PAJAK DAERAH.CDR

Download pengaturan perpajakan khususnya pajak daerah. Sebagai penutup tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada...

0 downloads 63 Views 2MB Size
Dr. H. Mustaqiem, S.H., M.Si., lahir di Bantul, 6 Juni 1953. Ia beristrikan dr. Wiwit Widiastuti, M.Kes., dan dikaruniai empat orang anak: Aulia Hijriastuti, S.T., dr. Berliani Hijriawati, Cahyani Hijrifitri, S.Farm., dan Dzikri Hijriarahmah. Menyelesaikan Strata 1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 1979, dan Strata 2 Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada 1995. Melanjutkan pendidikan Strata 3 pada Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya lulus tahun 2005. Sejak tahun 1982, sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan, “Sisitem Penarikan Iuran pembangunan Daerah (IPEDA) di Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul dan Pengaruhnya Bagi Pembangunan di Daerah Tersebut”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1979; “Implementasi Kebijaksanaan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman Dan Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo”, Tesis, Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995; “Pengaturan Perpajakan Daerah Dalam Sistem Hukum Pajak Indonesia”, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005. Aktif menulis di berbagai media tentang hukum pajak.

 

I SB N

979 - 95412 - 6 - 3

PAJAK DAERAH

9 799 799 54 126 9

   

Dr. MUSTAQIEM, S.H., M.Si.

FH UII Press

PAJAK DAERAH DALAM TRANSISI OTONOMI DAERAH Dr. MUSTAQIEM, S.H., M.Si. Desain Cover: Rano XV + 331 hlm Cetakan Pertama: Januari 2008 Diterbitkan Oleh: FH UII PRESS Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta Po. Box. 1133 Telp. (0274) 379178, 377043 Fax. (0274) 385909 ISBN: 979-95412-6-3

Persembahan: Guru-guruku, terutama ibu dan ayahku yang telah memberi bekal ilmu.

KATA PENGANTAR Selaksa Puji dan Syukur hanya pantas dihaturkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha segala Maha. Dengan kaunia-Nya, Alhamdulillah pembuatan, penyusunan dan penerbitan buku ini dapat diselesaikan meskipun memerlukan proses dan waktu yang lumayan panjang. Buku ini menyajikan materi perpajakan yang dikemas dengan pendekatan yuridis-normatif, yuridis-administratif, yuridis-politis, yuridis-ekonomis maupun yuridis-historis. Kesemua pendekatan tersebut menurut penulis sangat relevan sebagai alat untuk mengkaji bidang perpajakan. Buku ini ditulis karena kesadaran besar penulis bahwa negara Indonesia ini sedang mengalami persoalan besar berkaitan dengan perpajakan. Sengketa antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang tidak selesai salah satunya dalah dikarenakan pengaturan sektor perpajakan yang tidak adil. Secara metaforis, semua negara di muka bumi ini adalah ibarat rumah tangga besar, rumah tangga tersebut akan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup anggota keluarganya. Untuk memenuhi keinginannya tersebut diperlukan berbagai unsur, antara

viii

Kata Pengantar

lain Struktur Organisasi Negara, Konstitusi Negara, Tujuan Negara, Sumber Daya Manusia maupun Sarana dan Prasarana pendukung lainnya. Semua unsur pembentuk dan penopang kehidupan negara tersebut sangat membutuhkan biaya untuk dapat berjalan dan bertahan. Pembiayaan tersebut dapat bersumber dari berbagai sektor dan salah satunya adalah sektor perpajakan. Berdasar pendekatan yuridis-historis, sektor perpajakan sebenarnya sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu, seperti pada jaman Romawi Kuno dan Mesir Kuno. Sampai saat ini sektor perpajakan masih tetap penting untuk menopang kelangsungan hidup negara dan tetap sebagai sumber pendanaan utama bagi setiap negara. Sistem perpajakan ini selalu mengalami perubahan terutama pada sistem pemungutannya. Sistem pemungutan pajak mengalami perubahan dan perkembangan, dari yang sederhana sampai yang paling maju. Perubahan terjadi seiring dengan derasnya arus perubahan kehidupan masyarakat. Secara sosiologis, kehidupan masyarakat akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Misalnya, masyarakat agraris akan berubah menjadi masyarakat industri dan masyarakat industri akan berubah menjadi masyarakat informasi dan seterusnya. Semua perubahan masyarakat tersebut juga berpengaruh terhadap pengaturan pajak dalam sebuah negara. Indonesia misalnya, sebagai negara hukum, dasar yuridis dalam memungut pajak maupun sistem pemungutan pajak juga mengalami perubahan. Seperti Pasal 23 ayat (2)

Mustaqiem

ix

UUD 1945 diamandemen menjadi Pasal 23 A UUD 1945, sistem pemungutannya juga berubah dari Official Assesment System diganti dengan Self Assesment System, dan masih banyak perubahan sektor perpajakan yang lain. Perubahan dalam sektor perpajakan dilakukan tentu bukan sekedar strategi agar dana dari sektor perpajakan dapat mengalir ke Kas Negara sebanyak-banyaknya, tetapi juga agar lebih memberikan keadilan, kepastian hukum, maupun untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat (public services). Pilihan Indonesia untuk menerapkan sistem desentralisasi pemerintahan, juga membawa dampak perubahan yang besar bagi pengaturan sektor perpajakan daerah. Buku ini akan memberikan pemahaman yang cukup tentang perubahan pengaturan perpajakan khususnya pajak daerah. Sebagai penutup tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga buku ini bisa diterbitkan. Khususnya terimakasih kepada Mas Eko Riyadi, S.H. yang telah memberikan sentuhan editing terhadap naskah buku ini, sehingga buku ini lebih apik dan enak dibaca dan juga telah mengawal buku ini hingga diterbitkan. Harapan penulis semoga isi buku ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kecerdasan bangsa. Terakhir, penulis sangat mengharapkan umpan balik serta kritik dari para pembaca demi kesempurnaan buku ini. Terimakasih.

Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si

DAFTAR ISI Data Pengantar ~ vii Daftar Isi ~ x Daftar Tabel ~ xv BAB I : PENDAHULUAN A. Pendapatan Dalam Negeri ~ 4 B. Penerimaan Pembangunan ~ 5 1. Alasan Pembenar Negara Memungut Ppajak ~ 27 a. Teori Asuransi (Verzekering Theorie / Assurantie Theorie) ~ 33 b. Teori Kepentingan (Belangen Theorie) ~ 35 c. Teori Daya Pikul (Draagkracht Theorie) ~ 36 d. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak) ~ 39 e. Teori Daya Beli (Koopkracht Beginsel) ~ 41 2. Definisi Dan Fungsi Pajak ~ 43 a. Definisi Pajak ~ 43 b. Fungsi Pajak ~ 46 I. Cara Umum ~ 56 a. Tarif sepadan/proposional (evenredig, propotioneel) ~ 57 b. Tarif meningkat (progressief) ~ 57

Mustaqiem

xi

1) Tarif Progressief Proportioneel ~ 60 2) Tarif Progressief Degressief ~60 3) Tarif Progressief Progressief ~ 61 c. Tarif Menurun (degressief) ~ 62 d. Tarif Tetap (vast) ~ 62 II. Cara Khusus ~ 64 a. Cara Positif ~ 64 b. Cara Negatif ~ 69 3. Asas Pemungutan Pajak ~ 70 a. Asas Domisili (Domicilie Beginsel) ~ 70 b. Asas Sumber (Bron Beginsel) ~ 71 c. Asas Kebangsaan (Nationaliteits Beginsel) ~ 72 4. Kewajiban Dan Sanksi Perpajakan ~ 72 a. Kewajiban Perpajakan ~ 72 1) Kewajiban Pajak Subjektif ~ 73 2) Kewajiban Pajak Objektif ~ 75 b. Sanksi Perpajakan ~ 77 1) Sanksi Administrasi (Administratieve Sanctie) ~ 78 2) Sanksi Pidana (Strafrechtelijke Sanctie) ~ 79 5. Sistem Pengenaan Pajak ~ 88 a. Official Assesment System ~ 89 b. Semi Self Assesment System ~ 91 c. Self Assesment System ~ 91 d. With Holding System ~ 96 6. Pengelolaan Pajak ~97 a) Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung ~ 99 b) Pajak Subjektif dan Pajak Objektif ~ 106 c) Pajak Umum dan Pajak Daerah ~ 114 7. Sistem Hukum Pajak Indonesia ~ 118

xii

Daaftar Isi

BAB II : PENGATURAN BIDANG PERPAJAKAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM PAJAK INDONESIA A. Hukum Pajak Indonesia ~ 121 1. Pengertian Hukum Pajak Indonesia ~ 124 2. Jenis-Jenis Pajak Pusat ~ 130 a) Pajak Penghasilan ~ 131 b) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Atas Barang Mewah ~ 139 c) Pajak Bumi dan Bangunan ~ 143 d) Bea Meterai ~ 146 e) Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ~ 151 B. Kriteria Penilaian Pajak di Indonesia ~ 154 C. Perpajakan Daerah ~ 166 1. Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah ~ 166 2. Pengertian Pajak Daerah ~ 170 3. Periodisasi Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah ~ 186 a) Periode Undang-Undang No. 11/ Darurat/Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah ~ 186 b) Periode UU No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah ~ 200 c) Periode Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah ~ 211 d) Periode Tahun 2004 ~ 218

Mustaqiem

xiii

BAB III : PRODUK HUKUM PAJAK DAERAH DALAM SISTEM HUKUM PAJAK INDONESIA 1. Hukum Pajak ~ 229 A. Syarat Pembuatan Hukum Pajak ~ 238 1. Ditinjau dari Aspek Keadilan Vertikal ~ 244 2. Ditinjau dari Aspek Keadilan Horizontal ~ 245 3. Dilihat dari Aspek Keadilan Geografis ~ 247 B. Macam-Macam Hukum Pajak ~ 253 1. Hukum Pajak Materiel ~ 253 2. Hukum Pajak Formil ~ 259 C. Kegunaan Hukum Pajak ~ 263 D. Kebijaksanaan Hukum Pajak ~ 265 2. Hukum Pajak Daerah ~ 269 A. Kriteria Penilaian Pajak Daerah ~ 269 B. Ketentuan Pembuatan Hukum Pajak Daerah ~ 275 C. Tipe–Tipe Pajak Daerah ~ 284 1) Pajak Kendaraan Bermotor ~ 289 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ~ 291 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ~ 295 4) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ~ 296 D. Pajak Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta ~ 298 1) Aspek Filosofis, Yuridis dan Politis ~ 299 2) Aspek Ketentuan Materiil dan Formil ~ 305 3) Ketentuan Sanksi di Bidang Perpajakan ~ 311

xiv

Daaftar Isi

BAB IV : P E N U T U P Kesimpulan ~ 318 Saran ~ 319 DAFTAR PUSTAKA ~ 320

Mustaqiem

xv

Daftar Tabel 1. Penerimaan Negara Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam, PajakDan Kontribusinya Terhadap APBN Tahun 19801985(dalam triliun) ~ 7 2. Penerimaan Migas dan Pajak Tahun Anggaran 1999 s/ d 2004 (dalam triliun) ~ 8 3. Penerimaan Sektor Pajak dan Presentase SumbanganTerhadap APBN Tahun Anggaran 1999 – 2004 (dalam trilliun) ~ 17 4. Penerimaan Sektor Pajak Daerah dan Prosentase Sumbangan Terhadap APBD Propinsi DIYTahun Anggaran 1999 – 2004 (dalam milyar) ~ 23 5. Macam Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah Dalam Sistem Hukum Pajak Indonesia, 1957 ~ 227 6. Nama-Nama Pajak Daerah Menurut UU No. 34 Th.2000 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ~ 309

BAB I

PENDAHULUAN

Pemerintah adalah entitas masyarakat dalam suatu negara yang diberi kewenangan untuk menjalankan pemerintahan. Pelaksanaan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan dengan adanya beberapa unsur pendukung, salah satunya adalah tersedianya dana yang memadai. Sebab tanpa dukungan dana, semua program pemerintah tidak akan dapat dilaksanakan dan itu berarti fungsi pemerintah dalam suatu negara tidak berjalan secara optimal. Dana yang diperoleh negara merupakan penerimaan yang dipergunakan untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Anggaran tersebut merupakan uraian pembiayaan yang dipergunakan penyelenggaraan pemerintahan dan keperluan pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah harus memperoleh penguasaan atas sumber-sumber ekonomi untuk dapat menjalankan kegiatan-kegiatannya. Sumbersumber tersebut dapat diperoleh secara merampas seperti dalam zaman-zaman peradaban dahulu, terutama dari musuh-musuh yang sudah dikalahkan dan bisa diperoleh dengan diperintahkan berdasar prosedur-prosedur hukum,

2

Pendahuluan

seperti pada wajib dinas tertentu. Sumber-sumber ini dapat dibeli dengan uang; seperti lazimnya dilakukan dalam masyarakat modern. 1 Uang yang dibutuhkan dapat diciptakan oleh pemerintah atau dapat diperoleh juga melalui pinjaman, pembayaran-pembayaran untuk jasa dan perpajakan yang merupakan sumber biasa pada jaman sekarang.2 Penyelenggaraan pemerintahan secara rutin banyak menggunakan sumber dana, apalagi disertai dengan pembangunan.3 Sumber-sumber dana tersebut diperoleh baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang pada dasarnya dikelola dengan ketat. Penerimaan pemerintah memiliki arti yang luas, meliputi pajak, hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebagainya.4 Pendapat lain mengatakan bahwa penerimaan negara berasal dari : (a) pungutan, (b) pinjaman, dan (c) penciptaan uang baru. Pungutan sendiri merupakan nama himpunan yang meliputi pajak, retribusi, sumbangan, monopoli serta pungutanpungutan lain.5 Selain itu dikatakan pula bahwa apa yang diterima oleh pemerintah suatu negara dapat bermacammacam antara lain pajak, retribusi, hasil perusahaan negara, 1

John F. Due, Government Finance: Economic Of The Public Sector, diterjemahkan oleh Iskandarsyah, dkk, berjudul: Keuangan Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 95 2 Ibid. 3 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 3 4 Suparmoko, Keuangan Negara, BPFE, Yogyakarta, 1999, hlm. 93-94 5 Andriani dalam Chidir Ali, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1993, hlm.18

Mustaqiem

3

dinas-dinas, pinjaman dan grant (jika ada). 6 Jika disederhanakan, penerimaan negara dapat dibedakan atas penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak.7 Di Indonesia kewajiban pemerintah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didasarkan pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut bukan hanya sekedar mewajibkan kepada pemerintah agar setiap tahun menyusun anggaran negara, namun juga ada keharusan bagi pemerintah agar penerimaan negara dapat dimanfaatan atau dipergunakan untuk kepentingan mewujudkan tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Istilah anggaran negara (budget-negara) biasanya digunakan untuk menamai perkiraan normatif dari semua pengeluaran negara dan alat-alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran mengenai sesuatu pada jangka waktu tertentu di masa yang akan datang, 6

Ibnu Syamsi, Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 87 7 Tomo, HS, dkk.; Penerimaan Negara Bukan Pajak, YPAPI, Yogyakarta, 2004, hlm. 16

4

Pendahuluan

dengan waktu-waktu yang disusun teratur secara sistematis.8 Dipandang dari sudut Hukum Tata Negara, anggaran negara dapat dirumuskan sebagai keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberi kuasa kepada kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat-alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 merupakan suatu kebijakan yang sangat penting agar kegiatan pemerintah dapat dikendalikan, baik dari segi pandapatan maupun pengeluaran. Oleh karena itu anggaran atau budget negara harus disusun lebih dahulu sebelum pemerintah melaksanakan program kegiatan, hal tersebut harus dilakukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat dipergunakan sebagai alat kontrol bagi kegiatan pemerintah selama satu tahun anggaran. Dana yang dipergunakan sebagai bahan penyusunan anggaran negara di Indonesia berasal dari berbagai sumber pendapatan, meliputi : A. Pendapatan Dalam Negeri; a) Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); b) Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan Gas Alam (NonMigas); 1. Pajak Penghasilan; 2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak 8

C. Goedhart, Hoofdlijnen Van De Leer Der Openbare Financien, 1975, diterjemahkan oleh Ratmoko, berjudul : Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Djambatan, Jakarta, 1982, hlm. 302

Mustaqiem

3. 4. 5. 6. 7.

5

Penjualan atas Barang Mewah; Bea Masuk dan Cukai; Pajak Ekspor; Pajak Bumi dan Bangunan; Pajak lainnya; Penerimaan Non-Pajak.

B. Peneriman Pembangunan; a) Bantuan Program; b) Bantuan Proyek.9 Komposisi yang dibuat pemerintah pusat tersebut menunjukkan bahwa asal-usul dana yang dipergunakan untuk menyusun anggaran negara yang berasal dari sektor pajak terdiri atas berbagai macam pajak, seperti : a. Pajak Penghasilan; b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; c. Pajak Bumi dan Bangunan; d. Bea Meterai; e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Uraian tersebut menunjukkan bahwa sektor pajak memiliki posisi yang sangat strategis bagi pendapatan negara, sehingga hampir tidak dapat disangkal bahwa pajak merupakan andalan pemasukan uang bagi negara. Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara kemudian dikualifikasikan ke dalam beberapa bentuk antara lain : 9

276

Suparmoko, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta,1998, hlm.

6

Pendahuluan

1. State taxes; a. Income tax; b. Value –added tax; c. Sales tax on luxury goods; d. Stamp tax; e. Property tax (on land and buildings); f. Fiscal exit tax; 2. Regional taxes; a. development tax (PBI); b. Motor vehicles tax; c. Other minor taxes, including household tax, foreigners tax, entertainment tax, road tax, advertisement tax and radio and television tax; 3. Customs and excise taxes; a. export tax; b. import tax; c. Tobacco, sugar, beer and alcohol and gasoline taxes.10 Negara menggunakan hasil pajak untuk membiayai kesejahteraan umum, penyelenggaraan pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.11 Sesuai dengan perjalanan waktu, alat yang dipergunakan untuk membayar pajak mengalami perubahan. Pada waktu yang lampau keperluan membayar pajak cukup menggunakan natura (hasil alam) maupun tenaga (phisik), tetapi saat ini keperluan membayar pajak harus menggunakan uang. 10

Doing Business and Investing in Indonesia, Price Waterhouse Coopers, 1994, hlm. 129 11 Soeparman, Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm.1

Mustaqiem

7

Mulai tahun 1983, sektor pajak di Indonesia telah dikelola secara serius, sehingga lama-kelamaan hasil pajak menggeser posisi pendapatan yang berasal dari sektor Minyak Bumi dan Gas Alam yang pada tahun 1980-an pernah menjadi “primadona” bagi penerimaan negara, sebab sektor ini pernah menjadi penyumbang penerimaan negara terbesar dibandingkan dengan penerimaaan yang berasal dari sektor lain. Hal tersebut dapat diketahui dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Penerimaan Negara Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam, Pajak Dan Kontribusinya Terhadap APBN Tahun 1980-1985 (dalam triliun) Tahun Anggaran

APBN

1980/1981 Rp. 11.716,0 13.928,0 1981/1982 14.356,0 1982/1983 18.311,0 1983/1984 19.381,0 1984/1985 23.046,0 1985/1986

Hasil Migas

Hasil Pajak

Rp. 7.020,0 8.628,0 8.179,0 9.520,0 10.430,0 11.144,0

Rp. 2.551,0 3.081,0 3.670,0 4.238,0 4.583,0 6.613,0

Sumber data: Majalah Tempo No.46 Th.ke XIII, 14-1-1984, dan No.46 Th. Ke XV, 11-1-1986.

Harapan terhadap pendapatan yang berasal dari Minyak Bumi dan Gas Alam ternyata tidak dapat diandalkan terus menerus, dikarenakan harga Minyak Bumi dan Gas Alam sangat fluktuatif disebabkan oleh pengaruh keadaan atau

8

Pendahuluan

stabilitas politik internasional yang seringkali tidak menentu, seperti terjadi peperangan antar negara pemakai atau penghasil minyak dan bertambahnya negara industri baru yang memerlukan minyak seperti Korea dan Republik Rakyat Cina. Demikian pula negara produsen Minyak Bumi dan Gas Alam selama ini tidak pernah dapat menentukan harga minyak dan gas bumi secara sepihak ditambah dengan adanya pembatasan kuota bagi negara penghasil minyak. Semuanya itu mengakibatkan pendapatan negara dari sektor Minyak Bumi dan Gas Alam peningkatannya tidak begitu pesat seperti pendapatan yang berasal dari sektor pajak, hal tersebut dapat diketahui melalui tabel ke-2 dibawah ini. Tabel 2 Penerimaan Migas dan Pajak Tahun Anggaran 1999 s/d 2004 (dalam triliun) Tahun Anggaran 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005

Hasil Migas

Hasil Pajak

Rp. 40.035,6

Rp. 94.739,7

40.035,6 60.137,4 59.877,6 57.677,6 63.344,1

101.436,8 174.188,6 219.627,1 254.140,2 272.175,1

Sumber data: Warta Perundang-undangan No.1632,1736, 1738, 1839, 1942, 2130; UU APBN No. 19 Th. 2001, UU APBN No. 29 Th. 2002, UU APBN No. 28 Th. 2003.

Keberhasilan penerimaan negara dari sektor pajak tersebut antara lain dikarenakan tahun 1983 Pemerintah Indonesia melakukan penanganan secara serius dengan

Mustaqiem

9

cara mengadakan pembaharuan (reformasi) peraturan perundang-undangan bidang perpajakan dengan tujuan agar sesuai dengan perkembangan keadaan yang dialami bangsa Indonesia dari 1945 sampai dengan 1983. Selain itu, dasar pertimbangan pembaharuan bidang perpajakan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, adalah: (1) Menempatkan perpajakan sebagai salah satu bentuk kewajiban warga negara kepada negaranya yang merupakan peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional; (2) Bahwa sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia; (3) Bahwa sistem perpajakan yang tertuang di dalam ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua subyek pajak dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri yang diperlukan guna kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional. Radius Prawiro (Menteri Keuangan Republik Indonesia) pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 5 Oktober 1983 menyatakan bahwa tujuan utama dari pembaharuan perpajakan ialah untuk lebih menegakkan kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber

10

Pendahuluan

di luar minyak bumi dan gas alam.12 Meskipun sebelum 1983 tidak pernah terjadi pembaharuan di bidang perpajakan, tetapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak tetap berdasarkan hukum. Dasar hukum yang dipergunakan oleh negara pada waktu itu adalah peraturan perundang-undangan perpajakan (lama) yang merupakan modifikasi dari produk hukum sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum penggunaan peraturan perundang–undangan lama bidang perpajakan sebelum tahun 1983 adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1952, yang menetapkan bahwa sejak 1 Januari 1951 semua undang-undang, undang-undang darurat, dan ordonansi tentang pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku di seluruh Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku menurut undang-undang tersebut, adalah:13 a. Undang-Undang Pajak Radio ( Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947) diserahkan kepada Daerah; b. Undang-Undang Pajak Pembangunan I (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947) diserahkan kepada Daerah; c. Undang-Undang Darurat Pajak Peredaran ( UndangUndang Nomor 12 Tahun 1950 ) menjadi Pajak Penjualan; d. Ordonansi Pajak Peralihan 1944, Stbl.1944 Nomor 17, menjadi Ordonansi Pajak Pendapatan 1944; 12

Rochmat Soemitro, Pajak Penghasilan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1984, hlm. 5 13 Usman, dkk, Pajak-Pajak Indonesia, Yayasan Bina Pajak, Jakarta, 1980, hlm.19-20

Mustaqiem

11

e. Ordonansi Pajak Upah, Stbl. 1934 Nomor 611; f. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Stbl.1908 Nomor 13, diserahkan kepada Daerah; g. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor1934, Stbl.1934 Nomor 718, diserahkan kepada Daerah; h. Ordonansi Bea Balik Nama 1924, Stbl.1924 Nomor 291; i. Ordonansi Pajak Potong 1936, Stbl. 1936 Nomor 671, diserahkan kepada Daerah; j. Aturan Bea Meterai 1921, Stbl. 1921 Nomor 498; k. Ordonansi Successie 1901, Stbl. 1901 Nomor 471; l. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Stbl. 1932 Nomor 405. Di antara beberapa peraturan perundang-undangan tersebut terdapat Ordonansi, yaitu peraturan perundangundangan yang dibentuk Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal) dan Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta dan berlaku bagi wilayah Hindia Belanda. Ordonansi yang masih berlaku di Indonesia kedudukannya adalah setingkat dengan Undang–Undang sehingga dalam penyebutannya seyogyanya masih memakai nama jenis dari peraturan tersebut sebagaimana aslinya.14 Semisal penyebutannya Hinder Ordonantie sebaiknya disebut Ordonantie Gangguan, karena Ordonantie merupakan perundang-undangan pada jaman Hindia Belanda. Penggunaan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut sebagai dasar pemungutan pajak secara yuridis konstitusional adalah sah, hal tersebut dikuatkan adanya 14

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 105

12

Pendahuluan

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang undang Dasar ini”. Berkaitan dengan hal tersebut, negara sebenarnya mempunyai hak istimewa mengadopsi aturan-aturan yang bermanfaat, termasuk aturan perpajakan baik dengan persetujuan parlemen atau tidak. 15 Meskipun begitu terdapat kendala dalam mengadopsi hukum seperti materi yang tidak sama dengan keadaan yang sebenarnya”.16 Begitu pula sebagai negara yang merdeka dituntut melakukan pembaharuan atau penggantian atas hukum-hukum yang telah ada sebelum merdeka. 17 Langkah tersebut perlu dilakukan karena UndangUndang Dasar setelah Proklamasi Kemerdekaan memiliki muatan atau substansi yang berbeda dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. 18 Menurut Friedman, seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, bahwa penggantian peraturan perundang-undangan merupakan hal yang logis dilakukan oleh bangsa yang merdeka.19 15

Stephen G. Uzt, Tax Policy (An Introduction and Survey of The Principal Debate), West Pu-blising CO. ST. Paul, MINN, 1993, p. 55 16 RWM. Dias, at all, Jurisprudence, Fifth Edition, Butterworths, London, 1985, p. 23 17 Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm.9 18 Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 1 19 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sejarah Dan Perubahan Sosial Pada Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hlm. 37

Mustaqiem

13

Apabila dihubungkan dengan persoalan pendapatan negara, maka urgensi pembaharuan peraturan perundangundangan perpajakan selain disesuaikan dengan perkembangan bangsa Indonesia, sekaligus juga untuk mengatasi penurunan penerimaan negara yang berasal dari sektor Minyak Bumi dan Gas Alam. Dengan kata lain bahwa pembaharuan bidang perpajakan dilakukan dengan tujuan untuk menjaring penerimaan negara sebanyak-banyaknya dari sektor pajak. Tujuan seperti itu menimbulkan kecenderungan bahwa pembaharuan peraturan perundangundangan bidang perpajakan menonjolkan fungsi pajak yang pertama yaitu fungsi anggaran (budgetair). Untuk mendukung keperluan tersebut maka titik berat pembaharuan pada sistem perpajakan mencakup penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak, cara pembayaran pajak (misalkan : Official Assesment System dirubah menjadi Semi Self Assessment System dan terakhir dirubah menjadi Self Assessment System) supaya pembayaran pajak semakin adil dan merata. Selain itu ciri utama pembaharuan peraturan perundang-undangan perpajakan ialah : (1) Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama–sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional; (2) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat

14

Pendahuluan

Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundangundngan perpajakan; (3) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional melalui sistem perhitungan, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang (Self Assessment). Sehingga melalui sistem ini, administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.20 Ciri utama pembaharuan tersebut tidak berbeda dengan kebijakan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh negara berkembang lain, yang pada umumnya bertujuan untuk memenuhi kepentingan pertumbuhan ekonomi, stabilitas internal dan eksternal, serta distribusi yang tepat sehingga hal tersebut merupakan bagian yang esensial dari kebijakan pengembangan dan pembangunan.21 Langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan pembaharuan di bidang perpajakan ialah dengan menghasilkan beberapa peraturan perundang–undangan di bidang perpajakan (tax 20

Cyrus Sihaloho, Ketentuan Perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta, 1997, hlm. 5 21 Richard M. Bird, Tax Policy and Economic Development, The Johns Hopkin University Press, Baltimoreand London, p. 8

Mustaqiem

15

law), yang terdiri atas : (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000; UU No. 28 Tahun 2007. (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000; (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah jis Undang-Undang No. 1 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000; (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992; (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea dan Materai; (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000; (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000. Secara historis, memang demikianlah urutan pembicaraan mengenai perpajakan. Pertama-tama diputuskan dahulu mengenai kebijaksanaan perpajakan (tax policy), kemudian kebijakasanaan tersebut diolah dan ditetapkan dalam bentuk undang-undang perpajakan (tax law) dan barulah kemudian

16

Pendahuluan

dibahas masalah yang menyangkut pemungutannya oleh aparat perpajakan yang termasuk dalam ruang lingkup administrasi perpajakan (tax administration).22 Akibat diadakan pembaharuan, maka beberapa perundang-undangan perpajakan yang lama dicabut berlakunya, meliputi : a. Pajak Pendapatan dipungut berdasar Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970; b. Pajak Kekayaan dipungut berdasar Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 sebagaimana beberapa kali telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1964; c. Pajak Perseroan dipungut berdasar Ordonansi Pajak Perseroan 1925 sebagai mana berkali-kali telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970; d. Pajak Penjualan dipungut berdasarkan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951 sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968; e. Bea Meterai dipungut berdasar Aturan Bea Meterai 1921 sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2/Prp./Tahun 1965. Pelaksanaan pembaharuan yang diawali tahun 1983 tidak berhenti begitu saja tetapi diikuti langkah-langkah 22

Moh. Zain, dkk, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 8

Mustaqiem

17

berikutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa bidang perpajakan mengalami dinamika yang sangat cepat mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, sebab perubahan dalam kehidupan masyarakat tidak pernah berhenti. Tuntutan untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dalam kehidupan merupakan suatu keharusan dan ternyata membawa dampak positif yaitu pendapatan dari sektor pajak setiap tahun mengalami kenaikan terus, hal ini dapat diketahui pada tabel 3. Tabel 3 Penerimaan Sektor Pajak Dan Presentase Sumbangan Terhadap APBN Tahun Anggaran 1999 - 2004 (dalam trilliun) No. Tahun Anggaran 1 2 3 4 5 6

1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005

Jumlah APBN Rp.219.603,8 252.896,5 299.851,2 301.874,3 336.155,5 349.933,7

Jumlah Pajak Rp. 94.739,7 101.436,8 174.188,8 219.627,4 254.140,2 272.175,1

% 43,1 66,3 58,0 72,7 75,6 77,7

Sumber data: Majalah Warta Perundang-undangan No.1632, 1736, 1738, 1942, 2130, UU APBN No.19 Th. 2001, UU APBN No. 29 Th. 2002, UU APBN No. 28 Th. 2003.

Penerimaan pajak oleh negara merupakan suatu keniscayaan dari berdirinya negara modern. Negara modern juga menunut adanya hirarki pemerintahan yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam perkembangannya, masing-masing hirarki pemerintahan diberi wewenang

18

Pendahuluan

untuk memungut pajak dari masyarakat, sehingga dikenal adanya penggolongan pajak pemerintah pusat dan pajak pemerintah daerah. Penggolongan pajak tersebut dapat diterapkan di negara kesatuan yang menggunakan sistem otonomi daerah termasuk di Indonesia. Berkaitan dengan bentuk negara kesatuan, maka ciri khas Pajak Nasional (Pusat) adalah pemungutannya berdasarkan undang-undang yang kemudian hasilnya dipakai sebagai salah satu bahan untuk penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan kepentingan nasional. Di Indonesia, pajak pusat yang berlaku sekarang meliputi : Pajak Penghasilan; Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa; Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai; Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Hasil dari pajakpajak tersebut akan dipergunakan untuk bahan menyusun anggaran negara. Selain pajak pusat, terdapat pajak daerah yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang dipergunakan untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (APBD). Pajak Daerah di Indonesia pada tahun 1957 dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Pajak Daerah yang sejak semula memang sudah merupakan pajak asli daerah; 2. Pajak Daerah yang berasal dari pelimpahan pemerintah Pusat. Pajak asli daerah yang dipungut oleh Daerah Tingkat I pada tahun 1957 terdiri atas empat hal yaitu: a)Pajak atas izin penangkapan ikan di perairan umum dalam wilayah

Mustaqiem

19

daerah tersebut; b) Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan bagi pembiayaan pembangunan sekolah rakyat yang menjadi beban pemerintah daerah; c) Opsen atas pokok pajak kekayaan (Ordonansi Pajak Kekayaan 1932); d) Opsen atas pajak cukai penjualan bensin ( Pasal 13 Undang-Undang Darurat Nomor 11 tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah). Pajak asli daerah yang dipungut Daerah Tingkat II (pada waktu itu) terdiri atas: a. Pajak atas pertunjukan dan keramaian umum; b. Pajak atas reklame sepanjang tidak dimuat dalam majalah atau warta harian; c. Pajak anjing; d. Pajak atas izin penjualan atau pembikinan petasan dan kembang api; e. Pajak atas penjualan minuman yang mengandung alkohol; f. Pajak atas kendaraan bermotor; g. Pajak atas izin mengadakan penjudian; h. Pajak atas tanda kemewahan mengenai luas dan perhiasan kubur; i. Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari dalam satu tahun pajak, kecuali untuk perawatan di dalam rumah sakit atau sanatorium, juga atas penyediaan rumah lengkap dengan parabotnya untuk diri sendiri atau keluarganya selama lebih dari 120 hari dari satu tahun pajak, semua itu tanpa bertinggal tetap di daerah itu, dengan ketentuan bahwa mereka yang berdiam di luar daerahnya guna menjalankan tugas yang diberikan oleh negara atau daerah tidak boleh dikenakan pajak termaksud;

20

Pendahuluan

j. Pajak atas milik berupa bangunan serta keturutannya atau tanah kosong yang terletak dalam bagian tertentu dari aerah, pajak mana dipungut tiap-tiap tahun untuk paling lama 30 tahun atas dasar sumbangan yang layak guna pembiayaan pekerjaan yang diselenggarakan oleh atau dengan bantuan daerah dan yang menguntungkan milik-milik tersebut; k. Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan jalan umum di darat atau di air, atau dengan lapangan atau pajak atas tanah yang yang menurut rencana bangunan daerah yang telah disahkan akan dipergunakan sebagai tanah bangunan dan terletak dalam lingkungan yang ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; l. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukan bagi pembiayaan pembangunan rumah sekolah rendah untuk pelajaran umum dan pembelian perlengkapan pertama; m. Opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang kemungkinan pemungutan opsen itu diberikan dalam peraturan pajak daerah tingkat itu (Pasal 14, UU/Drt/ Nomor 11 Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah). Selain pajak asli daerah terdapat beberapa pajak-pajak negara yang diserahkan kepada daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1957 Tentang Penyerahan Pajak Negara kepada Daerah, yang terdiri: (1) Bagi Daerah Tingkat I, meliputi: a) Pajak Rumah Tangga; b) Pajak Kendaraan Bermotor;

Mustaqiem

21

c) Pajak Verponding. (2) Bagi Daerah Tingkat II, meliputi : a) Pajak Jalan; b) Pajak Kopra; c) Pajak Potong; d) Pajak Pembangunan I; e) Pajak Verponding Indonesia. Bidang perpajakan daerah bersamaan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah mengalami perubahan baik yang berhubungan dengan nama maupun pihak yang berwenang memungut Pajak Daerah. Menurut undangundang tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II sama–sama tetap memiliki sumber pendapatan daerah yang berasal dari sektor Pajak Daerah, karena dua tingkatan pemerintah tersebut berstatus sebagai daerah otonom. Setiap daerah otonom harus memiliki sumber pendapatan sendiri, demikian pula menurut UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Setiap Daerah Otonom (Propinsi dan Kabupaten/Kota) memiliki beberapa macam Pajak Daerah: (1) Pajak – pajak Daerah Propinsi terdiri atas : a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air; b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air; c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

22

Pendahuluan

(2) Pajak Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas : a) Pajak Hotel; b) Pajak Restauran; c) Pajak Hiburan; d) Pajak Reklame; e) Pajak Penerangan Jalan; f) Pajak Pengambilan Bahan Galian C; g) Pajak Parkir. Pajak daerah menjadi pemasukan utama bagi Penghasilan Asli Daerah di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah otonom yang memiliki berbagai sumber pendapatan daerah, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839. Dalam Pasal l79 undangundang tersebut menetapkan bahwa sumber pendapatan daerah bukan hanya berasal dari Pajak Daerah tetapi berasal dari berbagai sumber: (1) Pendapatan Asli Daerah yaitu : a) Hasil Pajak Daerah; b) Hasil Retribusi Daerah ; dan c) Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. (2) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yaitu : a) Dana perimbangan; b) Pinjaman daerah, dan

Mustaqiem

23

c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Meskipun keberadaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tetapi undang undang yang terbaru ini berdasarkan pasal 157 masih tetap menentukan sumbersumber pendapatan daerah yang meliputi : (1) pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD ( hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah), (2) dana perimbangan, (3) lain-lain pendapatan daerah yang sah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta pendapatan daerah yang berasal dari Pajak Daerah setiap tahun dapat diketahui jumlahnya pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Penerimaan Sektor Pajak Daerah Dan Presentase Sumbangan Terhadap APBD Propinsi DIY Tahun Anggaran 1999 - 2004 (dalam milyard) No. Tahun Anggaran 1 2 3 4 5 6

1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005

Jumlah APBD

Pajak Daerah

Rp. 119.981.718 Rp. 33.288.766 233.438.672 356.759.480 452.184.422 497.215.369 581.888.751

74.226.339 96.004.234 151.400.413 181.334.683 256.636.191

Sumber data : Perpustakaan Bappeda dan DPRD DIY.

% 27,74 31,79 26,91 33,48 36,47 44,10

24

Pendahuluan

Dalam dasar pertimbangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah yang dipergunakan sebagai dasar pemungutan pajak daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta dikemukakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa dengan area wilayah tidak luas dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan provinsi lain. Selain itu, kedudukan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY tetap diakui dan telah diberikan sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut tetap dipertahankan terus oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan yang terakhir Undang Undang-Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 2 ayat (8) UU No. 32 tahun 2004 menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Meskipun pilihan sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem desentralistik, namun pengaturan bidang perpajakan daerah sejak tahun 1957 sampai saat ini tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hal itu dilakukan berdasar pada dua macam undang-undang, yaitu Undang-Undang 23

Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 89

Mustaqiem

25

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah. Berdasar substansi dari perundangundangan tersebut, maka arah kebijakan (policy) pengaturan bidang perpajakan daerah yang dilakukan pemerintah pusat merupakan cerminan politik hukum yang dikehendaki. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah ini pararel dengan pendapat salah seorang sarjana yang mengatakan bahwa : “Menurut asas Negara Kesatuan yang didesentralisasikan bahwa yang pemegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat (Central Government) tanpa adanya gangguan oleh suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (Local Government).24 Menurut F. Sugeng Istanto seperti yang dikutip oleh Josep Riwu Kaho, dia menyatakan bahwa : “Dalam suatu Negara Kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara ini tidak dibagi antara Pemerintah Pusat (Central Government) sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara dalam Negara Kesatuan itu tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara itu adalah Pemerintah Pusat”.25 Pendapat lain mengatakan bahwa negara merupakan tatanan hukum (legal order), oleh karena itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu negara; di dalam negara ada kaedahkaedah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah 24 Josep Riwu Kaho, 1991, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.5 25 Ibid.

26

Pendahuluan

negara yang sering disebut kaedah sentral (central norm) dan ada pula kaedah hukum yang berlaku sah dalam bagian wilayah yang berbeda disebut desentral atau kaedah lokal (local norm).26 Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tidak lepas dari persoalan politik, sehingga konfigurasi politik tertentu menyebabkan lahirnya produk hukum dengan karakter tertentu pula.27 Berdasarkan teori tersebut, maka konsekuensi bagi Pemerintah Daerah ialah substansi Peraturan Daerah (khususnya yang dipergunakan sebagai dasar pemungutan Pajak Daerah) tidak boleh bertentangan dengan keputusan yang telah digariskan oleh Pemerintah Pusat, seperti halnya dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 4 menetapkan bahwa : “Setiap aturan hukum yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut diperkuat dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 70 yang menegaskan bahwa “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih 26

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, alih bahasa oleh Somardi berjudul : Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif), Rindi Press, Jakarta, 1995, hlm.125 27 Moh Mahfud, op. cit., hlm. 9

Mustaqiem

27

tinggi”. Ketentuan ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat 4 : “ Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Karena ketentuan yang dimuat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat maupun yang dimuat dalam Undang- Undang Pemerintahan Daerah tersebut merupakan norma hukum, maka hal ini harus dipatuhi oleh Pemerintah Daerah. Ketentuan tersebut sesuai dengan analisis hukum yang mengungkapkan bahwa karakter dinamis sistem normatif dan sistem norma dasar menjelaskan suatu norma hukum. Dengan istilah lain, pembentukan norma yang rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi dan rangkaian proses pembentukan hukum diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi.28 Fokus utama buku ini membahas dua hal yaitu pertama, pengaturan bidang perpajakan daerah dalam sistem hukum pajak Indonesia dan kedua, kriteria produk hukum pajak daerah dalam sistem hukum pajak Indonesia. 1. Alasan Pembenar Negara Memungut Pajak Negara adalah entitas yang menyerupai sebuah rumah tangga besar yang selalu mengeluarkan belanja untuk penyelenggaraan kebutuhan rumah tangga serta untuk mencapai tujuan keluarga. Maka tidaklah berlebihan apabila pajak sebagai alat pembiayaan normal dan digunakan secara 28

Hans Kelsen, op. cit., hlm.126

28

Pendahuluan

terus menerus oleh negara merupakan hal baru karena sebelumnya pungutan telah ada tetapi tidak dinamakan sebagai pajak, seperti yang terjadi sejak jaman kuno.29 Seperti halnya yang terjadi di Mesir, pengumpul pajak digambarkan pada lukisan makam yang dibuat pada tahun 2000 SM. Orang Mesir kuno mengenakan pajak untuk berbagai aspek kehidupan i, bahkan mencakup penggunaan minyak untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Demikian pula orang Roma kuno juga mempunyai sistem pajak yang mencakup Pajak Penjualan, Pajak Warisan, dan Pajak Impor dan Ekspor. Pada abad ke-4 SM, orang Roma membuat apa yang digambarkan oleh penulis Charles Adam sebagai “sejarah perlindungan pajak yang pertama”. Pemungutan pajak oleh negara pada mulanya berkembang di Inggris. Sejak abad ke XII, di Inggris telah diadakan Pajak Kekayaan Umum meskipun masih dalam bentuk yang primitive, pada pertengahan abad ke-17 sesudah revolusi, pajak ini diganti dengan Pajak Kekayaan berdasarkan fundasi yang lebih rasional dan ditambah dengan pajak pendapatan umum.30 Di Perancis, kekuatan pusat tidak begitu cepat seperti perkembangan pajak di Inggris, karena pajak yang sifatnya tetap pertama terjadi di Perancis baru pada abad ke-15. Kelas-kelas yang memiliki previlege dibebaskan dari pembayaran “taille” yang untuk sebagian terdiri dari Pajak Kebendaan Atas Barang Tak Bergerak (taille reele) dan untuk sebagian lagi merupakan 29 30

C. Goedhart, op. cit., hlm.131 Ibid.

Mustaqiem

29

Pajak Perorangan (‘taille personelle”) yang dipungut secara agak sukarela. Pembagian beban yang tidak merata, pemungutan yang dilakukan semau-maunya dan adanya privilege yang berkenaan dengan pemungutan “taille” sangat berpengaruh terhadap timbulnya revolusi Perancis. Di Perancis sistem perpajakan berdasar fundasi modern baru mulai berkembang sesudah revolusi. Kerajaan Jerman, yang merupakan keseluruhan dari negara–negara yang berdiri sendiri–sendiri, baru mengadakan pajak-pajak negara yang permanen pada abad ke-18. Di Nederland, sejak abad ke-14 para tuan tanah secara teratur dimintakan “bede” yang bersifat pungutan yang dikabulkan oleh kota-kota dan yang dihasilkan oleh warga kota sebagai penyerahan paksaan. Namun pungutan ini mula-mula bersifat incidental, baru pada abad ke-15 berbagai daerah dengan mengikuti kota-kota tersebut mulai mengenakan pajak permanent atas bawahannya. Pada tahun 1569 Filips II mengadakan pajak dengan perhitungan penning perseratus (1%) dari kekayaan, penning perduapuluh (20%) dari penjualan barang tak bergerak, dan penning persepuluh (10 %) dari penjualan barang bergerak. Usaha pengadaan pajak oleh Filips II ini barangkali merupakan usaha pertama di Nederland untuk sampai pada sistem permanent. Pada tahun 1579, Uni Utrecht meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perpajakan. Namun dalam Republiek der Verenigde Nederlanden “alat pembiayaan biasa” (gemene middelen) masih tetap memegang peranan yang sangat kecil. Baru setelah Bataafse Republiek sistem

30

Pendahuluan

perpajakan menjadi lengkap sesuai dengan yang direncanakan oleh L.J.A. Gogel yang kemudian menjadi dasar bagi sistem perpajakan Kerajaan Nederland yang disahkan pada tahun 1821. Baik dalam praktek tentang keuangan negara maupun pembahasan teoritis, mula-mula pajak dianggap sebagai alat pembiayaan luar biasa yang hanya dapat digunakan apabila sangat diperlukan. Sejak dahulu alasan khusus yang terpenting bagi pemungutan pajak ialah kebutuhan ekstra akan alat pembiayaan yang ditimbulkan oleh peperangan.31 Pajak sebagai sumber permanen pendapatan negara pertama-tama berkembang di kota-kota yang pada mulanya merupakan rumah tangga publik yang berdiri sendiri. Terbentuknya negara-negara nasional menimbulkan kebutuhan negara akan pembiayaan yang begitu meluas, sehingga di berbagai negara pada akhir abad pertengahan dan permulaan jaman baru, perpajakan juga memiliki peranan yang tidak berubah-ubah dalam keuangan negara. Negara merupakan organisasi yang paling tinggi dan mencakup pengertian yang paling luas.32 Larson, seperti dikutip oleh Lawson (1991-5) dalam Arief Budiman, mengatakan bahwa negara adalah “sebuah konsep inklusif yang meliputi semua aspek perbuatan kebijakan dan pelaksanaan sanksi hukuman”. Sementara Calvert, seperti yang dikutip Arief Budiman, menyatakan negara adalah 31

Ibid. Arief Budiman, Teori Negara (Negara, Kekuasaan dan Ideologi), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 84 32

Mustaqiem

31

“komunitas yang diorganisir untuk suatu tujuan politik sedangkan pemerintah adalah individu atau sebuah tim dari individu-individu yang mengambil keputusan yang memberi dampak bagi warga sebuah masyarakat”. 33 Pemerintah suatu bangsa adalah bagian istimewa dari organisasi bangsa. Organisasi bangsa adalah negara dan negara merupakan lembaga sosial yang diadakan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang vital, kolektif dan tidak untuk memenuhi kebutuhan khusus kelompok orang tertentu, tetapi untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat dalam negara yang bersangkutan. Hal ini bersangkut paut dengan tujuan dan fungsi negara. Tujuan negara adalah berkenaan dengan kepentingan seluruh rakyat, maka dapat dimengerti bahwa biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mewujudkan tujuan tersebut menjadi tanggungjawab bersama seluruh rakyat pula. Agar tujuan negara yang dicitacitakan bersama dapat terwujud, maka negara mencari pembiayaan dengan cara menarik pajak, artinya negara mengumpulkan sumbangan dari penduduk maupun lembaga yang lain. Selain memerlukan sumber pembiayaan, dalam rangka mewujudkan tujuan negara diperlukan unsur lain sebagai pendukung, yaitu sumber daya manusia, peraturan perundang-undangan dan sarana prasarana. Pemungutan pajak merupakan suatu fungsi esensial yang harus dilaksanakan oleh negara dan hasilnya digunakan sebagai alat penggerak kegiatan, baik untuk kegiatan fungsi esensial itu sendiri maupun untuk kegiatan 33

Ibid.

