mitigasi bencana

ANALISIS TIPOMORFOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN PERENCANAAN TERHADAP ANCAMAN BENCANA DI KOTA BANJARMASIN Bani Noor Muchamad St...

0 downloads 145 Views 318KB Size
ANALISIS TIPOMORFOLOGI SEBAGAI PENDEKATAN PERENCANAAN TERHADAP ANCAMAN BENCANA DI KOTA BANJARMASIN Bani Noor Muchamad Staf pengajar prodi arsitektur Universitas Lambung Mangkurat Email: [email protected]

Abstrak Seringnya terjadi bencana di berbagai daerah di Indonesia telah menarik perhatian berbagai pihak. Dalam konteks keilmuan, fenomena bencana dapat dilihat dari berbagai disiplin dan selalu menjadi tantangan bagi setiap disiplin ilmu. Tidak ada monopoli keilmuan dalam menghadapi bencana, sebaliknya terdapat ruang bagi setiap ilmu untuk berkontribusi sesuai ontologi, epistemologi, dan aksiologi masing-masing disiplin ilmu. Arsitektur, sebagai bidang ilmu yang fokus pada pengolahan ruang dan bentuk bagi wadah aktifitas manusia, tentu sangat berkaitan dengan beragam bencana yang terjadi. Namun demikian, permasalahannya adalah bagaimana “melihat” teori-teori arsitektur yang sudah ada sesuai paradigma kebencanaan ini? Sejatinya, itulah fungsi teori dan metodologi keilmuan yaitu mampu menjelaskan persoalan yang dihadapi manusia serta memberikan solusi-solusinya. Termasuk dalam hal ini adalah permasalahan bencana. Tulisan ini bertujuan menjelaskan bagaimana salah satu teori arsitektur yang sangat penting dan banyak memberi kontribusi dalam perencanaan dan perancangan selama ini yaitu teori tipologi dapat digunakan sesuai paradigma kebencanaan. Bagaimana penggunaan atau implementasi analisis tipomorfologi untuk antisipasi ancaman bencana maupun rehabilitasi dampak bencana yang sudah terjadi. Untuk itu penelitian ini menggunakan kasus bencana yang sering terjadi di Kota Banjarmasin, yaitu banjir dan kebakaran. Analisis tipomorfologi diterapkan terhadap desain-desain lokal yang ada untuk menghasilkan konsep desain yang responsif atau adaptif terhadap bencana. Penelitian mencakup analisis karakteristik metodologi tipologi untuk memahami pemanfaatannya dengan permasalahan dan kasus penelitian. Selanjutnya disusun tahapan analisis tipomorfologi berdasar data-data empiris permukiman di Kota Banjarmasin. Dari hasil analisis tipologi permukiman diperoleh kesimpulan bahwa morfologi permukiman yang adaptif terhadap bencana banjir dan kebakaran adalah konsep panggung atau terapung dengan beberapa modifikasi pada konstruksi, material, dan pola permukiman beserta sirkulasinya. Kata kunci: metode tipologi, arsitektur vernakular, masyarakat Banjar, rumah panggung, kota Banjarmasin,.

LATAR BELAKANG. Saat ini, seringnya terjadi bencana di berbagai daerah di Indonesia telah menarik perhatian berbagai pihak. Berbagai bencana yang terjadi, baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia, telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi kehidupan manusia, tidak hanya kerugian harta dan benda tetapi juga jiwa. Setiap daerah sejatinya memiliki karakteristik kebencanaan masing-masing dan telah membentuk budaya masyarakatnya. Dari berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh bencana inilah masyarakat tersebut belajar bertahan atau beradaptasi. Selain memiliki potensi kebencanaan, setiap lingkungan alam biasanya juga menyediakan berbagai solusi terhadap bencana tersebut dan faktor inilah yang membentuk kearifan lokal suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks keilmuan, sesungguhnya fenomena bencana yang terjadi saat ini dapat dilihat dari/oleh berbagai cabang disiplin ilmu dan akan selalu menjadi tantangan bagi setiap disiplin ilmu tersebut. Tidak ada monopoli keilmuan dalam menghadapi bencana, sebaliknya terdapat ruang bagi setiap ilmu untuk berkontribusi sesuai ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan masingmasing. Setiap bidang ilmu yang telah berkembang tentu memiliki teori dan metode yang ditujukan untuk melayani berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia. Sudah seharusnya setiap bidang ilmu dan para praktisinya melihat kembali teori-teori dan metodologi keilmuannya untuk menghadapi bencana dan perubahan paradigma masyarakat terhadap bencana yang terjadi. Bagaimana memanfaatkan teori dan/atau metode tersebut untuk menghadapi bencana alam?

