KHOIRUL IMAM FUF

POLITIK BENAZIR BHUTTO (Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan 1993) Skripsi Di...

1 downloads 75 Views 564KB Size
POLITIK BENAZIR BHUTTO (Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan 1993)

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh: KHOIRUL IMAM NIM: 103033227819

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M./1430 H

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya memberikan potensi keilmuan dan wawasan kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan, panutan, nabi akhir zaman Muhammad SAW. Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “POLITIK BENAZIR BHUTTO” (Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan 1993). Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu memperlancar proses penyusunan skripsi ini, antara lain: 1. Keluarga tercinta. Bapak H. Achmad Chotib dan Ibu Hj. Siti Mahwiyah atas segala motivasi, dukungan moril, materil, serta doa restu yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Dan juga kakak-kakak ku tercinta ceu Anis dan a’ Heru 2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils. Dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag. Selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Dra. Haniah Hanafie, M. Si. Selaku dosen pembimbing atas kesabaran, kritik, dan saran-saran yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada program studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas sega ilmu pengatahuan yang diberikan selama proses belajar. 7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat, dan Perpustakaan CSIS Jakarta. Terima kasih banyak atas pinjaman bukunya. 8. Irmayanti, sosok yang selalu menemani dalam senang dan sedih, dan yang selalu membuat kenangan manis yang tak terlupakan dalam hidup, Semoga kau selalu menjadi ruh penyemangat dalam hidup ku. Entah jodoh ku atau bukan (kita lihat saja nanti he…). Pokoknya Thanks for all. 9. Kawan-kawan prodi Pemikiran Politik Islam, khususnya angkatan 2003. Sahabatku Rizal, Dedi, Burhan, Edi, Subairi, Fajri, Arya, Sigit, Ust Ahmarul Hadi, Yuli, Selly, Rufi’ah, Aniq, Fahmi, Davan, Damar, Hendri, Nabil,Yosep, Anang, Bahrul, Ayip, Arif, Suhadi, Alan dan Bos Rudin (si kantong ajaib), smoga kita semua menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat amien. 10. Sahabat mahasiswa Seperjuangan ku Idung, Kubil, Parto, Boy, Mayat, Udel, Badut, Burex, Kazoy, Karyo, Evi, Lutfi. Semoga kita semua menjadi Muslim yang Moderat, Mukmin yang Demokrat dan Muhsin yang Diplomat.

Skripsi ini tentu bukanlah sebuah karya yang sempurna dan bebas dari kesalahan. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang sangat penulis nantikan. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya bagi para pegiat kajian pemikiran pilitik Islam.

Tangerang, 26 Desembe 2008

Khoirul Imam

DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR ………………………………………………………................ i DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………………………... 11 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………….............. 11 D. Metode Penelitian………………………………………………………………. 12 E. Sistematika Penulisan…………………………………………………………... 12

BAB II. SEJARAH POLITIK PAKISTAN DAN BIOGRAFI BENAZIR BHUTTO A. Sejarah dan Kondisi Sosial Politik Pakistan…….……………………………….14 B. Biografi Politik Benazir Bhutto……...…………………………………………. 28 B.1. Riwayat Hidup dan Pendidikan……………………………………………..28 B.2. Latar Belakang dan Pengalaman Politik…………………………………... 30

BAB III. BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK A. Keterlibatan dalam Partai Politik…………………………………….................. 35 A. 1. Kematian Zulfikar Ali Bhutto…………………………………………… 36 A. 2. Kediktatoran Pemerintahan Zia ul-Haq …………………………………. 40 A. 3. Penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto…………………………. 43

B.

Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri ……………………………........ 44 B. 1. Kemenangan dalam Pemilu 1988……………………………………......... 44 B. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto…...................... 50 B. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990………………………………..................... 62

C.

Upaya

Benazir

Bhutto

Menggoyahkan

Pemerintahan

Nawaz

Sharif………....... 71 C. 1. Mempengaruhi Opini Publik……………………………………………… 74 C. 2. Menggalang Demonstrasi…………………………………………………. 81 C. 3. Mendesak untuk diadakannya Pemilu……………………………………. 85

BAB IV. KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK TAHUN 1993

A. Konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif……………………………………………… 89 A 1. Pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan….. ...90 A. 2. Kontroversi Amandemen ke-8………………………………………….. ...91 A. 3. Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif………. 96 B. Sikap Politik Militer……………………………………………………………. .98 B. 1. Kuatnya pengaruh Militer di Pakistan………………………………….. …99 B. 2. Ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif…………... 100 C. Keberhasilan Benazir Bhutto Menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya………. 103 C. 1. Terselenggaranya Pemilu Tahun 1993………………………………....... 104 C. 2. Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri……………………………. 113

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………………. 117 B. Saran ………………………………………………………………………….. 123

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………125

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Benazir Bhutto pertama kali berhasil menjadi Perdana Menteri Pakistan pada bulan Desember 1988, setelah partai yang dipimpinnya Pakistan People's Party (PPP) memenangkan pemilu 16 November 1988 dengan memperoleh 92 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan. sementara saingannya Islamic Democraty Aliance (IDA) / Islami Jamhoori Ittehad (IJI) berhasil memeperoleh 54 kursi dan Muhajir Qoumi Movement (MQM) mendapat 13 kursi.1 meskipun PPP menang, namun kemenangannya bukanlah mayoritas mutlak yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu pemerintahan. sehingga PPP terpaksa berkoalisi dengan MQM yaitu sebuah partai politik yang relatif baru yang pendukungnya terdiri dari masyarakat imigran berbahasa Urdu di propinsi Sindh. Sebagai seorang wanita pertama yang berhasil meraih posisi Perdana Menteri Pakistan, kepemimpinannya atas pemerintahan Pakistan sebenarnya tetap tak diterima oleh golongan konservatif. Alasannya masih dominannya budaya feodalisme yang menempatkan pria berada diatas wanita. Kalangan konservatif ini termasuk di dalamnya golongan Islamis, yaitu para pemimpin agama yang merupakan produk pendidikan dengan wawasan agama, tetapi memiliki sedikit apresiasi terhadap tantangan-tantangan pembaharuan dan modernitas negara bangsa. 2 Mereka menginginkan Pakistan didasarkan pada hukum Islam secara komplit, mengingat alasan didirikannya negara Pakistan adalah keinginan orang muslim India untuk membentuk bangsa Muslim dengan merealisasikan 1

2

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4. John L Esposito, Agama dan Perubahan Sosial Politik (Jakarta: Aksera Perdata, 1983), h. 231.

hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Golongan Islamis ini terbagi menjadi dua, yaitu golongan Islam Populer yang mencampurkan tradisi dengan ajaran Islam, dan golongan Islam Sentralis yang ingin menerapkan ajaran dasar Islam, kendati dengan menerima budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Menurut interpretasi mereka, ajaran Islam tidak memperkenankan wanita menjadi pemimpin suatu negara dan atau pemerintahan. Sedangkan Benazir Bhutto termasuk ke dalam golongan Modernis Sekuler yang berpendidikan dan berpemikiran Barat, namun kurang pendidikan dan pemahaman tentang Islam, terutama dalam hubungannya dengan kepentingan mendefinisikan Pakistan sebagai sebuah negara Islam. Benazir beranggapan bahwa negara tidak perlu didasarkan pada Al-Quran dan Sunah karena apabila negara telah berusaha mewujudkan cita-cita sekulerisme itu bersamaan dengan persamaan hak dan keadilan, maka negara akan dengan sendirinya telah mewujudkan nilai-nilai pokok Islam.3 Antara ketiga golongan tersebut, terjadi pertentangan karena belum ditemukannya konsensus yang jelas yang sesuai dengan Ideologi Islam dan bagaimana aplikasinya dalam program-program dan kebijakan-kebijakan negara. Di sini terlihat bahwa Islam telah menjadi faktor yang sangat menentukan dalam perkembangan politik di Pakistan, sipil atau militer, dan apapun corak politiknya, otoriter dan diktatoris, tidak dapat mengabaikan peranan nilainilai dasar Islam.4 Sejak awal memerintah, pemerintahan Benazir Bhutto tidak pernah sepi dari kecaman. Salah satunya disebabkan oleh kegagalan Benazir Bhutto dalam mengatasi

3

Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan", Jurnal Ilmu Politik, No. 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 73. 4 Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h. 73.

kemelut etnis yang berlarut-larut antara etnis Sindh yang merupakan penduduk asli dengan etnis Muhajir yang merupakan kaum pendatang. Konflik etnis pada masa pemerintahan Benazir Bhutto ini memuncak karena ia tidak memenuhi janjinya, untuk antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis Muhajir yang menganggur sebagai akibat dari sisitem quota yang telah diberlakukan sejak Ali Bhutto; membebaskan para tahanan pemimpin MQM yang ditahan sejak pemerintahan Zia Ul Haq; dan membagi kekuasaan secara adil sebagaimana yang telah dijanjikan sewaktu pembentukan koalisi. Tindakan Benazir Bhutto tidak mencerminkan sikap pemimpin Pakistan yang mempunyai penduduk heterogen. Benazir Bhutto sangat mementingkan etnisnya saja dengan memberikan lowongan jabatan-jabatan penting di pemerintahan pada temantemannya di partai, saudara dan kenalan dekatnya. Kebijakan sosial ekonomi Benazir Bhutto justru memperbesar sistem monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh orangorang kaya di Pakistan dan menghambat kepentingan ekonomi kelompok Muhajir. Akibatnya MQM keluar dari koalisi dan kemudian konflik terus berlanjut antara etnis Sindh dan etnis Muhajir. Situasi dimanfaatkan oleh IJI, pimpinan Nawaz Sharif, sebagai pihak oposisi untuk menjatuhkan Benazir Bhutto. Sikap Benazir Bhutto yang begitu tenang tanpa reaksi nyata untuk secepatnya menyelesaikan konflik, tentu saja menimbulkan ketidakpuasan dari kalangan Angkatan Darat. Kelompok ini merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan dan ketentraman masyarakat. Bahkan Staf Angkatan Darat Jendral Mirza Aslam Beg, telah mengadakan pembicaraan dengan beberapa pejabat pemerintahan. Mereka menganggap perlunya segera diambil prakarsa politik berupa pengambilalihan secara langsung kekuasaan di Sindh oleh pemerintah federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas

untuk menyelesaikan masalah kerusuhan di propinsi Sindh yang sudah begitu sangat memprihatinkan.5 Pemeritah Benazir Bhutto menolak permintaan militer karena Benazir Bhutto takut tindakan ini akan mengundang diberlakukannya semacam Undang-Undang Militer yang dapat menimbulkan tindakan intimidasi. Selain itu Benazir Bhutto juga khawatir militer akan melangkahi kekuasaan sipil di propinsi Sindh. Dan yang paling penting adalah

ketakutan Benazir Bhutto akan terlibatnya militer kembali dalam politik di

Pakistan. Sesungguhnya dalam percaturan politik Pakistan dewasa ini dikuasai oleh tiga faktor utama penentu jalannya pemerintahan, yaitu: presiden, militer, dan perdana menteri. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi perdana menteri sudah seharusnyalah berusaha menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan hubungan perdana menteri dengan militer dan presiden dapat terjalin dengan serasi. Apabila gagal maka sangatlah munkin terjadi persaingan dan bahkan permusuhan diantara tiga kekuatan sentral ini, yang seringkali berakhir dengan jatuhnya pemerintah. Kondisi ini tampaknya terjadi pada diri Benazir Bhutto yang sejak awal berkuasa, hubungan Benazir Bhutto dengan militer tidak begitu harmonis dan semakin memburuk karena Benazir Bhutto dinilai terlalu ikut campur terhadap masalah intern dalam tubuh militer. Permusuhan ini mulai jelas terlihat pada waktu Benazir Bhutto memecat Letjen. Hamid Gul (seorang Jendral senior yang berpengaruh dan menjadi salah satu arsitek kebijakan tentang Afghanistan) dari jabatannya, pada bulan Agustus 19896 Presiden dan militer tidak suka atas tindakan Benazir Bhutto ini.

5 6

Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4. Dhurorudin Mashad, "Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan", h. 80.

Pertentangan menjadi semakin parah setelah Benazir Bhutto ingin mencabut Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq dengan alasan untuk memurnikan konstitusi 1973. Padahal alasan sebenarnya adalah Benazir Bhutto khawatir kalau sewaktu-waktu dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi konflik etnis yang berkepanjangan. Berlakunya Amandemen ke-8 tentu saja membuat kekhawatiran bagi Benazir Bhutto karena memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menghapuskan atau membatalkan pemerintahan yang terpilih dari hasil pemilu dan memungkinkan Presiden untuk menunjuk Dewan Militer atau pejabat militer untuk menjalankan pemerintahan.7 Keinginan Benazir Bhutto sulit direalisir, karena memerlukan konsensus dari Majelis Nasional. Sementara saat itu PPP bukanlah mayoritas, apalagi ia tidak didukung oleh oposisi. Kenyataan memeperlihatkan bahwa pemerintahan Benazir Bhutto yang selama dua puluh bulan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri Pakistan. Seperti kerusuhan etnis, janji-janji yang tidak terpenuhi, serta adanya tuntutan korupsi dan nepotisme. Tindakan nepotisme yang dilakukan Benazir Bhutto telah mengakibatkan telah terjadinya tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang-orang dekat Benazir Bhutto. Suaminya, Asif Ali Zardari dan Bapak mertuanya dituduh mencari keuntungan sebagai perantara bagi orang-orang yang ingin memperoleh kontrak-kontrak besar dari pemerintah. Dengan berbagai alasan tersebut, Akhirnya Presiden Ishaq Khan pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan keputusan No. 178, membubarkan parlemen dan membekukan kabinet Benazir Bhutto.8

7

Deepak Tripathi, “Pakistan In Trumoil” artikel diakses pada 22 Desember 2007, dari http//www. danielpinem.wordpress.com/perpustakaan/hubungan-internasional/krisis-politik-baru-di-pakistan/ 8

Dhurorudin Mashad, "Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan". h. 80.