32

Pendahuluan

fungsi jasa dan fungsi niaga.34 Di beberapa negara maju, pajak merupakan conditio sine qua non bagi penambahan keuangan negara, tanpa pemungutan pajak bisa dipastikan keuangan negara akan lumpuh, terlebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Sedangkan bagi negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis, pajak merupakan darah bagi “tubuh” negara yang bersangkutan. Mempelajari dan memahami pajak sebagai pengisi kas atau penerimaan negara menunjukkan bahwa negara mempunyai pengeluaran-pengeluaran, jika negara tidak memerlukan pembelanjaan atau pengeluaran maka tidak akan timbul persoalan penerimaan pajak. Itulah sebabnya negara tetap memerlukan pajak baik sebagai sumber kas negara atau sebagai alat pengatur tergantung pada keadaan.35 Negara sebagai salah satu asosiasi kehidupan masyarakat merupakan organisasi yang paling penting. Negara mempunyai spesifikasi tersendiri karena negara adalah organisasi yang tinggi, luas dan kuat dengan jangkauan kekuasaannya yang mencakup hampir semua segi kehidupan warganya serta memiliki kekuasaan memaksa (daya paksa) yang kuat.36 Negara mempunyai sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimiliki dan hanya terdapat pada negara saja, tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lain. Umumnya 34

Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Pajak dan Keadilan, Eresco, Bandung, hlm. 7 35 Ibid. 36 Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 8

Mustaqiem

33

negara mempunyai sifat memaksa, monopoli, dan sikap mencakup semuanya.37 Salah satu yang dimonopoli oleh negara adalah kebijakan pemungutan pajak (Principal taxes: Taxes are imposed at both the national and regional levels).38 Monopoli di bidang perpajakan dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum yang dipakai sebagai dasar pemungutannya. Pembuatan dasar hukum pemungutan pajak sangat penting dalam sebuah negara hukum. Indonesia sebagai negara berdaulat dan merupakan negara hukum memiliki dasar hukum pemungutan pajak yaitu Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Sejak abad ke-18, “lahir” berbagai teori guna memberi dasar wewenang negara untuk memungut pajak (rechts vaardigingsgrond) dari rakyatnya. Sebagai dasar diberikannya wewenang kepada negara untuk memungut pajak, berikut beberapa teori pemungutan pajak.39 a. Teori Asuransi (Verzekering Theorie / Assurantie Theorie) Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi orang dan segala kepentingannya termasuk keselamatan dan keamanan jiwa serta harta bendanya. Sebagaimana halnya dengan setiap perjanjian asuransi (pertanggungan) maka untuk perlindungan tersebut di atas diperlukan pembayaran premi dan dalam hal ini pajak yang dianggap sebagai preminya yang pada waktu tertentu harus 37

Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, 1977, hlm. 40 Doing Business and Investing in Indonesia, Price Waterhouse Coopers, 1994, p. 130 39 Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 10 38

34

Pendahuluan

dibayar oleh masing-masing. Namun penulis menganggap bahwa perbandingan ini tidak tepat karena beberapa hal antara lain : 1. Dalam hal timbul kerugian tidak ada suatu penggantian dari negara, sebab jika ada imbalan yang diberikan oleh negara dalam hal pajak maka hal ini sebenarnya bertentangan dengan definisi pajak. Karena menurut definisi pajak, tidak ada jasa balik secara langsung bagi si pembayar pajak; 2. Antara jumlah pembayaran pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung, karena sudah merupakan kewajiban setiap negara memberikan (perlindungan) bagi semua warga negaranya tanpa kecuali, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Teori ini oleh para penganutnya dipertahankan sekedar untuk memberi dasar hukum kepada pemungutan pajak. Teori ini sangat lemah karena persamaan tadi menimbulkan ketidakpuasan ditambah dengan adanya ajaran yang menyatakan bahwa pajak bukan retribusi (sehingga si pembayar pajak tidak berhak mendapat kontraprestasi yang lansung), dengan sendirinya teori ini mulai ditinggalkan oleh penganutnya. Pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang kepada perusahaan pertanggungan, karena negara mempunyai tugas memberi perlindungan kepada seluruh rakyatnya, baik sebagai wajib pajak maupun bukan sebagai wajib pajak. Perlindungan negara terhadap seluruh rakyat

Mustaqiem

35

dapat dibuktikan dengan tujuan negara Indonesia yang dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-IV, yaitu : (1) Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. b. Teori Kepentingan (Belangen Theorie) Pertama kali teori ini dalam ajarannya hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya apabila biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada masyarakat pembayar pajak. Terhadap teori ini banyak yang mengajukan sanggahan, karena dalam teori ini pajak disamakan dengan retribusi—untuk kepentingan yang lebih besar yaitu perlindungan terhadap harta benda orang yang kaya maka mereka diharuskan membayar pajak lebih besar, dan penduduk miskin tidak menjadi perhitungan— pada hal sangat mungkin penduduk miskin mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal tertentu misalnya perlindungan jaminan sosial (Jaringan Pengaman Sosial Keluarga Miskin). Konsekuensi dari teori ini adalah mereka harus membayar pajak lebih besar juga,

36

Pendahuluan

dan ini merupakan suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Pada tataran Pajak Daerah Kabupaten/Kota, Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dipungut kepada seluruh konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN) tetapi yang menikmati penerangan jalan bukan hanya pihak pembayar pajak saja tetapi termasuk pihak yang tidak membayar Pajak Penerangan Jalan yang dipasang oleh pemerintah daerah. Kadang-kadang orang berbicara tentang hak warga negara untuk “dilindungi” oleh negaranya sebagai imbalan dari kesetiaannya. 40 Kesetiaan dan perlindungan tidak menunjukkan apa-apa selain kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh tata hukum kepada warga negara yang menjadi subyeknya. Secara hukum, kesetiaan dan perlindungan berarti tidak lain bahwa organ–organ dan subyek-subyek negara harus memenuhi kewajiban-kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya oleh tata hukum.41 c. Teori Daya Pikul (Draagkracht Theorie) Teori ini pada hahikatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak adalah terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya berupa perlindungan atas jiwa dan harta benda. Untuk keperluan ini dibutuhkan biaya dan sewajarnya apabila biaya-biaya tersebut dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan negara yaitu dengan cara membayar pajak. Awal mula yang 40 41

Hans Kelsen, op. cit., hlm. 237 Ibid.

Mustaqiem

37

menjadi pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut daya pikul seseorang dan sekedar untuk mengukur daya pikul dapat dipergunakan berbagai cara, selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran belanja (vertering) seseorang. Semisal dalam pemungutan pajak penghasilan yang menggunakan tarif progresif menunjukkan bahwa pengenaan pajak didasarkan atas besarnya Penghasilan Kena Pajak masingmasing Wajib Pajak, hal tersebut dapat membedakan kemampuan dalam membayar pajak penghasilan antara yang satu dengan lainnya. Selanjutnya pada pemungutan Pajak Daerah, misalnya Pajak Restoran, setiap konsumen restoran akan dikenai pajak 10% dari jumlah uang yang dibelanjakan. Jika konsumen yang bernama tuan A membelanjakan uangnya sejumlah Rp. 300.000,- untuk membeli makanan di restoran, ia akan dikenakan pajak 10%, maka kewajiban pajak yang harus dibayar adalah = Rp. 300.000,- X 10% = Rp. 30.000,- ; sebaliknya jika tuan C sebagai konsumen di restoran hanya menghabiskan sejumlah uang Rp. 100.000,- maka ia hanya akan dikenakan pajak restoran sebesar Rp. 100.000,- X 10% = Rp. 10.000,- Ini menunjukkan bahwa konsumen yang menghabiskan uang dengan jumlah besar untuk belanja di restoran akan dikenakan pajak restoran dengan jumlah nominal besar, demikian juga sebaliknya. Teori ini sampai saat ini masih dipertahankan dalam lapangan hukum pajak. W.J. de Lengen seperti yang dikutip oleh Santoso Brotodihardjo berpendapat dalam bukunya: “De

38

Pendahuluan

Grondbeginselen van het Ned. Belasting recht” bahwa asas dayapikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak dapat disangkal bahwa ada asas-asas lain yang semenjak tahun 1919 makin menduduki tempat yang utama pula, seperti : asas perolehan utama (bevoorrechte verkrijging) dan asas kenikmatan (profijtbeginsel).42 W.J. de Langen, seperti yang dikutip oleh Santoso Brotodihardjo mengatakan bahwa daya pikul ini menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan (behoeftenbevrediging) yang dapat dicapai oleh seseorang, sehingga pemuasan kebutuhan yang diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan dan sisanya inilah yang disamakan dengan daya pikul seseorang.43 A.J. Cohen Stuart, seperti yang dikutip oleh Santoso Brotodihardjo, sarjana yang telah memperdalam penyelidikannya mengenai daya pikul ini dalam disertasinya menyamakan daya pikul dengan sebuah jembatan. Dia mengatakan bahwa sebuah jembatan harus bisa memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan bobot yang lain. Dia juga memberikan ajaran bahwa kebutuhan yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat tidak boleh dimasukkan dalam pengertian daya pikul.44 Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. 42

Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 12 43 Ibid. 44 Ibid. hlm.13

Mustaqiem

39

Hak yang pertama setiap manusia adalah hak untuk hidup, maka sebagai anasir pertama disarankan adanya standar minimum kehidupan (bestaans-minimum). Walaupun tidak pernah disebutkan secara eksplisit, namun pada zaman modern ini para ahli pajak cenderung menggantungkan jumlah pajak dari besarnya penghasilan. Sehingga makin tinggi penghasilan seseorang maka semakin naiklah prosentase pajaknya, namun pertama-tama yang harus diperhatikan negara adalah besarnya tanggungan keluarga dari masyarakat pembayar pajak. Hal semacam ini dianggap sudah sesuai dengan rasa keadilan. Indonesia menggunakan sistem pemungutan pajak seperti ini. Dalam pemungutan pajak penghasilan di Indonesia digunakan tarif pajak yang bersifat progresief, sehingga semakin besar jumlah Penghasilan Kena Pajak maka semakin besar pajak yang harus dibayar. Demikian pula mengenai besarnya tanggungan keluarga antara wajib pajak yang satu dengan lainnya bisa berbeda, sehinga hak Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) antara wajib pajak yang satu dengan lainnya jumlahnya harus berbeda. d. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak) Tiga teori di atas samasekali tidak memposisikan kepentingan negara di atas kepentingan masyarakat. Teori Bakti ini memberikan pemahaman yang berlawanan dari teori yang sebelumnya. Teori ini berdasar pada faham “organische Staatsleer”, yaitu bahwa justru karena sifat negara maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orangorang tidak berdiri sendiri, dengan ada persekutuan yang

40

Pendahuluan

bernama negara, maka tidak ada individu. Oleh karenanya persekutuan yang menjelma dalam negara, berhak atas satu dan lain. Semenjak berabad-abad hak ini telah diakui dan orang selalu menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda bakti atau kesetiaannya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak. Bakti atau kesetiaan secara hukum berarti tidak lebih dari kewajiban umum (termasuk membayar pajak) untuk memenuhi tata hukum, suatu kewajiban yang dimiliki juga oleh orang-orang asing dan kewajiban tersebut tidak dilahirkan oleh sumpah setia. Seperti orang asing yang bertempat tinggal atau tidak bertempat tinggal di Indonesia tetapi memiliki sumber penghasilan di wilayah Indonesia maka ia akan dikenakan pajak penghasilan oleh pemerintah Indonesia. W.H. Van Den Berge dalam bukunya “Beginselen van de Belastingheffing”, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodihardjo mengutarakan bahwa negara sebagai “Groepverband” (organisasi dari golongan) dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk tindakan dalam lapangan pajak.45 Jadi menurut teori ini dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dengan negara yang memungut pajak dari padanya. Meskipun demikian, dalam negara-negara demokrasi pajak yang dibayar penduduk harus atas persetujuannya sendiri atau partisipasi aktifnya melalui lembaga perwakilan rakyat. Pajak yang 45

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 14-15

Mustaqiem

41

dipungut juga harus dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.46 Di Indonesia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam hal melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh serta merta tetapi lebih dahulu harus dimintakan persetujuan kepada rakyat yang diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dilakukan melalui perencanaan, pembuatan, pembahasan dan persetujuan dan pengundangan peraturan perundangundangan yang akan dipakai sebagai dasar hukum pemungutan pajak. Keharusan pelibatan masyarakat melalui DPR itu terjadi karena rakyatlah yang nantinya akan menjadi sasaran peraturan perundang-undangan perpajakan. e. Teori Daya Beli (Koopkracht Beginsel) Teori Daya Beli adalah teori modern. Sebab teori ini tidak mempersoalkan asal-usul negara memungut pajak melainkan hanya melihat kepada efeknya dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilan pemungutannya. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, bukan pula kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Teori ini menitik beratkan ajarannya kepada fungsi kedua pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur (regulerend). 46

Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2003, hlm.6

42

Pendahuluan

Menurut para penganutnya, teori ini berlaku sepanjang masa baik dalam masa ekonomi bebas maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak terluput adanya variasi dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan teori-teori lainnya yang hanya berlaku pada masa tertentu saja.47 Indonesia mendasarkan pemungutan pajak pada Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia yang merupakan sebuah organisasi didirikan bukan tanpa tujuan, tetapi memiliki tujuan yang dicantumkan pada alenia ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan yang telah ditetapkan harus diwujudkan untuk memenuhi keperluan masyarakat. Guna mewujudkan tujuan tersebut, negara memerlukan sumber pendapatan, salah satu sumber pendapatan berasal dari sektor pajak. Kewenangan negara melakukan pemungutan pajak di Indonesia tidak begitu saja dilakukan, tetapi didasarkan atas alasan yuridis konstitusional yang diatur Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (telah diamandemen dengan Pasal 23 A UndangUndang Dasar 1945). Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara (pusat maupun daerah) semata-mata didasarkan atas aturan hukum bukan didasarkan pada alasan lain, dan pelaksanaan pemungutan pajak seperti ini selaras dengan status Indonesia sebagai negara hukum. Hal tersebut, tidak jauh berbeda dengan pendapat Julius Stahl, seperti yang dikutip oleh SF. Marbun, bahwa salah satu unsur negara hukum adalah 47

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 15

Mustaqiem

43

pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wet matigheid van het bestuur).48 2. Definisi Dan Fungsi Pajak a. Definisi Pajak Menurut kebanyakan sarjana di bidang perpajakan, sebenarnya pendefinisian pajak tidaklah sesukar pendifinisian hukum. Namun demikian, banyak juga sarjana yang memberikan definisi yang cukup rumit, beranekaragam bahkan sering kali menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam diantara mereka. Kenyataan ini nampak jelas dalam berbagai ragam definisi pengertian pajak yang berasal dari para ahli dalam berbagai literatur. Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodihardjo, pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terhutang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.49 Menurut N.J. Feldmann, sebagaimana dikutip oleh Erly Suandy, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa ada kontra prestasi dan 48 SF Marbun, at all; Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 7 49 Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 2

44

Pendahuluan

semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran umum.50 Menurut Smeet, sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali, pajak adalah prestasi-prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum yang diterapkan, dapat dipaksakan tanpa daya kontra prestasi terhadapnya, dapat ditujukan dalam hal yang khusus pribadi dan dimaksudkan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran negara.51 Pendapat Edwin Robert Anderson Seligman : “ a tax is a compulsory contribution from the person to the Government to defray the expenses incurred in the common interest of all without reference to special benefits conferred.52 Dari beberapa definisi tersebut jika dirangkum dapat menghasilkan rumusan pengertian pajak yang tidak akan mengalami pergeseran meskipun terjadi perubahan peraturan perundang-undangan pajak. Rumusannya adalah “Pungutan yang dilakukan oleh negara, berdasarkan undang-undang, pelaksanaannya dapat dipaksakan dan kepada wajib pajak tidak ada jasa balik secara langsung”. Selain itu, beberapa definisi pajak tersebut, cenderung masih dalam lingkup fungsi pajak yang pertama yaitu pajak untuk memasukkan dana sebanyak-banyaknya ke kas negara (Budgetair). Menurut Asher dan Heij seperti yang dikutip oleh Safri Nurmantu, unsur-unsur yang selalu 50 51 52

Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hlm. 9 Chidir Ali, op. cit., hlm. 39 Edwin R.A. Seligman, Essay on Taxation, New York, 1925, p. 432

Mustaqiem

45

berulang kali disebut dalam definisi-definisi pajak, ialah: (1) a legal compulsory, (2) contribution in monetary form, (3) by individuals, organizations or other entities, (4) received by the government, (5) for public purposes.53 Di manapun, pemungutan pajak merupakan kebijakan yang dibuat oleh negara, sehingga pihak yang berhak memungut pajak adalah negara pula. Kebijakan pemungutan pajak di negara modern (hukum) tentu didasarkan pada aturan hukum, seperti halnya di Indonesia pada awalnya didasarkan pada Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang kemudian diamandemen menjadi Psal 23 A Undang Undang Dasar 1945. Di Amerika Serikat, kekuasaan perpajakan didasarkan pada Konstitusi Amerika Serikat,54 Bagian 8, Artikel I. Konstitusi tersebut memberikan kekuasaan kepada Congress untuk memungut pajak-pajak: “ Congress mempunyai kekuasaan untuk mengenakan serta memungut pajak-pajak, bea dan cukai, serta accijns untuk membayar hutang negara serta memelihara pertahanan umum dan kesejahteraan umum dari Amerika Serikat…”. Sedangkan di Canada, kekuasaan memungut pajak didasarkan pada Konstistusi Canada yang berbunyi: “ Pemerintah Dominion diberikan kekuasaan secara tak terbatas untuk memungut pajak-pajak dan diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang mengenai cara mendapatkan danadana dengan tiap cara atau sistem perpajakan”.55 53

Safri Nurmntu, op. cit., hlm.13 John F. Due, Government Finance (Keuangan Negara), Terj. Iskndarsyah & Arief Janin, UI-Press, Jakarta, 1985, hlm. 128-129 55 John F. Due, op. cit., hlm. 135 54

46

Pendahuluan

b. Fungsi Pajak Penjelasan tentang fungsi pajak akan diawali dengan pembicarakan tentang tujuan pajak. Sebab selain mempunyai fungsi, secara otomatis pajak juga mempunyai tujuan. Antara fungsi dan tujuan tentu saja memiliki pengertian yang tidak sama. Guna mempertegas perbedaan antara fungsi dan tujuan pajak, maka uraian selanjutnya lebih dahulu akan membahas mengenai tujuan pajak. Tujuan pemungutan pajak adalah untuk mencapai kondisi ideal dari suatu negara. Oleh karena itu tujuan pemungutan pajak mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tujuan negara, sehingga tujuan pajak tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara. Tidaklah berlebihan apabila tujuan pajak harus selaras dengan tujuan negara, dalam arti pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dipergunakan untuk mendukung terwujudnya tujuan negara dengan cara mengefektifkan fungsi pemerintah dalam suatu negara. Berdasarkan uraian tersebut, negara dapat dipandang sebagai asosiasi yang hidup dan bekerjasama dan mengejar beberapa tujuan negara. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Selanjutnya, fungsi pemerintah dalam suatu negara dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, antara lain:56 (1) Fungsi melaksanakan ketertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan 56

Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988, hlm. 46

Mustaqiem

47

dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dalam hal ini negara bertindak sebagai “stabilisator”. (2) Fungsi mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Fungsi ini sangat penting terutama terutama bagi negara–negara baru. (3) Fungsi pertahanan. Fungsi ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar sehingga negara dilengkapi dengan alat pertahanan. (4) Fungsi menegakkan keadilan. Fungsi ini dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pengadilan baik tujuan pajak maupun tujuan negara semuanya bersumber pada tujuan masyarakat, yaitu suatu cita-cita yang tumbuh dan terkandung dalam masyarakat untuk dicapai dan diwujudkan oleh negara sebagai alat perjuangan atau sebagai organisasi rakyat yang tinggi. Tujuan masyarakat inilah yang menjadi filsafat bangsa atau negara, sehingga pajak tanpa tujuan masyarakat tidak akan mungkin dapat menunaikan tugasnya yang selaras dan seirama dengan apa yang telah menjadi tujuan masyarakat seluruhnya. Maksud dan tujuan masyarakat inilah yang menjadi filsafat suatu bangsa atau negara dan unutk kepentingan tersebut maka harus dicantumkan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara dan harus diwujudkan melalui proses dan waktu yang tidak terbatas. Tujuan dan fungsi pajak tidak mungkin terlepas dari tujuan dan fungsi negara yang mendasarinya, sehingga pajak yang dipungut dari masyarakat akan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Pajak tidak mungkin lepas dari pertumbuhan dan perkembangan negara, meskipun pajak bukan merupakan satu-satunya

48

Pendahuluan

sumber penerimaan negara. Negara memerlukan pajak untuk memutar roda pemerintahan demi kelangsungan hidup negara dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat seluruhnya. Selain penerimaan yang berasal dari sektor pajak, penerimaan negara juga berasal dari sektor lain seperti minyak dan gas bumi, penerimaan bukan pajak dan penerimaan pembangunan. Fungsi pajak bukan hanya “budgeter” saja yaitu untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, melainkan masih ada fungsi lain yaitu “regulerend” atau mengatur.57 Meskipun fungsi budgeter dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak, tetapi tidak semua orang akan dikenakan pajak. Secara yuridis, suatu pajak akan terutang apabila telah memenuhi syaratsyarat subyektif dan obyektif. Syarat-syarat subyektif merupakan ketentuan yang berhubungan dengan subyek pajak (orang pribadi atau badan). Misalnya orang yang bertempat tinggal di Indonesia pada prinsipnya memenuhi syarat subyektif, tetapi bagi orang yang bertempat tinggal di luar Indonesia dinilai telah memenuhi syarat subyektif apabila telah memenuhi beberapa syarat tertentu, seperti memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia sesuai yang disebut dalam peraturan perundang-undangan pajak. Adapun syarat obyektif itu berkaitan dengan hal-hal berikut, seperti memiliki penghasilan, terjadi penyerahan barang atau jasa kena pajak, timbulnya perolehan hak milik atas tanah dan bangunan.

57

Santoso Brotodihardjo, oc. cit., hlm.116

Mustaqiem

49

Menurut perspektif para sarjana yang konserfatif, pajak haruslah ditujukan kepada usaha untuk semata-mata dapat menutup biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menunaikan tugasnya. Maka dari itu, menurut pendapat mereka, pengenaan pajak hanya dipandang dari sudut ekonomi sehingga harus diatur senetral mungkin dan sekali-kali tidak boleh dibelokkan untuk mencapai tujuantujuan yang menyimpang dari padanya. Sebaliknya, masih banyak para sarjana progresif yang menentang keras teori di atas. Mereka mengatakan bahwa bahwa di samping usaha untuk memasukkan uang ke kas negara, pajak harus dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah untuk turut campur tangan dalam hal mengatur dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor partikelir. Pendapat kedua semenjak akhir abad XIX makin mendapat sambutan yang hangat dan lambat-laun maksud pendapat ini semakin meluas bahkan dapat dikatakan teori ini menjadi mazhab berbagai negara moderen. Artinya, negara modern harus memasukkan tujuan pajak untuk mengatur susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor partikelir sebagai tujuan pokok dari sistem pajak. Setidaktidaknya, suatu sistem pemungutan pajak yang sewajarnya harus tidak bertentangan dengan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.58 Teori semacam ini dalam prakteknya diselenggarakan oleh pembuat undang-undang pajak, di samping melihat 58

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm.116

50

Pendahuluan

kepada fungsi budgetair selalu pula memperhatikan fungsi regulerend (mengatur) dalam perundang-undangan pajak yang dibuat. Dalam prakteknya, seringkali fungsi dalam konteks politik ekonomi diposisikan pada temapt yang kedua, sedangkan fungsi pengaturan lebih diutamakan. Meskipun fungsi pertama dari pajak adalah untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, namun tidak semua subyek pajak akan dikenakan pajak. Karena dari segi hukum pajak, subyek pajak baru akan menjadi wajib pajak jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat subyektif ( yang berhubungan dengan subyek pajak, apakah orang pribadi atau badan) dan obyektif (berhubungan dengan obyek pajak, seperti kepemilikan bumi dan bangunan, penghasilan, penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak). Aplikasi dari fungsi pajak yang kedua (regulerend), seperti dalam hal pengenaan pajak yang tinggi terhadap barang-barang yang tergolong mewah bertujuan untuk mengurangi gaya hidup konsumtif masyarakat. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 968/ KMK.04/1983 tentang Macam dan Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terdiri atas: a. Minuman ringan yang tidak mengandung alkohol yang diproduksi dengan mempergunakan cara pengolahan serba otomatis, seperti Coca-Cola, Pepsi Cola, Sprite, Seven Up, Fanta, Mirinda, Canada Dry, The Botol, F&N,

Mustaqiem

b. c.

d. e.

f. g.

51

dan minuman sejenis yang lain baik dalam kemasan botol, kaleng, karton dan jenis kemasan lainnya; Kendaraan bermotor beroda dua segala merk dan jenis; Alat-alat mewah dengan tenaga listrik atau gas untuk keperluan rumah tangga dan hiburan, seperti: refregerator, mesin cuci, penghisap debu, kompor listrik/gas, televisi berwarna, pesawat penerima, radio stereo, tuner, amplifier, compact radio cassette recorder, equalizer, synthezier, loudspeaker, cassette tape deack, stereo tape recorder & player, piringan hitam, dan record changer (gramafon); Alat-alat photografi dan perlengkapannya seperti kamera, proyektor, lensa kamera dan segala jenis film; Alat-alat olah raga mewah dan perlengkapannya seperti alat olah raga golf, olah raga berkuda, bowling, bilyard, dan perlengkapannya; Segala jenis permadani; Perlengkapan rumah tangga dan sanitair mewah.

Penggolongan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa yang menghendaki pengaturan seperti itu, hal ini menggunakan sistem pendelegasian kewenangan. Barang Kena Pajak berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 145 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2001 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong

52

Pendahuluan

mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Barang Kena Pajak tersbut antara lain : a. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10%; b. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 20%; c. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 30%; d. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 40%; e. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 50%; f. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 60%; g. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Kena Pajak dengan tari 75%. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2001 dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 460/KMK.03/2001 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 569/KMK.04/2000 tentang Jenis kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak

Mustaqiem

53

Penjualan Atas Barang Mewah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut tidak semua kendaraan bermotor dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pajak terdiri atas : a. Kendaraan bermotor yang digunakan untuk Kendaraan Ambulan, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran, mobil tahanan, dan mobil angkutan umum; b. Kendaraan bermotor untuk keperluan protokoler negara; c. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih yang digunakan untuk TNI atau POLRI; d. Kendaran bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI. Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dalam jangka waktu 5 tahun sejak impor, kemudian perolehannya dipindahtangankan atau diubah peruntukannya sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula, maka pajak penjualan atas barang mewah yang terhutang pada saat impor atau perolehannya tersebut wajib dibayar kembali dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena pajak tersebut dipindahtangankan atau diubah peruntukannya. Penggunaan fungsi pajak lainnya adalah pengenaan tarif pajak sebesar 0% bagi barang-barang yang di ekspor dengan tujuan untuk mendorong kegiatan ekspor barangbarang produk dalam negeri suatu negara ke pasaran dunia.59 Khusus di Indonesia tarif 0% bagi barang-barang yang 59

Mardiasmo, op. cit., hlm. 2

54

Pendahuluan

diekspor diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pasal 7 ayat (2) menetapkan: “Tarif pajak pertambahan nilai atas ekspor barang kena pajak sebesar 0 % (nol persen)”. Selain itu, tarif 0% dapat memberikan kesempatan bagi Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan pajak masukan dengan pajak keluaran. Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan/atau penerimaan jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/ atau impor barang kena pajak. Sedangkan yang dimaksud pajak keluaran adalah pajak pertambahan nilai terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak. Adalah sangat relevan jika tarif pajak dihubungkan dengan fungsi pajak yang kedua (regulerend), karena kebijakan pengaturan yang dilakukan oleh pemungut pajak (fiscus) antara lain dapat menggunakan tarif pajak untuk membuat suatu kebijakan tertentu dengan cara menaikkan atau menurunkan pajak jika dipandang perlu. Hal tersebut dapat dikuatkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi :

Mustaqiem

55

(a) Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak (pajak pertambahan nilai) dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen); (b) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). Berdasarkan ketentuan yang menetapkan bahwa perubahan tarif pajak pertambahan nilai barang dan jasa cukup berdasarkan Peraturan Pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa dalam perubahan tarif tersebut terjadi pendelegasian wewenang. Dan praktek itulah yang merupakan fungsi mengaturnya pajak. Fungsi mengatur adalah bahwa pajak-pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini lazimnya di dalam sektor swasta.60 Pendapat Soemitro Djojohadikusumo sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro mengatakan bahwa untuk dapat mencapai fungsi pajak yang kedua (regulerend) maka “Fiscal Policy” sebagai suatu alat pembangunan harus didasarkan atas kombinasi tarif pajak yang tinggi, baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung dengan suatu fleksibilitas yang berada dalam sistem pengenaan pajak yang berupa pembebasan pajakpajak dan pemberian insentif atau dorongan untuk merangsang private investment sebagaimana diharapkan”.61 Fungsi yang kedua (regulerend) lazimnya ditentukan oleh 60 61

Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, hlm. 9 Ibid.

56

Pendahuluan

pemerintah (fiscus) dengan menggunakan dua cara, antara lain : I. Cara Umum Cara menggunakan tarif pajak untuk mengadakan perubahan-perubahan tarif yang bersifat umum. Hubungan antara fungsi pajak yang kedua (regulerend) dengan perubahan tarif-tarif pajak yang dilakukan oleh pemerintah sangat erat sekali, karena perubahan tarif-tarif pajak (impor) yang lebih besar dapat digunakan untuk melindungi produk-produk dalam negeri. Adapun perubahan tarif pajak (bea masuk) minuman keras yang lebih besar dapat dipergunakan untuk melindungi kehidupan sosial masyarakat dari kehidupan yang negative. Perubahan tarif pajak minuman keras berdasar Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 290/KMK.01/1994, tanggal 27 Juni 1994 Tentang Perubahan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk Yang Mengandung Alkohol Tertentu tarifnya ada dua macam yaitu 80% dan 170%. Pembicaraan mengenai perpajakan tidak akan lepas dari persoalan tarif pajak. Tarif pajak adalah prosentase atau jumlah uang yang ditetapkan untuk dikenakan atas basis pajak. Basis pajak (taxbase / belastbaar/obyect) adalah obyek pajak yang akan dipungut dengan menerapkan prosentase tarif (rate). Tarif pajak dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam,62 antara lain:

62

Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 37-39

Mustaqiem

57

a. Tarif sepadan/proposional (evenredig, propotioneel) Tarif sepadan adalah penentuan tarif dengan prosentase pengenaan yang tidak berubah walaupun jumlah pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar pemungutan pajak. Seperti pajak daerah yang diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, pajak daerah yang diatur dengan peraturan daerah tersebut antara lain ialah Pajak Hotel dengan tarif 10% akan dikenakan terhadap jumlah uang yang dibayarkan oleh setiap konsumen kepada pihak pengelola hotel, Pajak Restoran dengan tarif 10% akan dikenakan terhadap jumlah uang yang akan dibayarkan oleh konsumen kepada pengelola restoran. Selain itu, Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajaknya 0,5% akan dikenakan terhadap Nilai Jual Obyek Pajak Kena Pajak berapapun besarnya. Dilihat dari perspektif keadilan, praktek ini berpedoman pada keadilan horizontal (tarif pajak berlaku bagi semua orang, tidak membedakan status sosial, usia, sex, keyakinan, warga negara) dan keadilan geografis (berlaku bagi semua orang tanpa membedakan daerah tempat tinggal). b. Tarif meningkat (progressief) Tarif meningkat adalah suatu tarif yang prosentase pengenaannya mengalami kenaikan apabila jumlah uang yang akan dikenakan pajak semakin banyak. Pendapat lain menjelaskan bahwa hal tersebut dapat

58

Pendahuluan

disebut sebagai pajak progresif, yaitu pajak yang dikenakan sedemikian rupa sehingga prosentase pajaknya semakin tinggi dengan semakin tingginya penghasilan wajib pajak.63 Seperti Pajak Penghasilan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, UndangUndang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Pasal 17 ayat 1 huruf a mengatur tarif pajak yang dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Tarif pajaknya pertahun adalah sebagai berikut : Penghasilan Kena Pajak

Tarif/ tahun.

1. sampai dengan Rp. 25.000.000,-

5%.

2. di atas Rp.25.000.000,- s/d Rp.50.000.000,-

10 %.

3. di atas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 100.000.000,-

15 %.

4. di atas Rp. 100.000.000,- s/d Rp. 200.000.000,-

25 %.

5. di atas Rp. 200.000.000,-

35 %.

Ketentuan huruf (b), yang mengatur tarif pajak pertahun bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dengan ketentuan tarif sebagai berikut :

63

Suparmoko, oc. cit., hlm. 278

Mustaqiem

Penghasilan Kena Pajak

59

Tarif/ tahun.

1. sampai dengan Rp. 50.000.000,-

10 %.

2. di atas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 100.000.000,-

15 %.

3. di atas Rp. 100.000.000,-

30 %

Tarif ini pemberlakukannya didasarkan pada keadilan vertikal yaitu wajib pajak yang memperoleh penghasilan kena pajak berjumlah besar akan dikenakan pajak dengan presentase besar yang besar pula, demikian juga sebaliknya. Contoh penghitungannya adalah Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak bernama X dalam satu tahun pajak memperoleh Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 25.000.000,- maka akan dikenakan satu macam tarif sebesar 5%, pengeterapannya adalah Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 25.000.000,- X 5% = Rp. 1.250.000,-. Tetapi bagi Wajib Pajak bernama Y dalam satu tahun pajak memperoleh Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 30.000.000,- ia akan dikenakan dua macam tarif pajak (5% dan 10%), penerapannya ialah Penghasilan Kena Pajak : Rp. 25.000.000,- X 5% = Rp. 1.250.000,- dan Penghasilan Kena Pajak Rp. 5.000.000,X 10% = Rp. 500.000,- , berarti ini Wajib Pajak Y dikenakan pajak penghasilan Rp. 1.250.000,- + Rp. 500.000,- = Rp. 1.750.000,- (lebih besar dari pada Wajib Pajak X ), tarif ini juga berpedoman pada keadilan horizontal dan geografis. Secara teoritis, pengenaan tarif meningkat (progressief) masih dibagi lagi dalam tiga macam, yaitu :

60

Pendahuluan

1) Tarif Progressief Proportioneel Penentuan tarif yang prosentase pemungutan akan mengalami kenaikan apabila jumlah yang akan dikenai pajak semakin besar, sedangkan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) adalah tetap, seperti yang dipaparkan sebagai berikut ini: Kenaikan prosentase untuk setiap Rp. 5000,- adalah merupakan prosentase tetap (konstan) yaitu 2%. Tetapi Kenaikan 1. Rp. 0; s/d 2. Rp. 5.001; s/d 3. Rp. 10.001; s/d 4. Rp. 5.001; s/d

Rp. 5.000,Rp. 10.000,Rp. 15.000,Rp. 20.000,-

3% 5% 7% 9%

2% 2% 2%

tarif Pajak Penghasilan yang diatur Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf a merupakan bentuk kenaikan progresief proposional meskipun kenaikannya tidak konstan sama, karena kenaikannya ada yang 5% dan ada yang 10%. 2) Tarif Progressief Degressief Penentuan tarif yang presentase pemungutan akan mengalami kenaikan apabila jumlah yang akan dikenai pajak semakin besar, sedangkan kenaikan prosentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) adalah menurun, seperti :

Mustaqiem

61

Kenaikan 1. Rp.

0,- s/d Rp.

5.000,-

3%

4 %

2. Rp.

5.001,- s/d Rp.

10.000,-

7%

3,5 %

3. Rp. 10.001,- s/d Rp.

15.000,- 10,5 %

3 %

4. Rp. 15.001,- s/d Rp.

20.000,- 13,5 %

2,5 %

5. Rp. 20.001,- s/d Rp.

25.000,- 16 %

2 %

6. Rp. 25.001,- s/d Rp.

30.000,- 18 %.

Ketentuan di atas menunjukan bahwa kenaikan untuk setiap jumlah Rp. 5.000,- presentasenya menurun yaitu kenaikan yang mula-mula berjumlah 4% turun menjadi 3,5%, 3%, 2,5%, 2%, dan seterusnya. 3) Tarif Progressief Progressief. Penentuan tarif yang presentase pemungutan akan mengalami kenaikan apabila jumlah yang akan dikenai pajak semakin besar, sedangkan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) juga naik, seperti : Kenaikan 1. Rp.

5.000,-

3

%

5.001,- s/d Rp. 10.000,-

4

%

1 %

3. Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,-

5,5 %

1,5%

4. Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,-

7,5 %

2 %

5. Rp. 20.001,- s/d Rp. 25.000,-

10 %

2,5%

6. Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,-

13 %

3 %

2. Rp.

0,- s/d Rp.

62

Pendahuluan

Tarif di atas menunjukkan bahwa presentase kenaikan marginal setiap kali menjadi bertambah yang mula-mula 1% (satu persen), naik menjadi 1,5%, 2%, 2,5%, 3%, dan seterusnya. c. Tarif Menurun (degressief) Tarif yang besarnya prosentase akan menurun apabila semakin besar jumlah yang akan dikenakan pajak. Istilah lain, dinamakan pajak regresief karena pajak yang dikenakan sedemikian rupa sehingga prosentase pajaknya semakin kecil dengan semakin besar tingkat penghasilan wajib pajak.64 Contoh tarif menurun, adalah sebagai berikut : Kenaikan 1. Rp. 1.000,-

= Rp. 100,-

10 %

2. Rp. 2.000,-

= Rp. 180,-

9 %

3. Rp. 3.000,-

= Rp. 255,-

8,5%

4. Rp. 4.000,-

= Rp. 320,-

8 %

d. Tarif tetap (vast) Merupakan tarif yang besarnya tetap dan tidak tergantung kepada suatu jumlah. Seperti Bea Meterai untuk kwitansi, bea meterai ini tidak tergantung kepada jumlah uang yang diterima. 64

Ibid., hlm. 278

Mustaqiem

63

Jika dikontekskan pada kondisi sekarang, contoh tarif tetap adalah Bea Meterai sudah tidak relevan lagi, sebab di Indonesia nilai Bea Meterai dibedakan menjadi dua macam yaitu Rp. 3.000,- dan Rp. 6.000,-. Ketentuannya adalah jika suatu dokumen (kecuali cek dan giro) yang mempunyai nilai nominal lebih dari Rp. 250.000,- tetapi tidak lebih dari dari Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp. 3.000,-. Tetapi surat yang memuat nilai uang lebih dari Rp. 1.000.000,- akan dikenakan Bea Meterai Meterai Rp. 6.000,-. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, Lembaran Negara 1985 Nomor 69. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3570. Hal tersebut menunjukkan pula penggunaan Bea Meterai ( bernilai Rp. 3.000,- atau Rp. 6.000,-) dipengaruhi oleh jumlah nilai surat yang dipergunakan sehingga tarif bea meterai tidak tetap. Kebijakan perpajakan di Indonesia juga menggunakan cara umum hal ini dapat diketahui melalui ketetapan yang dipergunakan untuk mengatur tarif pajak. Seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pasal 7 yang menetapkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen); tarif ini berdasar Peraturan Pemerintah dapat diubah paling rendah 5% (lima persen) paling tinggi 15% (lima belas persen). Kemudian Pasal 8 menetapkan bahwa tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

64

Pendahuluan

II. Cara Khusus Cara khusus dibedakan menjadi dua,65 yaitu : (1) Cara positif, (2) Cara negatif. a. Cara Positif Cara mengatur pajak yang bertujuan untuk memberi dorongan ke arah suatu tujuan tertentu. Hal ini merupakan keinginan atau hasrat pemerintah untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan terhadap keadaan dalam negara. Untuk keperluan tersebut pemerintah mengadakan “insentif perpajakan” atau “tax incentive” yang dapat memberi dorongan kepada Wajib Pajak untuk bekerja, menabung, dan berinvestasi. Dalam istilah yang lain, pajak mempunyai fungsi yang mendorong keinginan Wajib Pajak untuk berproduksi. Pemberian dorongan dilakukan dengan cara pemberian fasilitas perpajakan yang berupa: a. Pemberian kelonggaran pembayaran pajak yang berbentuk tax holiday (berupa pembebasan pajak, keringanan pajak); b. Mengadakan afshrrijfving (penghapusan pajak); c. Pemberian pengecualian-pengecualian; d. Pemberian pengurangan-pengurangan; e. Pemberian kompensasi. Pendapat Barry Spitz seperti yang dikutif oleh Erly Suandy mengatakan bahwa insentif pajak (tax incentive) dapat berupa :66 65 66

Rochmat Soemitro dalam Chidir Ali, oc. cit., hlm. 144-145 Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hlm. 18

Mustaqiem

65

a. Pengecualian dari pengenaan pajak (tax exemption); b. Pengurangan dasar pengenaan pajak (deduction from the taxable base); c. Pengurangan tarif pajak (reduction in the rate of taxes); d. Penangguhan pajak (tax deferment). Cara–cara tersebut diterapkan juga di Indonesia berupa kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan, seperti dalam beberapa kasus berikut : 1. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 menyatakan bahwa: “Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberikan kelonggaran perpajakan”. Seperti pembebasan dari Bea Meterai Modal atas penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing. 2. Melalui Paket Kebijakan Ekonomi tahun 1986. Pemerintah memberikan fasilitas–fasilitas perpajakan baik kepada perusahaan modal asing maupun modal dalam negeri, seperti : (a) pembebasan/keringanan bea masuk untuk pengimporan mesin/peralatan suku cadang, (b) pembebasan/keringanan bea masuk untuk pengimporan bahan baku/bahan penolong untuk keperluan produksi maksimal 2 (dua) tahun, (c) penangguhan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai bagi impor barang-barang modal yang dipergunakan dalam produksi barang dan jasa, (d) pembebasan bea balik nama atas akte pendaftaran kapal untuk yang pertama kali di Indonesia.67 67

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, 1988, Jakarta, hlm. 71-72

66

Pendahuluan

3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 949/KMK.04/1983 tentang tata cara mengansur dan menunda pembayaran pajak. Menurut ketentuan dalam keputusan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengansur atau menunda pembayaran pajak yang terhutang dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak C.q Kepala Inspeksi Pajak apabila ia sedang mengalami kesulitan likuiditas sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. 4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 952/KMK. 04/1983 tentang tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan. Ketetapannya adalah piutang pajak yang dapat dihapuskan adalah piutang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, di-sebabkan karena Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, tidak dapat diketemukan, tidak mempunyai harta kekayaan lagi atau karena hak untuk melakukan penagihan sudah daluwarsa. 5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 955/KMK.04/1983 tentang penentuan organisasi-organisasi Internasional dan pejabat-pejabat perwakilannya tidak termasuk sebagai subjek pajak penghasilan (penghapusan subjektif).

Mustaqiem

67

Terbitnya keputusan (poin 5) tersebut didasarkan atas Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menetapkan bahwa yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah : 1. Badan perwakilan negara asing; 2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat–pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; 3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat : (1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; (2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi international yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia; 5. Kebijakan di muka sesuai dengan kelaziman international bahwa badan perwakilan negara asing, beserta pejabat-

68

Pendahuluan

pejabat perwakilan deplomatik, konsulat dan pejabatpejabat lainnya dikecualikan sebagai Subyek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut; 6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 599/KMK.05/1995 tentang Pembebasan bea masuk dan cukai serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan 22 tidak dipungut atas impor 400.000 ton Gula Pasir oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Wujud pemberian pembebasan bea masuk dan cukai sebesar 0% serta tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22. Selain itu, di bidang pasar modal seperti halnya pada sektor penanaman modal, pada tahap pertama fasilitas penunjang telah diberikan dalam serangkaian peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan perundangundangan diwujudkan dalam Keputusan Menteri Keuangan. Cakupan fasilitas yang diberikan meliputi bidang pajak.68 Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi 68 Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum Dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 216

Mustaqiem

69

beban pajak tertentu demi mendorong perkembangan pasal modal. Ini menjadi pertimbangan di hampir semua negara sedang berkembang dalam rangka pengembangan pasar modal yaitu dengan memberikan insentif pajak kepada perusahaan emiten, pedagang perantara dalam pasar modal dan para pemegang surat berharga.69 b. Cara Negatif Cara mengatur pajak dengan maksud untuk mencegah atau menghalang-halangi perkembangan masyarakat atau justru menjuruskan kehidupan masyarakat ke arah suatu tujuan tertentu. Hal ini merupakan keinginan dari pemerintah (fiscus) sehingga dalam pembuatan peraturan perundangundangan perpajakan sifatnya cenderung memberatkan orang atau badan. Sehingga negara/pemerintah dapat memberantas sesuatu yang ada di masyarakat. Tindakan pemerintah seperti itu dinamakan “Des Incentive Tax”, yaitu pajak mempunyai fungsi menghalang-halangi atau mencegah para wajib pajak beRp.roduksi. Dalam mengadakan “Des Incentive Tax”, pemerintah dapat melakukan beberapa cara : (1) Pencegahan atas pemakaian atau pemasukan suatu barang tertentu, (2) Penghambatan produroduksi. Dalam mengadakan “Des Incentive Tax”, pemerintah dapat melakukan beberapa cara : (1) Pencegahan atas pemakaian atau pemasukan suatu barang tertentu, (2) Penghambatan produksi dan pemberantasan khusus. Menurut Rochmat Soemitro,70 1965, kedua cara 69 70

Ibid., hlm. 293 Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 36

70

Pendahuluan

tersebut dapat dipergunakan secara terpisah-pisah satu dengan yang lain (alternatif), tetapi dapat juga dipergunakan secara bersama-sama (komulatif). Kebijakan seperti itu diberlakukan di Indonesia seperti halnya pengenaan bea masuk yang tinggi bagi impor mobil mewah dan juga kebijakan bea masuk bagi impor gula dan beras yang tinggi untuk melindungi petani dalam negeri. 3. Asas Pemungutan Pajak Kebijakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara didasarkan atas tiga macam asas, yaitu : (a) Asas domisili (domicilie beginsel), (b) Asas sumber (bronbeginsel), dan (c) Asas kebangsaan (nationaliteits beginsel).71 Pengertian dari masing-masing asas tersebut adalah sebagai berikut : a. Asas Domisili (Domicilie Beginsel) Suatu asas pemungutan pajak yang digantungkan pada domisili (tempat kediaman) wajib pajak di suatu negara. Menurut asas ini negara di mana wajib pajak berkediaman ialah yang berhak mengenakan pajak atas orang-orang itu dari semua pendapatan di mana saja diperoleh (world wide income). Seperti orang Indonesia atau orang asing yang berkediaman di wilayah Indonesia (sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri) akan dikenakan pajak atas penghasilan dari semua pendapatan yang diperoleh di Indonesia maupun di luar negeri (UU Nomor 17 Tahun 2000, bab III, Pasal 4 ayat 1). Semisal, Wajib Pajak Dalam Negeri, Pajak Penghasilan selain sebagai 71

Ibid.