1

Sejatinya itulah fungsi teori dan metodologi keilmuan, yaitu mampu menjelaskan bencana yang mempengaruhi kehidupan manusia serta memberikan berbagai solusinya. Berdasar latar belakang di atas, tulisan ini mengangkat permasalahan kontribusi teori dan/atau metode bidang ilmu arsitektur (khususnya metode tipologi) yang dapat digunakan dalam memahami sekaligus menemukan solusi kebencanaan. Adapun tujuan tulisan ini adalah melihat sejauhmana metode tipologi dapat digunakan sebagai bagian dari solusi kebencanaan dan untuk itu penelitian ini menggunakan kasus bencana yang sering terjadi di Kota Banjarmasin, yaitu banjir dan kebakaran. Melalui analisis tipologi terhadap terhadap desain-desain lokal yang ada maka akan mampu menghasilkan konsep desain yang responsif atau adaptif terhadap bencana. METODE Arsitektur, sebagai bidang ilmu yang fokus pada pengolahan ruang dan bentuk (space and form) bagi wadah aktifitas manusia, tentu sangat berkepentingan juga dengan fenomena bencana alam ini. Bagaimana para perencana dan perancang menyadari dan memanfaatkan metodologi keilmuan sebagai pendekatan dalam mengantisipasi bencana khususnya melalui desain lingkungan binaan (built environment) adalah permasalahannya. Salah satu metode analisis dalam arsitektur yang sangat penting dan banyak memberi kontribusi dalam perencanaan dan perancangan selama ini adalah analisis tipomorfologi. Untuk itu penelitian ini bertujuan menjelaskan mengapa, bagaimana penggunaan atau implementasi analisis tipomorfologi untuk menghadapi ancaman bencana yang terjadi. Penelitian ini mengambil kasus antisipasi bencana yang sering terjadi di Kota Banjarmasin, yaitu banjir dan kebakaran. Sedangkan analisis tipomorfologi diterapkan untuk memahami morfologi desain arsitektur lokal yang ada untuk menghasilkan konsep desain yang adaptif terhadap ancaman bencana banjir dan kebakaran. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Mengapa metode tipologi? Membahas mengapa memilih metode tipologi untuk memahami bencana tidak dapat dilepaskan dari pemahaman asal mula lahirnya metode tipologi, ragam pemikiran yang ada, dan ragam metodologinya. Kata tipe (type) berasal dari kata typto (Yunani) yang berarti: mengalahkan, memukul, atau menandai (Webster Collin Dictionary, 1997). Menurut World Encyclopedia (2005) disebutkan: “System of groupings that aids understanding of the things being studied by distinguishing certain attributes or qualities among them that serve to link them together into a closed set of items”. Sementara dalam bidang ilmu arsitektur, terdapat beragam definisi tipologi yang pernah dikemukakan oleh para ahli, diantaranya: “[Typology is an] approach that isolates the attributes of the architectural coherence,identifies them as characteristics, in order to then compare them with similarly abstracted attributes from other contexts and to define similarities or differences”. (Günter Pfeifer and Per Brauneck). “It is neither a spatial diagram nor the average of a serial list. It is fundamentally based on the possibility of grouping objects by certain inherent structural similarities” (Moneo 1978, p.23). “typology is defined as a system of types used toclassify or interpret individuals by creating relationships among type categories” (Schneekloth 1989). “A type is the organic ensemble of the common characteristics of buildings in a defined culture over a specific period of time”. (Petruccioli, A. 1999). Typology is the comparative study of physical or other characteristics of the built environment into distinct types.(Guney, 2007).