Setelah Benazir Bhutto jatuh, Presiden Ghulam Ishaq Khan mengangkat saingan Benazir Bhutto di parlemen yaitu Ghulam Mustafa Jatoi sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan sementara sambil mempersiapkan pemilu 24 Oktober 1990. Dalam pemilu tersebut ternyata IJI pimpinan Nawaz Sharif berhasil memperoleh 106 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan parlemen. Sedangkan People's Democratic Alliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto yang merupakan koalisi dari PPP dengan beberapa partai kecil yaitu Tehrik-i -Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Javariya dan PML Qasim Group, hanya memperoleh 45 kursi dan MQM sebagai kekuatan politik ketiga terbesar hanya memperoleh 15 kursi.9 Nawaz Sharif memang dipercaya oleh sekitar 53 juta pemilih dari 130 juta rakyat untuk memimpin pemerintahan Pakistan. Namun mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto tetap muncul dalam kancah politik, kendati hanya sebagai oposisi. Tanggal 18 November 1992 misalnya, PDA gabungan partai-partai oposisi dibawah pimpinan Benazir Bhutto melancarkan demonstran yang berjumlah sekitar tiga puluh sampai empat puluh ribu orang itu semula akan melakukan long march dari Rawalpindi ke gedung parlemen Islamabad, namun dicegah oleh polisi dan para petugas keamanan lainnya. 10 Tujuan demonstrasi itu adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Pakistan pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif, yang partainya IJI memenangkan pemilu 24 Oktober 1990. Benazir Bhutto menuduh pemerintahan yang ada tidak sah karena melakukan kecurangan dalam pemilu tersebut. Pemerintahan Nawaz Sharif dituduh pula telah melakukan korupsi dan oleh sebab itu harus mundur. Bahkan, akhirnya muncul pula protes-protes di beberapa kota menuntut mundurnya Nawaz Sharif terutama setelah 9

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4 Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan” artikel diakses tanggal 22 Desember 2007, dari http://hasanpanai.blogspot.com/2007/12/benazhir-tewas-dunia-gempa.html 10

Benazir Bhutto melakukan perjalanan politik sepanjang 1600 km dengan kereta api untuk membangkitkan tuntutan pelaksanaan pemilu yang baru.11 Adanya manuver politik pemerintahan care taker dalam upaya mendiskreditkan Benazir Bhutto melalui "pertangungjawaban" (accountability) dengan mengadili dirinya atas tuduhan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, mengakibatkan kredibilitas Benazir Bhutto dan tokohtokoh PPP merosot tajam. Namun setelah Nawaz Sharif berkuasa ternyata masalah "pertanggungjawaban" (accountability) yang dilancarkan oleh pemerintah care taker belum pernah membuktikan secara kongkrit atas tuduhan berbagai kesalahan, sehingga tidak menutup kemungkinan rakyat kembali percaya kepada dirinya. Benazir Bhutto cukup tanggap untuk segera memanfaatkan situasi ini dalam upaya merebut kembali simpati rakyat dengan menyebar White Paper yang berisi tuduhan bahwa selama pemilu pemerintah telah melakukan manipulasi yang memungkinkan kelompok Nawaz Sharif menang mutlak.12 Hal tersebut sempat membuat repot kubu Nawaz Sharif. Benazir Bhutto juga memanfaatkan situasi yang terjadi di Pakistan, dimana terjadi pertentangan antara Nawaz Sharif dan Presiden Ishaq Khan. Diantara mereka timbul ketidak cocokan tentang pengangkatan pejabat-pejabat senior di Angkatan Bersenjata, lembaga Yudikatif dan Pertahanan Sipil. Percekcokan yang paling serius mencuat ketika Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Asif Nawaz Janjua, mendadak meninggal dunia. Nawaz Sharif telah berusaha mengusulkan beberapa nama atas pilihannya untuk menggantikan jabatan tersebut. Nama-nama tersebut ditolak oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan dan sekutunya diangkatan bersenjata. Presiden akhirnya malah menunjuk Jendral 11

Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan” Dhurorudin Mashad, "Pertentangan Segi Tiga: Nawaz Sharif-Ishaq Khan-Benazir Bhutto", Suara Karya, 9 Juli 1993. 12

Abdul Waheed kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru.13 Benazir Bhutto semula sempat melakukan rekonsiliasi dengan Nawaz Sharif sehingga ia ditunjuk sebagai ketua komite Hubungan Luar Negeri. Keduanya berkeinginan menghapus Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada Presiden. Dalam rangka menegakkan demokrasi di Pakistan. Namun seiring dengan kian parahnya perseteruan Ishaq Khan-Nawaz Sharif, Benazir Bhutto kemudian malah berbalik berpihak kepada Presiden Ishaq Khan yang semula merupakan musuhnya karena melakukan pemecatan atas dirinya ketika Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan. Benazir Bhutto berpihak kepada Presiden Ishaq Khan karena dijanjikan akan diberi jabatan menteri bagi kubu Benazir Bhutto dalam kabinet sementara setelah kejatuhan kabinet Nawaz Sharif, disamping dijanjikan pula akan diselenggarakan pemilu secepatnya. 14 Nawaz Sharif kemudian dipecat oleh Presiden Ishaq Khan pada tanggal 18 April 1993, namun ia mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada Akirnya Mahkamah Agung dengan perbandingan suara 10 : 1 mengumumkan bahwa tindakan Presiden Ishaq Khan memecat

Nawaz

Sharif

dan

Majelis

Nasional

telah

melampaui

batas-batas

kekuasaannya.15 Dengan demikian Mahkamah Agung membatalkan pemecatan tersebut. setelah itu pereseteruan diantara keduanya terus berlangsung sampai akhirnya Presiden Gulam Ishaq Khan dan Perdana Mentri Nawaz Sharif setuju sama-sama mundur dari jabatannya untuk menyelesaikan krisis politik yang telah berlangsung selama enam bulan.