Mustaqiem

71

konsultan di Indonesia sekaligus juga sebagai konsultan di negara asing, perolehan penghasilan dari dua negara yang akan dikenai pajak di Indonesia. Untuk menghindari pembayaran pajak ganda, maka pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terhutang. b. Asas Sumber ( Bron Beginsel) Suatu asas pemungutan pajak yang digantungkan kepada adanya sesuatu sumber di suatu negara. Menurut asas ini negara di mana sumber-sumber pendapatan itu berada ialah yang berhak memungut pajak, dengan tidak menghiraukan tempat di mana wajib pajak itu berada. Seperti dalam peraturan perundang-undangan Pajak Penghasilan ditetapkan bahwa seseorang yang bertempat tinggal di luar Indonesia dikenakan pajak di Indonesia atas penghasilannya dari sumber-sumber penghasilan yang berada di wilayah Indonesia (UU Nomor 17 Tahun 2000, bab II, Pasal 2 ayat 4). Ketentuan ini berlaku bagi Subyek Pajak luar negeri. Pengertian subyek pajak luar negeri menurut Pasal 2 ayat (4) adalah subyek pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari wilayah Indonesia, melalui dua cara, yaitu dengan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dan dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

72

Pendahuluan

melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (semisal sebagai konsultan tetapi ia tetap berada di negaranya). c. Asas Kebangsaan (Nationaliteits Beginsel) Menurut asas ini pajak dikenakan oleh suatu negara pada orang-orang yang mempunyai hubungan kebangsaan dengan negara itu. Indonesia tidak menggunakan asas ini sebagai dasar pemungutan pajak, karena yang dikenakan pajak selain Warga Negara Indonesia juga Warga Negara Asing yang tidak memiliki hubungan kebangsaan dengan Indonesia tetapi memiliki hubungan ekonomis di Indonesia. Istilah lain, cara yang didasarkan atas asas kebangsaan menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu negara. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa fiscus Nederland selama perang dunia II pernah memungut pajak pendapatan dari semua orang yang berkebangsaan Belanda meskipun bertempat tinggal di luar Belanda.72 4. Kewajiban Dan Sanksi Perpajakan a. Kewajiban Perpajakan Pembayaran pajak yang dilakukan oleh rakyat merupakan salah satu bentuk kewajiban rakyat kepada negara. Kewajiban pajak dapat dibedakan menjadi dua, 73 yaitu : 1. Kewajiban pajak subjektif, merupakan kewajiban pajak yang harus memenuhi syarat tertentu supaya orang atau badan dapat dikenakan pajak; dan 72 73

Santoso Brorodihardjo, op. cit., hlm. 38 Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 35

Mustaqiem

73

2. Kewajiban pajak objektif, syarat kewajiban pajak ini mengharuskan wajib pajak mempunyai penghasilan yang melebihi batas minimum pengenaan pajak. Penjelasan mengenai dua kewajiban pajak (subjektif dan objektif) adalah sebagai berikut : 1. Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban pajak yang melekat pada subjeknya. Pada prinsipnya semua orang yang bertempat kediaman di Indonesia telah memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif. Bagi orang yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, kewajiban pajak subyektif ini hanya dipenuhi jika syarat dipenuhi. Seperti mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia yang disebut dalam undang-undang pajak.74 Menurut Undang-Undang Pajak Pendapatan, seseorang mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia jika mereka mempunyai perusahaan atau pekerjaan bebas yang dilakukan di Indonesia atau mempunyai harta tetap yang terletak di Indonesia (Pasal 2 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944). Ketentuan lain dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menetapkan seseorang dinilai mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia jika yang bersangkutan mempunyai perusahaan atau pekerjaan bebas yang dilakukan di Indonesia. Seperti orang asing atau 74

Ibid.

74

Pendahuluan

badan asing yang diangkat sebagai konsultan sebuah perusahaan di Indonesia, dia memiliki penghasilan dari Indonesia. Dasar pertimbangan yang dipergunakan untuk mengenakan pajak karena mereka memiliki penghasilan yang berasal dari wilayah Indonesia. Perbedaan antara wajib pajak dalam negeri dengan wajib pajak luar: Wajib Pajak Dalam Negeri

Wajib Pajak Luar Negeri

1. dikenakan pajak atas pengha silan baik yang diterima /diper oleh dari dalam dan luar negeri. 2. dikenakan pajak atas penghasi lan neto. 3. Tarif pajak yang dipergunakan adalah tarif umum (UU PPh. Pasal 17). 4. Wajib pajak menyampaikan SPT.

1. dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. 2. dikenakan pajak atas penghasi lan bruto. 3. Tarif pajak yang dipergunakan adalah tarif sepadan (UU PPh. Pasal 26). 4. Tidak wajib menyampikan SPT.

Pemungutan pajak juga mempunyai waktu mulai dan berakhirnya sebagai subyek pajak dalam negeri maupun subyek pajak luar negeri. Pembagiannya adalah sebagai berikut :

Mustaqiem

75

Mulai

Berakhir

1. Subjek pajak DN Orang Pribadi. Saat dilahirkan dan saat berada atau berniat bertempat tinggal di Indonesia. 2. Subjek Pajak DN Badan. Saat mendirikan/ bertempat kedudukan di Indonesia. 3. Subjek Pajak LN-BUT. Saat menjalankan usaha BUT di Indonesia.

1. Subjek Pajak DN Orang Pribadi. Saat meninggal dan saat meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya. 2. Subjek Pajak DN Badan. Saat dibubarkan atau tidak berkedudu-kan di Indonesia. 3. Subjek Pajak LN-BUT. Saat tidak lagi menjalankan usaha BUT di Indonesia. 4. Subjek Pajak LN-NonBUT. Saat tidak lagi menerima /memperoleh penghasilan dari Indonesia. 5. Warisan Belum Terbagi. Saat warisan dibagi.

4. Subjek Pajak LN-NonBUT. Saat memerima/ memperoleh penghasilan dari Indonesia. 5. Warisan Belum Terbagi. Saat timbul warisan.

2. Kewajiban Pajak Objektif Kewajiban pajak objektif ialah kewajiban pajak yang melekat pada objeknya. Seseorang memenuhi kewajiban pajak objektif jika mendapat penghasilan atau mempunyai kekayaan yang memenuhi syarat-syarat yang disebut dalam undang-undang. Misal, pajak yang dikenakan atas penghasilan seseorang yang mendapat penghasilan yang melampaui batas pendapatan minimum kena pajak, inilah yang menurut Pasal 8 ayat (1) Ordonansi Pajak Pendapatan ditetapkan memenuhi

76

Pendahuluan

kewajiban pajak objektif. Selain itu, orang-orang yang bertempat tinggal di luar negeri memenuhi kewajiban objektif ini jika mereka memperoleh penghasilan dari sumber-sumber tertentu (misal harta tetap atau perusahaan) yang ada di Indonesia. Contoh ketentuannya sebagai berikut : a. Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944 menegaskan bahwa pajak akan dikenakan atas pendapatan seseorang yang melebihi batas pendapatan minimum atau Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP); b. Pasal 8 ayat (1) 0rdonansi Pajak Pendapatan tahun 1944 menetapkan bahwa yang memenuhi kewajiban pajak objektif, adalah seseorang yang mendapatkan penghasilan atau mempunyai kekayaan yang memenuhi syarat-syarat yang disebut dalam undangundang. Orang-orang yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia memenuhi kewajiban pajak objektif jika ia memperoleh penghasilan dari sumbersumber tertentu (misalnya harta tetap atau perusahaan) di wilayah Indonesia; c. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, orang yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia dan mempunyai sumber penghasilan di wilayah Indonesia akan dikenakan pajak, karena yang bersangkutan telah memenuhi

Mustaqiem

77

kewajiban pajak objektif. Misal seorang warga negara asing yang tidak bertempat tinggal di wilayah Indonesia, tetapi ia bekerja sebagai konsultan jarak jauh bagi sebuah perusahaan di Indonesia dan mendapat upah sebagai hasilnya ia akan dikenai pajak penghasilan. Ketentuan untuk memenuhi kewajiban pajak objektif tahun 1944 maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku saat ini masih sama meskipun peraturan perundang–undangan telah telah mengalami beberapa kali perubahan. b. Sanksi Perpajakan Mengenai pemungutan pajak—dimana perlu dapat dipaksakan—dalam perkembangannya sudah mengalami perubahan baik dalam teori-teori dan konsep-konsep perpajakan dalam lingkup wawasan hukum. Perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa bentuk paksaan yang dilakukan bukan lagi berbentuk paksaan atau kekerasan fisik melainkan paksaan berupa sanksi yang ditetapkan dalam undang-undang.75 Sanksi merupakan suatu bentuk jaminan supaya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) dituruti/ditaati/dipatuhi oleh wajib pajak, pemungut pajak, serta pihak ketiga. Istilah lain, sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak, pemungut pajak, serta pihak ketiga tidak melakukan pelanggaran norma perpajakan yang sudah 75

Soeparman, oc. cit., hlm. 5

78

Pendahuluan

ditetapkan. Sanksi di bidang perpajakan ada dua macam, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Pengertian sanksi administrasi dan sanksi pidana menurut peraturan perundang-undangan perpajakan adalah sebagai berikut : 1) Sanksi Administrasi (Administratieve Sanctie) Sanksi ini merupakan suatu hukuman yang dikenakan oleh pemungut pajak (fiscus). Sanksi administrasi dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu bunga, denda administrasi dan kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar. Seperti sanksi administrasi yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak. Ketentuan hukumnya apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau Masa dalam jangka waktu sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (3) atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian sebagaimana diatur oleh Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dapat dikenakan sanksi admisnistrasi sebesar Rp. 100.000,-; bagi Surat Pemberitahuan Tahunan, dan sanksi administrasi Rp. 50.000,- diperuntukan bagi Surat Pemberitahuan Masa. Contoh lain adalah sanksi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan, ditetapkan bahwa pajak yang terhutang setelah jatuh tempo pembayaran jika tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2% perbulan yang dihitung dari saat

Mustaqiem

79

jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi di bidang perpajakan diberikan oleh instansi pajak sendiri, artinya ditetapkan dan dilaksanakan oleh instansi pajak yang umumnya terdiri atas tambahan-tambahan pada pajak terhutang.76 Dalam hukum administrasi negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintah, karena kewenangan itu berasal dari hukum administrasi. Pada umumnya, hukum admiistrasi memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan norma-norma hukum administrasi tertentu diiringi pula dengan memberikan kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar normanorma hukum administrasi.77 2) Sanksi Pidana (Strafrechtelijke Sanctie) Sanksi pidana merupakan hukuman yang diputuskan oleh hakim, karena itu setiap terjadi kasus yang dapat dijatuhi sanksi pidana perkaranya harus diajukan ke pengadilan umum. Sanksi pidana dapat berupa denda pidana, pidana kurungan, maupun pidana penjara. Penjabaran dari masing-masing sanksi pidana, adalah sebagai berikut :78 1. Denda pidana berbeda dengan sanksi yang berupa denda administrasi yang hanya diancam/dikenakan 76 77 78

Soeparman, op. cit., hlm. 56 Ridwan, op. cit,. hlm. 244 Erly Suandy, op. cit., hlm. 141

80

Pendahuluan

kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan. Sanksi yang berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancamkan kepada pejabat pajak atau kepada pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun yang bersifat kejahatan. 2. Pidana kurungan. Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan yang diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan dalam ukuran waktu tertentu. 3. Pidana penjara. Seperti halnya pidana kurungan, pidana penjara merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, tetapi hanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak. Sanksi pidana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat dijatuhkan kepada wajib pajak, pemungut pajak, maupun pihak ketiga. Seperti yang sudah ditetapkan pada: a. Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2000 : “Setiap orang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, sehingga negara dirugikan,

Mustaqiem

b.

c.

d.

e

81

dipidana kurungan paling lama 1 tahun, dan/atau denda setinggi-tingginya 2 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar” Pasal 39 UU Nomor 16 Tahun 2000 : “Setiap orang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan NPWP, tidak menyampaikan surat pemberitahuan, memberikan keterangan palsu, menolak pemeriksaan, tidak membuat pembukuan, tidak menyetorkan pajak, sehingga negara dirugikan dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar”. Pasal 41 UU Nomor 16 Tahun 2000 : “Aparat pajak karena kealpaannya membocorkan kerahasiaan dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000, 00; atau pejabat yang tidak memegang kerahasiaan atau seseorang yang menyebabkan pejabat tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000, 00”. Pasal 41 A, UU Nomor 16 tahun 2000 : “Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan, atau memberi keterangan tidak benar, dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,00 “. Pasal 41 B, UU Nomor 16 Tahun 2000 : “Setiap orang dengan sengaja menghalangi penyidikan tindak pidana perpajakan, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000, 00

82

Pendahuluan

“(Pasal-pasal di muka oleh UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah dirubah bunyi redaksionalnya). Beberapa pasal yang memuat sanksi pelanggaran tersebut menunjukkan bahwa sanksi yang dijatuhkan bagi setiap pelanggar dapat dibedakan menjadi tiga macam sanksi, antara lain: (a) administrasi, (b) pidana, (c) administrasi dan pidana.79 Uraian mengenai sanksi tersebut adalah sebagai berikut :80 1) Pelanggaran yang dijatuhi sanksi administrasi, meliputi: a. Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa pembayaran pajak terhutang setelah jatuh tempo tidak atau kurang dibayar, maka atas pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan); b. Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 28 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 menyatakan bahwa tidak melaksanakan kewajiban membuat pembukuan sehingga menyulitkan penghitungan pajak. Jumlah kekurangan pajak ditambah sanksi administrasinya 79 80

Mardiasmo, Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2000, hlm. 42 Suparman, op. cit., hlm. 56-58

Mustaqiem

83

2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terhutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar; c. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 menyatakan bahwa wajib pajak diberi Surat Ketetapan Pajak Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. 2) Pelanggaran yang dikenakan sanksi pidana dan/atau denda diatur dalam beberapa aturan sebagai berikut: a. Pasal 38 huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan) “...dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar”; b. Pasal 38 huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (karena kealpaannya menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap). Sanksi sama dengan pasal 38 huruf a; c. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (dengan sengaja tidak menyampaiakan SPT) “.... dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau belum dibayar”;

84

Pendahuluan

d. Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan tanpa hak NPWP). Sanksi sama dengan pasal 39 ayat (1); e. Pasal 39 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (dengan sengaja menyampaiakn SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap). Sanksinya sama dengan pasal 39 ayat (1); f. Pasal 39 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut). Sanksinya sama dengan pasal 39 ayat (1); Berkaitan dengan sanksi terhadap kealpaan dan kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak terdapat perbedaan. Sanksi terhadap kealpaan bisa bersifat kumulatif atau alternatif, berupa sanksi pidana dan/atau denda. Sanksi terhadap kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak bersifat kumulatif ialah sanksi pidana dan sanksi denda. g. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 ( pejabat karena kealpaannya membocorkan rahasia wajib pajak ) “... dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah)”; h. Pasal 41 ayat (2) Undang–Undang Nomor 16 tahun 2000 (penjabat karena kesengajaannya membocorkan rahasia wajib pajak ) “... dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

Mustaqiem

85

dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)”. Sanksi yang dikenakan kepada pejabat, baik karena kealpaan maupun kesengajaan membocorkan rahasia wajib pajak adalah bersifat kumulatif. Sanksi yang berupa denda pidana tidak identik dengan sanksi denda administrasi, sebab sanksi denda administrasi hanya dijatuhkan bagi Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran peraturan perundangundangan perpajakan. Sanksi denda pidana selain dijatuhkan kepada Wajib Pajak, juga dapat dijatuhkan bagi aparat pajak maupun pihak ketiga yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan perpajakan. Perbedaan lainnya adalah bahwa sanksi denda pidana terkait dengan persoalan penggelapan pajak yang merugikan negara, keputusan pemberian sanksi denda pidananya harus melalui proses pemeriksaan di lembaga peradilan. Untuk denda administrasi diputuskan karena terjadi pelanggaran administrasi, seperti Wajib Pajak tidak tepat waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan, penjatuhan sanksi denda administrasi tidak harus diputus melalui lembaga peradilan, tetapi cukup dilakukan oleh instansi perpajakan. Menurut P. De Haan seperti yang dikutip Ridwan, uang paksa administrasi dapat ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak.

86

Pendahuluan

Bagaimanapun juga, organ administrasi dapat memberikan hukuman tanpa perantaraan hakim.81 Hal tersebut sama dengan pendapat J.J. Oosternbrink yang mengatakan bahwa sanksi administratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara Pemerintah dengan Warga Negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaraan pihak ketiga (kekuasaan pengadilan) tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.82 Sanksi denda pidana hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun yang bersifat kejahatan di bidang perpajakan. Sanksi pidana kurungan diancamkan terhadap tindak pidana yang bersifat pelanggaran, ketentuan sanksi ini dapat dijatuhkan bagi wajib pajak, aparat pajak, maupun pihak ketiga. Pidana penjara juga dapat diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak, maupun pihak ketiga. Sanksi pidana penjara seperti halnya sanksi pidana kurungan merupakan bentuk hukuman perampasan kemerdekaan, meskipun tujuan pemidanaan terhadap Wajib Pajak bukan untuk balas dendam.83 Oleh karena itu penderitaan yang ditimpakan kepadanya tidak perlu terlalu menyakitkan. Terlebih-lebih apabila tindak pidana itu terjadi karena kealpaan. Hubungannya dengan sanksi pidana, terdapat ketentuan yang mengatur tentang 81

Ridwan, op. cit., hlm. 259 Ibid., hlm. 245 83 Suparman, op. cit., hlm. 162 82

Mustaqiem

87

pidana penjara dan/atau denda pidana dapat dilipatduakan apabila pelanggar melakukan tindak pidana perpajakan lagi sebelum lewat waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya. Meskipun sanksi pidana perpajakan sudah pasti, tetapi tidak selamanya tindak pidana perpajakan dapat dituntut, karena Pasal 40 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menetapkan bahwa : “Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan” (ketentuan daluwarsa). Pelanggaran pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbeda dengan yang dilakukan oleh Aparat Pajak. Perbedaannya terletak pada kualifikasi pelanggaran yang dilakukan, yaitu bahwa tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tergolong tindak pidana biasa (delik biasa) sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh aparat pajak tergolong delik aduan, sehingga penuntutannya baru dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari Wajib Pajak yang kerahasiaannya dilanggar dan menyebabkan kerugian atas dirinya. Jika Wajib Pajak yang dirugikan tidak melakukan upaya pengaduan maka tindak pidana ini tidak akan ditindaklanjuti sampai dengan proses hukum. Hal ini

88

Pendahuluan

diatur dalam Pasal 41 ayat (3) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan : “Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar”. Untuk kepentingan penuntutan tindak pidana ini diperlukan kesadaran hukum dari Wajib Pajak yang merasa dirugikan, dengan cara melakukan pengaduan agar supaya proses penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pajak dapat ditindaklanjuti. Jika persoalan sanksi dikaitkan dengan kekuasaan, maka yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah penguasa, maka penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran merupakan menopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum, 84 termasuk pelanggaran yang terjadi di bidang perpajakan. 5. Sistem Pengenaan Pajak Cara untuk menentukan jumlah pajak dapat dilakukan dengan beberapa sistem, antara lain Official Assesment Sistem, Semi Self assessment Sistem, Self Assesment Sistem, dan With Holding Sistem. Adapun penjelasan sistem-sistem yang dimaksud adalah sebagai berikut :

84

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 20

Mustaqiem

89

a. Official Assesment System Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada pemerintah sebagai pihak pemungut pajak atau fiscus untuk menghitung dan menetapkan besar kecilnya jumlah hutang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sebagai penanggung pajak. Seperti ketentuan sebelum tahun 1983 atau pada masa Pajak Pendapatan, penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) berisikan ketetapan tentang besarnya pajak yang akhirnya terutang dalam satu tahun yang harus dilunasi oleh wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, Pasal 1 huruf k, adalah surat keputusan yang berisi ketetapan jumlah pajak yang terhutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. Ciri-ciri pemungutan pajak yang didasarkan atas Surat Ketetapan Pajak antara lain adalah : 1. Pemerintah sebagai pihak pemungut pajak atau fiscus harus aktif menetapkan jumlah hutang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak; 2. Wajib Pajak bersifat pasif, dalam arti tidak perlu menghitung dan menentukan sendiri besar kecilnya jumlah pajak yang terhutang, hutang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak timbul setelah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak oleh Pemerintah (fiscus). Penentuan jumlah hutang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak menurut sistem tersebut didasarkan atas

90

Pendahuluan

jabatan, sehingga penetapan jumlah hutang pajak tidak obyektif dan posisi wajib pajak berada pada pihak yang dirugikan. Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dipakai sebagai dasar pembayaran pajak oleh wajib pajak dapat dibedakan menjadi empat, antara lain : 85 1). SKP-Sementara, ialah Surat Ketetapan Pajak yang dibuat dalam tahun pajak berjalan. Dasar penetapannya adalah perkiraan atau taksiran atas besarnya pendapatan yang diperoleh, berhubung pendapatan yang sesungguhnya diperoleh belum diketahui. Pada waktu itu dengan diadakan tata-cara MPS-MPO, maka praktek SKP– sementara tidak dilaksanakan lagi; 2). SKP-Masa, ialah Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan dalam hal wajib pajak tidak atau tidak sepenuhnya melakukan penyetoran/angsuran MPS bulanan; 3). SKP-Rampung, ialah Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan sesudah berakhirnya tahun takwim atau tahun pajak yang memuat jumlah pajak yang masih terhutang; 4). SKP-Tagihan Kemudian, dikeluarkan dalam hal : (a) Ketetapan rampungnya dikenakan kerendahan, (b) Salah diputuskan untuk tidak mengenakan ketetapan pajak, (3) terjadi kesalahan dalam pengurangan atau pembebasan pajaknya.

85

B. Usman, dkk, op. cit., hlm. 50-51

Mustaqiem

91

b. Semi Self Assesment System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan menentukan berapa jumlah pajak yang terhutang berada pada kedua belah pihak (pemungut pajak dan wajib pajak). Apabila pelaksanaan pemungutan pajak menggunakan sistem ini, maka di awal tahun pajak, Wajib Pajak diberi kewenangan melakukan kewajiban menghitung atau menaksir dan menentukan besar kecilnya pajak terhutang yang harus dibayar. Berdasarkan penghitungan di awal waktu, Wajib Pajak sudah dapat melaksanakan pembayaran pajak sebagai angsuran, tetapi pada akhir tahun pajak penentuan jumlah hutang pajak yang riil akan dihitung dan ditetapkan oleh pihak pemungut pajak.86 Sistem pemungutan pajak ini dapat disebut menggunakan stelsel campuran (fiksi dan riil). c. Self Assesment System Pemungutan pajak di Indonesia sampai dengan tahun 1983 masih menggunakan sistem official assesment system, kemudian setelah dilakukan pembaharuan peraturan perundangan-undangan perpajakan, hasilnya menetapkan bahwa pemungutan pajak tidak lagi menggunakan official assesment system melainkan menggunakan self assesment system. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang menetapkan bahwa proses pemungutan pajak berdasar “self assesment 86

Munawir, op. cit., hlm. 3

92

Pendahuluan

system”. Penerapannya adalah pertama kali wajib pajak mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak agar dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak ialah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu nomor. Nomor tersebut dapat dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam membayar pajak dan pengawasan terhadap adiminstrasi perpajakan. Oleh karena itu setiap melakukan kegiatan yang ada hubungannya dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak harus mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki. Konsekuensi penggunaan self assesment system ialah setiap Wajib Pajak harus aktif mengambil, mengisi, menandatangani, dan menyampaikan kembali Surat Pemberitahuan ke Direktorat Jenderal Pajak. Surat pemberitahuan merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak, dan/atau bukan obyek pajak, harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Surat Pemberitahuan Masa, dan (2) Surat Pemberitahuan Tahunan. Surat Pemberitahuan Masa merupakan surat pemberitahuan untuk masa pajak, sedang Surat Pemberitahuan Tahunan merupakan surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.

Mustaqiem

93

Supaya Wajib Pajak dapat mengisi surat pemberitahuan (SPT) dengan benar, maka setiap usaha atau kegiatan harus dibuatkan pembukuan/catatan. Pembuatan pembukuan atas usaha atau kegiatan tersebut berlaku bagi perorangan maupun badan (dalam hal ini pengurusnya). Karena kedua Wajib Pajak tersebut memiliki hak Penghasilan Tidak Kena Pajak (bagi wajib pajak perorangan), atau memiliki hak pengurangan terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan menurut peraturan perundang-undangan perpajakan bagi wajib pajak badan. Self Assesment System merupakan sistem pengenaan pajak yang memberi kewenangan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan menentukan jumlah hutang pajak yang harus dibayar. Ciri sistem ini adalah : 1. Wewenang menghitung dan menentukan jumlah hutang pajak ada pada pihak Wajib Pajak dan hasilnya dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak; 2. Wajib Pajak harus aktif melaporkan, membayarkan atau menyetorkan jumlah pajak yang terhutang ke Direktorat Jenderal Pajak; 3. Pemerintah sebagai pihak pemungut pajak tidak ikut campur dalam menghitung dan menentukan jumlah pajak, tetapi hanya bertugas melaksanakan pengawasan.87 Apabila Wajib Pajak bersifat pasif dalam arti tidak melakukan penghitungan dan penentuan jumlah pajak yang harus dimuat dalam Surat Pemberitahuan serta tidak melakukan kewajiban pembayaran pajak, maka menurut 87

Mardiasmo, op. cit., hlm. 8

94

Pendahuluan

Pasal 13 ayat (1) Undang Undang-Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan dikatakan bahwa jika dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun oleh UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jangka waktu 10 tahun dirubah menjadi 5 tahun sesudah saat terhutangnya pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal : 1. Hasil pemeriksaan atau keterangan lain menunjukkan bahwa pajak yang terhutang tidak atau masih kurang dibayar; 2. Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tetap tidak disampaikan (jangka waktu penyampaiaan Surat Pemberitahuan Masa paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak, sedang bagi Surat Pemberitahuan Tahunan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak); 3. Berdasar hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah ternyata tidak seharusnnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen). Setelah tahun 1983 pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia selain menggunakan self assesment system juga

Mustaqiem

95

masih menggunakan official assessment system meskipun bersifat pasif baik yang berkenaan dengan pemungutan Pajak Pusat maupun Pajak Daerah. Misalnya yang berkaitan dengan pemungutan pajak pusat (Pajak Bumi dan Bangunan) yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 sebenarnya menggunakan Self Assesment System, sebab setiap Wajib Pajak telah ditetapkan harus mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP). Pengertian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ialah surat yang dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak tersebut sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mendata, menghitung, dan menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang, karena hal tersebut sudah ditetapkan oleh pemerintah atau fiscus dan Wajib Pajak tinggal menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang berisi jumlah hutang pajak yang harus dibayar. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang dipergunakan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Karena jumlah hutang pajak sudah ditetapkan oleh pihak pemungut pajak atau pemerintah maka Wajib Pajak tingggal membayar atau melunasi hutang pajaknya. Seperti juga dalam pemungutan pajak daerah (Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air), pemiliknya tinggal melunasi karena jumlah pajak yang terhutang sudah ditentukan oleh pihak pemerintah atau fiscus.

96

Pendahuluan

d. With Holding System Sistem pemungutan pajak ini memberi kewenangan kepada pihak ketiga untuk menghitung dan menetapkan besar kecilnya jumlah pajak yang terhutang. Pihak ketiga tersebut yang akan menghitung jumlah pajak terhutang dan kemudian melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.88 Peranan aktif dalam with holding system adalah pihak ketiga, buka fiscus dan bukan wajib pajak. Fiscus akan berperan jika terjadi gejala bahwa pemotongan/pemungutan pajak tidak/ belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga. Aturan pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga, dapat ditemukan dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan tentang wajib pajak. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Pajak yang dipotong oleh pihak ketiga dalam with holding system, mempunyai dua sifat yaitu provisional dan final.89 With holding system yang bersifat provisional (atau sementrara) adalah pemungutan/pemotongan pajak yang dapat diperhitungkan sesudah akhir tahun dengan jumlah pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan. Misalkan, pemungutan pajak atas pembayaran dividen sebesar 15%. Pajak yang dipotong ini sebagai kredit pajak 88

Mardiasmo, op. cit., hlm. 9 Richard M. Bird, Tax Policy and Economic Development, Baltimor, London, The Johns Hopkins, University Press, 1992, p. 99 89

Mustaqiem

97

dan dapat diperhitungkan atau dikreditkan dengan pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pada tahun pajak yang bersangkutan, termasuk deviden tersebut. Sedang with holding system yang bersifat final adalah pemungutan atau pemotongan pajak yang tidak dapat lagi diperhitungkan atau dikreditkan dengan pajak terutang atas seluruh penghasilan. Seperti penghasilan berasal dari jasa Bank yang setiap bulannya dipotong atau dipungut langsung oleh penyelenggara perbankan. 6. Penggolongan Pajak Penggolongan pajak sebagai sumber keuangan negara dalam berbagai kategori telah diperhatikan sejak abad pertengahan, namun berbagai usaha mengadakan klasifikasi dan sistematika yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan baru dapat dilakukan sejak Revolusi Prancis yaitu setelah ada perkembangan perpajakan modern.90 Adam Smith dengan karyanya “Wealth of Nation” tahun 1776 mengawali diskusi tentang penggolongan pajak. Smith menghubungkan pembagian perpajakan dengan pembagian bentuk-bentuk pendapatan, seperti rents (bunga), profits (keuntungan usaha), upah, dan semua pajak yang bermaksud membebani tiap bentuk pendapatan tersebut. Contoh terbaik dari golongan terakhir ini, ialah pajak yang dikenakan terhadap orang perorang (capitation taxes) dan pajak konsumsi.91 Adolph Wagner, seperti yang dikutip oleh C. Goedhart melakukan pembagian pajak ke dalam kriteria pajak atas 90 91

C. Goedhart, op. cit., hlm. 133 Ibid.

98

Pendahuluan

pendapatan dan pajak atas kekayaan. 92 Keberatan pembedaan ini ialah bahwa sukar untuk menentukan apakah pajak tertentu itu benar-benar dibayar dari pendapatan atau dari kekayaan. Di situ dapat dikatakan bahwa pajak pendapatan, sebagian atau seluruhnya dibayar oleh beberapa Wajib Pajak dari kekayaan mereka sedangka di pihak lain pajak kekayaan umumnya dibayar dari pendapatan. Oleh karena itu menurut dia, orang semakin cenderung untuk membagi pajak bukan lagi menurut sumbernya, melainkan menurut obyek yang dibebani pajak. Hal itu terlepas dari persoalan apakah obyek yang dibebani pajak tersebut juga merupakan sumber uang pajak atau bukan. Sehingga penyebutannya adalah pajak atas kekayaan atau pajak atas pendapatan dan bukan pajak itu dibayar dari pendapatan atau dari kekayaan. Berdasarkan pendapat di atas, maka cara penggolongan pajak didasarkan atas sifat-sifat tertentu yang terdapat pada masing-masing pajak, seperti : a. Pajak atas kekayaan dan pendapatan (pajak persoonlijk); b. Pajak atas lalu - lintas (verkeersbelasting), yaitu lalu - lintas hukum; lalu - lintas kekayaan dan lalu-lintas barang-barang; c. Pajak yang bersifat kebendaan (zakelijk); d. Pajak atas pemakaian (verbruiksbelasting).93 Pembagian lain didasarkan atas ciri-ciri tertentu. Setiap pajak dengan ciri-ciri yang sama akan dimasukkan dalam satu golongan, sehingga terjadi pembagian pajak sebagai berikut: 92 93

Ibid. Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 36

Mustaqiem

99

a. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung Pembedaan yang paling banyak digunakan ialah pembedaan dalam pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pembedaan antara kedua pajak tersebut untuk pertama kali digunakan oleh kaum Physiokrat. Kaum ini merupakan sekelompok orang yang menganggap pajak atas hasil tanah sebagai satu-satunya pajak langsung karena tanah dianggap sebagai satu-satunya sumber kekayaan. Pajak lain yang menurut mereka akhirnya juga dialihkan atas pendapatan dari tanah, dianggap sebagai pajak tidak langsung. Sejak itu di mana-mana, baik dalam teori maupun praktek, pembedaan yang demikian itu menjadi umum, namun tidak selalu didasarkan atas kreterium yang sama.94 Secara ekonomis, untuk membedakan pajak langsung dengan pajak tidak langsung dapat dilihat pada adanya 3 (tiga) unsur, yaitu :95 a). Penanggung jawab pajak (tax payer) adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak, bila terdapat faktor/kejadian yang menimbulkan sebab untuk dikenakan pajak; b). Penanggung pajak adalah orang yang dalam faktanya dalam arti ekonomis memikul beban pajak; c). Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus memikul beban pajak (destinataris). 94

C. Goedhart, op. cit., hlm 136 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, Rajawali Press, Jakarta, 1999, hlm. 4 95

100

Pendahuluan

Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang atau suatu badan, maka pajak tersebut adalah pajak langsung. Sebaliknya jika ketiga unsur tersebut terpisah, artinya unsur-unsur terdapat pada lebih dari satu orang, maka pajak tersebut adalah pajak tidak langsung. Sebagai contoh adalah mengenai pemungutan cukai tembakau, di mana ketiga unsur tersebut tidak berada pada satu orang atau badan (tetapi terpisah), yaitu :96 a). Pabrikan : ditunjuk sebagai penanggung jawab pajak, ia harus membeli pita cukai; b). Agen rokok : merupakan penanggung jawab pajak, ia setiap kali mengambil rokok dari pabrikan sekaligus harus membayar cukai rokok; c). Konsumen : adalah destinataris pajak, karena ia yang sesungguhnya dituju oleh undang-undang untuk memikul beban cukai tersebut”. Di samping peninjauan secara ekonomis, pembagian pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat dilihat juga secara yuridis. Secara yuridis, pada pajak langsung pihak yang betanggungjawab atas pemenuhan kewajiban pembayaran pajak ke kas negara ialah wajib pajak yang secara ekonomis juga sebagai pemikul beban pajak. Sedang dalam pajak tidak langsung, pihak yang bertanggungjawab atas pemenuhan kewajiban membayar pajak ke Kas negara adalah wajib pajak yang telah melimpahkan beban pajak kepada pihak ketiga (pembeli/penerima jasa).97 96 97

Ibid. Untung Sukardji, op. cit., hlm. 4

Mustaqiem 101

Berbagai literatur Jerman mengadakan pembedaan antara pajak langsung dengan pajak tidak langsung yang diidentifikasikan dengan pembedaan administrativeorganisatoris antara “katastersteurens” atau “ veranlagte steurens” di satu pihak dan “tarifierte steuern” atau “gelegenheits steuern” di pihak lain. “Katastersteuern” (pajak berkohir) adalah pajak langsung yang dipungut secara periodik atas dasar datadata terdaftar mengenai barang atau orang. Tarifierte steuern (pajak tak langsung) diatur berdasarkan peristiwa tertentu, seperti jual-beli, impor dan sebagainya yang dipungut dengan menggunakan tarif tertentu.98 Pendapat lain mengatakan bahwa dalam arti yuridis pajak itu merupakan pajak langsung apabila dalam suatu undang-undang pajak ditetapkan sebagai pajak langsung.99 Pajak lain dalam arti yuridis merupakan pajak tidak langsung. Pembedaan ini penting karena berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan tertentu, yang hanya berlaku bagi pajak langsung maupun pajak tidak langsung. Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, akan diuraikan secara rinci sebagai berikut : a. Pajak Langsung, ialah pajak yang dipungut secara periodik (berkala) menurut kohir (daftar pajak) yang sesungguhnya tidak lain dari tindasan surat ketetapan pajak, disimpan menurut cara tertentu dalam bagian Tata-Usaha Piutang Pajak dan dikerjakan menurut cara tertentu pula. Contohnya adalah Pajak Pendapatan, Pajak 98 99

C. Goedhart, op. cit., hlm. 137 Ibid.

102

Pendahuluan

Kekayaan, Pajak Perseroan, Pajak Rumah Tangga dan Verponding (di Indonesia pajak - pajak ini sudah dicabut berlakunya). Selain itu, pajak yang dipungut merupakan pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dialihkan kepada orang atau pihak lain. Kebanyakan penulis lain menjelaskan bahwa pembedaan antara pajak langsung dengan pajak tak langsung dihubungkan dengan transfer (pengalihan) beban pajak. Kadang-kadang dengan mengikuti pendapat kaum Psysiokrat ( sekelompok orang yang memiliki pendapat tentang pengertian pajak langsung dan pajak tidak langsung) yang dianggap sebagai pajak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dibayar oleh wajib pajak sendiri. Ketentuan lain dalam hal pajak langsung adalah bahwa yang membayar beban pajak ialah pihak yang dikenakan pajak. Menurut pendapat ini, pajak langsung ialah kewajiban membayar pajak yang beban pajaknya tidak dapat dialihkan oleh pembayar pajak keapda pihak lain, karena pajak yang beban pajaknya dialihkan kepada pihak lain disebut pajak tak langsung. Namun penggunaan kreterium ini menimbulkan kesukaran yang tidak dapat diatasi, oleh karena dari sifat pajak itu sendiri tidak dapat diambil kesimpulan dengan pasti, apakah pajak itu dialihkan atau tidak. Untuk menghindari kesukaran tersebut, maka beberapa penulis mengikuti John Stuart Mill dengan mencari pembedaan tersebut mengikuti kehendak atau maksud pembentuk undang-

Mustaqiem 103

undang mengenai transfer beban pajak oleh para wajib pajak kepada para pemikul pajak lain. Dalam hubungan ini digunakan nama “destinataris-pajak”, yaitu mereka yang menurut maksud pembentukan undang-undang harus dibebani pajak tersebut.100 Apabila wajib pajak (destinataris-pajak) itu satu orang, maka pajak itu merupakan pajak langsung dan apabila tidak demikian halnya, maka pajak yang bersangkutan itu menurut kreterium ini ialah pajak tak langsung. Oleh karena itu, menurut pendapat ini, ada kemungkinan pemikul pajak adalah lain dari pada destinataris pajak. Misalnya apabila bertentangan dengan maksud pembentuk undang-undang, pengalihan oleh pembayar pajak kepada destinataris-pajak itu tidak atau tidak seluruhnya terjadi, atau apabila destinataris-pajak itu berhasil mengalihkan seluruh bebannya atau untuk sebagian kepada pihak ketiga, maka dipahami bahwa pajak telah diipikul oleh pihak lain. Dengan menggunakan kreterium ini, maka orang biasa menganggap pajak pendapatan, pajak kekayaan, pajak personil sebagai pajak langsung, dan menganggap pajak konsumsi (cukai, pajak penjualan, pajak impor, dan kebanyakan pajak hiburan, dan sebagainya) sebagai pajak tidak langsung. Praktek di Negara Belanda misalnya, pada Pasal 1 (ketentuan umum) tiap undang-undang tentang pajak akan disebutkan secara tegas apakah pajak tersebut dalah pajak langsung atau pajak tidak langsung. 100

C. Goedhart, op. cit., hlm.136

104

Pendahuluan

Contohnya adalah yang terdapat dalam undang-undang tentang pajak pendapatan, di sana disebutkan dalam pasal 1 bahwa : “Pajak Pendapatan adalah merupakan pajak langsung yang dipungut dari seseorang”. Maka pemahamannya adalah bahwa jika tidak disebut secara tegas, maka pajak tersebut berarti Pajak Tidak Langsung.101 Menurut Smeets, untuk mencari ciri-ciri pajak yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai Pajak Langsung dapat dilihat pada ciri yang nampak yaitu Pajak Langsung dipungut dengan kohir. Selain itu sebagian besar dari Pajak Langsung merupakan suatu pungutan yang dilakukan atas suatu tahun pajak.102 Menurut Andriani, secara yuridis Pajak Langsung umumnya dapat ditentukan jika mempunyai tiga ciri utama, antara lain (1) periodisasi (mempunyai tahun pajak), (2) harus dipungut dengan surat penetapan (3) berdasarkan suatu kohir. Namun menurut Andriani titik beratnya adalah pada periodisasinya. Pajak langsung yang berlaku saat ini adalah Pajak Penghasilan dengan obyek pajaknya adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari wilayah Indonesia maupun dari luar wilayah Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, setiap orang yang telah memiliki penghasilan dan 101 102

Ibid. Ibid., hlm.160

Mustaqiem 105

memenuhi peraturan perundang-undangan perpajakan mempunyai kewajiban membayar Pajak Penghasilan. Selain contoh pajak langsung tersebut, masih terdapat pajak langsung yang lain baik pajak pusat maupun pajak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor. Kesimpulannya adalah bahwa pajak langsung bisa berasal dari pajak pusat maupun pajak daerah. b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang hanya dipungut kalau pada suatu ketika terdapat peristiwa atau perbuatan untuk itu, seperti penyerahan barang tak gerak, pembuatan suatu akte, dan lain sebagainya. Pajak ini tidak dipungut menurut kohir, misalnya Bea Meterai, Bea Balik Nama, Bea Warisan, dan sebagian dari Pajak Upah dan Pajak Pembangunan I (Pajak Upah dan Pajak Pembangunan I sudah dicabut berlakunya). Selain itu, Pajak ini merupakan pajak yang bebanya dapat dilimpahkan kepada pihak atau orang lain dan pemungutannya memerlukan peristiwa tertentu seperti jual beli barang kena pajak, mengimpor barang kena pajak, menginap di hotel ayau makan direstoran. Ketentuan kedua macam pajak ini, mengharuskan pihak konsumen (pembeli barang kena pajak maupun konsumen hotel dan restoran) sebagai pihak yang dibebani menanggung atau membayar pajak pihak. Sedangkan penjual barang kena pajak maupun pengelola hotel dan restoran hanya berposisi sebagai pihak yang ditugasi memungut atau memotong pajak yang berasal dari konsumen, selanjutnya pajak yang telah dipungut

106

Pendahuluan

atau dipotong harus disetorkan ke kas negara atau daerah. Apabila hasil pemungutan pajak tidak disetorkan ke kas negara atau daerah, maka akibatnya pihak pemungut akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindakan tidak menyetorkan hasil pemungutan pajak ke kas negara/daerah bukan merupakan bentuk hutang pajak tetapi merupakan penggelapan pajak. Perbuatan ini termasuk kategori perbuatan kriminal, maka penanganannya tidak cukup dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau petugas pajak yang ditunjuk, tetapi harus melibatkan instansi lain seperti penanganan tindak kriminal penggelapan bidang lain. b. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif Andriani sangat mengutamakan pembedaan dan pembagian pajak berdasarkan ciri-ciri yang mempunyai arti prinsipiil dan menyimpulkan bahwa pembedaan antara pajak subjektif dan pajak objektif adalah sangat tepat.103 Sebaliknya ia tidak menyetujui pemakaian istilah-istilah seperti pajak-pribadi (persoonlijk) dan pajak-kebendaan (zakenlijk) sebagai nama lain dari pajak-subyektif dan pajakobyektif, karena istilah pajak (zakenlijk) dapat disalahartikan dan ditafsirkan seolah-olah dalam menetapkan pajak ini tidak diindahkan sama sekali pribadi seorang wajib pajak. Padahal dalam banyak hal keadaan wajib pajak sangat berpengaruh walaupun hanya bersifat sekunder. Dengan sistematika ini sebagai dasar pokok, akan didapatkan 103

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm.40

Mustaqiem 107

pembedaan dan pembagian dari hal ihwal yang akan dapat dikenakan pajak. Lebih-lebih untuk pajak-obyektif, dengan sangat mudahnya dapat diperoleh pembagian dalam detailnya, karena hal-hal yang menyebabkan timbulnya hutang pajak umumnya dapat dibagi pula dalam : keadaan, perbuatan atau peritiwa (tatbestand). Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, Andriani membagi macam-macam pajak di Indonesia (pada waktu itu) ke dalam beberapa kategori, antara lain :104 1. Golongan Pajak-pajak Subjektif, dipungut dari orang : a. Pajak Pendapatan 1944 atas penduduk (Indonesia); b. Pajak Kekayaan atas penduduk (Indonesia); c. Pajak Jalan. 2. Golongan Pajak-pajak Objektif a. Dipungut karena keadaan; 1) Pajak-pajak atas bagian-bagian dari kekayaan : a) Pajak Kekayaan atas bukan penduduk; b) Verponding – bangunan; 2) Pajak-pajak atas pendapatan; a) Pajak Pendapatan atas bukan penduduk; b) Pajak Upah; c) Verponding bukan – bangunan; 3) Pajak-pajak karena mempunyai / mempergunakan benda yang kena pajak : a) Pajak Rumah Tangga; b) Pajak Senjata-api; c) Pajak Anjing; 104

Ibid.