2

Beragamnya definisi tipologi di atas tidak terlepas dari perbedaan latar belakang masa perkembangan dan aliran pemikiran yang dianut oleh para ahli. Namun demikian, walaupun terdapat beragam pendapat namun secara umum pengertian tipe dapat disimpulkan sebagai suatu studi untuk mempelajari tipe dari obyek-obyek arsitektural dan mengelompokkannya (menempatkan obyek-obyek tersebut) dalam suatu klasifikasi tipe berdasarkan kesamaan atau keserupaan dalam hal-hal tertentu yang dimiliki obyek arsitektural. Kesamaan tersebut dapat berupa: kesamaan bentuk dasar/sifat-sifat dasar sesuai dengan bentuk dasar obyek tersebut, kesamaan fungsi obyekobyek dan kesamaan asal-usul atau perkembangan serta latar belakang sosial masyarakat dimana obyek tersebut berada, termasuk gaya atau langgamnya. Memahami tipologi dalam bidang arsitektur tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan teori tipe/tipologi serta beragam aliran (metodologi) dari institusi pendidikan arsitektur (school of architecture) yang ada. Secara garis besar perkembangan teori tipe dapat dibagi atas 3 periode (a.l: Vidler [1976], Moudon [1994], Guney [2007], Komorowski [2007], Cortes [2006], dll). a. Periode pertama dimulai pada abad XVIII atau dikenal pula sebagai era pencerahan (age of enlightenment). Pada era ini, konsep tipologi diperkenalkan oleh Quatremere de Quincy. Menurut Quincy, tipe (type) didasarkan atas 3 konsep, yaitu: (1)asal mula (origin) atau esensi yang berkaitan dengan pemahaman tipe sebagai “the general form, structure, or character distinguishing a particular type, group, or class of beings or objects”, (2) perubahannya (transformation) dan (3)hasil yang tercipta (invention). b. Periode kedua dikenal sebagai era ideologi modern. Kehadiran teori tipe pada era ini dipicu terjadinya perubahan struktur sosial setelah perang dunia I. Para penggagas teori tipe era modern berpendapat bahwa arsitektur memegang tugas sosial menyediakan wadah hunian yang bersih dan sehat untuk seluruh warga dari berbagai kelas sosial. Untuk itu tipe diarahkan untuk menemukan model desain arsitektur yang berdasarkan standarisasi untuk memenuhi kebutuhan produksi massal. c. Periode ketiga berkembang mulai akhir tahun „60-an setelah pudarnya era arsitektur modern. Periode ini dikenal sebagai periode neo-rasionalis yang menekankan pada keberlanjutan hubungan bentuk (form) dan sejarahnya (history) yang telah hilang selama era modern. Muratori adalah yang pertama menggunakan teori tipe neo-rasionalis ini dalam studinya tentang tekstur perkotaan (urban texture) pada Kota Venice (Studies for an Operating Urban History of Venice, 1959) dengan menggunakan analisis tipologi dan morfologi. Selanjutnya Muratori dikenal sebagai pendiri aliran Italia untuk studi morfologi kota atau dikenal juga sebagai Italian School. Di Perancis, Philippe Panerai, Jean Castex dan Jean-Charles DePaule, mendirikan juga sekolah (School of Architecture) di Versailles yang selanjutnya dikenal sebagai aliran French School. Sementara di Inggris M.R.G Conzen (1907-2000) mem- perkenalkan aliran Inggris atau dikenal sebagai British School. Metode tipologi juga dapat dilihat dari pemikiran 3 (tiga) institusi pendidikan arsitektur yang memiliki karakteristiknya masing-masing, yaitu Italian school, British school, dan French school. Berikut gambaran masing-masing. a. Italian School. Sekolah Italia dikenal sebagai institusi yang pertama mengkaji secara detail studi tipo-morfologi dan sangat dipengaruhi oleh kajian tipologi kota Venice dan Roma oleh Muratori. Muratori mengusulkan perlunya studi yang berbasis pada keterikatan waktu pada semua tingkatan pembangunan kota untuk mendapatkan aturan bagaimana sebuah keberlanjutan dapat dijaga dalam proses transformasinya (Marzot, 2002). Dalam konteks kajian tipologi saat ini maka metodologi aliran Italia ini menekankan pada adanya hubungan bangunan dengan sejarah masa lalunya. Dilihat dari perspektif desain, Muratori (Italian school) berpendapat bahwa studi tipologi digunakan untuk membangun teori desain yang berbasis pada proses pertumbuhan alamiah/tradisional dari bangunan yang ada. b. British School. Berawal dari kajian bidang ilmu geografi dan diperkenalkan oleh M.R.G. Cozen melalui studi tentang bentuk kota (morphological urban) pada tahun „30-an. Dalam studinya, Conzen menganalisis beberapa rencana kota. Salah satu studi yang paling berpengaruh adalah analisis terhadap rencana kota Alnwick; dimana terdapat kombinasi hubungan antara rencana kota, bentuk bangunan, dan tata guna lahan. Dari studi ini Conzen merumuskan