13

Deepak Tripathi, “Pakistan In Trumoil.” Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The Fart East and Australasia 1994, 25 th editions (London: Europa Publications Limited, 1993), h. 802. 15 . Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan.” 14

Mereka membubarkan parlemen, serta sepakat mengadakan pemilu baru, 6 dan 9 Oktober 1993 untuk membuktikan siapa yang lebih dipercaya rakyat untuk memimpin Pakistan. Kesepakatan ini dicapai setelah Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Abdul Waheed Kakar, mengadakan pertemuan dengan kedua pimpinan puncak Pakistan.16 Setelah itu diadakan pemilu baru 6 dan 9 Oktober 1993, yang dimenangkan oleh PPP serta mengantarkan Benazir Bhutto terpilih menjadi Perdana Mentri Pakistan untuk kedua kalinya. Dengan mengamati kejadian-kejadian di Pakistan, khususnya sejak jatuhnya kekuasaan Benazir Bhutto pada tanggal 6 Agustus 1990 dan kemudian menang kembali dalam pemilu 6 dan 9 Oktober 1993, menimbulkan kesan yang sangat menarik. Dikatakan

menarik

karena

meskipun

Benazir

Bhutto

pernah

gagal

dalam

pemerintahannya pada 1988-1990 dengan berbagai tuduhan negatif sehingga kalah dalam pemilu 1990, namun ternyata rakyat masih memilihnya lagi sebagai Perdana Menteri Pakistan untuk periode 1993-1998. Dan ketika tanggal 26 November 2007 Benazir Bhutto kembali menyatakan akan mengikuti pemilu di Pakistan yang akan diselenggarakan pada 8 Januari 2008. Namun tragedi penembakan dan bom bunuh diri yang terjadi pada tanggal 27 Desember di Rawalpindi, telah mengenai leher dan dada oleh seorang laki-laki bersenjata yang kemudian meledakkan bom yang menempel di tubuhnya. Benazir Bhutto yang terluka parah sempat di bawa ke Rumah Sakit Umum Rawalpindi. Dan akhirnya Benazir Bhutto meninggal dunia pada pukul 18.16 waktu setempat.17

16 17

Dhurorudin Mashad."Prospek Penyelesaian Kemelut Politik Pakistan," Republika 24 Juli 1993. Zaenal Ali. Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 37.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membahas dan membatasi politik Benazir Bhutto di Pakistan tahun 1988-1993. Adapun mengenai perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan? 2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih kekuasaan menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan Tahun 1993?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan skripsi ini bertujuan untuk meneliti: 1. Keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan 2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih kekuasaan menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan Tahun 1993. Dan kegunaannya: 1. Mengenal lebih dekat tokoh Benazir Bhutto sebagai sosok wanita pertama (pada abad modern ini) yang berhasil memelopori kepemimpinan di negara Pakistan.

2. Dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca, khususnya para peminat perpolitikan wilayah Asia Selatan. 3. Pengembangan Ilmu Politik di bidang kepemimpinan atau kekuasaan di negara-negara sedang berkembang khususnya Pakistan.

D. Metode Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang cenderung dan banyak digunakan dalam Ilmu-ilmu Sosial yang berhubungan dengan prilaku, gejala-gejala yang diamati yang tidak selalu berbentuk angka-angka atau koevisien antar variabel dan penelitian lebih sering berbentuk studi kasus. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan, dilakukan dengan mengumpulkan bahan pustaka. Yaitu, buku, media massa, artikel, jurnal dan lainnya yang berhubungan dengan tema bahasan penelitian ini. Sedangkan tekhnik analisis data menggunakan deskriptif analisis. Yaitu, memaparkan dan menggambarkan serta menganalisa data-data yang diperoleh. Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis mengacu pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2004-2005.

E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab I Merupakan bab pendahuluan, yang didalamnya dibahas tentang latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II Akan dibahas tentang sejarah singkat perpolitikan Pakistan dan biografi Benazir Bhutto: riwayat hidup, pendidikan, latar belakang dan pengalaman politik. Bab III Membahas keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan, yang didalamnya akan dibahas keterlibatan dalam partai politik: kematian Zulfikar Ali Bhutto, kediktatoran pemerintahan Zia ul-Haq, penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto. Ikut pencalonan menjadi Perdana Menteri: kemenangan dalam Pemilu 1988, Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto, kekalahan dalam Pemilu 1990. Dan upaya Benazir Bhutto menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif: dengan mempengaruhi Opini Publik, menggalang Demonstrasi, dan mendesak untuk diadakannya Pemilu. Bab IV Membahas Faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih kembali kekuasaannya menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk yang kedua kalinya tahun 1993. yang didalamnya membahas konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif: pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan, kontroversi Amandemen ke-8, Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif. Sikap Politik Militer: kuatnya pengaruh Militer di Pakistan, ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif. Keberhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya: terselenggaranya Pemilu Tahun 1993 dan Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri. Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran

BAB II SEJARAH POLITIK PAKISTAN DAN BIOGRAFI BENAZIR BHUTTO

Dalam membahas Politik Benazir Bhutto terhadap keberhasilannya menjadi Perdana Menteri Pakistan tahun 1988 dan 1993, pada bab ini penulis sangat perlu rasanya untuk membahas sejarah kondisi sosial politik pakistan, yang mana didalamnya akan di uraikan sejarah berdirinya negara Pakistan sampai dengan masalah-masalah yang terjadi setelah kemerdekaan, seperti masalah pembagian wilayah, belum ditemukannya konsensus mengenai dasar negara yang sesuai dengan Islam, masih adanya budaya feodalisme yang menempatkan pria dominan atas wanita sampai pada masalah etnis, yang semua itu sedikit banyak berpengaruh bagi karir politik Benazir Bhutto. Selain membahas sejarah politik pakistan akan dibahas pula biografi Benazir Bhutto, yang didalamnya akan diuraikan tentang riwayat hidup, pendidikan dan latarbelakang pengalaman politik yang kesemuanya itu sanagat berpengarauh terhadap langkah-langkah politik Benazir Bhutto kedepan.