108

Pendahuluan

d) Bea tetap karena mempunyai izin penyelidikan atas konsesi tambang (mijn-concessie).; e) Pajak Kendaraan Bermotor; b. Dipungut karena perbuatan; 1) Pajak-pajak atas lalulintas kekayaan; a) Bea Bilik Nama karena perjanjian-penyerahan atau atas akte mengenai kapal; b) Bea Pemindahan karena hibah; c) Bea Meterai Modal; d) Bea Meterai dan Nota-Nota Efek; e) Pajak Peredaran; 2) Pajak-Pajak Atas Lalu-lintas Hukum lainnya berbagai Bea Meterai; 3) Pajak-Pajak atas lalu-lintas barang; a) Bea Masuk dan Bea keluar; b) Bea Statistik; c) Upah Lelang; 4) Pajak-pajak atas pemakaian (verteringsbelasting); a) Cukai-cukai; b) Pajak potong-hewan; c) Pajak lotere. c. Dipungut karena peristiwa. Bea pemindahan (sebagai sisa dari Ordonansi Bea Warisan tahun 1901 yang telah dihapus mulai tahun 1949) karena perolehan harta tetap oleh seseorang dari penduduk Indonesia yang meninggal dunia. Sesungguhnya tidaklah sukar untuk menunjukkan suatu jenis pajak yang dalam pembagian di atas itu dapat

Mustaqiem 109

dimasukkan dalam lebih dari satu golongan, misalnya pajakpajak atas pemakaian untuk sebagaian besar dapat dimasukkan dalam golongan pajak atas lalu-lintas barang. Memang demikian adanya, tetapi kita harus ingat bahwa keadaan semacam itu dapat dijumpai dalam setiap pembagian, yang semata-mata ditujukan kepada penggolongan yang formil saja.105 Pembagian pajak subjektif dan pajak objektif seperti yang telah diuraikan di atas, dapat diperinci dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Pajak Subjektif. Pajak subjektif adalah pajak-pajak yang berpangkal kepada diri orangnya dan untuk dapat mengenakan pajak pada orang-orang tersebut didasarkan pada ukuran objeknya. Untuk dapat mengenakan pajak yang subjektif ini diperlukan adanya hubungan antara negara pemungut pajak dan subjek pajak, misalkan hubungan antara warga negara dengan negara. Selain itu, pajak ini merupakan pajak yang berpangkal pada subjek pajak. Artinya, hal pertama yang dilihat adalah keadaan/status Wajib Pajak baru kemudian ditetapkan objeknya. Keadaan lain bagi Wajib Pajak, seperti bujangan atau sudah berkeluarga, akan sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya jumlah hutang pajak yang harus dibayar. Demikian pula, perbedaan status Wajib Pajak juga dapat membedakan jumlah hak Penghasilan Tidak Kena Pajak pertahun yang akan diterimakan. 105

Ibid., hlm.42

110

Pendahuluan

Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang berstatus bujangan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa ia akan mendapat hak Penghasilan Tidak Kena Pajak sejumlah Rp. 2.880.000/ setahun. Sedang bagi Wajib Pajak yang sudah berumah tangga memiliki hak Penghasilan Tidak Kena Pajak lebih banyak jumlahnya (untuk diri Wajib Pajak Rp. 2.880.000,- + bagi Istri yang bekerja Rp. 2.880.000,- + bonus karena sudah berkeluarga Rp. 1.440.000,- = Rp. 6.200.000,-/per tahun. Begitu juga bagi Wajib Pajak yang selain mempunyai istri, juga memiliki tanggungan (anak atau pihak lain) yang tidak memiliki penghasilan. Wajib Pajak ini akan mendapat hak Penghasilan Tidak Kena Pajak yang jumlahnya lebih banyak lagi yaitu untuk diri Wajib Pajak Rp. 2.880.000,- + Istri yang bekerja Rp. 2.880.000,- + tanggungan seorang anak Rp. 1.440.000,- + bonus karena sudah berkeluarga Rp. 1.440.000,- = Rp. 8.640.000,Berdasarkan uraian tersebut, apabila terdapat 3 (tiga) Wajib Pajak yang memiliki jumlah penghasilan yang sama, semisal Rp. 4.000.000,-/tahun, tentu saja ketika membayar pajak jumlah hutang pajaknya akan berbeda antara yang satu dengan lainnya. Hal ini terjadi karena hak penghasilan tidak kena pajak antara wajib pajak tersebut tidak sama jumlahnya. Perbedaan status Wajib Pajak serta banyaknya tanggungan yang dimiliki menyebabkan hak Penghasilan Tidak Kena Pajak jumlahnya tidak sama. Ketetapan ini

Mustaqiem 111

merupakan salah satu wujud keadilan di bidang perpajakan, karena Wajib Pajak yang berstatus bujangan beban biaya hidup pada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan Wajib Pajak yang telah berumah tangga. Ketentuan besarnya penghasilan tidak kena pajak yang diatur oleh Pasal 7 ayat (1) di atas telah diubah berdasar Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 564/KMK.03/2004, tanggal 29 Nopember 2004. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersebut, jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) mulai tahun 2005, menjadi : a. Rp. 12.000.000,- untuk diri Wajib Pajak; b. Rp. 1.200.000,- untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp.12.000.000,-untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; d. Rp. 1.200.000; untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Perkembangan terbaru tentang ketentuan besarnya penghasilan tidak kena pajak telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 137/ PMK.03/2005. Angka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berubah menjadi : a. Rp. 13.200.000,- untuk diri Wajib Pajak; b. Rp.13.200.000,- untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; c. Rp. 1.200.000; untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat

112

Pendahuluan

yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga; d. Rp. 1.200.000,- untuk bonus bagi wajib pajak yang berkeluarga. Perubahan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia tersebut secara hukum dapat dibenarkan dan sah. Hal ini berpedoman pada UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000, Pasal 7 ayat (3) yang menetapkan bahwa “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan”. 2. Pajak Objektif Pajak objektif ialah pajak yang pertama-tama melihat kepada objeknya. Tidak harus berupa benda tetapi bisa berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketemukan objeknya, maka baru dicari subjeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung, dengan tiada mempersoalkan apakah subjek ini berkediaman di Indonesia ataupun tidak. Subjek yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan objek itulah yang ditunjuk sebagai subjek yang harus membayar pajak. Atau pajak ini merupakan pajak yang berpangkal pada objeknya, kemudian baru ditetapkan subjeknya tanpa memperhatikan status Wajib Pajak. Apakah Wajib Pajak berstatus bujangan atau sudah berkeluarga tidak dipersoalkan, sebab status Wajib Pajak tidak akan berpengaruh terhadap besar kecilnya jumlah pajak yang harus dibayar. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai

Mustaqiem 113

Barang dan Jasa, Pajak Hotel dan Restauran, bagi Wajib Pajak dengan status apapun jika membeli Barang Kena Pajak yang dikonsumsi di dalam negeri akan dikenakan tarif pajak dengan prosentase sama yaitu 10%. Demikian pula dalam hal membayar Pajak Hotel dan Restoran tidak dikaitkan dengan status Wajib Pajak, ia akan dikenakan pajak sebesar 10%, demikian pula dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan tidak juga didasarkan pada status wajib pajak. Selain itu, pajak-pajak objektif dipungut karena :106 a) Keadaan 1. Adanya kekayaan dalam negara pemungut pajak, misalnya pajak kekayaan wajib pajak luar negeri, “Verponding Bangunanz; 2. Adanya pendapatan dalam negara pemungut pajak, misalnya pajak pendapatan wajib pajak luar negeri, pajak upah, “Verponding bukan bangunan” (ongebouwd); 3. Ada obyek dalam negara pemungut pajak, seperti Pajak Rumah Tangga, Pajak Anjing, Pajak Senjata Api, Pajak Kendaraan Bermotor, dan sebagainya. b). Perbuatan-perbuatan 1. Ada pemindahan atau peralihan kekayaan dalam wilayah negara pemungut pajak, misalnya Bea Balik Nama dari persetujuan pemindahan (overeenkomst tot overdracht ) harta tak gerak, Bea Pemindahan (Recht van Overgang), Meterai Modal, Pajak Penjualan; 106

Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 31-32

114

Pendahuluan

2. Ada perbuatan-perbuatan hukum lainnya dalam wilayah negara pemungut, misalnya bea meterai; 3. Ada pemindahan atau peralihan barang dalam wilayah negara pemungut, misalnya bea masuk atau bea keluar; 4. Dilakukan pemakaian pengeluaran (vertering) dalam wilayah negara pemungut, misalnya Cukai, Pajak Potong Pajak Lotere. c). Kejadian Bea balik nama karena pemindahan warisan. c. Pajak Umum dan Pajak Daerah107 Kenyataannya, suatu negara bisa berbentuk federal maupun kesatuan. Negara, berbentuk apapun pasti membuat kebijakan yang mengatur bidang perpajakan. Semisal di negara federal dikenal adanya Pajak Negara Federal (Pajak umum) dan Pajak Negara Bagian. Demikian pula di negara kesatuan terdapat dua macam pajak yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa di masing-masing tingkatan pemerintahan dalam negara yang berbentuk apa pun memerlukan dana yang berasal dari sektor pajak untuk kepentingan penyelenggaran pemerintahan. Pemahaman Pajak Umum dan Pajak Daerah, adalah sebagai berikut: a. Pajak Umum, pajak ini dibagi dalam 7 golongan, ialah : 1. Pajak-pajak persoonlijk atas sisa-sisa (overschotten) 107

Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 36

Mustaqiem 115

2.

3. 4.

5. 6. 7.

termasuk Pajak Pendapatan atas penduduk. Sisa adalah jumlah tertentu sebelum pemungutan pajak. Dalam ketentuan pajak ini juga diperhatikan daya pikul wajib pajak; Pajak-pajak zakelijk atas sisa-sisa (overschotten) termasuk Pajak Pendapatan atas bukan penduduk, Pajak Perseroan, Pajak Upah, Pajak Verponding bukan bangunan. Dalam pajak ini, keadaan wajib pajak tidak diperhatikan; Pajak-pajak atas kekayaan, seperti Pajak Kekayaan, Verponding Pembangunan; Pajak-pajak atas tambahannya kekayaan, seperti Bea Balik Nama dan Bea pemindahan karena memperoleh harta tetap sebagai warisan atau dalam hibah wasiat; Pajak langsung atas pemakaian, seperti Pajak Rumah Tangga, Pajak Anjing, Upah-lelang; Pajak tidak langsung atas pemakaian, seperti Bea Masuk, Cukai, Pajak Peredaran dan Pajak Potong Hewan; Pajak-pajak yang menaikkan ongkos-ongkos produksi, seperti Bea Balik Nama atas perjanjian penyerahan dan atas akte-akte mengenai kapal dan juga Bea Meterai atas tanda-tanda (stukken) yang bersifat “privaatrechtelijk”. Pajak ini ditujukan sebagai pengganti kerugian kepada Pemerintah yang telah mengerjakan sesuatu bagi para produsen.

b. Pajak Daerah Pajak daerah ini timbul karena kekuasaan yang diberikan kepada Dewan-Dewan Daerah seperti tercantum

116

Pendahuluan

dalam Ordonansi Dewan-Dewan Lokal (Locale raden Ordonnantie, Stbl. 1905 No. 181). Pasal 49 ayat (1) menentukan bahwa “Dewan-dewan ini diberi kekuasaan untuk dengan syarat memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, menetapkan peraturan peraturan bagi daerahnya masing-masing tentang pemungutan pajak-pajak untuk memperkuat keadaan keuangannya dalam daerahdaerah itu”. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak yang dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang bersangkutan, hasil pemungutan pajak dipergunakan untuk membiayai keperluan rumah tangga daerah yang bersangkutan sebagai badan hukum publik. Pendapat lain mengatakan bahwa Pajak Daerah adalah Pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. 108 Pajak Daerah juga merupakan pajak yang dipungut oleh Daerah Swatantra (Propinsi, Kabupaten, Kota) untuk pembiayaan rumah tangganya.109 Perkembangan selanjutnya, setiap peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pengaturan Pemerintahan Daerah memuat dasar kewenangan daerah memungut pajak, seperti dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, Pasal 55, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 108 109

Hamdani Aini, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm.196 Munawir, op. cit., hlm.47

Mustaqiem 117

79; demikian pula oleh Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 157 (Pasal 55, 79, dan 157 semuanya menetapkan sumber-sumber pendapatan daerah, salah satunya berasal dari pendapatan asli daerah yang terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah). Perubahan peraturan perundang-undangan tersebut juga diikuti perubahan pengertian pajak, seperti pengertian Pajak Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Pasal 1 ayat (1) ialah: “iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah”. Keterangan di atas menunjukkan bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah, sehingga dapat untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Penggolongan pajak tersebut sudah barang tentu kesemuanya juga mempunyai sifat maupun fungsi. Sebab, dalam prakteknya penggolongan ini seringkali hanya dipakai untuk memudahkan pekerjaan di dalam praktek, jadi hanya sekedar sebagai alat untuk menunjukkan pajak-pajak mana saja yang diperlukan dalam

118

Pendahuluan

bentuk peraturan perundang-undangan. Namun, penggolongan pajak juga digunakan untuk tujuan ilmiah (wetenschappelijk doel). Hukum pajak harus selalu memperhatikan ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu itu, tetapi yang lebih perlu adalah harus selalu awas dan waspada terhadap prinsip yang menjadi dasar suatu pengenaan pajak, memegangnya erat-erat sebagai pegangan yang teguh dan mengawasi terjelmanya prinsip-prinsip itu. Menurut Andriani, seperti yang dikutip Santoso Brotodihardjo, yang terpenting adalah lebih mengutamakan pembedaan dan pembagian yang didasarkan atas ciri-ciri yang mempunyai arti prinsipil, yaitu yang terdapat pada pembedaan antara pajak subjektif dan pajak objektif. 110 7. Sistem Hukum Pajak Indonesia Pembahasan sistem hukum pajak Indonesia, akan diawali dengan berbicara mengenai sistem hukum nasional, karena hal ini dapat membantu dalam menjelaskan hal tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan, adanya berbagai macam pendapat tentang suatu hal merupakan hal yang wajar sering terjadi. Seperti halnya yang terjadi terhadap sistem hukum nasional, adapun beberapa pendapat tentang sistem hukum nasional, seperti yang dikutip Abdurrahman ialah 111 adalah sebagai berikut: a. Pendapat JCT. Simorangkir mengatakan bahwa sistem 110

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 36 Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.145-149 111

Mustaqiem 119

hukum nasional adalah segala hukum yang berlaku secara nasional dan sah di seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke, dari Banda Aceh sampai Irian Jaya (Papua), yang dibuat oleh badan-badan atau lembagalembaga nasional yang berwenang. b. Pendapat Satjipto Rahardjo, sistem hukum nasional ialah tata hukum baru yang lahir sebagai akibat dari kemerdekaan bangsa Indonesia dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai intinya. c. Menurut Daniel S. Lev mengatakan bahwa “The Term“ Hukum Nasional” (national law) has two connotation : one meaning exacly, national in contrast with the local; the other more prevalent during the last two decades meaning the law of independent Indonesian as opposed to law originating in the colony”. d. Pendapat Moh. Koesnoe, mengatakan bahwa : 1. Hukum Nasional ialah hukum yang dinyatakan berlaku secara nasional oleh pembentuk undangundang nasional; 2. Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber dan menjadi pernyataan langsung dari tata budaya nasional; 3. Hukum Nasional ialah hukum yang bahan-bahannya (baik idiil maupun riil) primair adalah dari kebudayaan nasional sendiri dengan tidak menutup kemungkinan memasukkan bahan-bahan dari luar sebagai hasil pengolahan dibawa oleh perhubungan dengan luar nasional; 4. Hukum Nasional sebagai pengertian politis yakni perlawanan antara Nasional dan Kolonial.

120

Pendahuluan

Berdasarkan pengertian sistem hukum nasional tersebut, maka pengertian sistem hukum pajak nasional tidak akan jauh berbeda, karena secara konstitusional kewajiban negara membuat hukum pajak sudah ditetapkan dalam Pasal 23 A Undang Undang Dasar 1945. Begitu pula syarat formal pembuatan hukum (pajak) telah ditetapkan di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang dimaksud sistem hukum pajak Indonesia, ialah : “Sistem hukum di bidang perpajakan yang dibuat sesuai dengan ketentuan formal dalam Undang Undang Dasar 1945 maupun peraturan perundangundangan lainnya yang dipergunakan sebagai dasar hukum pengaturan bidang perpajakan dan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia”.

BAB II

PENGATURAN BIDANG PERPAJAKAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM PAJAK INDONESIA

A. Hukum Pajak Indonesia Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas Staatssouvereiniteit, yaitu kedaulatan setiap negara untuk dan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumahtangganya sendiri dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar Negara serta bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain.112 Sesuai dengan asas yang dimaksud di muka maka Belasting-souvereiniteit sebagai species dari genus Staatssouvereiniteit, merupakan kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak. Kekuasaan ini terdiri atas :113 1. kekuasaan untuk membikin undang-undang nasional; 2. kekuasaan untuk melaksanakannya, yaitu kekuasaan untuk menetapkan pajak sesuai dengan “Tatbestand” yang berakibat timbulnya hutang pajak, untuk mengontrol apakah dan sejauh mana keterangan-keterangan yang diterimanya, baik dari pihak wajib pajak maupun pihak 112 113

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm.124 Ibid.

122

Pengaturan Bidang Perpajakan...

ketiga sesuai dengan kenyataan yuridis maupun ekonomis serta menagih hutang pajak dari yang bersangkutan, lengkap dengan tindakan-tindakan paksaannya termasuk dalam kekuasaan eksekutif. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Staatssouvereiniteit dibatasi norma-norma dalam hukum antar negara, demikian juga halnya dengan Belasting-souvereiniteit. Sebagai bukti adalah bahwa setiap negara boleh mengatur undang-undang pajaknya menurut kehendak sendiri, asal saja tidak masuk sebagai larangan-larangan yang tersimpul dalam normanorma hukum antar negara, seperti hukum antar negara yang memuat asas “territorialiteit” yang menentukan bahwa suatu negara, di luar wilayahnya (antara lain juga) dalam lapangan pajak tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan penetapan, kontrol dan eksekutif.114 Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, perencanaan dan penetapan konsep mengenai sistem pengelolaan kehidupan berbangsa diserahkan sepenuhnya kepada sebuah bangsa sesuai dengan cita–cita untuk kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.115 Secara teoritis dapat dikatakan bahwa semua bangsa menuangkan pokok-pokok pandangan, pendirian, prinsip konseptual, mengenai pengelolaan kehidupannya di dalam Konstitusi, baik tertulis (written constitution) maupun tidak tertulis (unwritten constitution). Undang-Undang Dasar 114 115

Ibid. Solly Lubis, Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 2

Mustaqiem 123

sebagai konstitusi tertulis umumnya mengemukakan latar belakang hasrat bernegara, landasan filosofi kenegaraan, tujuan negara, struktur organisasi dan mekanisme pemerintahan negara yang diinginkan oleh bangsa yang mendirikan dan mempertahankan negara itu.116 Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat memiliki hak untuk mengatur kehidupannya (termasuk di bidang perpajakan) sesuai dengan UndangUndang Dasar. Hak mengatur bidang perpajakan yang dilakukan oleh negara secara yuridis konstitusional saat ini berpedoman pada Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Jika ditelaah lebih lanjut, pasal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan bidang perpajakan bukan hanya sekedar hak, tetapi merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara, sekaligus sebagai bentuk identitas dalam pengaturan bidang perpajakan. Kewajiban negara mengatur bidang perpajakan harus didasarkan atas hukum, karena Indonesia berstatus sebagai negara hukum, maka segala tindakannya (termasuk bidang perpajakan) harus didasarkan atas aturan hukum. Sebagaimana pendapat van Wijk, seperti yang dikutip oleh Sri Soemantri Martosuwignjo, bahwa unsur-unsur negara hukum ada 4 (empat), terdiri atas : 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara); 116

Ibid., hlm. 4

124

Pengaturan Bidang Perpajakan...

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).117 Sebagai konsekuensi logis dari pilihan untuk mendirikan negara hukum, maka upaya untuk memungut pajak dari masyarakat juga harus berdasarkan hukum. Hukum menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak, karena pemungutan pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pajak, berrikut akan diuraikan lebih detil tentang beberapa pengertian pokok dari terminologi perpajakan. 1. Pengertian Hukum Pajak Indonesia Sebelum sampai pada pengertian hukum pajak Indonesia, terlebih dahulu akan dibahas mengenai hukum nasional. Menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, hukum nasional dapat diartikan sebagai hukum yang berlaku secara nasional dan dihadapkan secara bertentangan dengan hukum yang berlaku secara lokal, yaitu hukum adat.118 Meskipun hukum adat tidak dapat disejajarkan dengan klasifikasi hukum yang lain, seperti hukum tata negara, hukum administrasi dan sebagainya.119 Sekarang ini hukum yang berlaku secara lokal bukan hanya terbatas hukum adat saja, tetapi juga Peraturan Daerah yang 117

Sri Soemantri Martosuwignjo, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya Dalam sistem Hukum Nasional (makalah) dalam “Politik Pembangunan Hukum Nasional”, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 28 118 Abdurrahman, Beberapa Aspekta Tentang Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 147 119 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm.125

Mustaqiem 125

merupakan hukum tertulis, seperti Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur pemungutan Pajak Daerah. Menurut Moh. Koesnoe, 1979, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa istilah hukum nasional sebetulnya hanyalah sekedar memberi sesuatu tekanan yang lebih jelas untuk menyatakan hukum mana dilihat dari segi tata ruang dan orangnya yang terdapat dalam suatu wilayah tertentu bagi orang-orang yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan. 120 Mengenai konsep tersebut, ia menyatakan bahwa: “hukum nasional sebagai hukum yang dinyatakan berlaku secara nasional oleh pembentuk undangundang nasional”. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa pengertian hukum pajak Indonesia adalah : “Peraturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya yang dipergunakan untuk mengatur bidang perpajakan di Indonesia”. Ketentuan formal yang harus dipergunakan sebagai pedoman dalam pembuatan hukum pajak sudah diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945. Pasalpasalnya adalah sebagai berikut : a. Pasal 5 ayat (1) : “Presiden berhak mengajukan rancangan undang undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. b. Pasal 20 : (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang; 120

Ibid., hlm. 148

126

Pengaturan Bidang Perpajakan...

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; c. Pasal 21 : “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan usul rancangan undang-undang” Berdasarkan ketentuan tersebut, proses pembuatan undang-undang sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Dasar 1945 harus diikuti dan ditaati. Konstitusi menurut pengertian hukum adalah norma-norma yang mengatur proses pembuatan undang-undang.121 Apabila proses pembuatan peraturan perundang-undangan bidang pajak tidak memenuhi ketentuan atau syarat formal yang ditetapkan, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah cacat hukum dan tidak layak untuk diundangkan atau diberlakukan sebagai sebuah peraturan perundang-undangan. Produk hukum pajak pusat yang dibuat oleh pemerintah selain dipergunakan sebagai landasan pemungutan pajak pusat juga dipergunakan untuk menetapkan macam atau jenis-jenis Pajak Daerah. Seperti halnya Undang-Undang Nomor 11/Drt /1957 tentang Pajak Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan 121

Hans Kelsen, op. cit., hlm. 258

Mustaqiem 127

perpajakan tersebut, selain untuk mengatur Pajak Pusat dan menentukan jenis-jenis Pajak Daerah, sebenarnya secara yuridis memiliki tujuan untuk memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur undang-undang”. Tanpa adanya peraturan perundang-undangan, maka siapapun (termasuk negara) tidak mempunyai hak melakukan pemungutan pajak. Apabila sebuah negara melakukan pemungutan pajak terhadap masyarakat tanpa peraturan perundang-undangan, maka tindakan tersebut bukan merupakan pungutan pajak tetapi merupakan pungutan liar. Ketentuan Pasal 23 A UUD 1945 harus ditaati dalam pemungutan pajak, ketaatan itu merupakan konsekuensi logis bagi Indonesia yang berstatus sebagai negara hukum. Asas legalitas (legalitietsbeginsel) merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem continental.122 Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara, seperti dalam praktek di Inggris terkenal ungkapan : “No taxation without representation” atau tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen. Sedangkan di Amerika dikenal ungkapan “Taxation without representation is robbery” atau pajak tanpa persetujuan parlemen adalah 122

L. Prakke en C.A.J.M. Kortmann, Het Bertuursrecht van de Landen der Europese Gemeenschappen, Kluwer-Deventer, 1986

128

Pengaturan Bidang Perpajakan...

perampokan. Berdasar hal tersebut berarti pemungutan pajak hanya boleh dilakukan oleh negara setelah ada peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar hukum penetapan dan pemungutan pajak. Asas ini dinamakan kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet).123 Peraturan perundang-undangan dimaksud, seperti : (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai dan Undang Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 5 A ayat (1) mengatur tentang pengawasan pemerintah terhadap produk peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan bidang Perpajakan Daerah, Pemerintah Daerah tidak memiliki “kebebasan penuh” sebab masih ada pengawasan dari Pemerintah Pusat. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah tidak sekedar mengawasi tetapi sekaligus juga melakukan evaluasi terhadap substansi Peraturan Daerah yang dipergunakan sebagai dasar hukum Pajak Daerah. Pengawasan itu dilakukan untuk mengetahui apakah substansi Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan 123 H.D. van Wijk / Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Utrecht, 1995, p. 41

Mustaqiem 129

perundangan-undangan diatasnya atau tidak, untuk menentukan hasil evaluasi tersebut diperlukan adanya keputusan dari pemerintah yang harus disampaikan kepada Daerah. Keharusan Pemerintah Pusat membuat keputusan terhadap hal yang dimaksud dibatasi oleh waktu. Apabila melampui batas waktu yang sudah ditetapkan ternyata Pemerintah Pusat tidak dapat membuat suatu keputusan hasil evaluasi terhadap Peraturan Daerah dimaksud, maka Peraturan Daerah boleh dilaksanakan demi hukum walaupun secara substansi bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Kondisi ini yang perlu dicegah agar tidak terjadi, karena boleh jadi ada Peraturan Daerah yang secara yuridis sudah diberlakukan tetapi dikemudian hari diketahui bahwa substansinya bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Persoalan yang muncul adalah siapa yang harus bertanggungjawab dan bagaimana status hukum dari akibat yang ditimbulkan oleh peraturan daerah tersebut baik bagi pemungut pajak maupun bagi penanggung atau pembayar pajak. Hukum pajak memberikan kejelasan posisi bagi semua pihak yang terkait pemungutan pajak (Pemerintah Pusat maupun Daerah dan pembayar pajak), sehingga mereka dapat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Implikasinya, jika Wajib Pajak merasa dirugikan oleh pemerintah (fiscus), mereka dapat mengajukan Surat Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan selanjutnya Direktur Jenderal Pajak akan membuat keputusan atas

130

Pengaturan Bidang Perpajakan...

keberatan yang diterima. Jika wajib pajak belum bisa menerima keputusan tersebut, wajib pajak masih bisa melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan banding ke Pengadilan pajak. 2. Jenis-Jenis Pajak Pusat Pembaruan peraturan perundang-undangan perpajakan yang dimulai tahun 1983 berhasil menetapkan beberapa macam Pajak Nasional / Pusat yang terdiri atas: a. Pajak Penghasilan; b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; c. Bea Meterai; d. Pajak Bumi dan Bangunan; e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Kelima jenis pajak tersebut diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berbeda. Tidak semua peraturan perundang-undangan pajak dipergunakan untuk mengatur suatu jenis pajak tertentu, tetapi ada yang dipergunakan untuk mengatur pedoman umum bidang pajak secara keseluruhan, yaitu: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (hukum pajak formal umum) yang mengikat terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan pajak nasional (pusat) maupun daerah. Di luar peraturan tersebut, terdapat (hukum pajak formal khusus), seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Uraian selanjutkan akan dikemukakan mengenai karakteristik

Mustaqiem 131

masing-masing Pajak Pusat yang dapat diketahui dan dipahami melalui paparan sebagai berikut. a. Pajak Penghasilan Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984 adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Peraturan perundang-undangan tersebut telah sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945, sebab di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak-hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara maupun pembangunan nasional. Subjek Pajak Penghasilan adalah ialah (1) Orang pribadi, (2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, (3) Badan, (4) Bentuk Usaha Tetap. Subjek Pajak tersebut dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : (a) Subjek Pajak Dalam Negeri, dan (b) Subjek Pajak Luar Negeri. Dasar yang dipergunakan untuk membedakan kedua Subjek Pajak tersebut tidak terletak pada perbedaan status kewarganegaraan, tetapi didasarkan pada hal- hal yang berkaitan dengan domisili Wajib Pajak yang bersangkutan. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah : orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat

132

Pengaturan Bidang Perpajakan...

tinggal di Indonesia dan/atau badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dan/atau warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap yang dimaksud sebagai subyek pajak luar negeri adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : 1. Tempat kedudukan manajemen; 2. Cabang perusahaan; 3. Kantor perwakilan; 4. Gedung kantor; 5. Pabrik; 6. Bengkel; 7. Pertambangan atau penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; 8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

Mustaqiem 133

9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; 10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; 11. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 12. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau penanggung resiko di Indonesia. Perbedaan antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan Wajib Pajak Luar Negeri adalah sebagai berikut : 1) Wajib Pajak Dalam Negeri a. dikenakan pajak atas penghasilan, baik yang berasal dari wilayah Indonesia maupun yang berasal dari luar wilayah Indonesia (berpedoman pada asas domisili); b. pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan netto (Penghasilan Kena Pajak); c. tarif pajak yang diberlakukan adalah tarif pajak umum yang tergolong tarif progressief seperti diatur dalam pasal 17 a, dan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri dan betuk usaha tetap diatur dengan pasal 17 b Undang-Undang Pajak Penghasilan; d. wajib pajak mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (menggunakan self assessment sistem). Surat Pemberitahuan, merupakan surat yang dipergunakan wajib pajak untuk menyampaikan penghitungan dan jumlah pajak terhutang yang harus dibayar kepada Direktur Jenderal Pajak.

134

Pengaturan Bidang Perpajakan...

2) Wajib Pajak Luar Negeri a. Pajak hanya dikenakan atas penghasilan yang berasal dari wilayah Indonesia (berpedoman pada asas sumber); b. Pajak dikenakan berdasarkan penghasilan bruto (sifat pajaknya final); c. Tarif pajak yang diterapkan adalah tarif sepadan (propotional) sebagaimana diatur pasal 26 UndangUndang Pajak Penghasilan; d. Wajib pajak tidak mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pem-beritahuan (tidak menggunakan self assesment sistem). Obyek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Tarif progressieef merupakan pilihan tarif yang dipergunakan atau diterapkan dalam pengenaan Pajak Penghasilan. Tarif progressief adalah tarif pajak yang presentase pengenaannya naik apabila semakin besar jumlah uang yang akan dikenakan pajak. Tarif Pajak Penghasilan yang dikenakan bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah 5%, 10%, 15%, 25% dan 35%. Tarif pajak yang dikenakan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah 10%, 15% dan 30%. Dilihat dari aspek keadilan, tarif progresif dapat memberi rasa keadilan kepada wajib pajak. Sebab dengan

Mustaqiem 135

menggunakan tarif ini wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak berjumlah banyak, maka ia memiliki kewajiban membayar pajak dengan jumlah yang besar pula dan demikian sebaliknya. Penggunaan tarif ini bisa juga menumbuhkan kembali sifat kegotong-royongan dalam membiayai penyelenggaraan negara. Sifat pembayaran pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pajak final dan pajak belum final. Pajak final adalah pajak penghasilan yang sudah dibayarkan dan tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar dalam satu tahun pajak. Sedang Pajak belum final adalah pajak penghasilan yang sudah dibayarkan tetapi masih dapat diperhitungkan sebagai faktor untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar dalam satu tahun pajak. Peraturan perundang-undangan pajak penghasilan memberikan pengurangan bagi orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak yang besarnya sebagai berikut : a. Rp. 2.880.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp. 1.440.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp. 2.880.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; d. Rp. 1.440.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga.

136

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ketenttuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diatas sudah dirubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 564/KMK.03/2004 tanggal 29 Nopember 2004 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Keputusan tersebut mulai berlaku pada tahun pajak 2005 dan perhitungannya berubah menjadi : a. Rp. 12.000.000,- untuk diri wajib pajak; b. Rp. 1.200.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin; c. Rp. 12.000.000,- untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; d. Rp. 1.200.000,- untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Perkembangan terbaru tentang ketentuan besarnya penghasilan tidak kena pajak telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 137/ PMK.03/2005. Angka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berubah menjadi : a. Rp. 13.200.000,- untuk diri Wajib Pajak; b. Rp. 13.200.000,- untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; c. Rp. 1.200.000; untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga; d. Rp. 1.200.000,- untuk bonus bagi wajib pajak yang berkeluarga.

Mustaqiem 137

Perubahan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan dilihat dari aspek hukum adalah sah. Karena UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 7 ayat (3) menetapkan bahwa : “penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”. Bagi Wajib Pajak Badan, beban final akan dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan Pajak Penghasilan. Biaya-biaya yang dimaksud meliputi : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk pembelian bahan, biaya yang berkaitan dengan pekerjaan atau jasa, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, pajak kecuali pajak penghasilan, piutang yang tidak dapat ditagih; b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun; c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing; e. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan;

138

Pengaturan Bidang Perpajakan...

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan; h. kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya dalam 5 tahun; i. Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri. j. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ditentukan dengan Keputusan Menteri Keuangan; k. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; l. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak dalam negeri sudah beberapa kali mengalami perubahan, hal tersebut dilakukan untuk mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat yang senantiasa terjadi. Istilah lainnya adalah bahwa kehidupan masyarakat itu bersifat dinamis sedangkan hukum positif bersifat statis, sehingga hukum positif yang tidak dapat dipergunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang dinamis tersebut

Mustaqiem 139

harus diperbaharui. Jadi perubahan kehidupan masyarakat akan terus berlanjut dan yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Atas Barang Mewah Pajak ini dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Sebenarnya undang-undang ini tidak hanya mengatur Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, tetapi juga mengatur Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hal itu berarti bahwa satu aturan hukum dipergunakan sebagai dasar hukum untuk mengatur dua macam pajak yang memiliki obyek dan tarif pajak yang tidak sama. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dikenakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak biasa maupun terhadap Penyerahan Jasa Kena Pajak, sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dapat dilakukan beberapa kali mengikuti perjalanan Barang Kena Pajak (contoh Barang Kena Pajak dari Pabrikan ke Agen, Agen ke Dealer, Dealer ke Konsumen). Pada hakekatnya, yang akan menanggung beban Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa adalah pihak konsumen, sedangkan pihak Pengusaha Kena Pajak bukan sebagai pihak penanggung pajak akan tetapi terbatas sebagai pihak yang dibebani tugas memungut Pajak Pertambahan Nilai Barang dari para konsumen atau yang disebut sebagai pihak

140

Pengaturan Bidang Perpajakan...

ketiga. Hasil pemungutan tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak (pemungut) harus disetorkan ke Kas Negara dan apabila tidak disetorkan ke Kas Negara maka pengusaha dimaksud dinilai telah menggelapkan pajak dari pihak ketiga, sehingga tindakan tersebut harus dijatuhi hukuman. Akibat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dilakukan beberapa kali, maka setiap Pengusaha Kena Pajak dapat mengkreditkan antara pajak masukan dengan pajak keluaran. Pajak Masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan/atau penerimaan jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor barang kena pajak. Pajak Keluaran adalah pertambahan nilai terhutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak. Untuk kepentingan mengkreditkan, pengusaha kena pajak diwajibkan melakukan pembukuan atas usahanya dan sekaligus membuat faktur pajak. Khusus Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya dipungut satu kali, yaitu pada tingkat Pabrikan dan/atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dan tidak ada ketentuan tentang menkreditkan antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pengusaha yang diperbolehkan mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran terbatas bagi pengusaha

Mustaqiem 141

yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, sedangkan Pengusaha Bukan Pengusaha Kena Pajak tidak boleh mengkreditkan dan sekaligus tidak boleh membuat faktur pajak. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dikenakan atas : 1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; 2. impor Barang Kena Pajak; 3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Tarif Pajak yang diberlakukan bagi Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa adalah tarif sepadan atau proportioneel. Tarif sepadan atau propotioneel adalah tarif dengan presentase pengenaan yang tidak berubah meskipun pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak. Besar tarif pajak adalah 10% bagi Barang Kena Pajak yang dikonsumsi di dalam negeri dan 0 % bagi Barang Kena Pajak yang di ekspor atau dibawa ke luar negeri. Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, tarif tersebut dapat dirubah dengan Peraturan Pemerintah menjadi serendahrendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Perubahan tarif cukup berdasarkan Peraturan Pemerintah yang hal ini menunjukkan adanya pendelegasian kewenangan.

142

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ditinjau dari aspek hukum, perubahan tarif yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah adalah sah karena peraturannya menghendaki demikian (didasarkan pada delegation of authority). Hal tersebut diatur dalam UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa, Pasal 7 ayat (3) yang menetapkan : “Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)”. Hal demikian akan berubah jika substansi peraturan perundang-undangan tidak secara nyata menetapkan bahwa perubahan tarif pajak harus melalui terbitnya Peraturan Pemerintah, maka perubahan tarif pajak harus dilakukan berdasarkan undang-undang. Bagi Pajak Penjualan Atas Barang Mewah diterapkan tarif progressief, sehingga presentase tarifnya berbeda antara Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang satu dengan lainnya, hal ini disebabkan karena perbedaan kemewahan barang yang bersangkutan. Pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dilakukan oleh Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk penentuan jenis barang yang akan dikenakan tarif pajak ditentukan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Tarif pajak penjualan atas barang mewah paling rendah 10% dan paling tinggi 75% dan atas ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%. Di dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa tidak diketemukan ketentuan mengenai

Mustaqiem 143

dasar hukum apa yang dipergunakan untuk merubah tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah, oleh karena itu apabila dilakukan perubahan tarif pajak maka dianggap sah apabila landasan hukum perubahannya adalah undang-undang. Terdapat juga ketentuan yang menetapkan bahwa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa hanya dapat dilakukan apabila ada peristiwa tertentu, seperti “penyerahan” Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka pajak ini tergolong Pajak Tidak Langsung. Selain itu, pajak ini dapat dinamakan juga sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri, sebab yang dikenai pajak terbatas hanya Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dikonsumsi di dalam negeri. c. Pajak Bumi dan Bangunan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada awalnya berdasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. Selanjutnya guna menampung perkembangan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat yang dinamis, serta untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan, maka perlu diadakan perubahan atas undang-undang tersebut. Selanjutnya undang-undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Perubahan juga dilakukan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan, memberikan kepastian hukum, memberikan rasa keadilan, supaya mudah dimengerti, serta untuk mencegah terjadinya pemungutan pajak ganda.

144

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman, termasuk rawa-rawa tambak perairan, serta laut wilayah Republik Indonesia. Pengertian bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas tanah atau perairan. Tidak semua obyek pajak dikenai Pajak Bumi dan Bangunan, sebab Undang Undang Pajak Bumi dan Bangunan menetapkan adanya beberapa objek pajak yang dikecualikan tidak dikenakan Pajak, dikarenakan: 1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain : a. bidang ibadah ( tempat - tempat ibadah); b. bidang kesehatan (rumah sakit); c. bidang pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren); d. bidang sosial (panti asuhan); e. bidang kebudayaan nasional (museum). 2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu; 3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu; 4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Pada dasarnya Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan berpedoman pada self assesment sistem, menurut sistem ini tugas Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak.

Mustaqiem 145

Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah Surat Pemberitahuan Objek Pajak diterima oleh aparat pajak, selanjutnya aparat pajak berpedoman pada surat tersebut akan menentukan besar kecilnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang. Dasar pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan adalah undang-undang, maka pajak ini termasuk Pajak Pusat. Atau menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 ditegaskan bahwa hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan Negara. Meskipun termasuk pajak pusat, tetapi presentase besar hasil pemungutannya dikembalikan kepada Daerah. Ketetapan tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pasal 6 ayat (2) menetapkan bahwa: “Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah”. Berdasar Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan bahwa 90% yang merupakan bagian daerah diperinci lagi ke dalam ketentuan sebagai berikut : a. 16, 2% (enam belas koma dua perseratus) untuk daerah Propinsi yang bersangkutan; b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan perseratus)

146

Pengaturan Bidang Perpajakan...

untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan; c. 9% (sembilan perseratus) untuk biaya pemungutan. Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian Pemerintah Pusat sebesar 10% (sepuluh perseratus) berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 akan dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota ditentukan sebagai berikut: a. 65% (enam puluh lima per-seratus) dibagikan secara merata kepada Daerah Kabupaten/Kota; b. 35% (tiga puluh lima per-seratus) dibagikan sebagai insentif Daerah Kabupaten/Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampui rencana penerimaan yang ditetapkan. Ketetapan di atas dapat digarisbawahi bahwa posisi Pemerintah Pusat dalam bidang Pajak Bumi dan Bangunan hanya terbatas membuat serta menetapkan undang-undang, melaksanakan pemungutan, mengadministrasikan kegiatan, dan hasil penerimaan pajak dikembalikan ke Daerah Kabupaten/Kota. Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah yang akan digunakan untuk mendukung operasional pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. d. Bea Meterai Bea Meterai merupakan salah satu pajak yang berlaku di Indonesia. Pengenaan Bea Meterai pada awalnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985,

Mustaqiem 147

Lembaran Negara 1985 Nomor 69. Pengundangan undangundang ini bersamaan waktunya dengan pengundangan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yaitu pada tahun 1985. Dengan diundangkannya undang-undang ini, maka Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921, Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) telah dicabut dan mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali adalah dengan Undang-Undang Nomor 2 Prp/Tahun1965 (Lembaran Negara 1965 Nomor 121) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38). Bea Materai adalah pajak atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, dan kenyataan bagi seseorang dan/ atau pihak-pihak yang berkepentingan. Klasifikasi dokumen yang terkena tarif Bea Meterai Rp. 6.000,00, yaitu: a. Surat perjanjian dan surat-surat lain (antara lain: Surat kuasa, Surat hibah dan Surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya; c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, termasuk rangkapannya; d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00 yang menyebutkan penerimaan; menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; berisi pemberitahuan saldo rekening

148

Pengaturan Bidang Perpajakan...

di bank; berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan; e. Surat–surat berharga, seperti wessel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00; f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00; g. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, seperti surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk olahraga lain, lain dari maksud semula. Dokumen-dokumen yang harus dikenakan Bea Meterai seharga Rp. 3.000, 00 meliputi : a. Surat yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00; yaitu : (1) yang menyebutkan penerimaan uang; (2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; (3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; (4) berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan; b. Surat-surat berharga, seperti : wessel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp.. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00; c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00 d. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapapun.

Mustaqiem 149

Tarif Bea Meterai tidak menggunakan tarif sepadan (proportioneel), pilihan pengenaan tarif Bea Meterai ditentuan menurut jumlah uang yang ditulis dalam dokumen maupun ditentuan oleh fungsi dokumen yang dimaksud. Undang-Undang Bea Meterai menetapkan saat terhutangnya Bea Meterai dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Jika terkait dengan dokumen yang dibuat oleh satu pihak, maka saat terhutangnya Bea Meterai pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak kedua untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan saat ditandatangani seperti kuitansi dan cek; 2. Apabila dokumen yang dimaksud dibuat oleh lebih dari satu pihak, saat terhutangnya Bea Meterai pada saat dokumen itu telah selesai dibuat dan diakhiri dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Contoh perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa rumah, perjanjian kerja; 3. Bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri, Bea Meterai terhutang pada saat digunakan di Indonesia. Cara Pelunasan Bea Meterai dengan pemeteraian kemudian. Apabila terdapat dokumen yang tidak atau kurang dilunasi Bea Meterainya, maka akan dikenai denda adminsitarsi sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang di bayar. Adapun cara pelunasan terhadap tidak atau kurang di lunasi Bea Meterainya adalah dengan cara pemateraian kemudian. Dan pemateraian kemudian ini dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

150

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Secara teknis langkah-langkah tersebut akan mengalami kesulitan, kecuali muncul kasus sengketa yang akhirnya dapat mengungkap masih ada Bea Meterai yang terhutang karena belum atau tidak di bayar. Daluwarsa kewajiban memenuhi Bea Meterai ditetapkan selama 5 (lima) tahun, terhitung semenjak tanggal dokumen dibuat. Adanya batas waktu tersebut menunjukkan bahwa dalam pengenaan Bea Meterai ada kepastian hukumnya. Jika uraian tersebut diperhatikan, dapat disebutkan bahwa dalam pengenaan Bea Materai menggunakan Self Assesment System, sama sekali tidak menggunakan Official Assesment System. Karena dalam memilih harga untuk melunasi Bea Materai apakah Rp. 3.000,00 atau yang Rp. 6.000,00 sepenuhnya diserahkan kepada orang yang memiliki kepentingan terhadap suatu dokumen tertentu, tetapi penanggung Bea Meterai harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Bea Materai. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa dalam memenuhi kewajiban melunasi Bea Materai pada awalnya bukan didasarkan adanya pemaksaan, akan tetapi berdasar atas kesadaran dari pihak-pihak yang merasa berkepentingan dengan dokumen yang harus dilunasi Bea Meterainya. Sebab bisa terjadi Wajib Pajak atas Bea Meterai dengan sengaja tidak mau melunasi kewajibannya membayar Bea Materai dengan pertimbangan bahwa dokumen tidak akan dipergunakan untuk menyelesaikan kasus sengketa dengan pihak lain. Hal tersebut tentu saja tidak akan dapat terdeteksi, sehingga

Mustaqiem 151

negara dirugikan karena banyak yang tidak atau belum membayar Bea Meterai. e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Undang-undang yang mengatur Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Berdasar Pasal 2 ayat (1) yang dimaksud objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi pemindahan hak karena (a) jual beli; (b) tukar-menukar; (c) hibah, (d) hibah wasiat; (e) waris; (f) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; (g) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; (h) penunjukan pembeli dalam lelang; (i) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; (j) penggabungan usaha; (k) peleburan usaha; (l) pemekaran usaha; (m) hadiah. Berdasarkan undang-undang ini ada beberapa obyek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang diperoleh, antara lain : a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasar asas perlakuan timbal-balik; b. Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. Badan/perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan/perwakilan organisasi tersebut;

152

Pengaturan Bidang Perpajakan...

d. Orang pribadi atau badan karena konvensi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Orang pribadi atau badan karena wakaf; f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Subyek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Tarif yang dikenakan bagi pajak ini adalah tarif yang bersifat sepadan atau propotional, karena tarif yang diberlakukan hanya satu macam yaitu 5% (lima persen). Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak. Pemungutan pajak tersebut menggunakan self assessment system, hal ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) “Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak”. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan tergolong Pajak Pusat, namun hasil pemungutan tidak hanya diperuntukkan bagi Pemerintah Pusat, tetapi juga diberikan kepada Daerah, hal tersebut diatur dalam Pasal (23) : (1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan”; (2) Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan kepada seluruh Pemerintah

Mustaqiem 153

Kabupaten/ Kota secara merata; (3) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan dan 60% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Dalam hal pemungutan pajak tersebut, Pemerintah Pusat bertindak sebagai pihak yang membuat landasan hukum dan mengadministrasikan pemungutan sedangkan pihak Pemerintah Daerah adalah pihak yang menikmati sebagian besar hasilnya. Sanksi pelanggaran terhadap ketentuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak hanya berupa sanksi denda. Hal tersebut diatur Pasal 13 ayat (2) yang menetapkan bahwa : “Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam surat tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terhutangnya pajak”. Beberapa macam pajak nasional (pusat) yang didasarkan pada aturan perundang-undangan yang berbeda tersebut tidak memiliki keseragaman, seperti halnya dalam sistem pemungutan pajak, ada yang menggunakan official assessment system dan ada juga yang menggunakan self assessment system. Demikian halnya dengan macam-macam tarif pajaknya, ada yang menggunakan patokan tarif proposional (sepadan) dan ada juga yang menggunakan tarif progresief.

154

Pengaturan Bidang Perpajakan...