3

beberapa periode bentukan (morphological periods) melalui studi kesejarahan kota dimana setiap periode pengembangan kota meninggalkan jejak material pada bentang kota yang ada. c. French School. Berawal dari Versailles School dan melibatkan berbagai bidang keilmuan seperti: arsitektur, perkotaan (urbanisme), sosiologi, sejarah, dan geografi. Aliran Perancis lebih fokus pada kegiatan mengkajian, mengklasifikasi, dan membandingkan beragam tipe pola perkotaan (urban tissue). Dalam konteks desain, aliran Perancis lebih tertarik pada pengembangan dan analisis bentuk perkotaan yang ada. Berdasar gambaran perkembangan teori/metode tipologi dan metodologinya di atas maka sejak diperkenalkannya konsep tipologi hingga kini telah banyak riset tipologi sudah dihasilkan. Secara umum studi-studi tipologi pada awalnya lebih sebagai alat analisis untuk mengklasifikasikan karakteristik fisik arsitektur (ruang-bangunan-kota), namun saat ini lingkup kajian tipologi sudah sangat luas hingga mencakup hal-hal dibalik terciptanya wujud ruang-bangunan-kota tersebut. Penggunaan sudi tipologi untuk mengkaji aspek lainnya di luar skala dan karakteristik bangunan telah sejak lama dipahami. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Scheer dan David (1994:5), yang menyatakan “The idea of type that we are interested in is one that can be extended beyond the scale of the individual building”. Namun demikian, yang terpenting dari pemilihan metode atau studi tipologi untuk sesuatu tujuan adalah adanya kriteria yang sesuai dengan tujuan tersebut. Kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasi harus selektif (Chansiri, 1999:11) dan berdasar vocabulary disiplin ilmu arsitektur. Sebagai contoh, jika tujuan studi tipologi bangunan adalah untuk menjamin kehidupan, keselamatan, dan kesehatan penghuni maka kriteria yang digunakan adalah kriteria material, konstruksi, dan potensi ancaman bencana (Schneekloth and Ellen 1989). Berdasar penjelasan di atas, maka untuk kebutuhan analisis kebencanaan digunakan kriteria desain arsitektur lokal/vernakular yang menjelaskan bagaimana desain yang sesuai dengan kondisi setempat khususnya akar bencana dan penanganannya. Sebagai contoh lain, jika kebencanaan yang ada disebabkan oleh adanya gaya lateral/horisontal (a.l: gempa bumi, angin, dlsb) maka aspek material dan konstruksi penyambungannya adalah kiteria yang tepat untuk digunakan. 2. Bagaimana metode tipologi digunakan? Moudon (1994:305), menyebutkan 4 (empat) tahapan yang harus dilalui dalam analisis tipologi yaitu: menentukan skala, merumuskan klasifikasi, elaborasi hasil identifikasi berdasar klasifikasi untuk menghasilkan konsep-tipe, dan membangun dialog keterkaitan antar tipe untuk merumuskan tipe. Selanjutnya dari tipe yang dihasilkan dapat dibahas (dimaknai) lebih jauh berdasar karakter kebencanaan untuk menemukan solusi desainnya. Dalam penelitian ini, metode tipologi untuk merumuskan solusi ancaman bencana diterapkan untuk memahami ancaman bencana yang umum terjadi di Kota Banjarmasin, (gambar 1) yaitu banjir dan kebakaran. Ancaman bencana banjir umumnya terjadi akibat kondisi geografis Kota Banjarmasin yang memang termasuk berada di daerah dataran rendah dan lingkungan rawa/air. Banyaknya sungai-sungai yang melintasi Kota Banjarmasin turut meningkatkan ancaman banjir, khususnya akibat pasang surut air laut. Ancaman bencana banjir pada saat ini diperparah dengan semakin rusaknya kondisi sungai. Beberapa penyebab bencana banjir di Kota Banjarmasin, antara lain: (1)penyempitan lebar sungai akibat permukiman yang memakan badan sungai atau dibangun di atas sungai, (2)hilangnya beberapa anak sungai dan badan air lainnya akibat pembangunan perumahan (real estate), jalan, pertokoan, dll, (3)kebijakan tata ruang yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan alam, seperti alih fungsi kawasan sungai/rawa menjadi daratan, (4)pembangunan yang berorientasi pada kota daratan, sehingga bangunan dibangun dengan cara menimbun (mengurug) lahan dan menggunakan bahan-bahan bangunan yang tidak ramah denga lingkungan rawa/air. Adapun ancaman bencana kebakaran umumnya disebabkan faktor manusia (human error). Beberapa faktor yang menyebabkan bencana kebakaran antara lain: (1)pembangunan permukiman yang sangat rapat (padat) tanpa memperhatikan jarak bangunan, (2)perencanaan instalasi listrik dan penggunaan jaringan listrik yang tidak sesuai standar menyebabkan banyaknya kasus hubungan arus pendek yang memicu kebakaran, (3)kelalaian akibat aktivitas di dapur, seperti kompor atau tungku dapur yang lupa dimatikan.