A. Sejarah dan Kondisi Sosial Politik Masyarakat Pakistan Pakistan mencapai kemerdekaan pada tanggal 14 Agustus 194718, sebagai hasil dari usaha kurang lebih seratus juta orang Muslim India di bawah pimpinan Mohammad

18

Pakistan adalah satu-satunya negara muslim yang didirikan atas nama Islam. Negara pakistan

memperoleh kemerdekaan dari inggris pada tanggal 14 Agustus 1947, namun pakistan telah dipopulerkan sejak tahun 1933 oleh perkumpulan Mahasiswa Muslim India di Inggris, yang dipimpin oleh Khoudri Rahmat Ali. Menurut satu versi , nama Pakistan adalah singkatan dari Punjab, Afgan, Kashmir, Sind, dan Baluchistan. Akan tetapi Pakistan menurut versi lain dalam bahasa Parsi mengandung arti yaitu: Pak (suci)

Ali Jinnah. Peristiwa bersejarah tersebut diawali pada pagi hari tanggal 14 Agustus 1947, dengan pengangkatan sumpah Ali Jinnah sebagai Gubernur Jenderal Pakistan yang pertama oleh Lord Mounbatten, yaitu seorang raja muda terakhir dari negara India jajahan Inggris.19 Tiga hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 11 Agustus 1947, Ali Jinnah memimpin pertemuan pertama Dewan Konstitusi, sebuah dewan yang beranggotakan kurang dari tujuh puluh orang yang dipercayakan dengan tugas untuk membuat kerangka landasan hukum bagi sebuah negara baru. Selama minggu-minggu tersebut, Ali Jinnah sebagai Presiden dari Liga Muslim (Muslim League) telah menerima ratusan politikus di kediamannya. Dalam sebuah pertemuan khusus di Dewan Konstitusi, sebutan sebagai “ Quaid-i-Azam atau Pemimpin Besar” dianugrahkan kepada Ali Jinnah.20 Untuk itu hal-hal yang berkaitan dengan masalah Gubernur Jenderal dan kepresidenan diartikan oleh Jinnah sebagai tugas yang sangat mendasar. Ia sebenarnya merasa tidak perlu diperlakukan sebagai penerima kehormatan atas tugas yang telah dilaksanakannya untuk mendirikan sebuah negara baru bagi orang-orang Muslim India. Karena setelah tugas tersebut selesai, Ali Jinnah masih mempunyai tugas untuk menyediakan struktur-struktur politik, ekonomi dan administrasi. Kemampuan yang diperlihatkan Ali Jinnah dalam minggu-minggu di awal kemerdekaan ini sangatlah mengesankan. Tidak saja berdasarkan usianya, yang saat itu hampir 71 tahun, namun karena pada bulan Agustus 1947 itu, penyakit yang selalu dirahasakannya telah bertambah parah. Namun tidak ada yang mengatahui tentang dan Stan (negara). John L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, (New York, Syracuse Press, 1995) h. 227. 19

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, secound edition (San Francisco: Westview Press, 1993), h. 37. 20 John L. Esposito, Islam dan Politik, Alihbahasa H.M. Joesoef Sou’yb, (Cet: 1, PT Bulan Bintang Jakarta), 1990, h. 156.

penyakit Ali Jinnah tersebut, termasuk Perdana Menteri Liaquat Ali Khan yang merupakan salah satu teman dekat politiknya. Ali Jinnah mempunyai alasan untuk merahasiakan berita tentang penyakitnya terhadap kawan-kawan politiknya ketika ia pertama kali mengetahuinya pada tahun 1945. Ia khawatir berita tentang penyakitnya dapat memperlambat proses penarikan Inggris dari wilayah India yang telah di prakarsai oleh Lord Mounbatten sesaat setelah kunjungannya. Lord Mounttabaten mengepalai penarikan tentara Inggris dari wilayah India dengan satu keyakinan bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan orang-orang Hindu dan Muslim untuk tetap menjaga persatuan India. Keyakinan ini didukung oleh Indian National Congress yang merupakan partai dari Gandhi, Nehru dan mayoritas masyarakat Hindu di India.21 Tetapi Ali Jinnah mempunyai pandangan yang berbeda. Ali Jinnah mengatakan: “Golongan masyarakat itu telah membuka kartunya bahwa Hindustan adalah buat kaum Hindu. Tindakan partai Congress hanyalah berkedok kebangsaan.”22 Ia melanjutkan untuk berargumentasi dengan semangat yang besar yang dipandang oleh para lawan politiknya sebagai karakter yang keras kepala dan tidak mau berkompromi. Ali Jinnah meyakini bahwa orang-orang Muslim di India akan mendapatkan perlakuan yang kurang adil di negara itu, karena mereka hanya terdiri dari kelompok minoritas kecil. Cita-cita umat Islam untuk mendirikan pemerintahannya sendiri mulai tercapai, ketika pada tanggal 3 Juni 1947, pemerintah Inggris menyetujui dasar pembagian India. Dan akhirnya 21

pada tanggal 14 Agustus 1947, berdirilah negara Pakistan. Dengan

Zahir Khan, “Kashmir, 56 Tahun Dibawah Pendudukan India”, artkel diakses pada 9 Oktober 2008 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23032 22 W. C. Smith, Islam Dalam Sejarah Modern (Jakarta: Bharata, 1959), h. 30.

demikian terlihat bahwa usaha Ali Jinnah tidaklah sia-sia dengan lahirnya negara Pakistan. Jinnah sangat berjasa bagi kemerdekaan bangsa Pakistan meskipun tiga belas bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 11 September 1948, ia meninggal dunia akibat penyakit TBC yang dideritanya.23 Namun dengan merdekanya negara Pakistan, bukan berarti tidak terdapat masalah di dalam kelangsungan pemerintahan negara tersebut. Diawali oleh pertukaran penduduk antara Pakistan dengan India, dimana Pakistan kehilangan 6 Juta orang Hindu namun sebagai gantinya mendapat 8 Juta orang pengungsi Muslim dari India. Para pengungsi ini berasal dari dua kelompok. Kelompok yang paling penting pengaruhnya pada masa awal perkembangan ekonomi dan politik adalah kaum Muslim yang datang dari Delhi, Uttar Pradesh, Madya Pradesh, Bumbay, Gujarat dan Bhopal, Hyderabad dan Junagarh. Arus perpindahan kelompok penduduk yang kedua datang dari Timur Distrik Punjab.24 Mohammad Ali Jinnah mendorong kaum Muslim untuk pindah dari India ke Pakistan, khususnya bagi mereka yang mempunyai keahlian dan keterampilan karena di negara baru Pakistan ini sangat kekurangan tenaga ahli dan terampil dalam jumlah besar.25 Saat itu Pakistan pada pokoknya mempunyai bentuk ekonomi yang didasarkan atas hasil pertanian. Tingkat urbanisasi dan melek hurup masih sangat rendah. Ali Jinnah juga yakin bahwa penduduk asli Pakistan tidak akan mampu menyediakan modal sumber daya manusia yang diperlukan oleh sebuah negara baru. Hal tersebut harus diatasi dengan jalan mendatangkan dari luar. Selaras dengan usahanya itu, Ali Jinnah membujuk kaum 23