B. Kriteria Penilaian Pajak di Indonesia Falsafah dan landasan kriteria penilaian pajak di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya terdapat dalam ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam perpajakan Indonesia karena kedudukan peraturan perundang-undangan tersebut yang akan menjadi “ketentuan umum” bagi peraturan perundang-undangan pajak lainnya. Ketentuan umum ini merupakan salah satu hukum pajak yang mulai diberlakukan di Indonesia mulai tahun 1983. Ketentuan hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu lex generalis dan lex specialis. Lex Generalis adalah hukum yang berlaku umum dan merupakan dasar, sedangkan Lex Specialis adalah hukum khusus. Lex Generalis merupakan dasar dari Lex Specialis. 124 Berdasarkan kerangka teori tersebut, peraturan perundang-undangan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan hukum umum yang berlaku umum dan merupakan dasar (lex generalis). Tentu saja yang harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan tersebut bukan hanya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebagai landasan hukum atau lex specialis pajak pusat, tetapi juga Peraturan Daerah yang dipergunakan sebagai dasar hukum atau lex 124

Soedikno Mertokoesoemo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm.122

Mustaqiem 155

specialis Pajak Daerah. Konsekuensi dari pola pikir ini adalah bahwa pengaturan pajak di daerah dan pusat harus sama dan tidak boleh berbeda. Kesamaan itu tercermin dalam ciri atau karakteristik sistem pemungutan pajak nasional yang antara lain adalah sebagai berikut: 1. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan nasional; 2. Tanggungjawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini sebagai aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; 3. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

156

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Sistem pemungutan pajak tersebut, mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Sistem perpajakan yang baik harus mengandung segi-segi pengurusan yang baik, termasuk kepastian, biaya-biaya pembayaran dan pungutan-pungutan yang rendah, penegakannya secara hukum dan penerimaannya oleh mereka yang terkena.125 Selain itu, sistem perpajakan yang baik adalah harus independen, artinya tidak boleh memihak.126 Berdasar sistem “self assessment” semua Wajib Pajak mempunyai kewajiban mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Oleh karena itu kepada setiap wajib pajak hanya diberikan satu nomor dan nomor tersebut dipergunakan juga untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak maupun dalam pengawasan administrasi perpajakan. Orang pribadi atau Badan setelah berstatus sebagai Wajib Pajak kemudian mempunyai kewajiban lainnya yaitu mengambil, mengisi dan menyampaikan Surat 125 126

Soedikno Mertokoesoemo, op. cit., hlm. 137 Ibid., hlm. 141

Mustaqiem 157

Pemberitahuan. Ketentuan ini diatur dalam UndangUndang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 12 ayat (1) yang menetapkan bahwa : “ Setiap wajib pajak, wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (Self Assesment System). Surat Pemberitahuan merupakan surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan dibedakan menjadi dua, yaitu Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan Surat Pemberitahuan Masa (SPM). Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Surat Pemberitahuan Masa merupakan surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak. Fungsi Surat Pemberitahuan adalah : a. Sebagai sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang; b. Laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak; c. Laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang atau badan lain dalam satu masa pajak yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

158

Pengaturan Bidang Perpajakan...

d. Merupakan bahan penelitian atas kebenaran perhitungan pajak yang terhutang yang dilaporkan oleh para Wajib Pajak. Ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun pajak, sedangkan bagi Surat Pemberitahuan Masa batas waktu penyampaian paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya masa pajak. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi surat pemberitahuan tahunan dan sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) bagi surat pemberitahuan masa. Agar Wajib Pajak dapat mengisi Surat Pemberitahuan, maka ia harus membuat pembukuan atas usahanya. Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Jika dalam Tahun Pajak, Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan sesuai ketentuan yang berlaku, pihak pemungut pajak (fiscus) tetap dibolehkan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak secara jabatan yang dilakukan oleh aparat pajak (Official

Mustaqiem 159

Assesment System). Berdasar uraian tersebut, maka dalam sistem perpajakan nasional official assessment system masih perlu diberlakukan sanksi apabila wajib pajak tidak memanfaatkan self assessment system. Ketentuan ini, bukan merupakan suatu penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebab substansi peraturan perundang-undangan yang berlaku secara yuridis membolehkan cara menyelesaikan dengan Official Assessment System. Selain pihak pemungut pajak masih diperkenankan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam penyelesaian hutang pajak, pihak pemerintah (fiscus) masih dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak. Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila : 1. Pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan tidak atau kurang dibayar; 2. Hasil penelitian surat pemberitahuan menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; 3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/ atau bunga; 4. Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai tidak melaporkan kegiatan usahanya sehingga tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 5. Pengusaha Kena Pajak tidak membuat faktur pajak atau Pengusaha Bukan Pengusaha Kena Pajak membuat faktur pajak, sehingga kedua-duanya mengakibatkan kerugian bagi Negara.

160

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Fungsi Surat Tagihan Pajak adalah sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Pemberitahuan dan juga untuk mengenakan sanksi denda atau bunga, serta sebagai alat menagih hutang pajak. Tetapi ada kalanya Wajib Pajak setelah menerima Surat Tagihan Pajak tetap tidak mau membayar atau melunasi hutang pajaknya. Untuk mengatasi persoalan ini Pemerintah menetapkan UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Surat ini merupakan surat perintah membayar hutang pajak dan biaya penagihan pajak. Berdasar Pasal 8 ayat (2) Surat Paksa diterbitkan apabila : a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis; b. Terhadap penanggung pajak setelah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak atau wajib pajak. Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan,

Mustaqiem 161

atau likuidator. Penyampaian Surat Paksa tidak begitu saja dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 X 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan kepada penanggung pajak. Untuk menghindari penanggung-jawab pajak beriktikat tidak baik, maka terdapat ketentuan pencegahan maupun penyanderaan. Pencegahan dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai jumlah hutang pajak sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang diketahui memiliki iktikad tidak baik dalam melunasi hutang pajak. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Pencegahan tidak mengakibatkan hapusnya hutang pajak dan berhentinya penagihan pajak. Keputusan pencegahan disampaikan kepada : (1) Pihak yang dicegah, (2) Menteri Kehakiman, (3) Pejabat yang memohon pencegahan, (4) Kepala Daerah setempat. Langkah penyanderaan dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memiliki hutang pajak sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan diragukan iktikad baiknya dalam melunasi hutang pajak. Penyanderaan dilakukan berdasar surat perintah yang diterbitkan oleh pejabat dan memperoleh izin tertulis dari Menteri/Gubernur. Penyanderaan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Penyanderaan tidak boleh dilakukan jika penanggung pajak baru melaksanakan ibadah, mengikuti sidang resmi, dan mengikuti pemilihan umum (pemilu).

162

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Pendapat Otto Eckstein, 1981, mengatakan bahwa jika sebuah sistem suka rela dapat berhasil, maka orang-orang harus yakin bahwa pajak dikenakan dengan adil dan setiap orang membayar pajak atas bagiannya. Jika terdapat perasaan umum bahwa sistem perpajakan itu hanyalah upaya untuk mengejar orang-orang yang menghindar dari kewajiban membayar pajak, para penyelundup pajak dan mereka melihat tetangga-tetangganya sesama orang kaya membayar jauh lebih sedikit dan menikmati kehidupan atas biaya perusahaan yang bebas pajak, maka moral di kalangan Wajib Pajak akan menurun dengan deras.127 Selanjutnya pengembalian Surat Pemberitahuan untuk perhitungan pajak secara jujur tidak lagi merupakan tindakan yang didasarkan atas dasar dorongan hati nurani. Di banyak negara di dunia, baik yang kaya maupun yang miskin, tata susila di bidang pajak adalah terpisah sama sekali dari nilai-nilai sopan santun di bidang-bidang lain. Di Italia dan Perancis, yang merupakan negara-negara dengan kebudayaan tua, anggota masyarakatnya baik dari kalangan terhormat dan dari kalangan pedagang, mereka melaporkan Pendapatan Kena Pajak hanya sepersekian dari pendapatan mereka yang sesungguhnya.128 Perusahaan-perusahaan biasanya mempunyai dua macam buku, yang satu untuk keperluan sendiri dan yang lainnya untuk keperluan pemeriksaan pajak.129 Hal seperti ini tidak terjadi di 127

Otto Eckstein, Keuangan Negara, Terjemahan, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm.100-101 128 Ibid. 129 Ibid., hlm. 103

Mustaqiem 163

negara Amerika Serikat, karena kesediaan membayar pajak merupakan salah satu sumber kekuatan negara itu. Di negara AS, keadilan dalam pengenaan pajak inilah yang menjadi tulang punggung bagi terpeliharanya sistem wajib suka rela disana.130 Apa yang dimaksud dengan sistem yang adil bukanlah merupakan suatu persoalan tehnis ekonomis, melainkan suatu masalah falsafah pribadi. Meskipun demikian, beberapa prinsip telah berhasil dikembangkan sepanjang masa sehingga memberikan suatu kerangka yang dapat digunakan. Prinsipprinsip tersebut antara lain adalah prinsip manfaat131 dan prinsip kemampuan membayar.132 Prinsip kemampuan membayar mempunyai dua bagian terpisah, tidak hanya dinyatakan bahwa yang kaya harus membayar lebih banyak akan tetapi dinyatakan juga bahwa mereka yang berkedudukan serupa (misalnya berpenghasilan sama) harus membayar pajak yang sama pula. Gagasan yang kedua ini menuntut bahwa “yang sama harus diperlakukan sama” yang kemudian dikenal dengan nama kewajaran horizontal. Sedangkan pembagian beban 130

Otto Eckstein, op. cit., hlm. 105 Ibid. Prinsip manfaat menghendaki distribusi pajak yang sesuai dengan manfaat yang diterima dari pengeluaran-pengeluaran hasil pajaknya. Orangorang bersedia membayar bagi barang-barang serta jasa-jasa yang mereka terima dalam pasar bebas, mengapa tidak juga di sektor pemerintahan. Jika perpajakan melanggar prinsip manfaat, maka jasa-jasa umum merupakan suatu bentuk subsidi bagi para pemakainya, karena jasa-jasa itu diterima atas beban orang-orang lain. 132 Ibid. Prinsip kemampuan membayar adalah pedoman bagi keadilan. Di Tahun 1776, Adam Smith sudah mencatat ini sebagai hokum yang pertama dalam perpajakan, dan kebanyakan hukum tidak lagi mempersoalkan bahwa suatu sistem perpajakan yang adil menghendaki agar anggota-anggota masyarakat yang lebih kaya juga membayar pajak yang lebih besar dari pada kaum miskin. 131

164

Pengaturan Bidang Perpajakan...

pajak yang disesuaikan dengan perbedaan kemampuan orangorang yang membayarnya dinamakan kewajaran vertical.133 Baik kewajaran horizontal maupun vertical keduanya diterapkan dalam pemungutan pajak di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut selanjutnya akan diuraikan ketentuan-ketentuan yang mendukung, sebagai berikut : 1) Dalam hal pemungutan Pajak Penghasilan, apabila ada dua Wajib Pajak yang berbeda profesi tetapi penghasilan kena pajak besarnya sama, yaitu Rp. 5.000. 000,- maka keduannya akan dikenakan pajak yang sama. Masing– masing dikenakan pajak : Rp. 5.000.000,- X 5% = Rp. 250.000,-/tahun (kewajaran horizontal); 2) Dalam pemungutan Pajak Penghasilan jika ada dua Wajib Pajak yang satu mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp. 25.000.000,-/tahun dan yang lain memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp. 30.000.000,tahun; maka kewajiban membayar pajaknya berbeda, hal tersebut dapat diketahui sebagai berikut : (a) Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak Rp. 25.000. 000,- ia mempunyai kewajiban membayar pajak : Rp. 25.000.000,- X 5% = Rp.1.250.000,-/tahun. (b) Bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp.30.000.000,- / tahun, ia mempunyai kewajiban membayar pajak lebih besar, yaitu terkena dua macam tari pajak :

133

Ibid., hlm. 106

Mustaqiem 165

1) Rp. 25.000.000 X 5% = Rp. 1.250.000,2) Rp. 5.000.000 X 10% = Rp. 500.000,Jumlah pajak = Rp. 1.750.000,-/th (kewajaran vertical). Menurut sistem perpajakan nasional, negara mempunyai hak “istimewa” yang dinamakan Hak Mendahulu Negara. Hak Mendahulu Negara adalah hak didahulukan untuk tagihan pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Hak tersebut meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak. Hak mendahulu negara akan gugur setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu dua tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar pajak diberitahukan secara resmi atau diberikan penundaan pembayaran pajak. Dalam kasus seperti ini, maka jangka waktu 2 tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat paksa atau dalam hal diberikan penundaan jangka waktu 2 tahun ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran. Meskipun dalam penagihan piutang pajak hak mendahului negara merupakan hak istimewa bagi negara, namun menurut Pasal 21 ayat (3) UU No. 9 Tahun 1994 Tetang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, hak tersebut

166

Pengaturan Bidang Perpajakan...

dapat dikalahkan oleh : (1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, (2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, (3) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. C. Perpajakan Daerah 1. Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para founding father telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.134 Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan negara sejak berlakunya UUD 1945, dilanjutkan setelah memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit 5 Juli 1959. Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya. Sebagai perwujudan cita-cita desentralisasi ini, langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh Pemerintah, seperti lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. 134

Josep Riwu Kaho, loc. cit, hlm. ix

Mustaqiem 167

Pemencaran kekuasaan yang menjadi pilihan di Indonesia menyebabkan ada dua tingkatan kekuasaan (Pusat dan Daerah), masing-masing tingkatan kekuasaan memiliki tugas dan kewajiban untuk menyusun anggaran pendapatan dan belanja untuk menopang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunannya sendiri. Untuk memenuhi keperluan tersebut setiap tingkatan kekuasaan mempunyai keharusan memiliki sumber- sumber pendapatan. Sumber-sumber pendapatan yang dimiliki oleh kedua tingkat kekuasaan tersebut satu di antaranya berasal dari sektor pajak. Berkaitan dengan hal ini, maka pajak dibedakan menjadi dua golongan yaitu Pajak Nasional (Pusat) dan Pajak Daerah. Berdasarkan UUD 1945, pemungutan Pajak Pusat dan Daerah harus didasarkan pada peraturan perundangan-undangan. Menurut SF Marbun, seperti yang dikutip oleh Ridwan mengatakan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).135 Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, seperti yang dikutip oleh Ridwan, dia mengatakan bahwa secara teoritik istilah “perundang-undangan” (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yaitu pertama : perundang-undangan merupakan proses pembentukan/ membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, kedua : perundangundangan adalah segala peraturan negara yang merupakan 135

Ridwan, op. cit., hlm. 99

168

Pengaturan Bidang Perpajakan...

hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik tingkat Pusat maupun tingkat Daerah.136 Menurut A. Hamid S. Attamimi, istilah perundangundangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan sebagai peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan yang lebih rendah yang merupakan atribusi ataupun delegasi undang-undang.137 Suatu perundangundangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya.138 Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan lainnya ini dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan.139 Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. Tata hukum, terutama tata hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain dikoordinasikan semata yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tata urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang 136

Ibid. A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelengga raan Pemerintahan Negara, Desertasi, UI, 1990, Jakarta, hlm. 347 138 Amiroeddin Syarif, op. cit., hlm. 78. 139 Hans Kelsen, op cit, hlm. 126 137

Mustaqiem 169

satu, yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus ini (rangkaian proses pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yang menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum untuk membentuk keseluruhan tata hukum ini. Secara teoritik, teknik yang dipergunakan untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana yang merupakan wewenang Pemerintah Daerah dilakukan dengan empat cara, antara lain: (1) Sistem Residu (teori sisa), (2) Sistem material, (3) Sistem Formal, 4) Sistem Otonomi Riil.140 Dari empat sistem tersebut, ada dua sistem yaitu Residu dan Material yang dapat diadopsi untuk menetapkan pola pengaturan bidang perpajakan Daerah. Penjelasannya adalah sebagai berikut : a) Pemerintah Pusat dapat menetapkan macam-macam Pajak Pusat dan di luar yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat merupakan Pajak Daerah (Sistem Residu). Pemerintah Daerah dengan sistem ini akan leluasa dalam menetapkan dan mengatur macam-macam Pajak Daerah. Apabila timbul persoalan-persoalan baru, Pemerintah Daerah akan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan tidak perlu menunggu keputusan dari Pemerintah Pusat. Kendala menggunakan sistem ini adalah bahwa di wilayah Indonesia terdapat tingkatan Daerah Otonom yang masingmasing mempunyai kewenangan memungut Pajak 140

Josep Riwu Kaho, op. cit., hlm. 15

170

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota); b) Jumlah dan jenis-jenis Pajak Daerah ditetapkan secara riil oleh pemerintah Pusat, di luar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Pajak Pusat (Sistem materiil). Pola ini menyebabkan terpasungnya Daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari sektor Pajak Daerah, karena pemerintah daerah tidak dapat leluasa menambah sendiri macam-macam pajaknya; c) Kedua pola penetapan Pajak Daerah tersebut jika dihubungkan dengan desentralisasi yang bertujuan untuk mewujudkan demokratisasi di Daerah, maka pola huruf (a) dapat juga dipergunakan untuk mewujudkan desentralisasi bidang perpajakan daerah.. 2. Pengertian Pajak Daerah Sejarah teori sistem merupakan sejarah penjelajahan intelektual manusia dalam menemukan cara yang paling tepat untuk mempelajari suatu kesatuan yang kompleks (complex entity or system). Menenius Agrippa pada jaman Romawi purba telah menggunakan cara itu untuk menjelaskan hakekat negara. Ia menyatakan negara sebagai suatu kesatuan yang hidup, sebagai suatu keseluruhan yang utuh dan sebagai kesatuan yang tersusun atas berbagai bagian yang tak terpisahkan.141 Teori tersebut kemudian dikenal dengan teori Analogi Organis (organic analogy). Pada abad ke 16-17, teori ini 141

Lili Rosjidi , dkk., Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 35

Mustaqiem 171

mendapat tantangan hebat dari pandangan yang bertentangan dengannya. Teori yang lahir belakangan dikenal dengan nama teori Analitis Mekanis atau metode mekanis (piece-meal method analytic method). Konsep dasar teori ini adalah bahwa “setiap bagian dipandang sebagai bagian yang tidak terpisah dari keseluruhan itu”. 142 Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan bidang perpajakan daerah tentunya tidak dapat terlepas dari sistem perpajakan Indonesia sebab daerah merupakan bagian dari negara, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan : 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang; 2. Pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota mangatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pembagian kegiatan-kegiatan pemerintahan pada beberapa tingkatan memerlukan pembagian struktur pajak keseluruhan dalam pengertian bahwa bagian-bagian struktur dipungut dan diurus oleh beberapa satuan-satuan Pemerintahan. Pembagian tersebut diperlukan jika setiap tingkat Pemerintahan akan memperoleh sumber-sumber keuangan yang otonom dari pada semata-mata bertindak sebagai perantara untuk mngeluarkan uang yang 142

Ibid.

172

Pengaturan Bidang Perpajakan...

dikumpulkan oleh pemerintah pusat.143 Pembagian pajak antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah mengakibatkan pengumpulan pada kedua tingkat (fragmentasi vertical) dan oleh satuan-satuan rendahan yang terpisah (fragmentasi horizontal).144 Berpedoman pada sistem pemerintahan yang berlaku, maka dua bidang perpajakan (Pusat dan Daerah) masih tetap relevan, sebab dalam sistem pemerintahan selalu ada pembagian kewenangan memungut pajak antara Pemerintah Pusat dan Daerah, baik dalam negara yang berbentuk kesatuan maupun federasi. Adanya dua kategori bidang perpajakan tersebut terkait juga dengan kewenangan menetapkan, mengatur, maupun memungut pajak. Jika kewenangannya berada pada pihak Pemerintah Pusat, maka bidang tersebut merupakan perpajakan Pusat dan demikian sebaliknya jika kewenangannya berada pada pemerintah dareah, maka bidang tersebut merupakan perpajakan daerah. Dalam pemahaman lain, banyak orang yeng memperdebatkan bahwa suatu jenis pajak bukan merupakan pajak “regional” atau “daerah” kecuali jika pajak tersebut dikenakan berdasarkan peraturan perundangan regional dan bukan berdasar ketentuan nasional.145 Suatu negara disebut sebagai negara kesatuan apabila kekuasaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak sama dan tidak sederajat,146 dan kekuasaan Pemerintah 143

John F. Due, op. cit., hlm. 418-419 Ibid. 145 K.J. Davey, op. cit., hlm. 29 146 M. Koeswardi, Ilmu Negara, Perintis Press, Jakarta, 1985, hlm. 155 144

Mustaqiem 173

Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara. Menurut C.F. Strong, 1960, seperti yang dikutip oleh M. Koeswardi, dia menjelaskan bahwa ciri negara kesatuan, ialah : “kedaulatan tidak terbagi” atau dengan kata lain kekuasaan Pemerintah Pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan legislatif lain selain badan legislatif pusat.147 Pendapat Kranenburg mengatakan bahwa kedaulatan itu mempunyai pengertian yang kabur sehingga tak dapat dijadikan kriteria untuk membedakan negara.148 Menurut Duguit, seperti yang dikutip oleh M. Koeswardi, Ia mengatakan bahwa kedaulatan itu hanya digunakan untuk menunjukkan sifat dan tabiat kekuasaan raja yang merupakan kekuasaan tertinggi.149 Jean Bodin, seperti yang dikutip M. Koeswardi, berpendapat bahwa kedaulatan adalah kekuasaan absolut yang tak terbatas dari negara untuk membuat undang-undang atau peraturan, baik yang berlaku untuk umum maupun urusan tertentu tanpa minta persetujuan orang lain atau badan yang lebih tinggi atau sederajat.150 Roussen, seperti yang dikutip M. Koewardi, mengemukakan bahwa kedaulatan tidak dapat dibagi. Tetapi Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendapat bahwa kedaulatan bisa dibagi, hal mana terbukti bahwa pada tahun 1819, Marshall mengatakan 147

Ibid., hlm. 156 Kranenburg, Ilmu Negara Umum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 22 149 M. Koeswardi, op. cit., hlm. 156 150 M. Koeswardi, op. cit., hlm. 156 148

174

Pengaturan Bidang Perpajakan...

bahwa di Amerika Serikat kedaulatan terbagi atas Pemerintah Pusat dan Pemerintah negara-negara bagian. Kedaulatan dalam negara kesatuan ada pada Pemerintah Pusat, hanya saja kewenangan yang dimiliki sebagian dapat diserahkan kepada daerah berdasar asas desentralisasi. Dalam negara yang berpedoman pada asas desentralisasi, maka setiap daerah akan diberi kesempatan mengurus rumah tangganya sendiri yang disebut dengan otonomi daerah. Pada penyelenggaraan otonomi daerah dikenal ada tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu: 1) materiel, 2) formeel, dan 3) riil.151 Sistem rumah tangga materiel, berpijak dari suatu pemikiran yang menyatakan bahwa urusan pemerintah itu dapat dipisahpisahkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.152 Berdasar pemikiran tersebut, otonomi daerah bukan merupakan suatu hak, wewenang, tanggungjawab yang tumbuh dan berkembang secara alami, melainkan hanya sebatas suatu pemberian atau penyerahan dari pemerintah pusat kepada daerah dan ada tidaknya urusan rumah tangga daerah tergantung kepada sifat urusan tersebut. Apabila 151

B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah (pokok-pokok pikiran menuju reformasi hukum di bidang pemerintahan daerah), Atmajaya, Yog-yakarta, 1998, hlm. 28 152 Ibid., hlm. 29-30.Bagir Manan mengemukakan bahwa suatu daerah hanya dapat mengatur dan mengurus rumah tangga daerah kalau urusan itu diserahkan kepada daerah yang bersangkutan.Menurut Sujamto, pada dasarnya pemerintah pusatlah yang menentukan apakah suatu daerah itu diberi status sebagai daerah otonom atau sebagai wilayah administrasi. Dasar pertimbangan untuk menentukan pilihan dalam hal ini bukan pemikiran demokratisasi tetapi pertimbangan doelmatigheid (keserasian dengan tujuan), yaitu untuk meningkatkan effisiensi dan effektivitas atau aktivitas, atau dayaguna dan hasilguna bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Mustaqiem 175

dalam suatu negara seluruh urusan pemerintahan dianggap sebagai urusan pemerintah pusat, maka daerah hanya berfungsi sebagai organ pelaksana dari urusan-urusan pemerintah pusat. Sebaliknya apabila terdapat sebagian dari urusan pemerintah pusat secara kodrati dapat dikategorikan sebagai urusan pemerintah daerah, maka urusan tersebut sudah selayaknya diserahkan kepada daerah supaya menjadi urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, ada tidaknya otonomi daerah dalam sistem rumah tangga materiel merupakan konsekuensi logis dari ada tidaknya penyerahan suatu urusan pemerintah kepada daerah berdasar dari sifat urusan tersebut. Dengan demikian hakekat otonomi daerah dalam sistem rumah tangga materiel bukanlah merupakan suatu yang tumbuh dan berkembang secara alamiah, tetapi keberadaannya diakui dengan peraturan perundangundangan yang diterbitkan oleh pemerintah, sehingga hal tersebut hanya merupakan hasil dari adanya penyerahan yang didasarkan pada sifat dan kodrat urusan pemerintahan yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, Dann Suganda, 1986, seperti yang dikutip oleh B. Hestu Cipto Handoyo, berpendapat bahwa dalam pemberian otonomi materiel pemerintah pusat menentukan secara terperinci wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Wewenang tersebut ditetapkan dalam undang-undang desentralisasi maupun dalam undang-undang pembentukan suatu daerah menjadi daerah otonom. Daerah hanya berhak melaksanakan kekuasaan yang telah disebut satu-persatu, sedang wewenang lainnya yang ada di luar itu akan tetap

176

Pengaturan Bidang Perpajakan...

menjadi wewenang pusat sampai waktunya dapat diserahkan kepada daerah.153 Berdasarkan beberapa pemahaman otonomi daerah seperti di atas, maka hakekat otonomi apabila dihubungkan dengan sistem rumah tangga materiel dapat diambil beberapa pengertian sebagai berikut :154 1. Dengan adanya ajaran sistem rumah tangga materiel, maka hakekat otonomi daerah bukan merupakan suatu hal yang sifatnya alamiah, maksudnya ada atau tidak ada otonomi daerah sangat tergantung kepada kewenangan dari pusat atau daerah tingkat yang lebih atas; 2. Urusan-urusan pemerintahan dapat dijadikan sebagai wewenang dan kewajiban daerah, untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri berdasarkan pada aspek penyerahan. Dengan demikian otonomi daerah tidak mungkin ada kalau terlebih dahulu tidak diadakan langkah-langkah penyerahan, baik itu dari pusat maupun daerah tingkat yang lebih atas; 3. Pada dasarnya, pihak yang berwenang untuk menentukan suatu urusan pemerintahan itu dapat diserahkan kepada daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri adalah pemerintah pusat. Oleh sebab itu ada tidaknya otonomi bagi suatu daerah sudah barang tentu sangat tergantung pada hakekat politik (political will) dari pemerintah pusat; 4. Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 153 154

B. Hestu Cipto Handoyo, op cit., hlm. 31 Ibid.

Mustaqiem 177

5 tahun 1974 (waktu itu), maka pemberian otonomi kepada daerah semata-mata hanya ditujukan kepada aspek kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu, apabila suatu urusan pemerintahan itu lebih bermanfaat (berdayaguna dan berhasilguna) apabila diatur dan diurus oleh daerah, maka urusan tersebut baru akan diserahkan. Hal ini mengandung arti bahwa pemberian otonomi kepada suatu daerah juga akan berlandaskan pada aspek kemanfaatan, demikian pula sebaliknya. Pangkal tolak rumah tangga formal adalah tidak ada perbedaan sifat antara aturan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pusat maupun daerah. Setiap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pusat pada hakikatnya dapat juga diselenggarakan oleh daerah. Sistem rumah tangga ini menganut pemikiran bahwa pada prinsipnya daerah dapat mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri atas dasar kebebasan dan inisiatif sendiri meskipun urusan tersebut belum diserahkan. Menurut Bagir Manan, 1991, sebagaimana dikutip oleh B. Hestu Cipto Handoyo, “isi rumah tangga daerah dalam sistem rumah tangga formal atau toekennen, merupakan sesuatu yang dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkaennen).155 Hakikat otonomi daerah menurut sistem rumah tangga formal bukanlah merupakan sesuatu yang sifatnya pemberian, melainkan sesuatu yang dibiarkan tumbuh secara 155

B. Hestu Cipto Handoyo, op cit., hlm. 32

178

Pengaturan Bidang Perpajakan...

alami dan diberi pengakuan.156 Hal ini merupakan indikasi bahwa otonomi daerah secara kodrati telah melekat dalam diri suatu Daerah sebagaimana layaknya hak yang melekat dalam diri manusia untuk melakukan segala sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya sendiri. Pemahaman seperti itu muncul karena menurut sistem rumah tangga formal, sifat urusan rumah tangga daerah bukan merupakan pemberian melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta diberi pengakuan oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah tingkat yang lebih atas.157 Meskipun penjelasannya seperti itu, ternyata dalam sistem rumah tangga formal tidak tertutup kemungkinan ada urusan rumah tangga daerah yang berasal dari pemberian. Mengingat dalam sistem rumah tangga formal juga diakui asas kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan secara umum, maksudnya adalah apabila ada sesuatu jenis urusan pemerintahan yang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas dianggap layak untuk diserahkan kepada daerah dengan pertimbangan bahwa urusan tersebut akan lebih baik atau bermanfaat bila diurus oleh daerah yang bersangkutan, maka urusan pemerintahan tersebut akan diserahkan atau diberikan kepada daerah untuk diatur atau diurus sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Daan Suganda, 1986, sebagaimana dikutip B. Hestu Cipto Handoyo mengatakan bahwa “pemberian otonomi formal dalam hal ini wewenang yang diserahkan kepada 156 157

Ibid., hlm. 33 Ibid.

Mustaqiem 179

daerah tidak diperinci satu persatu melainkan menunggu apa yang telah diatur oleh pusat untuk menjadi wewenang pusat. Segala urusan yang tidak diatur dan diselenggarakan oleh pusat itulah lapangan wewenang daerah, dalam hal ini daerah hanya mendapatkan sisa dari urusan-urusan pemerintahan, daerah tidak boleh mengatur apa yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat. Kebijaksaan ini sering disebut teori sisa (Residu theorie).158 Nampak bahwa dalam sistem rumah tangga formil menghendaki adanya kesejajaran kedudukan pusat atau daerah yang lebih atas tingkatnya dengan suatu daerah. Daerah bukanlah merupakan suatu organ bawahan dari pusat atau daerah tingkat yang lebih atas, melainkan sebagai mitra (partner) dalam penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya. Tetapi konsep-konsep otonomi daerah seperti ini jelas menimbulkan kelemahan khususnya apabila dikaitkan dengan bentuk negara kesatuan, hal ini menyebabkan : 1. Adanya kebebasan daerah untuk mengatur atau mengurus segala macam urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri tanpa lebih dahulu menunggu adanya penyerahan baik dari pusat atau daerah tingkat yang lebih atas memungkinkan terjadi perluasan wewenang otonomi yang pada gilirannya akan mengakibatkan peningkatan sifat dari daerah itu. Daerah yang merupakan satuan pemerintahan lokal di bawah pemerintahan pusat menjadi suatu daerah state sebagaimana dalam Negara Serikat atau Federasi; 158

B. Hestu Cipto Handoyo, op. cit., hlm. 33

180

Pengaturan Bidang Perpajakan...

2. Adanya kesejajaran kedudukan antara daerah dengan pusat atau daerah tingkat yang lebih atas kemungkinan dapat menimbulkan ketegangan hubungan atau spanning khususnya dalam hal hubungan koordinasi dan pengawasan yang dilakukan oleh pusat dan daerah tingkat yang lebih atas. Hal ini disebabkan karena daerah merasa bukan merupakan organ bawahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas; 3. Sepintas lalu sistem rumah tanggga formal memberikan keleluasaan pada daerah, tetapi karena urusan rumah tangga tidak ditentukan maka daerah dihadapkan pada kondisi ketidakpastian.159 Istilah sistem rumah tangga riil dapat dijumpai dalam penjelasan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (1) : “Yang dimaksud dengan daerah dalam undang-undang ini ialah daerah yang berhak mengurus rumah-tangganya sendiri, yang disebut juga “ Daerah swatantra” dan “ Daerah istimewa”). Selain undang-undang tersebut, juga terdapat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966 yang menambah dengan kata-kata “seluasluasnya”. Kedua ketentuan ini berdasarkan Pasal 131 ayat (2) UUD Sementara 1950.160 Sistem rumah tangga riil memberikan ketentuan bahwa urusan rumah tangga daerah didasarkan pada keadaankeadaan atau faktor-faktor nyata yang ada di dalam suatu 159 160

B. Hestu Cipto Handoyo, op. cit., hlm. 35 Ibid.

Mustaqiem 181

daerah. Konsep yang demikian ini memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan tertentu menjadi urusan rumah tangga sendiri asalkan urusan pemerintahan tersebut berdasarkan keadaan– keadaan/ faktor-faktor yang nyata-nyata memang layak menjadi urusan rumah tangga daerah.161 Dengan demikian otonomi daerah menurut sistem rumah tangga riil pada hakikatnya berawal dari adanya pengakuan dari Pemerintah terhadap faktor riil yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat di suatu daerah, oleh sebab itu kandungan atau isi otonomi daerah dalam sistem rumah tangga ini akan berbeda antara satu daerah dengan lainnya.162 Sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah otonom salah satunya berasal dari hasil pemungutan Pajak Daerah. Sumber pajak sangat penting bagi pemerintah daerah untuk memperoleh pendapatan dari sumber tersebut. Hal itu dapat dilaksanakan dengan memungut, mengadministrasikan, menetapkan tarif dan lain-lain. Banyak cara yang bisa digunakan pemerintah daerah untuk meningkatkan penghasilan dari sektor pajak, namun kebanyakan pemerintah Propinsi dan Kota masih menggantungkan bantuan dari anggaran pemerintah pusat.163 Hal tersebut terjadi karena pemerintah pusat terlalu dominan terhadap daerah, sehingga pola pendekatan yang sentralistik dan 161

B. Hestu Cipto Handoyo, op. cit., hlm. 35 Ibid., hlm. 36 163 Richard L. Siegel at all., Comparing Public Policy – United State – Soviet Union and Europe, The Dorsey Press, Homewood Illinois 60430 IrwinDorsey Limited Georgetown, Ontario, 1977, p. 96 162

182

Pengaturan Bidang Perpajakan...

seragam yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas daerah.164 Seperti penentuan obyek dan tarif pajak daerah. Persyaratan yang harus diperhatikan untuk suatu sumber pendapatan adalah sumber tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan.165 Sering kali dalam peraturan daerah memiliki banyak jenis pajak tetapi tidak ada yang menghasilkan lebih dari prosentase yang lebih kecil dibandingkan dari anggaran pengeluaran.166 Hal tersebut banyak menimbulkan kerugian, ongkos pungut akan menjadi besar, upaya administrasi terbagi-bagi, pembebanan sulit dicapai secara adil, kesabaran masyarakat akan hilang dengan banyaknya pungutan yang kecil-kecil dan kesan yang tidak benar dapat timbul terhadap kemampuan keuangan Pemerintah Daerah.167 Meskipun pemerintah memiliki kewenangan menetapkan perpajakan daerah tetapi kelayakan pajak perlu diperhatikan. Nick Devas memberikan ketentuan dengan mengatakan bahwa “ Criteria for Evaluating Local Taxes : As a means of evaluating the present range of local taxes I shall use the following set of criteria : (1) Tax Yeild, (2) Equity, (3) Economic efficiency, (4) Ability to implement, (5) Suitabiliy as a Local Revenue 164

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daearah, Andi, Yogyakarta, 2002, hlm. 96 165 KJ. Davey, op. cit., hlm. 40 166 KJ. Davey, op. cit., hlm. 40 167 Ibid., hlm. 41

Mustaqiem 183

Source”. 168 Penjabaran pertimbangan tersebut, adalah sebagai berikut:169 1. Aspek perolehan pajak (Tax Yield) (a)Hasil pajak cukup besar, pajak yang memberikan hasil yang kecil justru akan menimbulkan inefisiensi dan menciptakan perlawanan pajak (tax payer resistence); (b) Hasilnya lebih pasti dan dapat diprediksi, hasil pajak hendaknya relative stabil, tidak berfluktuasi dari tahun ke tahun agar mudah dalam melakukan perencanaan belanja; (c) Elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan kenaikan pendapatan; (d) Perbandingan antara biaya pungut (collection cost) dengan hasil pajak (tax yield) kecil. 2. Aspek keadilan (Equity) (a)Dasar pengenaan pajak (tax base) dan kewajiban pajak harus jelas tidak bersifat arbitrer; (b) Horizontal equity, pajak yang dilakukan harus menciptakan keadilan horisontal yaitu mereka yang kondisi ekonominya sama memiliki beban pajak yang sama; (c) Vertical equity, beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk membayar, yang kaya harus membayar pajak lebih tinggi dari pada yang miskin; (d)Benefit principle, mereka yang menikmati fasilitas publik 168

Nick Devas, 1989, Financing Local Government In Indonesia, Ohio University Monograph in International Stidies Southheast Asia Series No. 84. p. 58-59 169 Mardiasmo, op. cit., hlm. 150-151

184

3.

4.

5.

6. 7.

Pengaturan Bidang Perpajakan...

secara lebih baik harus membayar pajak lebih tinggi. Aspek daya guna ekonomi (Economic efficiency) Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara produktif dan tidak mengganggu perekonomian. Sistem perpajakan hendaknya memberikan netralitas ekonomi, sehingga mengurangi distorsi ekonomi. Aspek kemampun melaksanakan (Ebility to implement) (a)Adanya political acceptability untuk menerapkan pajak; (b) Terdapat dukungan kapasitas administrasi dan skill aparat pajak yang memadai. Aspek cocok sebagai sumber pendapatan (Suitability as a local revenue cource). (a)Harus jelas pemerintah daerah mana yang harus menerima pajak. Sebagai contoh, pajak penghasilan seharusnya dibayarkan kepada pemerintah daerah tempat di mana orang tersebut bekerja atau tempat tinggal wajib pajak; (b) Kedudukan obyek pajak harus jelas, agar pajak tidak mudah dihindari dengan cara memindahkan obyek pajak dari satu daerah ke daerah lain. Masalah tarif pajak deferensial (the problem of deferential tax rate). Pengaruh tempat (lokasi) terhadap beban pajak (location responses to taxation). Jika jenis pajak dan tarif pajak berbeda-beda untuk tiap daerah, maka pembayar pajak cenderung berusaha untuk mengurangi beban pajak (misal memindahkan kantor pusat). Idealnya, pajak daerah dapat meminimalkan distorsi yang menyebabkan

Mustaqiem 185

masyarakat dan pelaku bisnis meninggalkan suatu daerah; 8. Masalah keadilan antar wilayah (the problem of inter-regional equity). Beberapa pemerintah daerah memiliki potensi pajak daerah yang lebih besar dari yang lainnya. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antar daerah dari segi potensi masing-masing daerah. 9. Kapasitas untuk mengimplementasikan (capacity to implement). Kebijakan perpajakan merupakan suatu hubungan yang kompleks antara program peningkatan pajak dengan ekonomi maupun program kebijakan social (kemasyarakatan).170 Oleh karena itu membuat kebijakan pajak harus sempurna, sebab kebijakan yang tidak sempurna akan menimbulkan ketidakadilan.171 Guna meminimalisir persoalan kebijakan di bidang perpajakan (khususnya bidang perpajakan daerah) secara yuridis telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pasal 2 ayat (4) mengenai syarat-syarat bagi Kabupaten/Kota yang akan menetapkan jenis pajak daerah di luar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3. Periodisasi Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah Pengaturan bidang perpajakan daerah sejak tahun 1957 sampai sekarang sudah mengalami beberapa kali perubahan, terjadinya perubahan merupakan salah satu bentuk “inovasi” yang tidak lepas dari dinamika kehidupan 170

Arnold J. Heidenheimer at all., Comparative Public Policy- The Politics of Social Choice in America, Europe, and Japan, ST., Martin’s Press, New York, p. 183 171 Stephen G. Utz, op. cit., p. 55

186

Pengaturan Bidang Perpajakan...

berbangsa dan bernegara yang selalu muncul. Seperti pada awal kemerdekaan keadaannya masih labil sehingga terjadi perubahan Undang-Undang Dasar yang dipakai sebagai landasan hukum berbangsa dan bernegara. Pengaturan bidang perpajakan daerah selama ini dapat dibedakan menjadi 4 periode, sebagai berikut : a. Periode Undang-Undang No. 11/Darurat/Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah Struktur pemerintahan Indonesia pertama kali secara garis besar diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dielaborasi melalui undang-undang agar sesuai dengan pekembangan.172 Pada awalnya, yang diberlakukan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang merupakan ketentuan pokok mengenai Pemerintahan di Daerah yang terdiri atas 6 (enam) pasal, undang-undang ini dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan yang sangat sederhana, sehingga bidang perpajakan belum diatur. Kemudian undang–undang tersebut disusul dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang merupakan undang-undang pertama kali yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah.173 Setelah berlakunya undangundang ini peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemerintahan Daerah tidak berhenti begitu saja, tetapi kemudian disusul dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah 172

Ateng Syafruddin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan Perkembangannya, Mandar maju, Bandung, 1991, hlm. 30

Mustaqiem 187

(Lembaran Negara 1957 Nomor 6 Tambahan Lembaran Negara Nomor 1143). Undang-undang ini merupakan upaya lanjutan guna menentukan hubungan Pusat dan Daerah, sekaligus untuk menentukan struktur Pemerintahan dalam berbagai Propinsi.174 Keistimewaan dari sistem ini adalah adanya kebijakan pelimpahan kekuasaan yang sungguhsungguh kepada daerah.175 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang juga disebut “Daerah Swatantra” dan “Daerah Istimewa”. Berdasar pengertian tentang daerah tersebut, maka bagi kedua daerah diberikan otonomi yang luas atau yang sering disebut dengan istilah desentralisasi. Paham desentralisasi merupakan paham modern yang timbul bukan karena luasnya daerah, tetapi karena tingkat kemajuan sehingga daerah dapat dinilai sudah mampu mengurus rumah tangganya sendiri.176 Adanya kemampuan tersebut merupakan ukuran mutlak bagi suatu daerah untuk dapat diberikan kekuasaan otonomi. Konsekuensi pemberian otonomi yang luas atau desentralisasi kepada daerah berpengaruh juga terhadap pengaturan bidang perpajakan daerah yang harus mencerminkan kekhasan otonomi yang dimaksud. Usaha untuk memperkuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 didukung oleh dua undang-undang yaitu pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang 174

Ibid., hlm. 31 Ibid. 176 Soedargo, op. cit., hlm. 10

175

188

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah yang berhak mengurus rumah tangga sendiri. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1957, undang-undang ini disebut juga sebagai “Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957” dan kedua, Undang-Undang Nomor 11/Drt/ Tahun 1957 tentang Pajak Daerah. Pajak Daerah adalah “Pungutan daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiyaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik”. Pada periode Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, daerah diberi hak menangani perpajakan daerah secara otonom. Sebagai indikator pemberian otonomi yang luas atau desentralisasi di bidang perpajakan daerah tercermin dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka kepada daerahdaerah diberi kewenangan untuk memungut pajak. Ketetapan Pasal 56, adalah sebagai berikut : 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2. Dalam undang–undang ditetapkan peraturan umum tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 3. Peraturan Daerah yang mengadakan, merubah dan meniadakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh penguasa dan menurut cara yang ditetapkan dalam undang-undang seperti dimaksud dalam ayat (2) mengelola perpajakan daerah secara otonom.

Mustaqiem 189

Maksud ketentuan yang mensyaratkan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam undang-undang (Pasal 56 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1957) adalah agar daerah mendapat pegangan yang umum, sehingga rakyat tidak akan dibebani pajak yang melebihi batas, sebab dalam menentukan besarnya pajak atau retribusi harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu : 1. Tarif-tarif yang berlaku di lain daerah sekitarnya; 2. Kekuatan keuangan serta kemampuan penduduk; 3. Tarif-tarif yang progressief dan sebagainya, sehingga pajak daerah dan retribusi daerah yang diadakan itu terasa adil dan layak oleh penduduk dan merupakan sumber pendapatan yang berarti bagi daerah.177 Oleh karena itu Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan pendapatan yang tidak kecil artinya bagi daerah. Karena pajak yang akan dipungut oleh daerah akan membebani penduduk, maka berlakunya harus ditetapkan sesuai peraturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang harus disahkan lebih dahulu oleh pemerintah menurut cara-cara yang ditetapkan dalam UU. No. 1 Tahun 1957 (Pasal 56 ayat 3).178 Substansi Pasal 56 ayat (2) dan (3) menunjukkan bahwa dalam bidang perpajakan daerah pada masa ini pernah diberlakukan sistem desentralisasi. Dalam hal kewenangan membuat Peraturan Daerah, secara umum diatur oleh Pasal 36 Undang-Undang Pokok 177

Rochmat Soemitro, Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemerintahan Daerah, Eresco -Tarate, Bandung-Jakarta, 1983, hlm. 199-200 178 Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 200

190

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah guna kepentingan pelaksanaan apa yang menjadi kekuasaan, tugas, dan kewajibannya dapat membuat peraturan-peraturan yang disebut Peraturan Daerah (local verordening) dengan ditambah nama daerah.179 Ketentuan lain menyatakan bahwa pengundangan peraturan daerah merupakan syarat tunggal untuk kekuatan yang mengikat. Pengundangan itu dilakukan oleh Kepala Daerah dengan menempatkan dalam lembaran daerah tingkat ke-I bagi Peraturan Daerah tingkat ke-I dan daerahdaerah di tingkat bawahnya, dan dalam lembaran Kotapraja-Jakarta Raya bagi peraturan daerah Kotapraja. Peraturan Daerah yang mengatur suatu Pajak Daerah berarti akan memberikan beban keuangan kepada rakyat, maka pada prinsipnya harus dijaga supaya peraturan itu jangan sampai diberi daya surut. 180 Bagi Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957, Pasal 2 ayat (1) ditetapkan pendapatan pokok daerah, terdiri atas : a) Pajak Daerah; )b Retribusi Daerah; c) Pendapatan Negara yang diserahkan kepada Daerah; d) Hasil Perusahaan Daerah. Selanjutnya berdasar Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957 ditetapkan beberapa Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah, meliputi : 1. Pajak Rumah Tangga (Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 ); 179 180

Soedargo, op. cit., hlm. 12 Soedargo, op. cit., hlm. 13

Mustaqiem 191

2. Pajak Kendaraan Bermotor (Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934); 3. Pajak Verponding (Ordonansi Verponding 1928). Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1957, Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 10, pajak– pajak nomor 1, 2, dan 3 diserahkan kepada Daerah Tingkat I, dan berdasarkan Pasal 2 pajak-pajak nomor 4, 5, 6, 7, 8 dibawah ini diserahkan kepada Daerah Tingkat II. Adapun pajak-pajaknya adalah sebagai berikut: 1. Pajak Verponding Indonesia (Ordonansi Verponding Indonesia); 2. Pajak Jalan (Ordonansi Pajak Jalan 1942); 3. Pajak Potong ( Ordonansi Pajak Potong 1936); 4. Pajak Kopra; 5. Pajak Pembangunan (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1947 Tentang Pajak Pembangunan I). Selain itu, berdasarkan Paraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1957, Pasal 4 ayat (1) ditetapkan bahwa kepada Daerah diserahkan minimum 75% dan maksimum 90% dari penerimaan yang berasal dari : 1. Pajak Peralihan (Ordonansi Pajak Peralihan 1944); 2. Pajak Upah (Ordonansi Pajak Upah 1934); 3. Pajak Materai (Peraturan Bea Meterai 1921). Ayat 2 menetapkan bahwa tiap-tiap tahun dengan Peraturan Pemerintah kepada Daerah diserahkan sebagian penerimaan yang berasal dari : 1. Pajak Kekayaan (Ordonansi Pajak Kekayaan 1932);

192

Pengaturan Bidang Perpajakan...