4

Gambar 1. Kota Banjarmasin

Berdasar tujuan studi maka analisis tipologi dilakukan terhadap unit rumah tinggal tradisional/ vernakular masyarakat Banjar sebagai unit amatan. Seluruh sampel yang ada diidentifikasi berdasar kriteria keruangan (tata guna lahan, orientasi, fungsi, organisasi ruang, dan konstruksi, dll). Pada lampiran disajikan sampel penelitian yang sebagian besar berada di tepian sungai. Berdasar analisis penyebab bencana dan dielaborasi dengan hasil identifikasi kasus penelitian (lihat lampiran) maka dapat dijelaskan bahwa karakteristik arsitektur (desain) trasidional/vernakular rumah tinggal masyarakat Banjar yang telah terbukti mampu mengantisipasi bencana adalah: 1. Tata guna lahan. Penggunaan lahan memperhitungkan antara kebutuhan dan ketersediaan lahan. Keseimbangan selalu dijaga dan lahan tidak pernah dihabiskan untuk bangunan. 2. Ruang terbuka. Ruang terbuka tetap dipertahankan, bahkan untuk kepentingan sehari-hari masyarakat sering memanfaatkan bagian bawah (kolong) rumah atau membangun pelataran yang multiguna. 3. Ruang terbangun (KLB). Bangunan semaksimal mungkin mengambil lahan atau dengan kata lain karena setiap pembangunan berarti melakukan perubahan, maka hal ini selalu dihindari atau diminimalkan. 4. Badan air. Sungai dan rawa dipertahankan semaksimal mungkin. Bahkan untuk sirkulasi air sering dibangun kolam atau kanal yang menghubungkan site/lahan dengan badan air lainnya. 5. Konstruksi panggung. Untuk memberi ruang bagi air, maka bangunan dibangun menggunakan model konstruksi panggung. Bahan yang digunakan adalah material kayu dengan meminimalisir pengambilan ruang (space) dengan sistem konstruksi kacapuri. 6. Organisasi ruang. Ruang disusun secara fungsional. Ruang-ruang yang membutuhka akses ke air/sungai diprioritaskan. 7. Material. Material menggunakan bahan yang sesuai dengan karakter sekaligus persoalan bangunan di daerah basah, yaitu kekuatan dan keawetan terhadap air. Untuk itu kayu lokal (ulin, kapur naga, galam, dll) dipilih dan disesuaika dengan teknik konstruksinya. 8. Akses/pencapaian. Sungai selalu menjadi orientasi; baik untuk akses dan sirkulasi maupun view. Pencapaian dari sungai selalu ada dan juga terdapat dermaga untuk askes dari sungai. Karakteristik lokal inilah yang ditemukan pada kasus penelitian di lapangan dimana desain-desain ini telah mampu menghadapi ancaman bencana banjir dan kebakaran yang sering terjadi di kawasan lainnya. Selanjutnya karakteristik desain inilah yang dikembangkan menjadi konsep desain yang responsif terhadap ancaman bencana (gambar 2).