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 38. Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 40. 25 Bahkan di Pakistan justru terjadi perpindahan penduduk Hindu dan Sikh yang kebanyakan adalah wiraswasta dan manager profesional, yang mengakibatkan Punjab semakin hancur ekonominya. Lebih lanjut, pabrik dan industri di Pakistan kurang dari 1/10 industri yang ada di benua tersebut. Pakistan saat itu kekurangan modal dan tenaga ahli untuk mengembangkan industrinya. Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The far East and Australasia 1994, h. 794. 24

Muslim dari kaum pedagang, kaum bankir, para dokter, pengacara dan pegawai negeri sipil dari propinsi India sebagai kaum minoritas Islam untuk pindah ke Pakistan. Pidato perdananya yang terkenal di hadapan Dewan Pemilih pada tanggal 11 Agustus 1947 telah diterima oleh sejumlah besar pengikutnya. Dia mengatakan: “kalian dapat beragama apapun atau dari kasta manapun atau aliran manapun yang tidak mempunyai kaitan dengan urusan kenegaraan…Kita memulai dengan prinsip dasar bahwasanya

kita semua adalah penduduk dengan hal yang sama dari sebuah

negara…Sekarang saya pikir bahwa kita harus selalu menempatkan hal tersebut di hadapan kita sebagai idealisme dan kalian akan menentukan bahwa dalam perjalanan waktu, kaum Hindu akan berhenti menjadi Hindu dan kaum Muslim akan berhenti menjadi kaum Muslim. Tidak berarti dalam kehidupan beragama karena hal itu merupakan kepercayaan yang paling pribadi dari setiap individu. Namun yang dimaksud adalah di dalam hal berpolitik sebagai penduduk atau sebagai warga sebuah negara.”26 Negara Pakistan yang bangkit sebagai hasil dari perpindahan penduduk secara besar-besaran yang cenderung mempunyai keyakinan beragama yang sama, ternyata jauh melampaui dugaan Ali Jinnah. Seandainya Pakistan tetap mempertahankan sejumlah minoritas kaum beragama di sekitar garis perbatasan, maka rancangan Undangundangnya harus menampung perbedaan agama yang ada. Oleh karenanya adalah hal yang sangat logis dan masuk akal bagi Ali Jinnah untuk berbicara mengenai masalah politik dan Undang-Undang dengan harapan perbedaan agama dapat berperan bagi sebuah negara yang didirikan berdasarkan agama. Mayoritas penduduk yang berurbanisasi dari India tertarik untuk berdiam di kotakota di barat daya Pakistan, kebanyakan di Karachi dan Hyderabad. Karachi adalah kota 26

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 40.

kelahiran Mohammad Ali Jinnah dan dipilih sebagai Ibukota Pakistan. Oleh karena kebanyakan orang yang pindah ke Pakistan berdiam di Karachi agar mendapat manfaat dari peluang ekonomi yang sedang dibuka untuk mereka. Namun karena tidak semuanya dapat tertampung di Karachi, maka sebagian dari mereka bergerak menuju ke Hyderabad, Sukkur dan kota-kota lainnya. Pada tahun 1951 saat Pakistan mengadakan sensus yang pertama, pengungsi tercatat sebanyak 57% dari seluruh penduduk Karachi, 65% di kota Hyderabad dan 55% di kota Sukkur. Secara keseluruhan para penduduk yang pindah dari India tahun 1951 tercatat 46% dari jumlah penduduk campuran di kota besar di Pakistan. 27 Setelah pisahnya Pakistan dan India, ternyata negara Muslim ini mempunyai masalah yang berkaitan dengan faktor etnis dan wilayah. Pada mulanya Pakistan dibagi menjadi dua wilayah yang berlainan, yaitu Pakistan Timur (Propinsi Bengal Timur) dan Pakistan Barat (meliputi Propinsi Punjab, Sindh, NWFP dan Baluchistan). Pakistan Timur luasnya hanya 1/7 dari luas seluruh wilayah Pakistan dan berpenduduk 4/7 dari jumlah seluruh penduduk Pakistan. Sedangkan Pakistan Barat yang luasnya 6/7 dari seluruh wilayah Pakistan namun hanya mempunyai 3/7 dari seluruh jumlah penduduk Pakistan. Selain itu, kedua wilayah Pakistan tersebut dipisahkan oleh jarak sekitar 1600 kilometer.28 Secara umum Pakistan didominasi oleh dua kelompok budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya, yaitu Bengali dan Patham. Bengali di Pakistan Timur dan Pathan di Barat Punjab dan Sindhi yang juga merupakan budaya di Pakistan Barat merupakan kelompok budaya yang lain, namun tidak sekuat dua budaya yang terdahulu. Bahasa Bengali digunakan oleh hampir semua orang di Pakistan Timur sedangkan bahasa

27 28

Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 42. Sharif Al Mujahid, Pakistan History, h. 794.

Punjabi dan Sindh tidak digunakan oleh semua orang di Pakistan Barat. Pakistan Barat budayanya lebih dekat ke Timur Tengah, kecuali Punjab yang dipengaruhi oleh budaya Hindu. Sedangkan Pakistan Timur budayanya lebih dekat ke India. Ketidak senangan Pakistan Timur timbul ketika pada tahun 1952, pemerintah pusat mengumumkan bahwa bahasa Urdu akan menjadi bahasa resmi Pakistan. Demonstrasi mahasiswa seluruh Pakistan Timur meledak pada Februari 1952. dan dalam kerusuhan tersebut beberapa orang meninggal dan terluka ketika pemerintah pusat memadamkan demonstrasi tersebut pada tanggal 21 Februari 1952. Tanggal tersebut dijadikan “Shaheed Day” (Martyrs) bagi Pakistan Timur. Peristiwa tersebut mempunyai arti politis yang luas karena dengan adanya peristiwa tersebut, Pakistan Timur kemudian melontarkan isu bahwa masalah bahasa merupaka wujud dominasi Pakistan Barat terhadap Pakistan Timur.29 Ketidak senangan Pakistan Timur terhadap Pakistan Barat juga terlihat dalam bidang ekonomi. Bagi Pakistan Barat, Pakistan Timur merupakan sumber bahan mentah yang murah yang diperlukan bagi industri yang berpusat di barat terutama di Punjab dan Sindh, disamping ia juga merupakan sumber bahan mentah untuk ekspor. Salah satu sumber ekspor yang terbesar bagi Pakistan adalah jute yang dihasilkan oleh Pakistan Timur. Namun untuk mengekspornya harus melalui suatu proses yang dilakukan oleh the State Bank of Pakistan. Bank inilah yang mengatur alokasi impor yang pembayarannya dilakukan dari hasil jute tersebut dan alokasi impor tersebut ditentukan oleh Pakistan Barat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa prioritas adalah untuk kepentingan Pakistan

29

Isbodroini Suyanto, “Pakistan yang terkoyak”, Seminar Nasional XI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Manado, September 1993, h. 15-16.