2. Pajak Perseroan (Ordonansi Pajak Perseroan 1925). Pauuw, sebagaimana dikutip oleh Colin Mc Andrew mengatakan bahwa meskipun telah berlaku undang-undang perimbangan keuangan 1957 yang bermaksud memberikan kekuasaan keuangan kepada daerah, namun hasil pajak yang diberikan kepada Pemerintah Daerah hanya sekitar 1 % dari hasil pajak yang diterima oleh Pemerintah Pusat.181 Kebijakan yang terkait dengan mengadakan, merubah, dan meniadakan pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerahh tentang pajak daerah harus memuat berbagai hal antara lain objek yang dikenakan pajak serta dasarnya, jumlah uang pajak daerah, penunjukan wilayah dimana suatu pajak daerah akan dipungut dan juga syarat-syarat kewajiban membayar pajak daerah. Peraturan Daerah tentang pajak tidak boleh memuat pasal yang bersifat diskriminasi yaitu adanya perbedaan atau pemberian keistimewaan yang menguntungkan perorangan, golongan, dan keagamaan. Selain hal itu barang-barang yang merupakan keperluan hidup sehari-hari tidak boleh langsung dikenakan pajak daerah. Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957 memberikan ketentuan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak daerah menggunakan Official Assessment System. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan untuk menentukan besar kecilnya pajak didasarkan pada keterangan (isian) yang dibuat oleh Wajib Pajak. Contoh dalam hal membayar Pajak 181

Colin Mc Andrew at all, Hubungan Pusat-Daerah Dalam Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 103

Mustaqiem 193

Kendaraan Bermotor, pihak pemilik kendaraan bermotor sebelum membayar pajak lebih dahulu harus menjelaskan tentang identitas (tahun pembuatan, isi cylinder, warna cat, nomor kendaraan, dan lain-lain) kendaraannya, kemudian baru dapat ditetapkan jumlah pajak yang harus dibayar. Bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan ini akan dikenai sanksi denda fiscal. Selain itu, dalam peraturan pajak daerah dapat diadakan ketentuan yang mengatur tentang sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak tepat melunasi pajak. Sanksinya adalah jumlah yang harus dibayar ditambah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam peraturan pajak daerah. Peraturan pajak daerah juga diperbolehkan mengatur tentang tagihan susulan, apabila pajak daerah yang ditetapkan ternyata kurang dari yang semestinya, atau apabila keputusan untuk mengurangi, meniadakan atau tidak mengenakan pajak daerah ternyata salah. Dikecualikan dari ketentuan tentang tagihan pajak jika kekurangan atau kesalahan itu disebabkan oleh kesalahan tata usaha pajak daerah yang bersangkutan. Sebagai ilustrasi bahwa dalam penentuan besar kecilnya Pajak Kendaraan Bermotor antara lain didasarkan pada tahun pembuatan. Apabila pemilik kendaraan bermotor keliru dalam memberikan keterangan tentang tahun pembuatan kendaraanya, hal ini akan mengakibatkan jumlah Pajak Kendaraan Bermotor yang harus dibayar lebih kecil dari pada yang seharusnya, kekeliruan atau kesalahan tersebut bukan disebabkan oleh tata usaha pajak daerah yang bersangkutan tetapi kesalahan berasal dari Wajib Pajak. Jika

194

Pengaturan Bidang Perpajakan...

hal ini yang terjadi maka tagihan terhadap kekurangan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor boleh dilakukan kepada wajib pajak. Tagihan susulan tersebut hanya dapat ditetapkan atau dilakukan dalam waktu 3 (tiga) tahun dihitung dari permulaan tahun pajak yang bersangkutan dan tagihan susulan tersebut dapat ditetapkan setinggi-tingginya sampai empat kali jumlah pajak yang kurang dibayar. Ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1957, menetapkan bahwa lapangan pajak daerah ialah lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara. Selain itu ditetapkan pula mengenai lapangan pajak daerah tingkat bawahan dan yang masuk lingkup ini adalah lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara atau daerah tingkat atasannya. Apabila daerah tingkat atasan telah mempergunakan suatu lapangan pajak, maka daerah tingkat bawahan tidak boleh diperkenankan memasuki lapangan itu, tetapi pemerintah daerah tingkat bawahannya diperkenankan memungut opsen pajak daerah dari tingkat atasannya. Selain yang telah ditetapkan dengan undangundang, pajak daerah lain yang dapat dipungut oleh Daerah Tingkat I, meliputi : 1. Pajak atas izin menangkap ikan di perairan umum wilayahnya; 2. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan rumah-rumah sekolah rakyat yang menjadi beban dari pemerintah daerah; 3. Opsen atas pajak atau cukai penjualan bensin.

Mustaqiem 195

Persoalan apakah opsen itu pajak atau bukan, masih menjadi perdebatan, meskipun demikian dapat dijelaskan bahwa : 1. Opsen adalah suatu tambahan (bijslag) yang dihitung dalam perseratusan atas pokok pajak (hoofdsom); 2. Berhubung dengan itu maka logislah opsen harus selalu mengikuti hoofdsom dalam kenaikan, pengurangan dan pemungutannya. Kenyataan ini dapat dijelaskan juga dengan Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 11/ Drt/1957 Tetang Peraturan Umum Pajak Daerah, yang menyatakan bahwa ketentuan yang berlaku bagi pokok pajak berlaku juga pula terhadap opsen dimaksud. Selanjutnya dirumuskan pula bahwa opsen atas pajak dan denda fiscal karena tidak dibayar pada waktunya dapat dituntut atas barang-barang pokok pajak. Hal tersebut sebagaimana ketentuan tentang tagihan pembayaran pokok pajak beserta dendanya dan tagihan opsen beserta dendanya kepada Wajib Pajak. Dalam kasus seperti ini negara mempunyai hak didahulukan pembayarannya dari pada tagihan lainnya. Perlu dikemukakan di sini bahwa denda yang dipungut karena tidak menepati pembayaran opsen pada waktu yang telah ditetapkan adalah untuk negara berkaitan dengan pajak negara dan bagi daerah berkaitan dengan pajak daerah. 3. Pihak yang berwenang menetapkan besarnya opsen adalah pihak yang memiliki kekuasaan menetapkan hoofdsom. Asas ini dimuat dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957 Tentang Peraturan Umum Pajak

196

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Daerah yang menyatakan bahwa jumlah uang opsen yang dipungut berdasarkan suatu peraturan daerah ditetapkan oleh instansi yang menetapkan jumlah pokok pajak yang dikenakan opsen tersebut. Makna dari asas ini adalah tidak semua pajak masih dapat dibebani suatu opsen. Pajak-pajak yang tarifnya sudah tinggi tidak mungkin dibebani lagi dengan opsen, karena tekanannya akan menjadi sangat berat bagi rakyat. Pihak yang diberi kewenangan untuk menentukan batas mana suatu pajak masih mungkin dibebani lagi dengan suatu opsen adalah pihak (instansi) pencipta pajak itu sendiri. Oleh karena itu tekanan opsen harus dapat diawasi supaya jangan melampaui batas dan dirasakan merata. Berdasar kenyataan tersebut, maka Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah mengharuskan perlunya pengesahan dari Presiden lebih dahulu untuk mengadakan, merubah, maupun meniadakan opsen atas suatu pajak. 4. Daerah dapat mengadakan pemungutan opsen atas pajak-pajak negara, pajak daerah tingkat atasnya dan juga atas pajaknya sendiri.182 Contoh adalah pungutan atas pajaknya sendiri seperti yang terdapat pada sistem pemungutan pajak perseroan untuk keuntungankeuntungan yang diperoleh dari tahun pembukuan sebelum 1951. Tarif pajak perseroan pada waktu itu sebesar 10% yang merupakan pengenaan pokok dan kemudian ditambah dengan opsen sebesar 30%, akhirnya 182

Soedargo, op. cit., hlm. 20-21

Mustaqiem 197

tarif pajak perseroan dinaikkan sebesar 40% dari jumlah keuntungan bersih yang dikenakan pajak. Selanjutnya Pajak Daerah yang lain dan dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah yang berasal dari Daerah Tingkat I, terdiri atas : 1. Pajak atas pertunjukan dan keramaian umum. Peraturan untuk memungut dan menagih pajak atas pertunjukan dan keramaian dalam wilayah Kotapraja Jakarta Raya tgl. 16 Nopember 1936 (Prov. Blad. tgl. 20 Januari 1937 No. 3), diubah dengan peraturan tgl. 21 Juni 1937 (Prov. Blad. tgl. 31 Juli 1937 No. 16); 2. Pajak atas reklame sepanjang tidak diadakan dengan memuat dalam majalah atau warta harian (Tambahan Berita Negara No. 22 Tahun 1957); 3. Pajak atas anjing (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957); 4. Pajak atas ijin penjualan atau pembikinan petasan dan kembang api (Staatsblad 1932 No. 143 jo Lembaran Kotapraja Jakarta Raya No. 7 Tahun 1959); 5. Pajak atas penjualan minuman yang mengandung alkohol (Peraturan bagi penjualan minuman keras dan memungut serta menagih pajak atas penjualan minuman keras dalam wilayah Kotapraja Jakarta Raya tgl. 5 Agustus 1935 (Lembaran Propinsi tgl. 31 Oktober 1935 No. 15) diubah dengan peraturan tgl. 21 Juni 1937 (Lembaran Propinsi tanggal 31 Juli Tahun 1937 No. 16) diubah lagi dengan peraturan tanggal 30 Juni 1938 (Lembaran Propinsi 30 September 1938 No. 24); 6. Pajak atas kendaraan tidak bermotor (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957);

198

Pengaturan Bidang Perpajakan...

7. Pajak atas ijin mengadakan perjudian (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957); 8. Pajak atas tanda kemewahan mengenai luas dan perhiasan kubur (ex UU No. 11 Drt.Th, 1957); 9. Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari dalam suatu tahun pajak, kecuali untuk perawatan di dalam Rumah Sakit atau Sanatorium dan juga atas penyediaan rumah lengkap dengan parabotnya untuk diri sendiri atau keluarganya selama lebih dari 120 hari dalam suatu tahun pajak, semua itu tanpa bertempat tinggal tetap di daerah itu dengan ketentuan bahwa mereka yang berdiam di luar daerahnya tidak boleh dikenakan pajak dimaksud (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957); 10. Opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang kemungkinan pemungutan opsen itu diberikan dalam peraturan pajak daerah tingkat itu (ex Undang Undang No. 11 Drt /Tahun 1957); 11. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan rumah sekolah rendah untuk pelajaran umum dan pembelian perlengkapan pertama (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957); Meskipun sudah ada dua undang-undang yang mengatur pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah yang memuat pengawasan yang bersifat preventief terhadap keinginan daerah membuat sebanyak mungkin pajak dan retribusi daerah tanpa memperhatikan kepentingan Pemerintah Pusat, maka masih dirasa perlu pemerintah mengadakan pengawasan repressief untuk mengoreksi

Mustaqiem 199

keinginan daerah tersebut yang ditinjau dari teknik perpajakan sering kali bersifat sangat fantastis.183 Ketentuan yang sifatnya repressief dirumuskan dalam Pasal 56 ayat 3 Undang-Undang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, Pasal tersebut menyatakan bahwa Peraturan Daerah yang mengadakan, merubah dan meniadakan Pajak atau Retribusi Daerah tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh penguasa menurut cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 11/Drt/Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 11/Drt/Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah menyatakan bahwa peraturan Pajak Daerah tidak dapat berlaku sebelum mendapat pengesahan Presiden dan untuk sampai mendapat persetujuan Presiden memerlukan prosedur yang lama. Ketentuan atau prosedur yang berlaku pada Pemerintah Swatantra Tingkat I adalah dalam kurun waktu 14 hari sesudah rencana peraturan Pajak Daerah ditetapkan harus dikirim lebih dahulu kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk memperoleh pengesahan. Peraturan Pajak Daerah Swatantra Tingkat II setelah ditetapkan harus dimintakan juga persetujuan kepada Presiden melalui prosedur yang berbeda yaitu peraturan Pajak Daerah yang sudah ditetapkan dalam tempo 14 hari harus dikirimkan kepada Dewan Pemerintahan Daerah Swatantra Tingkat I, kemudian dalam tempo 28 hari akan dikirimkan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk mendapatkan pengesahan. Dalam 183

Soedargo, op. cit., hlm. 13

200

Pengaturan Bidang Perpajakan...

tempo 3 (tiga) bulan setelah Presiden menerima peraturan pajak daerah, Presiden harus mengambil keputusan atas permintaan daerah tersebut dan apabila dalam tempo 3 bulan tersebut belum dapat memberikan keputusan maka akan diperpanjang selama 3 bulan lagi oleh Presiden. Keputusan perpanjangan ini harus diberitahukan kepada Dewan Pemerintahan Daerah Swatantra Tingkat I yang bersangkutan, kemudian baru akan diteruskan kepada Dewan Pemerintahan Daerah Tingkat II yang berkepentingan. Jika setelah tempo 6 (enam) bulan dilewati ternyata Presiden tidak mengambil keputusan terhadap peraturan pajak daerah tersebut, maka peraturan pajak daerah itu dianggap sebagai telah disahkan. Ketentuan ini merupakan konsekuensi bagi pemerintah agar pemerintah selalu merespon dengan tepat dan benar setiap peraturan pajak daerah. Sebaliknya jika Presiden memberi keputusan yang menyatakan tidak dapat menyetujui atas peraturan pajak daerah yang diterima, hal tersebut harus diberitahukan kepada pihak Pemerintah Daerah yang bersangkutan dengan disertai alasan-alasan penolakan. b. Periode UU No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pada periode ini juga diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 38). Ketentuan yang digunakan sebagai dasar pedoman berlakunya undang-undang ini adalah hasil evaluasi atau penilaian terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran

Mustaqiem 201

Negara Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2778) yang menunjukkan bahwa undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan yang dialami oleh bangsa Indonesia sehingga perlu diganti. Pada awal berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pengaturan Pajak dan Retribusi Daerah masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11/Drt/Tahun 1957 yang berlaku sampai dengan 1997, karena undangundang ini tidak termasuk dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1974. Pada Bab VII Penutup, Pasal 93 menetapkan bahwa pada saat berlakunya undang-undang ini, tidak berlaku lagi (b): “Segala ketentuan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain”. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 11/Drt/ Tahun 1957 baru dapat diganti pada tahun 1997 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 4) yang berlaku mulai 1997 sampai dengan 1999. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Pajak Daerah pengaturannya dengan Pasal 58 yang menetapkan: 1. Dengan undang-undang ditetapkan Ketentuan Pokok Pajak dan Retribusi Daerah; 2. Dengan Peraturan Daerah ditetapkan pungutan Pajak dan Retribusi Daerah; 3. Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang menurut cara yang diatur dalam undang-undang yang

202

Pengaturan Bidang Perpajakan...

tidak boleh berlaku surut. Pengertian Pajak Daerah menurut undang-undang ini, adalah : “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku, hasil pemungutan pajak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.” Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 prinsip otonomi yang dipergunakan adalah otonomi nyata dan bertanggungjawab, berbeda dengan prinsip otonomi sebelumnya. Otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, serta tumbuh, hidup dan berkembang di Daerah. Sedangkan yang dimaksud otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah. 184 Prinsip otonomi sebelumnya adalah otonomi luas yaitu keleluasaan Daerah untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan (termasuk bidang perpajakan daerah). Maksud dan tujuan diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974 adalah untuk menyeragamkan kedudukan Pemerintah Daerah guna menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan. Untuk kepentingan tersebut wilayah Indonesia dibagi atas 184

Muchsan, Kajian Yuridis Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Unisia No. 42/XXIII/I/2000, Yogyakarta, hlm. 355-356

Mustaqiem 203

daerah besar dan daerah kecil baik bersifat otonom maupun administratif. Sistem penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang tersebut bukan hanya berpedoman pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, tetapi juga asas pembantuan. Desentralisasi menurut undang-undang tersebut adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat yang lebih tinggi kepada daerah agar menjadi urusan rumah tangganya. Guna merealisir asas desentralisasi, maka dibentuklah daerah otonom yang meletakkan otonomi pada pada Daerah Tingkat II. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, sumber pendapatan daerah otonom terdiri atas : a) Pendapatan Asli Daerah Sendiri, terdiri atas : 1. Hasil pajak daerah 2. Hasil retribusi daerah 3. Hasil purusahaan daerah 4. Lain-lain hasil usaha daerah yang sah b) Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah, yang terdiri atas : 1. Sumbangan dari pemerintah 2. Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan c) Lain-lain pendapatan yang sah.

204

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa daerah memiliki pendapatan yang berasal dari Pajak Daerah meskipun hal itu bukan merupakan satu-satunya, sebab berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 suatu Pajak Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Daerah. Sampai tahun 1997 Pajak pusat yang diserahkan kepada daerah masih seperti yang diatur dalam UndangUndang Nomor 11/Drt/1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Selanjutnya, pada masa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : 1. Pajak Daerah Tingkat I, meliputi: a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 2. Pajak Daerah Tingkat II, meliputi : a. Pajak Hotel dan Restoran b. Pajak Hiburan c. Pajak Reklame d. Pajak Penerangan Jalan e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Selain pajak-pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (bersifat sentralistik), masih dapat ditetapkan juga jenis–jenis pajak daerah yang lain (Pasal 2 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 1997)

Mustaqiem 205

yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. bersifat sebagai pajak bukan retribusi, b. obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, c. potensi memadai, d. tidak memberikan dampak ekonomi yang negative, e. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, f. menjaga kelestarian lingkungan. Ketetapan Pasal 2 ayat (3) ini berlaku baik bagi Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, hal ini berarti masingmasing tingkatan memiliki kesempatan menambah pajak daerah di luar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan tarif maksimal pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 merupakan kewenangan Pemerintah (sentralistik), tarif yang ditetapkan sebagai berikut : 1. Pajak Kendaraan Bermotor sebesar 5% 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebesar 10% 3. Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor sebesar 5% 4. Pajak Hotel dan Restoran sebesar 10% 5. Pajak Hiburan sebesar 35% 6. Pajak Reklame sebesar 25% 7. Pajak Penerangan Jalan sebesar 0% 8. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C sebesar 20% 9. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebesar 20%

206

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Tujuan penetapan tarif tersebut adalah untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani. Tarif yang paling rendah tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif pajak yang sesuai dengan kondisi masyarakat daerahnya, termasuk di dalamnya untuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu. Ketetapan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat memiliki dominasi dalam menetapkan macam pajak daerah dan tarif paling tinggi Pajak Daerah. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang bersifat sentralistik. Sehubungan dengan penentuan objek (nama) dan tarif maksimal Pajak Daerah menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat tidak memberi keleluasaan bagi Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Tingkat II membuat kebijakan pengaturan perpajakan daerah secara mandiri, sehingga pada masa ini tidak dikenal adanya desentralisasi di bidang perpajakan daerah. Posisi Pemerintah Daerah sekedar pelaksana teknis kebijakan Pemerintah Pusat, meskipun dibuatkan Peraturan Daerah, kebijakan tersebut dapat menghambat upaya Pemerintah Daerah mencari pendapatan sebanyak-banyaknya guna menopang pelaksanaan otonomi dan pembangunan daerah. Landasan hukum penetapan tarif minimal bagi pajak daerah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a) tarif nomor 1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia ditetapkan seragam seluruh Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah (kebijakan ini bersifat sentralistik), dan b). tarif pajak nomor 4, 5, 6, 7, 8, 9, ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah

Mustaqiem 207

setempat ( kebijakan ini bersifat desentralistik). Kebijakan ini akan menyebabkan perbedaan tarif antara Daerah Tingkat II yang satu dengan lainnya. Daerah otonom dalam melaksanakan desentralisasi diberi hak membuat aturan hukum yang disebut Peraturan Daerah. Akan tetapi Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur bidang perpajakan daerah seperti yang ditetapkan oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 (hanya bersifat kebijakan tehnis) dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah; 2. Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur pajak daerah tidak dapat berlaku surut; 3. Peraturan Daerah tentang pajak daerah sekurangkurangnya mengatur ketentuan mengenai : a. nama, subjek, dan objek pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. wilayah pemungutan; d. masa pajak; e. penetapan; f. tata cara pembayaran dan penagihan pajak; g. kadaluwarsa; h. sanksi administrasi; i. tanggal mulai berlaku; Selain itu, Pasal 4 ayat (4) menetapkan bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dapat mengatur ketentuan mengenai : 1) Pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan dalam hal tertentu atas pokok

208

Pengaturan Bidang Perpajakan...

pajak dan /atau sanksinya; 2) Tata cara penghapusan piutang pajak kadaluwarsa; 3) Asas timbal balik. Peraturan Daerah yang akan dipergunakan untuk mengatur Pajak Daerah tidak begitu saja dapat langsung diberlakukan tetapi lebih dahulu harus dimintakan persetujuan Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari Menteri Keuangan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat pemungutan Pajak Daerah merupakan bagian dari sistem perpajakan nasional yang memerlukan pembinaan yang terus menerus dan terpadu. Setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan, selanjutnya Menteri Dalam Negeri mengambil keputusan untuk mengesahkan atau menolak mengesahkan atau meminta penyempurnaan Peraturan Daerah yang diajukan. Langkah-langkah keputusan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengambilan keputusan dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud. Jangka waktu 3 (tiga) bulan dapat diperpanjang selama tiga bulan lagi dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu tiga bulan yang pertama berakhir. Apabila ketentuan waktu 6 (enam) bulan terlewati dan ternyata Menteri Dalam Negeri tidak mengambil keputusan apapun, maka Peraturan Daerah yang pernah diajukan dianggap telah disahkan sehingga dapat diberlakukan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Jika Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan dikemudian hari ditetapkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka

Mustaqiem 209

Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan atau meminta penyempurnaan Peraturan Daerah dimaksud, hal ini merupakan bentuk pengawasan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat menetapkan Peraturan Daerah, dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Peraturan daerah atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya; 2. Peraturan daerah tidak boleh mengatur suatu hal yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya; 3. Peraturan daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah tingkat bawahannya. Ketentuan pasal tersebut merupakan bentuk pengawasan preventif yang dilakukan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tata cara pemungutan pajak daerah menggunakan Official Assesment System, hal ini didasarkan pada Pasal 7: (1) Pajak dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah; (2) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.

210

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terhutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan : 1. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SDPKDP) : (a) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang, tidak atau kurang dibayar, (b) apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak disampaikan, (c) apabila kewajiban mengisi Surat pemberitahuan Pajak Daerah tidak dipenuhi; 2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru yang menambah jumlah pajak, dan 3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil. Bagi Wajib Pajak yang menerima SKPDKB angka 1 huruf a dan b dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) untuk satu bulan terhitung dari pajak daerah yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terhutangnya pajak. Sedangkan bagi wajib pajak yang melanggar ketentuan angka 2 dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak daerah. Upaya hukum bagi wajib pajak yang merasa dirugikan dijamin oleh Undang-Undang ini dengan dua tahapan hak, yaitu : (1) hak mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak

Mustaqiem 211

Daerah Nihil, pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang berlaku; dan (2) hak mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. c. Periode Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah Sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk melaksanakan desentralisasi dengan cara menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan Otonomi Daerah perlu lebih ditekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah akan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehubungan dengan uraian di atas, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974, Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037) kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut undang-undang ini, wilayah Indonesia di bagi menjadi dua tingkatan, yaitu (1) Daerah Propinsi, (2) Daerah Kabupaten/Kota bersifat otonom.

212

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dasar pertimbangan diadakan pergantian ini adalah karena menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan dengan cara memberikan kewenangan lebih luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penyebutan Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengalami perubahan menjadi Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota. Demikian juga yang menyangkut kebijakan (policy) penempatan Pajak Daerah mengalami perubahan jika dibandingkan dengan yang diatur oleh undang-undang sebelumnya. Menurut undang-undang sebelumnya, Pemerintah Daerah Tingkat I hanya memiliki tiga macam Pajak Daerah, tetapi berdasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Pemerintah Propinsi mendapat tambahan satu macam Pajak Daerah, sehingga menjadi empat macam Pajak Daerah. Pajak Daerah yang ditambahkan kepada Pemerintah Propinsi ialah Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang berasal dari Daerah Tingkat II, kemudian kepada Daerah Tingkat II diberi pajak parkir sebagai pengganti. Perlu diketahui bahwa Pajak Parkir tidak sama dengan Retribusi Parkir.

Mustaqiem 213

Daerah otonom adalah daerah yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan undang-undang ini daerah diberikan status sebagai daerah otonom, maka dalam undang-undang ini juga ditetapkan sumber-sumber pendapatan bagi daerah. Sumber-sumber pendapatan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 79 terdiri atas : 1. Pendapatan Asli Daerah, meliputi : a. hasil pajak daerah; b. hasil retribusi daerah; c. hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; 2. Dana perimbangan; 3. Pinjaman daerah, dan 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Berdasar Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah , ditetapkan bahwa dana perimbangan yang diperoleh daerah terdiri atas : (a) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam; (b) Dana Alokasi Umum, dan (c) Dana Alokasi Khusus. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 membedakan pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah

214

Pengaturan Bidang Perpajakan...

yang berasal dari hasil pajak daerah menjadi dua yaitu Pajak Daerah Propinsi ( Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan); dan Pajak Daerah Kabupaten/Kota ( Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir). Penentuan pajak–pajak ini sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan: “Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undangundang”. Guna merealisir ketetapan ini diperlukan dukungan dari Pasal 82 ayat (2) yang menetapkan bahwa: “Penentuan tarif dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tarif pajak daerah yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh melebihi tarif maksimal yang ditentukan oleh Pemerintah, sebab berdasar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 3 ayat (1) ditetapkan bahwa : “tarif jenis pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Pajak Daerah Propinsi dan Kabupaten / Kota ditetapkan paling tinggi…” Ketetapan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut menunjukkan bahwa terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan Pemerintahan Daerah (dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 ke Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) tidak berpengaruh terhadap kebijakan

Mustaqiem 215

Pemerintah dalam bidang perpajakan daerah, sebab Pemerintah tetap sebagai pihak yang menentukan nama (objek) Pajak Daerah (kebijakannya bersifat sentralistik). Demikian pula tarif Pajak Daerah paling tinggi prosentasenya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan ketetapan prosentase tarif pajak tertinggi masih seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 (kebijakannya bersifat sentralistik). Dasar hukum pengaturan tarif maksimal pajak daerah dibedakan menjadi dua yaitu tarif pajak daerah Propinsi yang diatur dengan Peraturan Pemerintah dan ketentuan tarif pajak daerah Kabupaten/Kota yang diatur dengan Peraturan Daerah. Meskipun tarif maksimal pajak daerah yang menetapkan adalah Pemerintah berdasarkan undang-undang, kebijakan ini menunjukkan bahwa Pemerintah tetap memiliki dominasi terhadap pengaturan bidang perpajakan Daerah, sehingga daerah tidak memiliki keleluasaan mengatur. Guna mendukung Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka diberlakukanlah Pasal 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang menetapkan : 1. Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah; 2. Peraturan Daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut; 3. Peraturan Daerah tentang pajak sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai : a) nama, objek, dan subjek pajak; b) dasar pengenaan, tarif,dan cara penghitungan pajak; c) wilayah pemungutan; d) penetapan; e) tata cara pembayaran dan penagihan; f) kadaluwarsa; g) sanksi administrasi, dan h) tanggal mulai berlakunya.

216

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ketentuan lain menetapkan bahwa Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur pajak boleh juga memuat tentang : 1. pemberian pengurangan, keringanan, pembebasan hal hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; 2. tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa; 3. asas timbal balik. Selain pajak-pajak tersebut, berdasarkan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (4) dimungkinkan bagi Kabupaten atau Kota menetapkan jenis Pajak Daerah yang lain dan landasan hukumnya cukup berdasarkan Peraturan Daerah, tetapi harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a) Harus bersifat pajak bukan retribusi; b) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan; c) Objek dan dasar pemungutan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d) Objek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau objek pajak pusat; e) Potensi memadai; f) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g) Memperhatikan dampak ekonomi yang negatif; h) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini dapat dipergunakan untuk mewujudkan desentralisasi bidang perpajakan daerah, seperti yang pernah ada pada masa Undang-Undang Nomor 11/Drt/ 1957 meskipun diikuti dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

Mustaqiem 217

Selanjutnya dalam hal pengawasan terhadap pengaturan bidang perpajakan Daerah tidak boleh meninggalkan hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pusat. Hal tersebut diatur oleh Pasal 5A Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa Peraturan Daerah yang mengatur dan menetapkan jenis pajak Kabupaten/Kota harus disampaikan kepada Pemerintah paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Jika penilaian terhadap Peraturan Daerah yang disampaikan tersebut hasilnya menunjukkan bahwa substansi Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat membatalkan peraturan yang dimaksud (bersifat represief). Pembatalan harus dilakukan selambatlambatnya 1 (satu) bulan dihitung sejak saat diterimanya Peraturan Daerah dimaksud. Dalam hal pengawasan yang menjadi tugas kewajiban Pemerintah terhadap produk Peraturan Daerah di bidang perpajakan ternyata lebih tegas dibandingkan dengan sistem pengawasan yang berdasar peraturan perundangundangan Pajak dan Retribusi Daerah sebelumnya. Sebab menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dalam melakukan pengawasan Pemerintah harus memberikan keputusan terhadap Peraturan Daerah yang mengatur bidang perpajakan yang diterima, apakah keputusannya membatalkan atau tidak membatalkan. Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota meskipun sudah mendapatkan jatah beberapa macam Pajak Daerah

218

Pengaturan Bidang Perpajakan...

dan sudah menjadi tanggungjawabnya, tetapi hasil pemungutannya tidak semua diperuntukkan baginya. Sebab hasil pajak Propinsi akan dibagikan juga kepada Kabupaten/Kota, demikian pula hasil pajak Kabupaten/ Kota, sebagian hasilnya akan dibagikan kepada Pemerintah Desa. Mengenai penerimaan pajak Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada Pemerintah Desa di wilayahnya paling sedikit 10 % (sepuluh persen). Adapun pembagian hasil Pajak Daerah yang berasal dari Propinsi yang diperuntukkan bagi Kabupaten/Kota terdiri atas: (1) Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Hasil pajak tersebut yang paling sedikit diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 30% (tiga puluh persen); (3) Penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor, paling sedikit diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); (4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, diserahkan kepada Kabupaten/Kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen). d. Periode Tahun 2004 Pada tanggal 15 Oktober 2004 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 125). UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 239 menetapkan: “Pada saat berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang

Mustaqiem 219

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku”. Latar belakang pencabutan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 karena undang-undang ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, dalam undangundang ini dijelaskan juga tentang desentralisasi. Pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsekuensi daerah otonom ialah harus memiliki sumber pendapatan daerah yang dipergunakan untuk mendukung tugas dan kewenangan yang dimiliki. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 157, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas : a) Pendapatan Asli Daerah, meliputi : 1. hasil pajak daerah; 2. hasil retribusi daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; 4. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. b) dana perimbangan; c) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; Ketentuan mengenai sumber-sumber pendapatan daerah dimuat pula dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ayat

220

Pengaturan Bidang Perpajakan...

(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah. Pajak Daerah yang merupakan bagian dari pendapatan asli daerah pengaturannya berdasarkan Pasal 158 yaitu : (1) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah; (2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pemungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan dengan undang-undang”. Pengaturan bidang perpajakan daerah berdasarkan Pasal 158 ternyata bersifat sentralistik, hal ini terjadi karena menurut Pasal 10 ayat (1): “Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah”. Menurut ayat (3): “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah meliputi : (a) Politik luar negeri, (b) Pertahanan; (c) Keamanan; (d) Yustisi; (e) Moneter dan fiskal nasional, dan (f) agama. Selain pengaturannya bersifat sentralistik, secara umum Pemerintah Pusat melakukan pencegahan dengan cara preventif maupun represif. Ketentuan ini berdasarkan pada Pasal 136 ayat (4) : “Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi”; dan Pasal 145 ayat (2): “Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.

Mustaqiem 221

Pencegahan yang bersifat preventif dan represif tersebut dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 7 menetapkan bahwa dalam upaya meningkatkan pendapatan asli Daerah, Daerah dilarang: (1) menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan (2) menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor. Saat berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum secara otomatis diikuti perubahan Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Pada masa ini pengaturan Pajak dan Retribusi Daerah masih tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Hal ini didasarkan pada Pasal 238 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menetapkan : “Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku”. Perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Tetapi harus diakui bahwa dalam perjalanan sejarah negara Indonesia telah menampakkan dimensi-dimensi sejarah yang pada akhirnya mempunyai suatu bentuk persatuan dan kesatuan seperti apa adanya sekarang. Meskipun kita katakan melalui suatu proses dinamis yang sesuai dengan jiwa

222

Pengaturan Bidang Perpajakan...

jamannya.185 Sejalan dengan proses dinamis sesuai dengan jiwa jamannya itu, maka secara umum perjalanan sejarah negara Indonesia dapat dibagi dalam 3 (tiga) babakan, yaitu 1) Nusantara, 2) Hindia Belanda dan, 3) Republik Indonesia. Republik Indonesia adalah suatu negara yang merupakan sebuah organ. Organ ini telah mengalami beberapa kali perubahan dari bentuk kesatuan berubah menjadi bentuk federalis, dan kembali lagi ke bentuk kesatuan pada 5 Juli 1959. Negara merupakan sebuah organ secara yuridis konstitusional terdiri dari rakyat, wilayah dan pemerintahan yang ketiganya tidak dapat dipisahpisahkan. Meskipun sejak 17 Agustus 1950 negara Republik Indonesia kembali berbentuk kesatuan, namun UndangUndang Dasar 1945 tidak dapat digunakan untuk menata negara kesatuan yang “baru” ini. Hal itu disebabkan karena adanya kesepakatan di dalam bentuk kabinet yang akan digunakan untuk menjalankan pemerintahan negara. Sistem kabinet pada negara kesatuan yang “baru” ini adalah sistem Kabinet Parlementer, sedangkan sebagaimana yang kita ketahui Undang-Undang Dasar 1945 adalah mengggunakan sistem Kabinet Presidensiil. Supaya negara kesatuan yang “baru” ini bisa ditata berdasar kesepakatan elit politik pada waktu itu selanjutnya diciptakanlah sebuah Undang-Undang Dasar baru dan Undang-Undang Dasar baru dimaksud dikenal dengan nama Undang Undang Dasar Sementara tahun 1950. Undang 185 Anhar Gonggong, Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah, Dan Federalisme, Media Pressindo, Jogyakarta, 2001, hlm. 1

Mustaqiem 223

Undang Dasar ini mengandung pasal-pasal yang menampakkan sistem Kabinet Parlementer atau demokrasi liberal.186 Pada masa UUD-Sementera 1950 ini lahir UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, yang sebenarnya memutuskan pelimpahan kewenangan dengan sungguh-sungguh atau nyata kepada Pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya bidang perpajakan daerah. Bidang ini diatur dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang menetapkan: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”. Ketetapan tersebut menunjukkan adanya keleluasaan Daerah mengadakan, menambah, meniadakan Pajak Daerah ( pengaturannya bersifat desentralistik). Pajak Daerah menurut Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah Pajak Asli Daerah, sebab ada beberapa Pajak Pusat yang diserahkan kepada Daerah. Pasal tersebut juga menunjukkan bahwa “hadirnya” Pajak Daerah bukan atas dasar keputusan Pemerintah Pusat, melainkan atas dasar inisiatif Pemerintah Daerah sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada masa itu dapat disebut juga sebagai masa desentralisasi Pajak Daerah yang nyata (riil). Semua itu tidak lepas dari ketentuan Pasal 131 UUD-Sementara 1950 yang menetapkan: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonomi)...”. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 memiliki sifat sementara, sebab di dalam Undang-Undang 186

Ibid., hlm. 35

224

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Dasar tersebut terdapat Pasal 134 yang menetapkan bahwa “Konstituante (yang membuat Undang Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD-Sementara.187 Kenyataannya, Konstituante tidak dapat membuat Undang-Undang Dasar sehingga terbitlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dasar hukum kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 pembagian daerah Indonesia atas besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk merealisir kehendak pasal tersebut pada tahun 1974 diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Lahirnya Undang-Undang ini dapat dikatakan sebagai proses awal (yuridis-formal) kembalinya semangat sentralisasi.188 Sebab dalam undang-undang ini disebutkan “...sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Pemerintah Daerah sejauh mungkin diseragamkan”. Hal ini berdampak terhadap pengaturan pajak daerah yang tidak lagi menggunakan sistem riil, tetapi beralih menggunakan sistem materiil. Menurut sistem itu, urusan pemerintahan menjadi wewenang dan kewajiban daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri berdasarkan pada aspek penyerahan baik dari Pemerintah Pusat maupun 187

Ibid., hlm. 59 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara (Kajian kritis atas kebijakan otonomi daerah), Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2000, hlm. 43 188

Mustaqiem 225

Daerah tingkat yang lebih atas. Berdasarkan uraian tersebut serta dihubungkan dengan substansi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 menunjukkan bahwa pengaturan bidang Perpajakan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat memiliki sifat penyerahan kepada Pemerintah Daerah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menetapkan jenis pajak daerah Daerah Tingkat I dan Tingkat II, sehingga hal ini menunjukkan bahwa pengaturan bidang perpajakan daerah bersifat sentralistik, karena Pemerintah Pusat yang menetapkan nama objek pajak daerah (namanama pajak daerah) dan batas maksimal presentase tarif pajak daerah. Berdasarkan ketetapan seperti itu, maka Pemerintah Daerah hanya terbatas sebagai pihak pelaksana teknis meskipun harus membuat Peraturan Daerah. Hal ini terjadi karena tidak lepas dari arah politik hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang tidak memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah, tetapi hanya memberikan otonomi nyata dan bertanggung jawab. Berlakunya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 sampai dengan tahun 1999, karena mulai tahun 1999 diberlakukan peraturan perundangundangan yang baru ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disesuiakan dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa ini juga diundangkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

226

Pengaturan Bidang Perpajakan...

Substansi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 berbeda. Letak perbedaanya adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dalam mengatur bidang perpajakan daerah menggunakan dua sifat, ialah : 1) sifat sentralistik ( penetapan objek pajak atau nama–nama pajak dan penetapan maksimal presentase tarif pajak daerah), dan 2) sifat desentralistik (dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota selain yang ditetapkan dalam Pasal 2 ayat 2 ). Ketentuan tersebut memberikan kesempatan bagi Kabupaten/Kota meningkatkan pendapatan asli daerah dengan menciptakan landasan hukum pemungutan pajak daerah berdasarkan inisiatif daerah. Tentu saja pengaturan tersebut tidak lepas dari pengetrapan sistem desentralisasi yang merupakan suatu delegasi tanggung-jawab, yaitu suatu penyerahan (diffusion) kekuasaan dan kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan.189 Sebelumnya pengaturan bidang perpajakan daerah menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 bersifat sentralistik (Pemerintah sebagai pihak yang menetapkan objek (nama) pajak daerah dan tarif maksimal pajak daerah). Pengaturan bidang perpajakan daerah menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pengaturannya tetap bersifat sentralistik dan bersifat desentralistik, karena Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap 189

KJ. Davey, op. cit., hlm. 181

Mustaqiem 227

berlaku. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengaturan bidang perpajakan daerah masih tetap berada di pihak Pemerintah, sedang pihak daerah posisinya sebatas sebagai penerima dan pelaksana kebijakan yang telah ditetapan oleh pemerintah. Kebiasaan tersebut menghasilkan produk hukum seperti yang dinyatakan oleh Moh. Mahfud, bahwa: “Karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan produk hukum tertentu pula. 190 Pendapat Moh. Mahfud dapat dipergunakan untuk membaca pengaturan bidang Perpajakan Daerah selama ini, hal tersebut dapat diketahui melalui tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5 Macam Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah Dalam Sistem Hukum Pajak Indonesia. 1957 - 2004 No

UU Pajak Daerah

Pengaturan Pajak Daerah

Pengaturan Daerah

1 UU No.11/1957 DPRD berhak mengadakan pajak Otonomi seluasdan retribusi daerah (pengaturan luasnya. bidang perpajakan daerah bersifat desentralistik).

190

Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 376

228 2

Pengaturan Bidang Perpajakan... UU No.18/1997 Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan Pemerintah (pengaturan bidang perpajakan daerah bersifat sentralistik). Dengan PP dapat ditetapkan jenis pajak selain yang sudah ditetapkan (pengaturannya bersifat sentralistik).

3 UU No.34/2000 Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan Pemerintah (pe ngaturan bidang perpajakan daerah bersifat sentralistik) Pemda (Kab./Kota) berhak menetapkan pajak daerah di luar yang sudah ditetapkan Pemerintah (pengaturan bidang perpajakan daerah bersifat desentralistik).

Otonomi nyata, dan bertanggungjawab (UU No. 5 Tahun 1974).

Otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab (UU No. 22 Tahun 1999)

4 UU No.34/2000 Pajak dan Retribusi Daerah Otonomi seluasditetapkan pemerintah luasnya (UU No. (pengaturan bidang 32 Tahun 2004) perpajakan daerah bersifat sentralistik) Pemda (Kab./Kota) berhak menetapkan pajak daerah di luar yang sudah ditetapkan pemerintah (pengaturan bidang perpajakan daerah bersifat desentralistik).

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulanya adalah bahwa pengaturan bidang perpajakan daerah dalam sistem hukum pajak Indonesia selama ini dapat dibedakan menjadi tiga sistem, ialah : 1) sistem desentralisasi, 2) sistem sentralisasi, dan 3) sistem campuran (sentralisasi dan desentralisasi).

PRODUK HUKUM PAJAK BAB DAERAH DALAM SISTEM III HUKUM PAJAK INDONESIA 1. Hukum Pajak Pengertian hukum pada dasarnya dapat ditafsirkan secara terbatas, ialah sebagai keputusan penguasa.191 Begitu juga hukum pajak merupakan keputusan penguasa. Di Indonesia hal tersebut didasarkan atas Pasal 23 A Undang Undang Dasar 1945: “Segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa harus berdasarkan undang-undang”. Hukum pajak merupakan lapangan hukum yang masih sangat tidak populer, namun demikian beberepa sarjana menganggap hukum pajak merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan sendiri yang akhir-akhir ini maju pesat, sebagai obyek studi ilmu hukum pajak atau hukum fiskal.192 Kusumadi Pudjosewojo, 193 dalam bukunya Pedoman Pengantar Tata Hukum Indonesia mengatakan bahwa 191

Yudha Bangkit Ardhiwisastra, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 6 192 Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. iii 193 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Universsitas, Bandung, 1961, hlm. 177

230

Produk Hukum Pajak...

“Nama lain Hukum Pajak adalah Hukum Fiskal”. Hal itu dikuatkan oleh Sindian Isa Djajadiningrat dalam pidatonya, dia menyatakan bahwa “Hukum Pajak harus berdekatan dengan keadilan” dan dia juga menyebut istilah “Hukum Pajak” adalah sama dengan “Hukum Fiskal”. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak menerangkan : siapa wajib pajak (subyek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, obyek-obyek apa yang dikenakan pemerintah, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.194 Pihak yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi dan badan, keduanya ini harus menuhi ketentuan peraturan perundang-undangan pajak. Semisal subyek pajak harus memiliki penghasilan kena pajak (Pajak Penghasilan), memiliki tanah dan/atau bangunan (Pajak Bumi dan Bangunan), memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor atau Kendaraan di atas Air (Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air). Ketika orang pribadi dan/atau badan yang sudah berstatus sebagai subyek pajak, maka melekat pada dirinya kewajiban membayar pajak sesuai waktu yang ditetapkan. Kewajiban itu juga sangat tergantung dari obyek pajak yang dimiliki oleh wajib pajak. Objek yang dikenakan pajak adalah sangat beragam, baik yang termasuk pajak pusat maupun pajak daerah 194

Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 24-25

Mustaqiem 231

(misalnya adalah Pajak Penghasilan obyeknya penghasilan; Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa obyeknya penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, pemanfaatan jasa kena pajak dari daerah pabean di dalam daerah pabean, ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak; Pajak Bumi dan Bangunan obyeknya bumi dan/atau bangunan; Pajak Kendaraan Bermotor obyeknya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor) Cara pemungutan pajak dapat dilakukan pada awal tahun pajak, akhir tahun pajak, maupun pada setiap saat. Selanjutnya bagi subyek pajak yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan keberatan kepada Direktur Jendral Pajak. Selain memiliki hak mengajukan keberatan, subyek pajak masih memiliki upaya hukum lain yaitu mengajukan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak maupun Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Di bidang perpajakan daerah dikenal juga hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding. Hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 45 ayat (1) : “ Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas “suatu” Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT), Surat Ketetapan Pajak

232

Produk Hukum Pajak...

Daerah Lebih Bayar (SKPDLB), maupun Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN). Jika Wajib Pajak belum dapat menerima keputusan dari Gubenur atas keberatan yang diajukan, Wajib Pajak masih boleh menggunakan hak mengajukan banding, hal ini diatur dalam Pasal 46 ayat (1) ;” Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)”. Badan inilah yang oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 diganti dengan Pengadilan Pajak. Banyak pendapat tentang definisi hukum pajak, salah satu yang relatif komprehensif adalah yang diungkapkan oleh Santoso Brotodiharjo yang menyatakan bahwa Hukum Pajak disebut juga Hukum Fiskal,195 secara lengkapnya adalah : “Keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik yang mengatur hubungan–hubungan hukum antara Negara dan orangorang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak)” Kedua pendapat tentang hukum pajak tersebut pada dasarnya tidak ada perbedaan, sebab keduanya berpendapat bahwa dalam kebijakan pemungutan pajak akan selalu muncul pemaknaan saling berhadapan antara dua pihak yaitu pemungut pajak (fiscus) dan masyarakat (wajib pajak) yang diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu selaras dengan kewjiban pajak subyektif yang dimungkinkan 195

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 1

Mustaqiem 233

Wajib Pajak berstatus sebagai orang pribadi maupun badan. Pengertian tersebut dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (1): Wajib Pajak adalah Orang atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditetapkan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut/ pemotong pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (2) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. Ditambah lagi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (1) yang menetapkan bahwa Subyek Pajak Penghasilan adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, bentuk usaha tetap. Pengertian Bentuk Usaha Tetap menurut UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (5) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak

234

Produk Hukum Pajak...

bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal di Indonesia dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia (maksudnya badan yang didirikan dan berada di luar wilayah Indonesia) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang dipergunakan untuk eksplorasi pertambangan, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. Suatu bentuk usaha tetap juga mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tetap ini bersifat permanent dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi

Mustaqiem 235

atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usahanya atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, kecuali agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Term “tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal di Indonesia” mengandung pengertian bahwa badan yang didirikan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia atau suatu badan yang didirikan dan bertempat tinggal di wilayah negara asing dan tempat kedudukan badan tersebut tetap di negara yang bersangkutan. Contohnya, Subjek Pajak Penghasilan terdiri atas Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, badan yang didirikan atau bertempat tinggal di Indonesia, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

236

Produk Hukum Pajak...

Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Pembedaan antara kedua Subjek Pajak tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan status kewarganegaraan, karena pada suatu saat warga negara Indonesia dapat menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri dan dapat berubah sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, demikian pula sebaliknya asalkan semuanya memenuhi kriteria yang ditetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain alasan tersebut, perbedaan status antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri dapat didasarkan pada asas pemungutan pajak yang dianut Indonesia, yaitu 1) Asas domisili, dan 2) Asas sumber. Berdasarkan uraian tentang subjek pajak, pada dasarnya subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) subyek pajak yang bersifat umum, (2) subjek pajak yang bersifat khusus. Subjek pajak yang bersifat umum diatur dengan Undang- Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sedangkan subjek pajak yang bersifat khusus (disebut sebagai wajib pajak) diatur oleh masing-masing Undang-Undang yang bersangkutan, semisal UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Atas Barang Mewah, UU Pajak Bumi dan Bangunan, demikian juga yang berkaitan dengan pajak-pajak daerah.

Mustaqiem 237

Meskipun uraian sebelumnya menjelaskan adanya Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri, tetapi dalam hal pajak daerah tidak dikenal adanya perbedaan status tersebut. Sebab pajak daerah bisa dikenakan kepada semua wajib pajak. Seperti ketetapan dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 1 : a) ayat (10) : “Pajak Kendaraan Bermotor, adalah pajak yang dipungut atas pemilikan dan/atau penguasan kendaraan bermotor. b) ayat (11) : “Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, adalah pajak yang dipungut oleh Daerah atas setiap penyerahan kendaraan bermotor dalam hak milik, c) ayat (20) : “Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, ialah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air. d) ayat (21) : “Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, adalah pungutan daerah atas pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Ketentuan–ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak pajak daerah terdiri Wajib Pajak Dalam Negeri maupun Wajib Pajak Luar Negeri, karena kedua wajib pajak tersebut bisa memiliki kendaraan bermotor, menyerahkan kendaraan bermotor kepada pihak lain, membeli bahan bakar kendaraan bermotor, maupun memanfaatkan air di permukaan maupun di bawah tanah.

238

Produk Hukum Pajak...

A. Syarat Pembuatan Hukum Pajak Sejarah pemungutan pajak pada umumnya secara singkat dapat diawali pada jaman purbakala.196 Pada jaman itu orang menganggap sangat bijaksana dan berbudi luhur untuk secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan kehidupan negaranya, seperti halnya dengan pikiran rakyat dari Negara Yunani purba. Pandangan seperti ini dianggap sebagai pandangan yang baik sampai pada abad pertengahan yaitu antara tahun 476 Masehi tahun jatuhnya kerajaan Romawi Barat dan tahun 1492 yaitu tahun diketemukannya benua Amerika, sehingga pungutan pajak secara paksa belum dikenal. Pengeluaran-pengeluaran para raja pada waktu itu dibiayai dengan penghasilan dan kekayaan pribadi, bahkan pengeluaran-pengeluaran bagi keperluan negarapun ditutup dengan penghasilan dan kekayaan pribadi para raja. Hanya dalam keadaan yang sangat mendesak sekali apabila pengeluaran-pengeluaran akan melebihi pendapatan pribadi raja, baru kemudian raja menyampaikan permintaan kepada rakyat akan sumbangan berupa barang atau uang. Permintaan raja seperti itu dalam bahasa Belanda disebut “Bede”. Lambat laun sifat permintaan itu berubah menjadi suatu paksaan. Proses sifat paksaan tersebut dimulai setelah kerajaankerajaan memperluas wilayahnya dengan cara menundukkan suku-suku bangsa lain, karena rakyat yang berada di bawah kekuasaannya tanpa adanya paksaan tidak akan memberikan sumbangan untuk memelihara berlangsungnya negara. 196

Soedargo, op. cit., hlm. 2

Mustaqiem 239

Pelaksanaan pemungutan pajak pada waktu itu diserahkan kepada alat-alat bersenjata yang pada saat tertentu mendatangi pasar-pasar atau menghadang pedagang-pedagang di persimpangan jalan untuk meminta sebagian harta kekayaannya bagi keperluan pemeliharaan negara. Pemungutan pajak secara sewenang-wenang tersebut dalam jaman modern sekarang sudah tidak pada tempatnya. Jaman sekarang pelaksanaan pemungutan pajak harus didasarkan pada asas-asas dan norma-norma hukum, dan dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal seperti : 1. Keadilan dalam arti bahwa pungutan itu harus bersifat umum, merata dan menurut kekuatan; 2. Ekonomis dapat diterima, yakni pungutan itu tidak akan merusak sumber-sumber kemakmuran rakyat; 3. Dapat mencapai tujuannya, dalam arti pungutan itu jangan sampai mengakibatkan adanya kemungkinan penyelundupan atau pengurangan hasil karena tarifnya terlalu tinggi. Hukum pajak dalam kebijakan di bidang perpajakan harus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah yang kita namakan asas pemungutan pajak yang termasuk dalam lapangan filsafat hukum (Rechtsfilosofisch) di sampaing asasasas lainnya seperti yuridis, ekonomis, dan finansiil.197 Lepas dari kenyataan bahwa pada proses pembuatan peraturan perundang-undangan pajak harus selalu memegang teguh asas keadilan sering kali juga dipersoalkan, yaitu apakah pemungutan pajak yang dilakukan oleh suatu negara 197

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 10

240

Produk Hukum Pajak...

berdasarkan atas keadilan. Dari abad ke abad selalu timbul pertanyaan di dalam benak banyak orang, apa dasar hukum kewajiban membayar pajak? Istilah lainnya adalah atas dasar apa negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan sebutan pajak. Sesuai dengan tujuan hukum, kebanyakan sarjana menganggap bahwa tujuan hukum pajak adalah membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. 198 Persoalan keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya, maupun prakteknya sehari-hari, inilah sendi pokok yang harus diperhatikan baik-baik oleh setiap negara dalam melancarkan usahanya melakukan pemungutan pajak. Dengan demikian, syarat mutlak bagi pembuat undangundang pajak merupakan juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban melaksanakan, hal tersebut merupakan pertimbangan-pertimbangan dan perbuatan-perbuatan yang adil pula.199 Sebaliknya menurut sejarah, pemungutan pajak tidak selalu mengabdi kepada keadilan. Seperti pada jaman para raja, ada suatu pemungutan pajak yang tidak terbatas tetapi tetap dirasakan adil pada waktu itu, tetapi pada saat sekarang ini tidak demikian karena pemungutan pajak didasarkan pada peraturan perundang-undangan agar dapat mencerminkan rasa keadilan. Contoh lainnya, pada jaman dahulu suatu negara yang kalah dalam peperangan 198 199

Ibid. Ibid.

Mustaqiem 241

harus membayar sejumlah uang atau hasil bumi setiap tahun kepada yang menaklukkannya, hal seperti ini pada waktu dahulu dianggap adil, tapi pada negara modern waktu sekarang ini hal tersebut dinilai tidak adil. Sebaliknya Prins berpendapat bahwa hukum pajak sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur pemungutan pajak akan selalu mengabdi pada keadilan. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia, membicarakan hubungan antar manusia sama dengan membicarakan masalah keadilan.200 Salah satu pengertian keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya.201 Keadilan ini merupakan keadilan rasional tidak memerlukan instansi yang transcendental, melainkan bertumpu pada pemahaman akal manusia terhadap dunia pengalaman.202 Menurut Charles Merriam E. seperti yang dikutip Satjipto Rahardjo, keadilan atau adil akan terbayang apabila di dalam perumusannya haruslah mengandung beberapa unsur : 1) A system of understanding, 2)Prosedures through which each is according.203 Selain persoalan keadilan, peraturan perundang-undangan pemungutan pajak harus memuat ketentuan yang menjelaskan bahwa pemungutan pajak itu bersifat umum dan merata. 200

Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 159 Ibid., hlm. 163 202 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil (Problematik Filsafat Hukum), Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 129 203 Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 84 201

242

Produk Hukum Pajak...

Adagium ini berasal dari paham liberalistis yang berpangkal tolak pada diktum individualisme: “man are created free and equal”, manusia bebas merdeka terpisah satu sama lain dan sejajar. Karena itu terhadap pemungutan pajak dinyatakan bahwa setiap orang harus membayar pajak, tidak dibedakan kelas, keturunan, keyakinan dan pembebasan pajak hanya masuk akal terhadap mereka yang tidak ada kemampuan tetapi bukan terhadap mereka yang justru makmur. Selain itu, unsur keadilan dalam pajak dapat ditemukan dalam cara pemungutannya, keadilan juga akan terasa apabila pajak dipergunakan untuk merealisasi tujuan negara yang berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Di Indonesia keadilan yang diikuti dalam pemungutan pajak adalah keadilan “umum dan merata”. Karena kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan diskriminasi, baik dari aspek sosial ekonomi, keyakinan, maupun status kewarganegaraan. Hal tersebut terlihat dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Wajib Pajak adalah : “orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu”. Ketetapan Pasal 1 ayat (1) ini dikuatkan oleh penjelasan Pasal 16 B ayat (1) yang menegaskan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam Undang-undang Pajak adalah diberlakukan dan diterapkan perlakukan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau

Mustaqiem 243

terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah timbulnya diskriminasi dalam pemungutan pajak. Keadilan dalam perpajakan memiliki tiga demensi antara lain : 1. Keadilan secara vertikal, hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Secara umum pajak itu baik kalau pajak tersebut”progressief”, yaitu persentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya. Pembebanan masih dapat diterima kalau dikenakan secara proposional, yaitu kalau persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak sama untuk semua tingkatan pendapatan. Pajak tidak baik apabila pembebanannya “regresif” maksudnya adalah persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak mengalami penurunan dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan. Meskipun pandangan tersebut diterima secara luas, tetapi terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa pajak itu dinilai adil kalau bebannya proposional atas pendapatan atau kekayaan. Apabila dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, baik penyimpangan progresif atau maupun regresif akan berakibat negative; 2. Keadilan secara horizontal, hubungan pembebanan pajak dengan sumber pendapatan. Seseorang yang menerima gaji seharusnya tidak membayar pajak lebih besar dari pada seseorang dengan pendapatan yang sama dari

244

Produk Hukum Pajak...

bisnis atau pertanian. Seorang petani yang mengusahakan tananam ekspor seharusnya tidak membayar pajak lebih besar dari pada petani dengan pendapatan yang sama di bidang tanaman pangan; 3. Keadilan secara geografis, maksudnya pembebanan pajak harus adil antara penduduk di berbagai daerah. Orang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu seperti halnya kadang-kadang terjadi pada perbatasan kota.204 Dihubungkan dengan keadilan vertical, horizontal, dan geografis, maka pemungutan pajak di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Ditinjau dari Aspek Keadilan Vertikal Pemungutan pajak di Indonesia menganut juga keadilan vertikal, hal ini dapat diketahui dalam pengenaan pajak penghasilan. Subjek pajak penghasilan yang mempunyai penghasilan kena pajak akan dikenakan tarif pajak yang bersifat progressief, artinya subyek pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak berjumlah besar akan dikenakan pajak yang besar pula demikian sebaliknya. Contoh pemberlakukan keadilan vertikal, sebagai berikut : 1. Wajib Pajak bernama X masih bujangan dalam tahun pajak 2004 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp. 10.000.000,- ia akan dikenakan pajak penghasilan dengan satu tarif pajak, ialah: Rp.10.000.000,-X 5% = Rp. 500.000,-/pajak penghasilan. 204

KJ. Davey, op. cit., hlm. 43

Mustaqiem 245

2. Wajib Pajak bernama Y, masih bujangan selama tahun pajak 2004 mempunyai Penghasilan Kena Pajak Rp. 30.000.000,-, selanjutnya yang bersangkutan akan dikenakan pajak dengan dua tarif pajak penghasilan, yaitu : 5% dan 10%. Adapun tentang proses penentuan besarnya pajak adalah sebagai berikut : a) Rp. 25.000.000,- x 5% = Rp. 1.250.000,b) Rp. 5.000.000,- x 10% = Rp. 500.000,Jumlah = Rp. 1.750.000,- /pajak penghasilan. Keadilan vertikal dipergunakan pula dalam pemungutan pajak daerah seperti pemungutan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Penetapan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor didasarkan atas penyerahan pertama dan penyerahan kedua. Penyerahan pertama memiliki arti bahwa kendaraan yang diserahkan masih baru, sehubungan hal tersebut Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenai tarif yang lebih tinggi dari pada atas penyerahan kedua, maupun penyerahan karena warisan kendaraan bermotor. 2. Ditinjau dari Aspek Keadilan Horizontal Sasaran pemungutan pajak di Indonesia khususnya Pajak Penghasilan tidak didasarkan atas perbedaan status sosial, tetapi didasarkan pada banyak sedikitnya jumlah Penghasilan Kena Pajak. Apakah Wajib Pajak adalah seorang pengusaha, pegawai, maupun petani tidak mempengaruhi pengenakan pajak. Bagi semua subyek pajak tersebut akan diterapkan tarif pajak yang sama dan tergantung pula dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak.

246

Produk Hukum Pajak...

Contoh pemungutan pajak yang berpedoman pada keadilan horizontal akan diawali dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang mengatur tentang tarif pajak penghasilan. Ketentuan tarif pajak sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

a. sampai dengan Rp. 25.000.000,00

5%

b. di atas Rp.25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00

10 %

c. di atas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00

15 %

d. di atas Rp. 100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00

25 %

e. di atas Rp. 200.000.000,00

35 %

Sehubungan dengan ketentuan tarif tersebut, maka wajib pajak yang memiliki Penghasilan Kena Pajak dengan jumlah yang sama (misalnya masing-masing Rp. 25.000.000,00) akan dikenai prosentase tarif pajak yang sama (keadilan horizontal) yaitu masing-masing 5% X Rp. 25.000.000,- meskipun status wajib pajak berbeda (pegawai, pedagang, atau petani). Tetapi bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak lebih banyak jumlahnya dari pada wajib pajak yang lain, maka dia akan dikenakan presentase tarif pajak lebih dari satu macam (menggunakan tarif progresif atau keadilan vertical ). Semisal, Wajib Pajak bernama X memiliki Penghasilan Kena Pajak berjumlah Rp. 30.000.0000,-/tahun,

Mustaqiem 247

maka akan dikenakan dua macam tarif pajak ialah : 5% X Rp. 25.000.000,- dan 10% X Rp. 5.000.000,-. Keadilan horizontal berlaku pula dalam pemungutan pajak daerah, seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor yang tidak didasarkan atas status wajib pajak. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000, pasal 1 ayat (10): “Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya dapat disingkat PKB adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor”. Semua pemilik kendaraan bermotor tanpa melihat statusnya (pria, wanita, usia, agama) setiap tahun akan dikenakan pajak kendaraan bermotor. 3. Dilihat dari Aspek Keadilan Geografis Pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya didasarkan atas satu tempat domisili Wajib Pajak tetapi didasarkan pada berbagai tempat domisili, sehingga Wajib Pajak yang berdomisili di perkotaan, pedesaan, pegunungan, maupun di pantai apabila memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan perpajakan akan dikenakan pajak. Semua Wajib Pajak yang berdomisili di berbagai tempat di Indonesia tersebut diberlakukan satu peraturan perundangundangan perpajakan yang sama. Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek keadilan geografis dipergunakan juga sebagai salah satu pedoman pelaksanaan pemungutan pajak selama ini (baik pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah). Adil dalam peraturan perundang-undangan diantaranya adalah dengan mengenakan pajak secara umum dan merata,

248

Produk Hukum Pajak...

serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing orang atau badan. Sedangkan adil dalam pelaksanaan adalah dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, banding, maupun mengajukan permohonan penundaan dalam pembayaran.205 Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditetapkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas “suatu” : (a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, (b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, (c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, (d) Surat Ketetapan Pajak Nihil, (e) Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ketentuan pengajuan permohonan keberatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut : 1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terhutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. 2. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 205

Mardiasmo, op. cit., hlm. 2

Mustaqiem 249

3. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan. 4. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. 5. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak. 6. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak maupun pelaksanaan penagihan pajak. Menurut Pasal 26 ayat (1) dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak saat surat keberaatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Adapun keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diterima dapat berupa : (a) menerima seluruhnya, (b) menerima sebagian, (c) menolak, (d) menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. Jika Wajib Pajak belum bisa menerima putusan atas keberatan dari Direktur Jenderal Pajak, maka wajib pajak masih memiliki hak melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak ini didirikan pada 12 April 2002 berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2004. Menurut Pasal 31 ayat (1) : “ Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa

250

Produk Hukum Pajak...

pajak”. Adapun ketentuan pengajuan banding adalah sebagai berikut : 1. Permohonan pengajuan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas. 2. Waktu pengajuan permohonan banding dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima. 3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. 4. Pengajuan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selain memeriksa pengajuan banding dari Wajib Pajak, Pengadilan Pajak mempunyai kewenangan memeriksa gugatan yang terkait dengan sengketa pajak. Sengketa pajak merupakan sengketa antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang akibat suatu keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan. Adapun ketentuan pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagai berikut: 1) Gugatan ditulis dengan Bahasa Indonesia; 2) Jangka waktu pengajuan gugatan 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan penagihan, atau 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan selain pelaksanaan penagihan pajak diterima; 3) Setiap surat gugatan hanya boleh memuat satu persoalan. Pengadilan pajak yang menerima permohonan banding atau gugatan dari wajib pajak harus melakukan

Mustaqiem 251

pemeriksaan dan memberikan putusan. Sifat pemeriksaan yang dilakukan Pengadilan Pajak merupakan pemeriksaan tingkat pertama dan terakhir, sehingga keputusannya merupakan keputusan final. Pengertiannya ialah putusan pengadilan pajak tidak dapat dibanding atau dikasasi, tetapi wajib pajak yang belum dapat menerima putusan pengadilan Pajak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Alasan pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung : 1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan atas kebohongan/tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim dinyatakan palsu; 2. Apabila diketemukan bukti baru (novum); 3. Apabila telah dikabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi yang dituntut; 4. Adanya suatu bagian tuntutan belum diputus, tanpa dipertimbangkan alasan-alasannya; 5. Jika terdapat putusan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali (PK) adalah : 1. Dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diketahui terjadinya kebohongan atau tipu muslihat, atau sejak keputusan dijatuhkan; 2. Dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak ditemukan surat-surat sebagai bukti baru

252

Produk Hukum Pajak...

(novum) yang hari dan tanggal ditemukan bukti baru harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; 3. Dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim. Macam-macam keputusan Pengadilan pajak antara lain : (a) Menolak permohonan banding atau gugatan, (b) mengabulkan sebagian atau seluruhnya atas banding atau gugatan yang diajukan, (c) Menambah pajak yang harus dibayar, (d) Permohonan banding atau gugatan tidak dapat diterima, (e) membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dan (f) membatalkan. Ciri Keputusan Pengadilan Pajak antara lain : 1. Dalam hal keputusan pengadilan Pajak diambil terhadap sengketa yang bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak, sehingga keputusannya berupa tidak dapat diterima, selanjutnya pemohon banding dapat mengajukan gugatan kepada Peradilan yang berwenang memeriksa; 2. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap; 3. Putusan Pengadilan Pajak tidak dapat lagi diajukan banding atau kasasi; 4. Putusan Pengadilan Pajak diucapkan dalam sidang terbuka dan untuk umum; 5. Putusan harus ditandatangani oleh Majelis/atau Hakim tunggal yang memutus dan panitera.

Mustaqiem 253

B. Macam-Macam Hukum Pajak Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua,206 yaitu hukum pajak materiil dan hukum pajak formil. Pembedaan ini didasarkan pada pemikiran bahwa yang menimbulkan hutang pajak adalah hukum pajak materiil dan bukan hukum pajak formil. 1. Hukum Pajak Materiel Kategori hukum pajak ini memuat norma-norma yang menerangkan keadaan- keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak. Dengan bahasa lain adalah segala sesuatu tentang timbul, besar dan hapusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara Pemerintah dan Wajib Pajak. Termasuk di dalamnya peraturan-peraturan yang memuat kenaikankenaikan, denda-denda, hukuman-hukuman, serta cara-cara pembebasan-pembebasan dan pengembalian pajak dan ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiscus.207 Adapun penjelasan selanjutnya adalah sebagai berikut : (a) Keadaan-keadaan, semisal hak pemerintah (fiscus) melakukan penagihan pajak kepada wajib pajak, meliputi pokok pajak, bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan, kurun waktu daluwarsa setelah lampau waktu 10 tahun (sepuluh tahun) terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian 206 207

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 19 Ibid.

254

Produk Hukum Pajak...

Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Semua hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Contohnya, orang asing yang berdomisili di luar wilayah Indonesia tetapi kenyataannya memperoleh penghasilan dari wilayah Indonesia, dia akan dikenakan Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Luar Negeri). Demikian pula bagi Wajib Pajak Dalam Negeri orang pribadi yang memiliki penghasilan yang jumlahnya melebihi jumlah Penghaslan Tidak Kena Pajak akan dikenakan pajak penghasilan karena keadaan tersebut. (b) Peristiwa-peristiwa hukum, seperti kehidupan manusia selalu merupakan suatu rentetan peristiwa dan selalu mengalami perubahan dan berlangsung dalam berbagai peristiwa atau kejadian. Peristiwa-peristiwa itu dapat berupa peristiwa alamiah yang bukan perbuatan manusia, seperti tumbuh menjadi besar, hujan, angin dan bahkan bencana alam seperti gunung meletus dan banjir. Dapat juga berupa peristiwa yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia, baik disengaja secara sadar maupun yang tidak disadari.208 Dipandang dari sudut hukum, berbagai peristiwa itu dibedakan ke dalam peristiwa hukum (rechtsfeit) dan bukan peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang oleh kaidah hukum diberi akibat hukum, yakni berupa timbulnya atau hapusnya 208

Arief Sidharta, op. cit., hlm. 85

Mustaqiem 255

hak dan/atau kewajiban tertentu bagi subyek hukum yang terkait pada peristiwa tersebut.209 Menurut Apeldoorn, seperti yang dikutip oleh Soerojo Wignjodipoero, dia mengatakan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum dapat menimbulkan dan menghapuskan hak.210 Peristiwa hukum dibedakan ke dalam peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum dan peristiwa hukum yang merupakan perbuatan subyek hukum. Contoh peristiwa hukum seperti dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, yang mengatur dan menetapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas : 1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha, 2) Impor Barang Kena Pajak, 3) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha, 4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean, 5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean, 6) Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. (c) Perbuatan–perbuatan hukum, perbuatan hukum merupakan perbuatan subyek hukum. Contohnya dalam ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa yang menetapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak 209

Ibid. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 1969, hlm. 35 210

256

Produk Hukum Pajak...

(peristiwa hukum yang merupakan perbuatan subyek hukum pajak) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha, hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Peristiwa hukum yang merupakan perbuatan subjek hukum pajak yang lainnya adalah peristiwa jual beli tanah yang menimbulkan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Pasal 2 ayat (2) a. Undang-Undang 21 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000). Demikian pula Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor juga merupakan salah satu peristiwa hukum. (d) Subjek hukum pajak, pengertian yang tidak kalah penting dalam bidang hukum adalah subjek hukum (subjectum juris). Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atau suatu pendukung hak dan kewajiban, jadi memiliki wewenang hukum (rechtsbevoegd).211 Subjek hukum dibedakan menjadi dua, yaitu Manusia dan Badan hukum.212 Tiap Warga Negara atau Bangsa Asing, tidak peduli agamanya adalah subjek hukum. Perampasan sebagai pendukung hak sehingga mengakibatkan terjadinya kematian perdata (burgerlijk dood) adalah dilarang. Badan hukum sebagai subjek hukum merupakan 211 212

Soerojo Wignjodipoero, op cit., hlm. 39 Ibid., hlm. 40

Mustaqiem 257

tiap pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia. Misalnya, terdapat beberapa orang yang mengadakan kerja sama dan merupakan kesatuan, maka kesatuan ini merupakan Badan hukum setelah memenuhi syaratsyarat yang ditentukan oleh hukum, seperti memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan anggota-anggotannya, hak/kewajiban badan hukum terpisah dengan hak/ kewajiban anggota. Di dalam pergaulan hukum terdapat dua macam badan hukum, yaitu Badan Hukum Publik dan Badan Hukum Perdata.213 Guna memperkuat uraian tersebut, terdapat ajaran hukum yang kemudian dilegalkan menjadi undang-undang yaitu ajaran yang mengakui adanya purusa (subjek hukum) yang lain dari pada manusia.214 Untuk membedakannya, manusia disebut purusa kodrat (natuurlijke personen) dan yang lain disebut purusa hukum. Akan tetapi hal ini tidak berarti purusa yang demikian itu juga benar-benar ada, itu hanya berarti sesuatu yang bukan purusa atau tak dapat merupakan purusa, diperlakukan seolah-olah ia adalah sesuatu purusa. Contohnya ialah dalam bidang perpajakan, pihak yang menjadi Subjek hukum ialah Orang pribadi dan badan. Tetapi dalam ketentuan Pajak Penghasilan, subjek hukum meliputi : (1) Orang pribadi, (2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, (3) Badan, dan (4) Bentuk Usaha Tetap. Ketentuan 213

Ibid., hlm. 41 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 192 214

258

Produk Hukum Pajak...

ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bidang Pajak Penghasilan, subjek pajak yang jumlahnya lebih dari satu adalah hal yang wajar dan bukan merupakan suatu keanehan. (e) Besarnya tarif pajak, perbedaan pajak lebih dari satu macam menyebabkan bermacam-macamnya tarif pajak, hal itu dapat menimbulkan perbedaan tarif antara pajak yang satu dengan yang lain, termasuk tarif Pajak Pusat dan Daerah. Contohnya tarif Pajak Penghasilan yang merupakan tarif progresif. Bagi Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi tarifnya adalah 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30%. Sedangkan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Badan dan Badan Usaha Tetap tarifnya adalah 10%, 15%, 30%. Ketentuan tentang tarif ini diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Demikian juga tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa sebesar 10% dikenakan bagi Barang Kena Pajak yang dikonsumsi di dalam negeri dan tarif 0% dikenakan bagi Barang Kena Pajak yang diekspor. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Mustaqiem 259

Latar belakang terjadinya perbedaan tarif pajak antara pajak yang satu dengan lainnya dipengaruhi oleh berbagai aspek, antara lain aspek keadilan maupun aspek ekonomis. Semisal tarif progresif tidak lepas dari aspek keadilan vertikal, selanjutnya tarif 0% bagi barang kena pajak yang diekspor untuk memberi motivasi kepada wajib pajak supaya berani bersaing dengan produk negara lain, supaya indisutri dalam negeri dapat berkembang (aspek ekonomis). 2. Hukum Pajak Formil Disebut hukum pajak formil kalau mengenai bentuk dalam mana hukum pajak materiil dilaksanakan. Pengertian hukum pajak formil adalah untuk melindungi baik fiscus maupun Wajib Pajak atau untuk memberi jaminan bahwa hukum pajak materiil akan dapat diselenggarakan setepattepatnya. Termasuk hukum pajak formil adalah peraturanperaturan mengenai cara–cara untuk menjelmakan hukum pajak materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu hutang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para Wajib Pajak, kewajiban pihak ketiga dan prosedur dalam pemungutannya. Luasnya hukum pajak formil mengenai pajak yang satu tidaklah selalu sama dengan pajak yang lain. Pengaturan di bidang hukum pajak formil sebagai berikut : a) Ketetapan hutang pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal : (1) Pajak yang terhutang tidak atau kurang dibayar, (2) Jika Surat pemberitahuan tidak disampaikan pada

260

Produk Hukum Pajak...

waktu yang telah ditetapkan, (3) Apabila tidak seharusnya dikenakan tarif 0%. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000. Isi lengkap Pasal 13 ayat (1) berbunyi “Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal : 1) Apabila berdasar hasil pemeriksaan atau keterangan lain, menunjukkan bahwa pajak yang terhutang tidak atau kurang dibayar; 2) Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; 3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen); 4) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terhutang. b) Kontrol oleh Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak atas nama Pemerintah berwenang melakukan pengawasan

Mustaqiem 261

dan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Kewenangan tersebut diatur oleh Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Wajib Pajak yang diperiksa wajib : 1) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; 2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; 3) Memberikan keterangan yang diperlukan. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan. c) Prosedur pemungutannya, bisa berbeda-beda antara prosedur pemungutan pajak yang satu dengan lainnya. Prosedur pemungutan pajak bisa menggunakan salah

262

Produk Hukum Pajak...

satu sistem (official assessment system, semi self assessment system, self assessment system, white holding system) baik secara mutlak maupun secara tidak mutlak. Pajak yang terhutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selanjutnya harus disetor ke Kas Negara, dan dilaporkan oleh pemungut kepada Direktorat Jenderal Pajak, ketentuan ini diatur oleh Pasal 16 A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000. Muatan Pasal 16 A: “Pajak yang terhutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Di Indonesia pada dasarnya Wajib Pajak berpedoman pada “self assessment system”, sebab Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan). Kata “pada dasarnya” tersebut menjelaskan bahwa hasil pembaruan (tax reform) disektor perpajakan menetapkan penggunaan “self assessment system” merupakan keputusan dari pembaruan bidang perpajakan tahun 1983. Akan tetapi realitas dalam pemungutan pajak masih ada yang tidak berpedoman pada sistem tersebut (baik dalam pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah).

Mustaqiem 263

C. Kegunaan Hukum Pajak Kegunaan hukum pada umumnya tidak lepas dari tujuan hukum. Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. 215 Perdamian antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan– kepentingan manusia yang tertentu, seperti kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya.216 Kepentingan dari perseorangan dan kepentingan golongan-golongan manusia kadangkala bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian, maka manusia tidak akan dapat menikmati kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang dibuat harus memuat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, karena setiap orang ingin memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Hukum yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan manusia dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : 1) Hukum Perdata (Privaatsrecht), dan 2) Hukum Publik (Publiekrecht). Termasuk 215 216

van Apeldoorn, op. cit., hlm. 10 Ibid., hlm. 11

264

Produk Hukum Pajak...

dalam lingkup hukum publik adalah Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi (hukum tata usaha), Hukum Pidana, dan Hukum Pajak.217 Berdasarkan uraian tersebut, hukum pajak merupakan hukum yang berada dalam lingkup hukum publik. Jika hukum publik untuk mengatur hubungan antara Pemerintah selaku penguasa dengan rakyatnya, maka hukum pajak mengatur hubungan antara Pemerintah selaku pemungut pajak (fiscus) dengan rakyatnya sebagai wajib pajak. Dengan demikian seakan-akan hukum pajak merupakan suatu bagian saja dari suatu hukum publik yang disebut hukum administratif (hukum tata usaha negara). Sehingga seolah-olah status hukum pajak segolongan dengan hukum yang meliputi antara lain undang-undang dan peraturan-peraturan lalu lintas, pengawasan perdagangan (lesensi, retribusi), pengawasan perburuhan, dan sebagainya.218 Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Sartan, dia mengatakan bahwa bagaimanapun lebih tepat memberi tempat sendiri untuk hukum pajak di samping (sederajat dengan) hukum administratif, alasan-alasannya sebagai berikut : 219 1. Tugas hukum pajak bersifat lain dari pada hukum administratif pada umumnya, sebab hukum pajak dipakai untuk mengatur hubungan pemungut pajak dengan pembayar pajak; 2. Hukum pajak dapat secara langsung digunakan sebagai sarana politik perekonomian, seperti kebijaksanaan insentif perpajakan (tax incentive plan); 217 218 219

Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 25 Sartan, op. cit., hlm. 7 Ibid.

Mustaqiem 265

3. Hukum pajak memiliki tata tertib dan istilah–istilah yang khas untuk bidang pekerjaannya. Sehubungan hal tersebut, setiap pemungutan pajak yang akan dilakukan oleh pemerintah lebih dahulu harus dibuatkan landasan hukumnya. Di Indonesia keharusan ini diatur oleh Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan terhadap pendapat Andriani tersebut dapat dijelaskan melalui sengketa pajak. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul di dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasar peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini menunjukkan hukum pajak memiliki kekhasan sendiri yang berbeda dengan lainnya. D. Kebijaksanaan Hukum Pajak Menurut konsep demokrasi modern, kebijaksanaan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijaksanaankebijaksanaan negara. 220 Hadirnya kebijaksanaan akan menimbulkan dua pemahaman, yaitu:221 1. Suatu kebijaksanaan dapat terkait dengan suatu keputusan politis; 220

Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negrara, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 10 221 Ibid.

266

Produk Hukum Pajak...

2. Suatu kebijaksanaan dapat juga terkait dengan masalah teknis pelaksanaan suatu keputusan yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Bila pemerintah membuat suatu kebijaksanaan mengenai pembaharuan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka hal ini terkait dengan keputusan politis, sedangkan kebijaksanaan teknis adalah ketika pemerintah membuat kebijaksanaan dalam rangka merealisasi peraturan perundangundangan tersebut. Kebijaksanaan hukum yang bersifat keputusan politis dapat dilihat ketika pemerintah membuat keputusan pembaharuan hukum perpajakan pada tahun 1983. Dasar pemikiran dilakukan pembaharuan tersebut, tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : II /MPR/1983 yang menetapkan bahwa : “Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan, dan aparat perpajakan harus semakin mampu dan bersih. Semua itu diarahkan agar kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan dari sumber dalam negeri makin meningkat, pembagian beban pembangunan antara golongan yang berpendapatan tinggi dengan golongan yang berpendapatan rendah makin sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Di samping itu sistem perpajakan harus memungkinkan pemanfaatan sumber-sumber alam secara optimal mendorong ekspor dan mengembangkan kegiatan ekonomi pada umumnya”. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan kebijaksanaan pembaruan hukum perpajakan, ialah :222 222

Moh. Zain, dkk, Pembaharuan perpajakan Nasional, Alumni, Jakarta, 1984, hlm. 25

Mustaqiem 267

1) Penyederhanaan sistem perpajakan meliputi jenis pajak, tarif pajak. Tujuan dari penyederhanaan adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Selain itu, tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. 2) Pembayaran pajak semakin adil, karena berlakunya tarif yang sama bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh. 3) Memberi kesempatan kegotong-royongan dalam sistem pembayaran pajak. Seperti di bidang Pajak Penghasilan yang menggunakan tarif progresif, sehingga bagi wajib pajak dalam membayar hutang pajak tidak lepas dari banyak sedikitnya jumlah penghasilan kena pajak yang diperoleh. Tujuan yang akan dicapai melalui kebijaksanaan pembaruan, adalah : 1) Agar sistem perpajakan tidak rumit sehingga mudah untuk dipahami; 2) Supaya kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan dari sumber-sumber dalam negeri semakin meningkat; 3) Agar pembagian beban pembangunan antara golongan yang berpenghasilan tinggi dengan golongan yang berpenghasilan rendah makin sesuai dengan rasa keadilan. Pembaruan hukum perpajakan menunjukkan pula adanya usaha bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka yang selalu dapat “melahirkan” peraturan

268

Produk Hukum Pajak...

perundang-undangan yang sesuai dengan prosedur formal yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, maupun untuk mengikuti perubahan kehidupan masyarakat yang begitu pesat dan dinamis. Sebab kehidupan masyarakat biasanya bersifat dinamis tetapi peraturan perundang-undangan (hukum positif) bersifat statis, sehingga diperlukan langkahlangkah untuk melakukan pembaharuan. Kebijaksanaan yang bersifat teknis atau aplikatif merupakan hal yang berpihak kepada Wajib Pajak, karena kebijaksanaan tersebut memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak agar melakukan upaya disiplin agar tidak terkena sanksi administrasi maupun sanksi hukuman lain. Bentuk kebijaksanaan teknis atau aplikatif dalam bidang perpajakan tentu banyak ragamnya. Seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 : “Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak, lebih dahulu menyampaikan permohonan secara tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Demikian pula bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dapat diwakili oleh pihak lain, dalam hal : 1. Badan oleh pengurusnya; 2. Badan dalam pembubaran atau pailit dapat dilakukan

Mustaqiem 269

oleh orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan (kurator); 3. Warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalan; 4. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah pengampuan dilakukan oleh wali atau pengampunya. 2. Hukum Pajak Daerah Seperti yang pernah dijelaskan, bahwa di Indonesia terdapat pajak nasional (pusat) dan pajak daerah. Adanya dua macam tingkatan pajak ini membawa konsekuensi bahwa dasar pemungutan dua tingkatan pajak tersebut berbeda, dasar pemungutan pajak nasional (pusat) adalah hukum pajak nasional (undang-undang), sedang dasar pemungutan pajak daerah adalah hukum pajak daerah (Peraturan Daerah). Untuk kepentingan menjelaskan kriteria pajak daerah, di bawah ini akan diuaraikan penjelasannya sebagai berikut : A. Kriteria Penilaian Pajak Daerah Pada awal timbulnya pembagian pajak umum dan pajak daerah, karena kekuasaan yang diberikan kepada dewan-dewan daerah, seperti tercantum dalam Ordonansi Dewan-Dewan Lokal (Locale raden Ordonantie, Stbl. 1905 No. 181) dalam Pasal 49 ayat (1), menetapkan bahwa:223 “Dewan-dewan ini diberi kekuasaan untuk dengan 223

Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 49

270

Produk Hukum Pajak...

syarat memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini menetapkan peraturan-peraturan bagi daerahnya masing-masing tentang pemungutan pajak-pajak untuk memperkuat keadaan keuangannya dalam daerahdaerah itu”. Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut, maka timbulah pajak-pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi, Swapraja, Kotapraja, seperti : Pajak Tontonan, Pajak Sepeda (penning) dan pajak-pajak kendaraan lainnya. Golongan ini dapat ditempatkan sebagai kebalikan dari golongan lainnya, yaitu pajak umum yang dipungut oleh pemerintah pusat dan yang dilaksanakan pemungutannya oleh Inspeksi-Inspeksi Keuangan yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak Perseroan, Pajak Rumah Tangga, Verponding, Pajak Penjualan, Pajak Pembangunan I, Bea Meterai dan oleh kantor-kantor Pabean, seperti Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai Tembakau, Cukai Gula, Cukai Minuman Keras.224 Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbitnya beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor : 11/Drt/Tahun 1957 tentang Pajak Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan paling akhir adalah Undang-Undang Nomor : 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Demikian pula beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, sebagian dari isinya mengatur juga 224

Ibid.

Mustaqiem 271

hal-hal yang berkaitan dengan pajak daerah seperti : 1) Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Peme-rintahan Di Daerah, Pasal 58 ayat (2) : “Dengan Peraturan Daerah ditetapkan ketentuan pokok tentang Pajak dan Retribusi Daerah”. 2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 82 ayat (2) : “Penentuan tarif dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Menurut Pasal 82 ayat (3) ditetapkan bahwa : “Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur bidang perpajakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan sistem perpajakan nasional yang telah diatur dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketentuan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor: 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 5 A ayat (2): “Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dimaksud”. Pasal 5 A ayat (2) memberi isyarat bahwa Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur Pajak Daerah substansinya harus selaras dengan substansi peraturan perundang-udangan yang lebih tinggi tingkatannya, agar sistem perpajakan Daerah tidak bertentangan dengan sistem perpajakan nasional baik

272

Produk Hukum Pajak...

substansi maupun prosedur pembuatannya. 3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 158 ayat (1) : “Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda”. Ayat (2) ; “ Pemerintah daerah dilarang melakukan pemungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang” Ketetapan ayat (2) ini lebih bersifat sentralistis dalam penetapan jenisjenis pajak daerah, jika dibandingkan dengan ketetapan dalam Undang-Undang tentang pemerintahan daerah yang lebih dahulu. Menurut KJ. Davey, 1988, suatu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah mungkin ditetapkan berdasar ketentuan perundang-undangan Pemerintah Pusat, yang pada gilirannya bisa bersifat memerintahkan atau mengizinkan. Dengan kata lain Pemerintah Pusat dapat memerintahkan Pemerintah Daerah untuk memungutnya atau semata-mata memberikan wewenang untuk melaksanakannya.225 Badan legislatif pusat menentukan rincian tarif atau menyerahkan ketentuan kepada kewenangan Pemerintahan regional dengan atau tanpa batas-batas tertentu. Sebagai alternatif pajak dapat dikenakan oleh Pemerintah regional berdasarkan atas kekuasaan legislatif sendiri. Sehubungan dengan pendapat tersebut, bagaimana pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah di Indonesia? Dalam prakteknya, Jenis-jenis pajak daerah yang dipungut 225

KJ. Davey, op. cit., hlm. 29

Mustaqiem 273

oleh pemerintah daerah selalu ditentukan oleh pemerintah pusat, termasuk dalam penentuan tarif maksimal dari masing-masing pajak daerah, dengan berdasarkan UndangUndang Pajak dan Retribusi Daerah, terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000. Sifat yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan pajak daerah adalah bersifat mengijinkan untuk memungut pajak daerah (sebagai pelaksana teknis) meskipun daerah diberi hak membuat peraturan daerah yang akan dipergunakan sebagai landasan hukum pelaksanaan pemungutan pajak daerah. Suatu jenis pajak bukan merupakan pajak “regional” atau “daerah” kecuali jika pajak tersebut dikenakan berdasar peraturan perundang-undangan regional, dan bukan berdasar ketentuan nasional.226 Pihak lain lagi beranggapan bahwa pengendalian tarif pajak oleh daerah dipakai sebagai tolok ukurnya. Dalam hal kecermatan semantik atau hukum, pemilihan definisi tidak merupakan hal yang sangat penting. Namun demikian, makna yang lebih penting adalah bahwa bahwa perpajakan yang didasarkan atas peraturan perundangundangan pemerintah regional membawa akibat kewenangan yang lebih luas dan kebebasan berkarya dalam arti keuangan yang lebih leluasa.227 Hal semacam ini nampaknya tidak perlu diragukan lagi kebenarannya dalam hal pengendalian tarif pajak, Pemerintah Regional pasti akan mempunyai kebebasan lebih besar dalam tindakan di bidang keuangan jika mereka 226 227

Ibid. Ibid., hlm. 30

274

Produk Hukum Pajak...

dapat mengubah tarif sumber-sumber pajak mereka.228 Didasarkan pada cara pemungutannya, Pajak Daerah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Pajak langsung dan Pajak tidak langsung. Termasuk Pajak Langsung antara lain Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Parkir. Pajak tersebut merupakan pajak yang setiap tahun dibayar terus menerus tanpa harus menunggu adanya peristiwa tertentu dan beban pajak tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan yang tergolong Pajak Tidak Langsung antara lain Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan pada tingkat Kabupaten/Kota adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah, dan Air Permukaan. Semua jenis pajak ini apabila akan dilakukan pemungutan pajak lebih dahulu harus di awali adanya peristiwa tertentu. Seperti adanya proses Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, menginap di Hotel, makan di Restoran, menyelenggarakan Hiburan, memasang Reklame, pengambilan dan pemanfaatan galian golongan C, maupun pemanfaatan air bawah atau permukaan tanah. Suatu sumber pajak menjadi menarik apabila Pemerintah Daerah memperoleh pendapatan dari sumber tersebut, apakah memungut atau mengadministrasikannya 228

KJ. Davey, op. cit., hlm. 31

Mustaqiem 275

atau tidak, atau menetapkan tarifnya.229 Apabila suatu pajak harus diatur dengan Peraturan Daerah, maka Pemerintah Daerah akan mempunyai banyak jenis pajak tetapi tidak ada yang menghasilkan lebih dari persentase yang kecil dari anggaran pengeluarannya.230 Hal tersebut menimbulkan banyak kerugian, misalnya ongkos pungut akan menjadi besar, upaya administrasi terbagi-bagi, pembebanan sulit dicapai secara adil, kesabaran masyarakat akan hilang dengan banyaknya pungutan yang kecil-kecil dan kesan yang tidak benar dapat timbul terhadap kemampuan keuangan Pemerintah daerah.231 Contohnya Pajak Sepeda (penning) yang sekarang sudah dihapuskan. B. Ketentuan Pembuatan Hukum Pajak Daerah Hans Kelsen,1973, berpendapat bahwa suatu norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini merupakan landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya ini dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan.232 Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih 229

KJ. Davey, op. cit., hlm. 40 Ibid, hlm. 41 231 Ibid. 232 Hans Kelsen, op. cit., hlm. 126 230

276

Produk Hukum Pajak...

rendah.233 Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum membentuk kesatuan tata hukum ini.234 Menurut Apeldoorn, undang-undang dapat dibagi dalam dua tingkatan, yaitu: (1) undang-undang yang tingkatannya lebih tinggi, dan (2) undang-undang yang tingkatannya lebih rendah. 235 Undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi tingkatannya. Hierarchie peraturan perundang-undangan susunan tingkatannya sebagai berikut : 1) Undang-undang dalam arti formal; 2) Algemene Maattregelen van Bestuur; 3) Peraturan-peraturan propinsi; 4) Peraturan-peraturan kota praja dan menurut tingkatannya sederajat dengan itu ialah peraturanperatauran daerah.236 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan peraturan perundang–undangan dalam arti formil, sehingga merupakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya dari pada peraturan perundang-undangan dalam arti formil 233

Ibid., hlm. 127 Ibid. 235 van Apeldoorn, op. cit., hlm. 81 236 Ibid. 234

Mustaqiem 277

yang lain yang berada dibawahnya. Sehingga peraturan perundang-undangan yang terakhir tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selaras dengan pendapat Hans Kelsen dan Apeldoorn, di Indonesia terdapat ketentuan yang dimuat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : III /MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 2 menetapkan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, adalah sebagai berikut : 1) Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3) Undang-Undang; 4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); 5) Peraturan Pemerintah; 6) Peraturan Presiden; 7) Peraturan Daerah. Ketentuan Pasal 2, Tap. MPR Nomor : III/MPR/2000 ini ditetapkan pula dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, pada Pasal 7 ayat (1): “Jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden;

278

Produk Hukum Pajak...

e. Peraturan Daerah. Kekuatan mengikatnya peraturan perundangundangan, menurut Pasal 7 ayat (5) adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kaitan dengan posisi Peraturan Daerah, oleh Pasal 3 ayat (7) Ketetapan Majelis Perumusyawaratan Rakyat Nomor : III/MPR/2000 telah ditetapkan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, serta menampung kondisi khusus dari Daerah yang bersangkutan. Selain itu, berdasar Pasal 4 ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : III /MPR/2000, ditetapkan bahwa : “Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang -undangan ini maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”. Ketentuan di atas dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 “Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Tatkala membuat kebijaksanaan di bidang hukum (termasuk bidang hukum perpajakan) ketentuan itu harus diperhatikan, sebab jika tidak diperhatikan baik secara filsafati, ideologi, politik, dan yuridis, maka kebijaksanaan yang dibuat sesungguhnya adalah batal. Hal ini tidak lepas dari Indonesia sebagai negara hukum dan salah satu ciri khas negara hukum adalah penerapan asas legalitas.