5

Dari hasil identifikasi dan elaborasi terhadap karakteristik desain tradisional/vernakular rumah tinggal masyarakat Banjar di Banjarmasin maka diperoleh konsep rumah panggung dengan beberapa modifikasi pada tata guna lahan dan desain bangunan untuk mengantisipasi ancaman bencana banjir dan kebakaran. Berikut konsep desain dan beberapa modifikasinya: TATA GUNA LAHAN: Sempadan diterapkan pada 4 sisi lahan. Penimbunan (urugan) pada lahan diminimalkan dengan menggunakan pelataran (panggung). Atau jika harus dengan urugan maka hanya dapat pada area di luar area sempadan dan area terbangun. Terdapat saluran air/kanal yang menyambung dengan kanal lain atau badan air sehingga sirkulasi air terjamin. Orientasi rumah 2 arah: ke jalan (darat) dan ke sungai (air) pada kasus rumah di tepian sungai. Dapur dibangun di bagian belakang yang semi terpisah. DESAIN BANGUNAN: Panggung ditinggikan untuk memungkinkan akses dan view ke sungai sehingga akses dan view dari sungai ke daratan (jalan) tetap terbuka. Material menggunakan bahan fabrikasi yang lebih tahan terhadap api seperti logam atau semen khususnya pada bagian luar (dinding samping dan atap). Penggunaan lahan untuk struktur bangunan diminimalisir. Instalasi listrik harus sesuai standar keamanan dan dilakukan pemeriksaan berkala oleh komunitas lingkungan (RT).

Gambar 2. Konsep desain yang adatif terhadap ancaman bencana banjir dan kebakaran. (sumber: Muchamad, 2010).

6

KESIMPULAN. Sebagaimana cabang ilmu pengetahuan yang lain, arsitektur juga memiliki kewajiban dalam berperanserta menyelesaikan persoalan-persoalan akibat bencana alam yang terjadi. Arsitektur tidak hanya merencanakan dan merancang lingkungan binaan untuk kondisi yang ideal, melainkan juga harus mengantisipasi berbagai bencana yang mungkin dan sering terjadi. Untuk itu, penggalian dan eksplorasi “kekayaan” teori atau metode yang dimiliki arsitektur sangat penting. Metode tipologi arsitektur, sesuai prinsip-prinsipnya, dapat digunakan untuk tujuan analisis dan penyusunan konsep desain untuk mengantisipasi ancaman bencana berbasis kriteria desain vernakular yang ada. Desain vernakular rumah tinggal masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, dengan analisis tipologi yang ada, dapat digunakan untuk merumuskan konsep desain yang diyakini mampu mengantisipasi ancaman bencana sekaligus menjamin keberlanjutan (sustainability) kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, yaitu masyarakat berbudaya air (water culture). Bahkan dengan analisis tipologi ini juga dapat disimpulkan aspek-aspek penting yang harus disesuaikan dengan kondisi kekinian, baik aspek kebijakan, teknis, maupun ekonomis.

PUSTAKA. Chansiri. 1999. The Historic Canal System in Bangkok, Thailand: Guidelines for Reestablishing Public Space Functions. Master of Landscape Architecture, Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University May 1999 Blacksburg, Virginia. Cortes, P. 2006. “Morphological Analysis of the Contemporary Urban Territory: Is it still a relevant approach?”. In van der Hoeven and H.J. Rosemenn (eds). Urban Transformations and Sustainability. TU Delf Press. Guney,Y.I.2007. Type and typology ın archıtectural dıscourse. BAU FBE Dergisi Cilt:9. Sayi:1, 3-18, Temmuz 2007. Moneo, Rafael. “On Typology” Oppositions 13. Massachusetts: The MIT Press, Summer 1978, pp. 23-45. Moudon, A. V. 1994. “Getting to know the built landscape: typomorphology”. In K. A. Franck & L. H. Schneekloth (Eds.) Ordering space: types in architecture and design. New York: Van Nostrand Reinhold. Muchamad, B N., Ira Mentayani, dan Naimatul Aufa. 2010. The Concept of Floating Construction as a Model for Sustainable Development in Wetland Area. Proceeding SENVAR 11. ITS. Petruccioli, Attilio. 1999. “Historical Processes of the Building Landscape”. In William O'Reilly (ed). Architectural Knowledge and Cultural Diversity. Lausanne: Comportements. Scheer, Brenda C. and David R. Scheer. 1994. “Typology and Urban Design Guidelines: Preserving the City without Dictating Design”. In Attilio Petruciolli (ed) Nineteenth Century Urban Morphology. Aga Khan Series Cambridge, MA. Schneekloth, Lynda H. and Ellen Manie Bruce. 1989. “Building Typology: An Inquiry.” EDRA #20 Proceedings of Annual Conference. Oklahoma City: EDRA, Inc. p. 124-131.

7

Lampiran : Kasus penelitian.

8