Barat.30 Pada tahun 1959-1960 income per kapita di Pakistan Barat 30% lebih besar dari Pakistan Timur, lima tahun kemudian meningkat menjadi 40% dan tahun 1969-1970 menjadi 60%.31 Sehingga dapat dikatakan pula bahwa Pakistan Barat telah mengeksploitasi Pakistan Timur. Padahal Pakistan Timur adalah penghasil bahan mentah yang sangat diperlukan bagi perekonomian Pakistan. Selain itu pula, timbul konflik antara etnis Punjabi dan etnis Bengali, dimana etnis Punjabi telah mendominasi birokrasi (civil service) dan militer. Padahal etnis Bengali berharap bahwa mereka akan mendapat tempat di birokrasi dengan jabatan-jabatan yang berarti di masa yang akan datang. Namun ternyata tidaklah demikian, bahkan dalam militerpun, dominasi etnis punjabi sudah demikian kokohnya. Ketidak seimbangan antara luas wilayah dengan jumlah penduduknya di Pakistan Timur dibandingkan dengan Pakistan Barat, kurang lancarnya komunikasi antara Pakistan Timur dengan pemerintahan pusat yang berada di Pakistan Barat, terdapatnya diskriminasi ekonomi dan politik antara Pakistan Barat dengan Pakistan Timur, adanya pertentangan etnis Punjabi dan etnis Bengali dan ketidakadilan pembagian hasil pembangunan, menyebabkan Pakistan Timur dengan bantuan dari India pada akhirnya memisahkan diri menjadi negara Bangladesh pada tahun 1971.32 Setelah Pakistan Timur melepaskan diri menjadi negara Bangladesh, Pakistan tinggal terdiri atas lima etnis utama, yaitu etnis Baluch, etnis Punjabi, etnis Sindh, etnis Pathan dan etnis Muhajir. Dari kelima etnis yang ada di Pakistan, dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok “pendatang baru” dan kelompok “penduduk asli”

30

Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 19. Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 20. 32 ”Perang Kemerdekaan Bangladesh”, data diakses http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Kemerdekaan_Bangladesh 31

pada

11

November

2008

dari

yang dimaksud dengan pendatang baru adalah etnis Muhajir yang datang dari India setelah Pakistan memisahkan diri dari India. Sedangkan kelompok penduduk asli terdiri dari etnis Punjabi, Pathan, Sindh dan Baluch yang sudah ratusan tahun tinggal menetap di Pakistan. Penduduk Pakistan hingga Januari 1993, diperkirakan berjumlah 120, 84 juta jiwa, terdiri dari 63, 441 juta pria dan 57, 399 juta wanita. Mayoritas penduduk (82, 77 juta jiwa) tinggal di wilayah pedesaan dan selebihnya (38, 065 juta jiwa) tinggal di daerah perkotaan. 40 juta rakyat Pakistan hidup di bawah garis kemiskinan dan 65% dari penduduk Pakistan masih buta huruf.33 Banyaknya jumlah penduduk Pakistan yang masih buta huruf, menggambarkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Pakistan juga masih rendah, terutama pendidikan bagi kaum wanita. Sehingga sampai saat ini masih ada yang beranggapan bahwa pria kedudukannya lebih tinggi dari wanita dan cenderung memandang wanita hanyalah sebagai pengurus rumah tangga. Anggapan tersebut didukung pula oleh sebagian ulama Pakistan yang mengatakan bahwa dalam ajaran agama Islam, wanita tidak diperkenankan menjadi Imam dalam sholat bersama dimana ada makmum laki-laki atau dengan kata lain seorang wanita tidak boleh menjadi pimpinan bagi laki-laki. Hal ini tentu saja menyebabkan kaum wanita di Pakistan menjadi jauh tertinggal dibandingkan kaum prianya, dan kondisi demikian akan berpengaruh pula terhadap pemilihan pimpinan pemerintahan. Wilayah Pakistan secara administratif dibagi ke dalam 4 propinsi sebagai peninggalan masa penjajahan Inggris, yang berdasarkan etnis-etnis penduduk asli Pakistan, yaitu: propinsi Punjab, propinsi Baluchistan, propinsi Sindh dan propinsi North West Frontier Pathan (propinsi Pathan). Keempat propinsi ini mempunyai hak-hak 33

Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 22.

khusus yang cukup besar bagi pemerintahan propinsi. Hak-hak istimewa ini tentu saja diharapkan oleh etnis Muhajir sebagai etnis pendatang. Karena mereka banyak berada di propinsi Sindh, tepatnya di wilayah Karachi dan Hyderabad, mereka mengharapkan agar wilayah Karachi dan Hyderabad menjadi propinsi tersendiri. 34 Antara empat propinsi ini masing-masing juga mempunyai bahasa yang berbeda etnis Sindh berbahasa Sindhi, etnis Punjabi berbahasa Punjabi, etnis Baluch berbahasa Baluchis dan etnis Pathan berbahasa Putshu serta etnis Muhajir yang tinggal di propinsi Sindh berbahasa Urdu. Meskipun demikian bahasa Urdu dan Inggris dapat menjadi bahasa pengantar bagi komunikasi antara mereka. Fanatisme kesukuan dengan adanya ciri khusus dari masing-masing etnis yang berlainan masih mencuat di Pakistan. Masing-masing etnis berpendirian bahwa etnisnyalah yang terbaik dan ini memunculkan persaingan yang tidak sehat antara mereka. Kondisi in ternyata berpengaruh pula dalam kehidupan politik, termasuk di dalamnya semangat untuk bergabung ke dalam suatu partai yang dapat mewakili kelompok etnisnya. Etnis Pathan yang dominan kedua dalam militer dan birokrasi mempunyai kesadaran etnis yang besar, dengan menyebut budaya mereka sebagai Pakhtua Wali. Mereka menyebut dirinya sebagai patriot sejati yang memegang kehormatan, keramahtamahan dan berjiwa petualang dan mereka bahkan sempat memunculkan suatu keinginan untuk mendirikan negara sendiri, Pakhtunistan, yang meliputi wilayah NWFP dan sebagian Baluchistan yang berbatasan dengan wilayah Afghanistan. Wilayah ini 34

