono, Urip. Segi-segi Praktek Privatisasi BUMN, FHUI, BPK, Depkeu, Auditorium Bank Exim, Jakarta, 14-15 Mei 1996. Yasin, Mahmudin. Privatisasi BUMN: Perkembangan Dan Kendala, BUMN Expo 2003, Jakarta Convention Centre/JCC, Jakarta, 17-21 September 2003.

408

Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.3 Juli-September 2013

Undang-undangan Himpunan Peraturan Perundang-undanagn BUMN, UU No. 19 tahun 2003, Jakarta: Fokusmedia, 2003. Tap MPR No.IV/MPR/1999-2004 tentang GBHN. Undang-Undang No.25/200 tentang Propenas. Undang-Undang NO. 22, 25 dan 28 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.