Mustaqiem 279

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah secara yuridis harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, karena di dalam negara kesatuan, pemerintah memiliki kewenangan menetapkan ketentuan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang perpajakan daerah. Secara umum dapat dinyatakan bahwa dalam realitas kehidupan masyarakat modern apa yang dimaksud hukum sebagian besar dapat ditemukan dan dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.237 Oleh sebab itu dapat dinyatakan bahwa dasar-dasar pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan dengan segala macam aspek yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam proses pengembangan hukum baik secara teoritis maupun secara praktis.238 Hukum tertulis dipandang orang lebih dapat memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) kepada masyarakat dibandingkan dengan hukum tidak tertulis. Maka jelaslah bahwa peraturan perundang-undangan sebagai salah satu bentuk hukum tertulis menjadi lebih penting di masa kini dan di masa yang akan datang.239 Perundang-undangan adalah suatu gejala yang relatif kompleks dan proses pembentukannya melibatkan berbagai faktor kemasyarakatan lainnya serta dipengaruhi oleh berbagai cabang pengetahuan hukum yang ada dan 237

Ketrampilan Perancangan Hukum, Laboratorium Hukum, Fakultas Hukum Universitas Parahuyangan, Bandungm 1997, hlm.1 238 Ibid. 239 Amiroeddin Syarif, op. cit., hlm. 3-4

280

Produk Hukum Pajak...

pengetahuan lainnya. Apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar suatu peraturan dapat dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang baik, bagaimana proses, metoda dan teknik untuk merumuskan sebuah peraturan perundang-undangan, asas hukum apa saja yang melatar belakanginya, bagaimana menempatkan berbagai jenis peraturan perundang-undangan dalam suatu tata urutan yang bersifat hirarkis, merupakan beberapa masalah yang terkandung dalam gejala perundang-undangan tersebut.240 Kompleksitas permasalahan yang terdapat dalam gejala perundang-undangan, dalam perkembangan pemikiran selanjutnya melahirkan seperangkat teori perundang-undangan yang menjadi dasar berdirinya suatu cabang pengetahuan spesifik dalam rangka studi hukum yang disebut ilmu perundang-undangan (wetgevingswetenschap). Salah satu aspek dari teori dan ilmu perundang-undangan tersebut adalah berkenaan dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan.241 Pembentukan peraturan perundang-undangan (Staatliche rechtssetzung) adalah ikhtiar/upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintah. Sedang tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada 240 241

Ibid. Ibid.

Mustaqiem 281

umumnya mengacu kepada idea atau tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum.242 Menurut teori perundang-undangan, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok, yaitu Aspek Materiil/Substansial dan Aspek Formal/ Prosedural.243 Aspek materiil/Substansial berkenaan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundangundangan yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkrit dalam bentuk aturan-aturan hukum. Seperti, ketentuan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 138 : (1) “Materi muatan Peraturam Daerah mengandung asas: (a) pengayoman, (b) kemanusiaan, (c) kebangsaan, (d) kekeluargaan, (e) kenusantaraan, (f) bhineka tunggal ika, (g) keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (i) ketertiban dan kepastian hukum, dan/ atau, (j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas-asas tersebut sangat diperlukan dalam Peraturan Daerah khususnya yang mengatur pajak daerah. Seperi setiap kepemilikan kendaraan bermotor harus mendapatkan pengayoman hukum, semua orang yang memiliki atau menguasai secara sah untuk mewujudkan rasa keadilan dan kesamaan di hadapan hukum maka akan dikenakan Pajak kendaraan bermotor, demikian pula peraturan daerah tentang pajak daerah untuk 242 243

Ketrampilan Perancacangan Hukum, op. cit., hlm. 2 Ibid .

282

Produk Hukum Pajak...

mewujudkan ketertiban maupun kepastian hukum. (2) “Selain asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Peraturan daerah memuat asas lain sesuai dengan substansi Peraturan Daerah yang bersangkutan”. Hal ini berarti antara peraturan daerah yang satu dengan lainnya “asas lain” yang dipegunakan dimungkinkan bisa berbeda sesuai dengan substansinya. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ditetapkan pula asas peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1). Pasal 5, menetapkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. Selain beberapa asas-asas tersebut, masih ada beberapa asas yang harus diperhatikan yang diatur pada Pasal 6 ayat (1) yang menetapkan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas antara lain : (a) Pengayoman, (b) Kemanusian, (c) Kebangsaan, (d) Kekeluargaan,

Mustaqiem 283

(e) kenusantaraan, (f) kebhinekaan tunggal ika, (g) keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (i) Ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau, (j) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Menurut Pasal 12, materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada bagian lain, aspek materiil ini berkenaan dengan masalah pembentukan struktur, seperti struktur Peraturan Daerah yang dibuat dan dipergunakan sebagai dasar pemungutan pajak daerah harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pasal 4 ayat (3): Peraturan Daerah tentang pajak sekurangkurangnya mengatur ketentuan mengenai : (a) nama, objek, dan subjek pajak; (b) dasar pengenaan pajak, tarif, dan cara penghitungan pajak; (c) wilayah pemungutan; (d) penetapan; (e) tata cara pembayaran dan penagihan; (f) kadaluarsa. Aspek formal/prosedural berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20: ayat (2) : “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan

284

Produk Hukum Pajak...

Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Dan pada ayat (4): “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”. Pada tingkat daerah aspek formal (procedural) juga harus diperhatikan karena sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1 : “Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. C.Tipe–tipe Pajak Daerah Peraturan perundang-undangan bidang perpajakan merupakan salah satu produk hukum, oleh karena itu harus tunduk pada norma–norma hukum, baik mengenai pembuatan, pelaksanaan, maupun materinya.244 Hukum selalu bertujuan memberi keadilan, dan sebagai alat digunakan untuk mengatur tata tertib/tertib (order) hukum.245 Seperti uraian di tempat lain dalam tulisan ini, bahwa bidang perpajakan di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23 ayat (2) sebagaimana telah diamandemen dengan Pasal 23 A UUD 1945. Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tersebut merupakan dasar konstitusional bagi pembuatan kebijakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara. Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar yang dipakai untuk mengatur bidang perpajakan masih bersifat global sehingga secara 244

Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Eresco,Bandung, hlm. 1 245 Ibid.

Mustaqiem 285

yuridis perlu dibuatkan peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945. Seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Daerah. Secara riel mulai 1983 sudah dibuatkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, seperti : a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan; c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah; d. Dan untuk keperluan pengaturan Pajak Daerah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Peraturan Daerah yang dipakai untuk mengatur Pajak Daerah. Secara yuridis pembuatan berbagai macam tingkatan peraturan perundang-undangan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sebab proses pembuatannya telah memenuhi ketentuan formal yang ditetapkan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut :

286

Produk Hukum Pajak...

(a) Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang “ (b) Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2000 : “Ketentuan tentang objek, subjek, dan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. (c) Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2000: “Tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k, ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Pembuatan tingkatan peraturan perundangundangan bidang perpajakan tersebut menunjukkan adanya pola delegation of Authority yaitu pendelegasian kekuasaan undang–undang kepada peraturan lain yang lebih rendah tingkatannya.246 Berdasarkan uraian tersebut, menunjukkan bahwa Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur macam-macam Pajak Daerah merupakan peraturan yang bersifat lex specialis, yang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, maupun Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai lex generalisnya. Lex generalis ini harus dipakai sebagai pedoman dalam pembuatan Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur Pajak Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pajak Daerah dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Pajak Daerah 246

Muqodim, Perpajakan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 10

Mustaqiem 287

Propinsi dan Pajak Daerah Kabupaten atau Kota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, menetapkan bahwa Pajak Daerah yang merupakan kewenangan pemerintah Propinsi menjadi 4 (empat) jenis meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Tanah. Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2002 sebagai dasar hukum pemungutan 4 (empat) macam Pajak Daerah yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan di atasnya. Peraturan Daerah yang dipergunakan mengatur Pajak Daerah merupakan lex specialis dari lex generalis (UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 Jo Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Setelah dianalisis, ternyata salah satu dari lex generalis yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis UndangUndang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak ditemukan dalam konsiderans mengingat yang merupakan bagian “tubuh” dalam Peraturan Daerah

288

Produk Hukum Pajak...

Nomor 1 Tahun 2002. Di dalam perda tersebut hanya terdapat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai lex generalisnya. Hal tersebut dapat dibaca dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 yang sebagian substansinya mengadopsi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimaksud. Hal ini sudah sesuai, karena sebutan peraturan perundang-undangan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan lex spicialis dari lex generalis yang dinamakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. 2. Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah merupakan lex spicialis dari lex generalis yang dinamakan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pajak daerah terdiri atas Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan. Meskipun pajak daerah tersebut hanya diatur dengan satu Peraturan Daerah tetapi masing-masing Pajak Daerah mempunyai tipe sendiri-sendiri. Tipe masingmasing Pajak Daerah adalah sebagai berikut :

Mustaqiem 289

1) Pajak Kendaraan Bermotor Subjek pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan menguasai kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor ialah semua kendaraan roda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alatalat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Objek pajaknya adalah kepemilikian dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Pajak ini dapat digolongkan dalam tipe pajak langsung, karena memenuhi ciri khas pajak langsung yaitu dikenakan berulang-ulang pada waktu yang tertentu (periodik), seperti pajak ini dipungut setiap tahun. Pajak Kendaraan Bermotor dipungut secara periodik tiap-tiap tahun, ketentuan ini ditegaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 22 ayat (1) :” Masa pajak adalah 12 (dua belas) bulan berturut-turut yang merupakan tahun pajak, dimulai pada saat pendaftaran kendaraan bermotor”. Substansi Pasal 22 ayat (1) ini sudah cukup mencerminkan bahwa Pajak Kendaraan Bermotor termasuk tipe pajak langsung, meskipun dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pajak Daerah tidak disebutkan secara nyata sebagai pajak langsung. Menurut Peraturan Daerah Nomor Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 8 ditentukan bahwa tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar: (a) 1,5

290

Produk Hukum Pajak...

% (satu setengah persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum; (b) 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum; (c) 0,5% (setengah persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. Perbedaan tarif pajak tersebut didasarkan pada perbedaan penggunaan maupun status kendaraan bermotor. Berdasar teori tarif pajak, maka tarif Pajak Kendaraan Bermotor termasuk tarif yang bersifat degresif, yang dipengaruhi oleh status kepemilikan kendaraan bermotor Pelaksanaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor menggunakan Official Assesment System, karena yang menetapkan jumlah Pajak Kendaraan Bermotor yang harus dibayar adalah aparat pajak daerah. Meskipun menurut Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 24 ayat (1) “ setiap wajib pajak diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sekurang-kurangnya memuat : (1) nama dan alamat lengkap pemilik, (2) jenis, merk, tipe, isi cylinder, tahun pembuatan, warna, nomor rangka, dan nomor mesin, (3) gandengan dan jumlah sumbu. Selain itu, dasar yuridis penggunaan official assessment system adalah Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 6 ayat (5) yang menetapkan bahwa : “Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini, ditetapkan oleh Gubernur sesuai tabel yang ditetapkan oleh Menteri”.

Mustaqiem 291

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Subyek Pajak BBN-Kendaraan Bermotor pengertiannya sama dengan Wajib Pajak BBN-Kendararaan Bermotor, karena Subjek/Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. Dalam Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor : 1 Tahun 2002 ditetapkan setiap penyerahan kendaraan bermotor akan menimbulkan objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Penyerahan kendaraan bermotor dilihat dari aspek hukum menyebabkan pengalihan hak milik atas kendaraan bermotor dan/atau kendaraan diatas air sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha. Ketentuan Tersebut menunjukkan bahwa objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor baru timbul apabila ada hubungan hukum yang mempengaruhi peristiwa penyerahan. Peristiwa penyerahan bukan hanya dilihat dari aspek ekonomi tetapi dapat dilihat juga dari aspek hukum. Jika dilihat dari aspek hukum, peristiwa penyerahan Kendaraan Bermotor dan/atau Kendaraan di atas Air merupakan suatu hubungan yang menimbulkan akibat beralihnya hak milik atas kendaraan. Selain itu, karena pemungutannya didasarkan pada suatu peristiwa tertentu maka tidak memiliki sifat periodisasi, karena tidak memiliki sifat ini maka Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor tergolong pajak tidak langsung. Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Daerah Pemerintah

292

Produk Hukum Pajak...

Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 27 ayat (1) “Saat pajak terhutang dihitung sejak terjadinya penyerahan kendaraan bermotor”. Adapun Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) penetapannya diatur dengan Pasal 12 Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 sebagai berikut : 1) Besarnya tarif BBN-KB atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar : a. 10% (sepuluh persen) untuk kendaraan bermotor umum dan bukan umum; b. 3% ( tiga persen ) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat berat. 2) Besarnya tarif BBN-KB atas penyerahan kedua dan ditetapkan sebesar : a. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum dan bukan umum; b. 0,3% (nol koma nol tiga persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat berat. 3) Besarnya tarif BBN-KB atas penyerahan karena warisan sebesar: a. 0,1% (nol koma satu persen) untuk kendaraan bermotor umum dan bukan umum; b. 0,03% (nol koma nol tiga persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. Sifat tarif pajak ini adalah degresif yang dipengaruhi oleh katagori penyerahan. Penggunaan tarif bea balik nama kendaraan bermotor tersebut atas dasar peristiwa

Mustaqiem 293

penyerahan ke-1 atau ke-2, yang didasarkan pada status kendaraan bermotor (umum/tidak umum/alat-alat berat/ besar), dan penyerahan karena warisan. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama (balik nama pertama) lebih tinggi dibandingkan dengan penyerahan kedua (balik nama kedua) dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek nilai dan aspek lingkungan. Berdasarkan aspek nilai, maka kendaraan yang pertama kali diserahkan (balik nama pertama) nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan yang diserahkan kedua (balik nama kedua), sehubungan dengan hal tersebut maka penetapan tarif ini sudah memuat rasa keadilan. Selanjutnya jika dikaji dari aspek lingkungan penyerahan kendaraan yang kedua (balik nama kedua) seharusnya dikenakan tarif balik nama lebih tinggi dibandingkan dengan penyerahan pertama (balik nama pertama) karena kendaraan yang diserahkan yang kedua dan seterusnya (balik nama yang kedua dan seterusnya) dapat menyebabkan atau menimbulkan polusi lingkungan yang lebih besar dibanding dengan kendaraan yang diserahkan pertama (balik nama pertama), dengan demikian apabila kendaraan yang diserahkan kedua dikenai tarif bea balik nama lebih tinggi dari pada kendaraan yang diserahkan pertama (balik nama pertama), hal ini sudah mencerminkan rasa keadilan yang dihubungkan dengan persoalan lingkungan hidup. Sedang penyerahan kendaraan (balik nama kendaraan) atas warisan tarifnya paling rendah dibandingkan lainnya, karena penerimaan warisan tidak perlu diukur dengan nilai

294

Produk Hukum Pajak...

maupun kemapuan ekonomis ahli waris, sehingga sudah selayaknya jika tarif balik nama kendaraan atas warisan tergolong paling rendah. Pelaksanaan pemungutan bea balik nama–kendaraan bermotor menggunakan official assesment system, karena yang menetapkan besar kecilnya jumlah bea balik nama– kendaraan bermotor adalah pihak aparat pajak daerah. Sistem ini didasarkan pada Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000 Pasal 10 ayat (1) :”Dalam hal Nilai Jual Kendaraan Bermotor belum tercantum dalam tabel yang ditetapkan oleh Menteri, maka Gubernur menetapkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor dengan Keputusan Gubernur”. Meskipun Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), yang sekurangkurangnya memuat : a. nama, nomor induk kependudukan, dan alamat lengkap yang menyerahkan dan yang menerima penyerahan; b. tanggal penyerahan; c. jenis, merk, tipe, isi cylinder, tahun pembuatan, warna, nomor rangka, dan nomor mesin; d. dasar penyerahan; e. harga penjualan. Sebagai dasar penguat sistem pemungutan pajak daerah yang meng-gunakan official assessment system adalah Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 37 ayat (1) : “berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak daerah sebagaimana dimaksud Pasal 24, 27, 31 dan

Mustaqiem 295

35 Peraturan Daerah ini, PKB, BBN-KB, PBB-KB, dan Pajak ABT ditetapkan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan”. 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pihak yang menjadi subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor, sedang wajib pajaknya adalah orang atau badan yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor. Objek pajak ini ialah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang dipergunakan untuk kendaraan di atas air. Pelaksanaan pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor melibatkan pihak ketiga sebagai wajib pungut, yaitu pihak yang melayani pengisian bahan bakar kendaran bermotor. Wajib Pungut memiliki kewajiban yang diatur Pasal 31 ayat (1): “Setiap Wajib Pungut diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan”. Berdasarkan Pasal 29, masa Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah jangka waktu lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim, berarti pajak ini tergolong pajak langsung. Karena pajak ini tergolong pajak langsung, maka setiap wajib pungut diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) atau dokumen lain yang dipersamakan. Menurut Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 32 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam SPTPD sekurang-kurangnya memuat: (1) nama dan alamat lengkap, (2) Volume penjualan, (3) Harga

296

Produk Hukum Pajak...

jual bahan bakar kendaraan bermotor, (4) Jenis bahan bakar kendaraan bermotor (karena tidak memuat besar kecilnya hutang pajak yang harus dibayar maka pemungutan pajak ini menggunakan official assessment system). Dilihat dari aspek tarif, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor menggunakan satu macam tarif yaitu sebesar 5% (lima persen), tarif ini tergolong tarif sepadan (propotional) yang akan diberlakukan bagi setiap orang atau badan yang membeli Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Perbedaan jumlah pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor bagi masing-masing Wajib Pajak didasarkan atas banyak sedikitnya bahan bakar kendaraan bermotor yang dibeli. 4) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Salah satu pajak daerah yang pemungutannya menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Objek pajak ini adalah : (a) pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan, (b) pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan, (c) pengambilan atau pemanfaatan air bawah dan/atau air permukaan. Pihak yang menjadi subjek pajak ini adalah orang pribadi dan badan yang mengambil dan/atau memanfaatkan air bawah tanah dan air permukaan. Dikecualikan dari objek pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ini adalah pengambilan/pemanfatan yang dilakukan atau diperuntukkan :

Mustaqiem 297

1) Oleh pemerintah pusat atau daerah. 2) Oleh BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan pertanian rakyat. 3) Untuk kepentingan pengairan pertanian. 4) Untuk keperluan dasar rumah tangga sampai dengan 48 M3. 5) Untuk keperluan lembaga sosial keagamaan. 6) Untuk keperluan lembaga pendidikan dasar/Madrasah ibtida’iyah. 7) Untuk keperluan asrama mahasiswa/pelajar milik pemrintah. Pelaksanaan pemungutan pajak dilakukan terus menerus setiap bulan, oleh karena itu diperlukan pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak. Ketentuan ini diatur Pasal 35 ayat (1): “Setiap Wajib Pajak diwajibkan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) atau dokumen lain yang dipersamakan”, dengan ketentuan sekurang-kurangnya memuat : (a) nama dan alamat lengkap, (b) volume pemakaian, (c) harga dasar air, (d) nilai faktor untuk menghitung nilai perolehan air (karena tidak ada pencantuman besar kecilnya jumlah pajak yang terhutang maka pemungutan pajak ini menggunakan official assessment system). Penetapan tarif pajak yang terdiri atas dua macam mengindikasikan bahwa tarif ini tergolong tarif pajak yang bersifat progresif yang dipengaruhi asal-usul tempat air yang dimanfaatkan berasal. Dua macam tarif pajak dimaksud yang ditetapkan Pasal 18 adalah sebagai berikut:

298

Pengaturan Bidang Perpajakan...

1) Tarif Pajak Air untuk pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen); 2) Tarif Pajak Air untuk pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan ditetapkan sebesar 10% ( sepuluh persen). Perbedaan tarif ini dikarenakan efek samping pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah lebih besar daripada pengambilan dan pemanfaatan air permukaan. Pendapatan Asli Daerah Propinsi DIY yang berasal dari pajak ini dalam waktu tiga tahun terakhir adalah Tahun Anggaran 2002/2003 : Rp. 874.236.260,00; Tahun Anggaran 2003/2004 : Rp. 1.941.974.165,00; Tahun Anggaran 2004/2005 (awal) : Rp. 852. 029.775,00. D. Pajak Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah kecil yang berada di selatan pulau Jawa. Namun demikian Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai berbagai keistimewaan, salah satunya adalah daerah sentra kaum terdidik yang berimplikasi pada upaya perbaikan pola penyelenggaraan pemerintahan daerah. Upaya tersebut dilakukan dengan berupaya sekuat mungkin untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas pemungutan berbagai iuran wajib daerah, baik pajak maupun retribusi. Urusan perpajakan daerah merupakan urusan yang sentral karena pajak daerah merupakan salah satu sumber utama pendanaan pemerintahan daerah. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membuat aturan tentang Pajak Daerah dengan Peraturan Daerah No. 1 tahun 2002. Secara umum PERDA tersebut sudah sesuai dengan

Mustaqiem 299

ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun konteks teoritis tentang proses penyusunan PERDA. Beberapa aspek yang berkaitan dengan penyusunan Peraturan Daerah Propinsi DIY No. 1 tahun 2002 ini diungkap untuk alasan studi kasus dan pelekatan konteks teoritis dengan konteks praktis, sekaligus sebagai panduan kecil bagi aparat Pemerintah Daerah yang akan menyusun PERDA tentang Pajak Daerah. Terdapat 3 (tiga) aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini, antara lain pertama, aspek filosofis, yuridis dan politis, kedua, aspek materiil dan formil, dan ketiga, ketentuan tentang sanksi dalam bidang perpajakan. Demi kebutuhan kemudahan membaca buku ini, berikut akan diuraikan ketiga aspek di atas secara lebih rinci. 1. Aspek Filosofis, Yuridis dan Politis Pemahaman sederhana tentang tiga aspek di atas adalah bahwa landasan filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan, atau idée yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan pemerintahan ke dalam suatu rencana atau draf peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis berkaitan dengan ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechts-grond) bagi pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan landasan politik adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan dan ketatalaksanaan pemerintahan negara selanjutnya. Ketiga aspek di atas harus dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini adalah Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa

300

Produk Hukum Pajak...

Yogyakarta. Secara rinci, implikasi dari ketentuan tiga aspek ke dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY No. 1 tahun 2002 adalah sebagai berikut : 1. Landasan Filosofis Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara filosofis mengamatkan kepada bangsa negara untuk menegakkan : Faham negara persatuan, Negara berkedaulatan rakyat (Demokrasi), dan Negara hukum (Rechtsstaat).247 Untuk memenuhi landasan filosofis tersebut, dalam bidang perpajakan pada awalnya dibuatkan landasan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa : “Segala pajak untuk keperluan negara berdasar undang-undang”. Ditetapkannya pasal ini dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada waktu itu tentu ada hubungannya dengan status Indonesia sebagai negara hukum. Berbagai pendapat mengatakan bahwa salah satu ciri negara hukum adalah tindakan negara harus berdasarkan hukum (asas legalitas). Apabila dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ditemukan pasal tersebut, maka siapapun (termasuk negara) tidak punya kewenangan melakukan pemungutan pajak. Mengikuti perkembangan maupun perubahan yang terjadi, ahirnya Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 diamandemen dan diganti dengan Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan pasal 247

M. Noor Syam, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum (sebagai landasan pembinaan sistem hukum nasional), Lab. Pancasila, Malang, 1998, hlm. vii

Mustaqiem 301

hasil amandemen rumusannya lebih luas dari pada rumusan pasal sebelumnya, karena yang diatur tidak terbatas masalah pajak tetapi pungutan-pungutan lain di luar pajak. 2. Landasan Politis Dasar atau landasan politis Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah adalah : a) Dalam rangka mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah perlu dukungan pembiayaan yang memadai dari Pendapatan Asli Daerah, khususnya Pajak Daerah. Kebijaksanaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, memiliki tujuan agar “melahirkan” kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika daerah berstatus sebagai daerah otonom, maka daerah harus memiliki sumber pendapatan asli daerah sendiri, sehingga tidak menggantungkan kepada pemerintah pusat. Penetapan sumber–sumber pendapatan asli daerah selama ini didasarkan pada sebuah undang-undang yang tentu saja merupakan produk pemerintah pusat. Dalam dasawarsa terakhir ini, salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem pemerintahan daerah dan pembangunan daerah adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari

302

Produk Hukum Pajak...

aspek keuangan. Pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak (local discretion) untuk mengambil keputusan penting dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang besar terhadap pemerintah daerah.248 Meskipun daerah otonom memiliki sumber Pendapatan Asli Daerah (termasuk pajak daerah), tetapi keberadaan pajak daerah tidak tergantung pada ada/tidaknya otonomi daerah, tetapi tergantung ada/tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan pajak daerah, seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah. Jika kedua undang-undang tersebut tidak pernah ada maka pajak daerah yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah secara otomatis tidak ada. Selanjutnya pajak daerah bisa dijadikan sebagai pajak pusat dan pihak yang mengatur, memungut, dan menggunakan adalah pemerintah pusat. b) Bahwa Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor pernah diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berturut-turut Nomor 3, 4, 13 Tahun 1998. Sedangkan untuk Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan belum diatur dalam Peraturan Daerah tersebut, sehingga keempat jenis Pajak Daerah tersebut 248 Mudrajad Kuncoro, Desentralisasi Fiskal di Indonesia” Prisma”, No.4 Tahun 1999, Jakarta, hlm. 3

Mustaqiem 303

perlu diatur dan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2002 (poin menimbang Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002). 3. Landasan Yuridis Landasan yuridis ditetapkannya Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah adalah sebagai berikut : a) Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf h, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah yang menyatakan bahwa daerah otonom berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 21. b) Bagian V Kewajiban Kepala Daerah, Pasal 43 huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat (1) : Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c) Bab VI Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Kepala

304

Produk Hukum Pajak...

Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 136. d) Pasal 70 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain, dan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 136 ayat (4): “Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. e) Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas : 1) Pendapatan asli Daerah, yaitu : a) hasil pajak daerah; b) hasil retribusi daerah; c) hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan d) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; 2) dana perimbangan, 3) pinjaman daerah; dan 4) lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Ketentuan seperti ini dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 157 : “ Sumbersumber pendapatan daerah terdiri atas : (1)

Mustaqiem 305

Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah), (2) Dana perimbangan, (3) lain-lain pendapatan daerah yang sah. f) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pasal 4 ayat (1), Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. g) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 158 ayat (1) : Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda. 2. Aspek Ketentuan Materiil dan Formil Kerangka atau struktur lain yang harus diikuti dalam proses penyusunan peraturan perundang-udangan adalah ketentuan formil dan ketentuan materiil. Secara sederhana, Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah dianggap sudah memenuhi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pasal 4 ayat (3) atau telah mentaati (konsisten) terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Uraian tentang ketentuan formil dan materiil, adalah sebagai berikut : A. Ketentuan Formil Berdasarkan kewenangan (kompetensi) pembuatan peraturan perundang-undangan, maka pembuatan Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 oleh Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah memenuhi

306

Produk Hukum Pajak...

syarat yang bersifat formil. Ketentuan formil diatur dalam : a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69: “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi”. Pasal 82 ayat (2): “Penentuan tarif dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang - undangan”. b. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah, Pasal 4 ayat (1) : “Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat (1) : Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan substansi beberapa pasal, baik dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang berkaitan dengan ketentuan formil penyelenggaraan pemungutan pajak daerah menunjukkan tidak terdapat perbedaan. Sehingga Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 jika diukur dengan kedua Undang-Undang tersebut telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan.

Mustaqiem 307

B. Ketentuan Materiil Merupakan ketentuan yang berhubungan dengan segi isi atau kandungan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ketentuan yang bersifat materiil ditetapkan dalam : a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 70 : “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain, dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi”. b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 ayat (4): “Perda sebagaimana dimaksu dpada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pasal 4 ayat (2) “Peraturan Daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut”. Ketentuan tersebut telah dipenuhi oleh Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2002 Nomor 1 Seri B), Pasal 60 menyatakan bahwa : “Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, ialah diundangkan di Yogyakarta pada tanggal 15 Pebruari 2002”. Ayat (3) : “Peraturan Daerah tentang pajak sekurangkurangnya mengatur ketentuan mengenai : (1) nama, objek, dan subjek pajak; (2) dasar pengenaan, tarif, dan

308

Produk Hukum Pajak...

cara penghitungan pajak; (3) wilayah pemungutan; (4) penetapan, (5) tata cara pembayaran dan penagihan; (6) Kedaluarsa; (7) sanksi administrasi; (8) tanggal mulai berlakunya. Ayat (4) : “Peraturan Daerah tentang pajak dapat mengatur ketentuan mengenai”: a. Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b. Tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluarsa; c. Asas timbal balik. Dilihat dari ketentuan yang ditetapkan dalam pasalpasal tersebut, menunjukkan bahwa Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 secara materiil sudah sesuai dengan ketetapan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, meskipun ketetapan tentang penamaan objek Pajak Daerah dalam Peraturan Daerah tersebut tidak lengkap seperti yang ditetapkan oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Menurut pasal tersebut jenis pajak Propinsi terdiri atas : (1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Dibawah Tanah dan Air Permukaan. Ketidaklengkapan penamaan objek pajak daerah dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun

Mustaqiem 309

2002 seperti yang diatur pada Pasal 3 ayat (1) : “Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor”, dan ayat (2) : “Objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kendaraan bermotor”. Rumusan tersebut secara yuridis tidak menjangkau kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan di Atas Air. Begitu pula objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kendaraan bermotor, maka secara yuridis hal tersebut tidak dapat menjangkau pihak-pihak yang melakukan penyerahan Kendaraan di Atas Air. Oleh karena itu, jika diukur ruang lingkupnya maka Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 ruang lingkupnya lebih sempit dari pada yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Lebih jelasnya dua objek Pajak Daerah tersebut dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tidak lengkap seperti pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat diketahui melalui tabel sebagai berikut : Tabel 6 Nama-Nama Pajak Daerah Menurut UU No. 34 Th.2000 Dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002 Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut UU No. 34 Tahun 2000

Menurut Perda No. 1 Tahun 2002

Kendaraan 1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Bermotor dan Kendaraan di atas Air

310

Produk Hukum Pajak...

Balik Nama 2. Bea Balik Nama 2. Bea Kendaraan Bermotor Kendaraan Bermotor dan 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan di Atas Air Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Tanah dan Air Permukaan Di sisi lain, bahwa ketetapan tarif Pajak Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 persentasenya tidak bertentangan dengan ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Berdasarkan ketentuan batas maksimal tarif pajak daerah yang sudah ditetapkan pemerintah berdasar undangundang tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah posisinya terbatas sebagai pelaksana teknis di bidang perpajakan daerah, meskipun untuk melaksanakan kebijakan tersebut harus diterbitkan Peraturan Daerah. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pemerintah tetap memiliki dominasi (kekuasaan) yang besar di bidang Pajak Daerah, seperti pengaturan tarif pajak daerah dalam Pasal 3 ayat (1) : “Tarif jenis pajak daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling tinggi sebesar : “ Pasal di atas ditulis guna menunjukkan bahwa kebijakan pengaturan pembatasan maksimal tarif pajak

Mustaqiem 311

daerah berdasar Pasal 3 tersebut bersifat sentralistis. Akibat dari kebijakan tersebut daerah tidak memiliki hak menentukan tarif pajak daerah secara leluasa, karena maksimal tarif pajak daerah sudah dibatasi oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat menyebabkan fungsi pajak yang pertama (fungsi budgeter) tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Daerah. 3. Ketentuan Sanksi di Bidang Perpajakan Aspek lain yang tidak dapat dipisahkan ketika membahas peraturan perundang-undangan adalah pengaturan tentang sanksi. Pada dasarnya sanksi bagi pelaku pelanggaran di bidang perpajakan dibedakan menjadi dua, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Hal demikian juga berlaku di bidang perpajakan daerah. Sanksi administrasi ditujukan bagi Wajib Pajak yang memiliki pajak terutang, tidak atau kurang dibayar (Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 38 ayat (1) huruf a, angka 1) dan apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak disampaikan kepada Gubernur dalam jangka waktu yang sudah ditentukan meskipun sudah ditegur secara tertulis (Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 38 ayat (1) huruf a, angka 2. Penggunaan sanksi administrasi ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 38 ayat (2) : “ jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKPPDKB sebagaimana dimaksud (Pasal 38 ayat (1) huruf a, angka 1 dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan

312

Produk Hukum Pajak...

dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terhutangnya pajak”. Mengenai ancaman sanksi pidana ditetapkan berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 : “Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, 27, 31, dan 35 Peraturan Daerah ini sehingga merugikan keuangan daerah, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyakbanyaknya 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang. Bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, 27, 31, dan 35 Peraturan Daerah ini sehingga merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya 4 (empat) kali jumlah pajak terhutang”. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, sanksi pidana yang terdiri dari kurungan dan denda bersifat kumulatif atau bersifat alternative (...dan/ atau ...). Kategori tindak pidana sebagaimana tersebut pada Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun, Pasal 54 ayat (1) dan (2) adalah pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak (ayat 4). Ketentuan dalam ayat (4), selaras dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-

Mustaqiem 313

Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 12 ayat (1) : “Hak untuk penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan”. Konsekuensi lama waktu daluarsa bagi Wajib Pajak adalah bahwa ia harus menyimpan data atau berkas-berkas perpajakan yang dimiliki minimal selama 10 (sepuluh) tahun agar dalam menghadapi permasalahan perpajakan sewaktu-waktu mudah mempersiapkan data/ berkas-berkas yang diperlukan. Untuk menegakkan rasa keadilan, sanksi di bidang perpajakan daerah tidak hanya ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran, tetapi ditujukan juga kepada aparat pajak apabila ia melakukan pelanggaran larangan di bidang perpajakan daerah. Larangan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 52 ayat (1) yang berbunyi : “setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan”. Larangan ini berlaku juga terhadap ahli-ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan

314

Produk Hukum Pajak...

daerah, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan. Aparat yang melakukan pelanggaran larangan menurut menurut Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 52 ayat (1) dan (2) diancam dengan Pasal 55 ayat (1) dan (2). Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Sedang menurut Pasal 55 ayat (2) “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Berkaitan dengan tindak pidana menurut Pasal 55 ayat (1) dan (2) tersebut, penuntutannya hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar. Kategori tindak pidana yang dimuat dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 selaras dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Pasal 41 : (1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.

Mustaqiem 315

4.000.000,00 (empat juta rupiah); (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000. 000,00; (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Daerah maupun Undang-Undang Ketetntuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat delik aduan, sehingga pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat agar dapat ditindaklanjuti melalui proses hukum memerlukan keberanian wajib pajak yang dirugikan mau mengadu atau melaporkan tindak pelanggaran yang terjadi. Sehingga kasadaran hukum wajib pajak perlu selalu dibangkitkan. Selain itu terdapat pula perbedaan sanksi pidana yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 bagi wajib pajak dengan pejabat, adapun perbedaannya ialah sanksi bagi wajib pajak bersifat alternatif atau kumulatif (… dan/ atau…), sedangkan sanksi bagi pejabat bersifat alternatif (… atau …) saja, ketentuan tersebut menyebabkan sanksi bagi wajib pajak lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi bagi pejabat. Proses sampai penjatuhan sanksi baik bagi wajib pajak maupun pejabat diawali dengan penyidikan yang dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah

316

Produk Hukum Pajak...

Daerah yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. Sedangkan mengenai sanksi pidana bagi wajib pajak dan aparat yang diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat perbedaan. Perbedaannya sanksi bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran karena kealpaan bersifat kumulatif atau alternatif (dan / atau), sedang sanksi pelanggaran karena kesengajaan bersifat kumulatif. Bagi aparat yang melakukan pelanggaran baik karena kealpaan maupun kesengajaan sanksinya bersifat kumulatif (... dan ...). Di bidang perpajakan baik yang diatur dengan Undang-Undang maupun Peraturan Daerah, setiap wajib pajak memiliki hak dan kewajiban. Hak wajib pajak di bidang perpajakan daerah diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 43 ayat (1) : “Gubernur karena jabatannya atau atas permohonan wajib pajak dapat membetulkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT, atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundangundangan perpajakan daerah”. Hak wajib pajak yang lain menurut Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 45 ayat (1) ialah : “wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas suatu: SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN. Pasal 46 ayat 1 menetapkan bahwa: “ wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dalam

Mustaqiem 317

jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya keputusan keberatan dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk”. Pada tahun 2002, Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) telah diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Sehubungan dengan hal tersebut maka rumusan Pasal 46 ayat (1) Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 harus disesuaikan.

BAB IV

PENUTUP

Pengaturan bidang perpajakan daerah di Indonesia dapat dibedakan menjadi 4 (empat) sistem, yaitu: a) sistem desentralisasi dengan otonomi seluas-luasnya ketika berlakunya UU No. 1 Tahun 1957; b) sistem sentralisasi dengan otonomi nyata dan bertanggungjawab ketika berlakunya UU No. 5 Tahun 1974; c) sistem sentralisasi dan desentralisasi dengan otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab ketika berlakunya UU No. 22 Tahun 1999; d) sistem sentralisasi dan desentralisasi dengan otonomi seluas-luasnya ketika berlakunya UU No. 32 Tahun 2004. Pembentukan peraturan daerah tentang Pajak Daerah harus memenuhi aspek filosofis, yuridis dan politis, serta memenuhi ketentuan formil dan materiil. Di dalam peraturan daerah tentang Pajak Daerah dikenal adanya dua bentuk sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang berasal dari sektor pajak daerah, sudah saatnya Pemerintah Daerah diberi kebebasan untuk menentukan, mengatur, dan

Mustaqiem 319

mengelola jenis-jenis pajak daerah dengan menggunakan sistem desentralisasi. Persoalan kepentingan umum yang merupakan salah satu ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh produk hukum pajak daerah perlu ditinjau kembali karena kepentingan umum mempunyai pengertian yang tidak terbatas dan bersifat global, atau tidak mempunyai muatan yang bersifat kepastian sehingga menyebabkan multitafsir.

DAFTAR PUSTAKA Buku Abdurrahman, Beberapa Aspek Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 ----------, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Ilmu Perundang-undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 Aini, Hamdani, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta, 1985 Ali, Chidir, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1993 Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Renika Cipta, Jakarta, 1996 Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Desertasi), Universitas Indonesia, Jakarta, 1990 B. Usman dkk., Pajak-Pajak Indonesia, Yayasan Bina Pajak, Jakarta, 1980 Bhakti Ardhiwisastra, Yudha, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000 Bambang Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah Titik berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah (pokokpokok pikiran menuju reformasi hukum di bidang pemerintahan daerah), Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1998

Mustaqiem 321

Bird, Richard M., Tax Policy and Economic Development, Thr. Johns Hopkins University Press Baltimor and London, 1992 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1986 Budihardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1977 Budiman, Arief, Teori Negara (negrara, kekuasaan dan ideologi), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997 C. Goedhart, Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Djambatan, Jakarta, 1975 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984 Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1993 Devas, Nick, Financing Local Government In Indonesia, Ohio University Monographs in International Studies Southeast Asia Series No. 84, 1989 Doing Business and Investing in Indonesia, Price Water House Coopers, Jakarta, 1999 Due, John F., Keuangan Negara (terjemahan), UI - Press, Jakarta, 1985 Eckstein, Otto, Keuangan Negara, Bina Aksara, Jakarta. 1981 Ersnta and Young LPP, History of the Income Tax in the United States. Ferdinan H.M. Grapperhaus, Tax Tales For the Second Millineum, Amsterdam IBFD, 1998 Gonggong, Anhar, Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah, dan Federalisme (solusi masa depan), Media Pressindo, Yogyakarta, 2001 Heidenheimer, Arnold J., at all. Comparative Public Policy-The Polities of Social Choise in America, Europe, and Japan,

322

Daftar Pustaka

ST. Martin’s Press, New York K.J. Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah Praktek–Praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia ketiga (terjemahan), UI-Press, Jakarta Kasten, Richard, Trends is Federal Tax Progressivity, 19801993, Office of Tax Policy Research, University of Michigan, 1993 Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, alih bahasa oleh Somardi berjudul Teori Hukum Murni (dasardasar ilmu hukum normative sebagai ilmu hukum empirikdeskriptif), Rimdi Press, Jakarta, 1995 Ketrampilan Perencanaan Hukum (laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 Kortman, Prakke, L. en C.A.J.M., het Bestuursrecht van de Landen der Europese Gemeenschappen, KluwerDeventer, 1985 Kranenburg, at all, Ilmu Negara Umum,Pradnya Paramita, Jakarta, 1986 Kusumohamidjojo, Budiono, Ketertiban Yang Adil (Problematik Filsafat Hukum), Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000 Lubis, Solly ., Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989 ----------, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1992 ----------, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar Maju, Bandung, 1989 M. Koeswardi, Ilmu Negara, Perintis Press, Jakarta, 1985 M. Suparmoko, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, 1998

Mustaqiem 323

----------, Keuangan Negara, BPFE, Yogyakarta, 2000 M. Zain, dkk, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Alumni, Bandung, 1984 Mac Andrews, Colin, at all., Hubungan Pusat Dengan Daerah Dalam Pembangunan, Rajawali Press, Jakarta, 1995 Machmudin, Dudu, D., Pengantar Ilmu Hukum,, Refika Aditama, Bandung, 2001 Mardiasmo, Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2001 ----------, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta, 2002 Marsono, Himpunan Peraturan Tentang Pemerintahan Di Daerah, Djambatan, Jakarta, 1986 Mertokusumo, Sudikno; Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakata, 1996 Moh. Mahfud; Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998 Muchsan, Kajian Yuridis Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Unisia No.42/XXIII/ I/2000, Yogyakarta Munawir; Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992 Munir, Badrul; Perencanaan Anggaran Kinerja(memangkas inefisiensi anggaran daerah),Samawa Center, Mataram, 2003 Muqodim, Perpajakan, FE - UII Press, Yogyakarta, 1999 Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2003 Nusantara, Abdul Hakim G.,Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988 Oliver, Philip D. at all, Tax Policy, Westbury, New York, The Foundation Press, Inc., 1996 Pandiangan, Liberty, Pemahaman Praktis Undang Undang Perpajakan Indonesia, Airlangga, Jakarta, 2002

324

Daftar Pustaka

Prakoso, Kesit B. Pajak Dan Retribusi Daerah, UII-Press, Yogyakarta, 2003 Pringgodigdo; Tiga Undang Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1989 R.W.M. Dias; Jurisprudence, Fifth Edition, Butterworths, London, 1985 Rahardjo, Satjipto; Hukum Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial, Pada Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Press, Jakarta, 1986 ----------, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002 Riwu Kaho, Josep; Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali pers, Jakarta, 1991 Samudra, Azhari A.; Perpajakan Di Indonesia (keuangan, pajak, dan retribusi daerah), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 Saragih, Juli P., Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam otonomi, Ghalia-Indonesia, Jakarta, 2003 Sartan, Perpajakan (hukum pajak positip di Indonesia), Djambatan, Jakarta, 1980 Seligmann, Edwin R.A., Essay on Taxation, New York, 1925 Sidharta, Arief, at all, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000 Siegel, Richard L.; Comparing Public Policies – United State, Soviet Union, and Europe, The Dorsey Press, Homewood Illinois, Irwin-Dorsey Imited, Georgetown, Ontario, 1977 Sihaloho,Cyrus; Ketentuan perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta, 1997

Mustaqiem 325

Soekanto, Soerjono; Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1982 ----------, Penelitian Hukum Normatif ( suatu tinjauan singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 1985 ----------, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,Mandar Maju, Bandung, 1989 Soemitro, Rochmat; Perdilan Administrasi Negara Dalam Hukum Pajak di Indonsia , Eresco, Jakarta-Bandung, 1976. ----------, Dasar -Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, 1979 ----------, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Jakarta, 1974 ----------,Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemerintahan Daerah, Eresco-Tarate, Jakarta - Bandung, 1983 ----------, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum,Eresco, Bandung, 1991 Suandy, Erly, Perencanaan Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, 2001 Sukardji, Untung; Pajak Pertambahan Nilai, Rajawli Pers, Jakarta, 2000 Sumantoro; Aspek-Aspek Hukum Dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988 Sunggono, Bambang; Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1997 Syafruddin, Ateng, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II Dan Perkembangannya, Mandar Maju, Bandung, 1991 Syam, M. Noor; Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum (sebagai landasan pembinaan sistem hukum nasional), Laboratorium Pancasila, IKIP Malang, 1998 Syarif, Amiroeddin, Perundang-undangan (dasar, jenis, dan teknik membuatnya), Reneka Cipta, Jakarta, 1997 ----------, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

326

Daftar Pustaka

Soedargo, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Eresco, Bandung, 1964 ----------, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999 Soeparman, Tindak Pidana Di bidang Perpajakan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara (Kajian kritis atas kebijakan otonomi daerah), Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2000 Utz, Stephen G.; Tax Policy (An Introduction and Survey of The Principal Debate) West Publishing CO., ST. Paul, MINN. 1993 van Wijk, H.D., en Willem Konijnenbelt; Hoofdstuukken van Administratief Recht, Vuga,s Gravenhage, 1995 Wignjodipoero, Soerojo; Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 1985 Kamus. Black’s Law Dictionary, editor Bryan A. Garner (Editor in Chief), Copyrigt @ 1999, By West Group St. Paul MN. Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986 Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1977 W.J.S. Poerwodarminto, (ed), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986 W. Van Hoeve, Kamus Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996 Jurnal Unisia No. 42/XXIII/ /1/ 2000, ISSN: 0215-1412

Mustaqiem 327

Majalah Prisma, No. 4 Tahun XXIV April 1995, hlaman 3-17, Jakarta. Warta Perundang-undangan No. 1632, 1736, 1738, 1839, 1942, 2130 Tempo No. 46 Th. Ke XIII, Tgl. 14-1-1984; dan No. 46 Th. Ke XV, Tgl. 11-1-1986 Undang Undang Dasar Undang Undang Dasar 1945 Undang Undang Dasar-Sementara 1950 Perundang-undangan Perpajakan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459)

328

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3570) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688),

Mustaqiem 329

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) Perundang-undangan Pajak dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1957 Nomor 56, beserta penjelasannya Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1287) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3685 ) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048) Perundang-undangan Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan di Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah

330

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143) Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957 (U.No.32 th. 1956, tgl. 31 Desember, diiundangkan pada tgl. 3112-1956, LN. No. 77/1956) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Mustaqiem 331

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389). Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2000 Tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Peraturan Pemerintah No. 115 Tahun 2000 Tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri Dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah Peraturan Daerah Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2002 Nomor 1 Seri B)