Daerah Karachi dan Hyderabad merupakn daerah yang subur dan memiliki banyak air, daerah tersebut berhasil dikembangkan oleh orang-orang Muhajir sebagai daerah industri yang sangat membutuhkan banyak air, kompasinteraktif, “Suku bangsa di Bangladesh", artikel diakses pada 11 November 2008 dari http://id.kompasinteraktif.org/wiki/Kategori:Suku_bangsa_di_Bangladesh

merupakn basis utama dari ANP (Awami National Party), yang di bentuk oleh Khan Abdul Ghafar Khan pada tahun 1957 dan menjadi partai yang kuat di propinsi NWFP dan Baluchistan. Dalam pemilu 1970, partai tersebut bergabung dengan partai Jamiat ul Ulama i Islami (JUI) dan dapat memenangkan pemilu di propinsi serta membentuk pemerintahan di NWFP di bawah pimpinan Khan Abdul Wali Khan, anak dari Khan Abdul Ghafar Khan.35 Orang-orang punjabi menganggap dirinya sebagai ahli waris tradisi peperangan, tentara yang baik, administrator yang efisien dan Muslim yang taat. Etnis Punjabi terlihat mendominasi etnis lainnya di Pakistan, hal ini dapat diketahui dari jumlah penduduk Pakistan yang ternyata 60% dari seluruh penduduk Pakistan adalah etnis Punjabi. Selain itu keanggotaan birokrasi sipil dan militer dikuasai oleh etnis Punjabi dan propinsi Punjab jika dibandingkan dengan propinsi lainnya memang lebih kaya dan lebih maju serta merupakan pusat industri Pakistan. Keadaan tersebut menimbulkan perasaan superior pada etnis Punjabi yang jumlahnya jauh lebih besar dari etnis-etnis lainnya sehingga mereka merasa bahwa dirinya lebih layak untuk memerintah Pakistan.36 Sedangkan Baluchistan (yang luasnya sekitar 40% dari seluruh wilayah Pakistan) juga dengan identitas kewilayahan atau kesukuannya punya aliansi politik yang berbeda. Baluchistan adalah propinsi terluas namun hanya dihuni 5% dari total penduduk Pakistan dan cenderung pro-ANP. Namun sebagian besar tinggal di Karachi, propinsi Sindh.

35

Craig Baxter, Yogendra K. Malik, Charles H. Kennedy, and Robert C. Oberst, Government and Politics in South in Asia, secound edition (Boulder, San Franscisco, Oxford: Westview Press, 1991), h. 182-183. 36 John L Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 166.

Kaum Baluch yang tinggal di Baluchistan hanya terkonsentrasi terutama di distrik kalat dan di perbatasan Baluchistan-Iran37 Sindh adalah sutu-satunya propinsi, dimana PPP mempunyai dukungan mayoritas di Majelis Propinsi Sindh. Namun bersamaan dengan itu Sindh adalah propinsi yang memusingkan mengenai masalah keamanan dalam negerinya. Suhu politik yang tinggi berpangkal pada keadaan etnis yang terbagi-bagi antara penduduk asli suku Sindh dengan penduduk pendatang, khususnya kaum Muhajir yang mayoritas berdiam di kota Karachi. Etnis Muhajir yang karena keuletan dan pendidikannya, dapat hidup lebih baik secara ekonomis daripada penduduk aslinya, etnis Sindh. Orang Muhajir banyak menguasai lapangan pekerjaan di Sindh. Keadaan ini membuat perasaan tidak suka dan tidak puas etnis Sindh terhadap etnis Muhajir sehingga melahirkan kecemburuan sosial. Di lain pihak etnis Muhajir sering diperlakukan sebagai warga negara “kelas dua” oleh etnis Sindh dan pemerintah propinsi Sindh.38 Perseteruan kaum Sindh sebagai penduduk asli dengan kaum Muhajir sejak 1947 hingga kini hampir memenuhi catatan sejarah Pakistan. Kaum Muhajir adalah tulang punggung pembangunan perdagangan di kota pelabuhan Karachi. Mereka menguasai industri, pendidikan, dan sumber-sumber lainnya, yang tingkatnya di atas rata-rata kaum asli, Sindh.39 Kondisi tersebut akhirnya menumbuhkan kecemburuan sosial kaum Sindh terhadap kaum Muhajir. Mereka memandang muhajir telah mengambil hak milik suku Sindh. Kaum Muhajir ini secara politis bergabung ke dalam MQM (Muhajir Qoumi

37

Dhurorudin Mashad, “Otonomi dan Pembangunan Daerah, Antara Otonomi dan Instabilitas: Delima Dalam Politik Pakistan”, Seminar Nasional XIII (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Bangkinang, Riau, 1-3 November, 1995, h. 9. 38 Craig Baxter, Government and Politics in South in Asia, h. 187. 39 Dhurorudin Mashad, “Otonomi dan Pembangunan Daerah, Antara Otonomi dan Instabilitas: Delima Dalam Politik Pakistan”, h. 10.

Movement), yang pada dua dekade terakhir merupakan partai politik ketiga terbesar di Pakistan. Dengan adanya primordialisme sempit terutama didasarkan pada semangat etnisitas akhirnya menghasilkan suatu pola politik terkotak-kotak antara satu propinsi dengan propinsi lainnya. Pola primordialisme sempit demikian jelas sangat mengancam stabilitas bahkan persatuan nasional. Sementara itu, partai politik yang diharapkan dapat menjadi sarana pemersatu bangsa, ternyata akhirnya tersesat pula ke dalam semangat primordialisme ini. Di Pakistan, hampir “tidak ada” partai politik yang bersifat nasional dan dapat mengatasi semua perbedaan suku, melainkan hampir semua telah terkontaminasi semangat etnisitas. Misalnya, masyarakat Sindh cenderung menjadi pendukung PPP (Pakistan People’s Party) dengan pimpinan yang berasal dari Sindh sehingga dianggap lebih mewakili “prestise” suku Sindh. Orang Punjab cenderung memilih partai yang dipimpin oleh orang Punjab dan Muhajir cenderung memilih MQM sebagai partainya kaum Muhajir.40 Selain masalah etnis, masalah agama dan politik ternyata juga menjadi masalah penting dalam negara. Pakistan didirikan atas kesamaan agama dan perjuangan untuk memperoleh kedaulatan yang disemangati oleh ajaran Islam. Dengan demikian, timbul keinginan masyarakat Pakistan untuk menjadikan Pakistan sebagai negara Islam. 41 Namun setelah Pakistan berdiri sebagai suatu negara yang berdaulat, belum dicapai kesepakatan mengenai apakah negara Muslim itu harus menjadi suatu negara yang

40

Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007),” artikel diakses pada 11 November 2008, dari http://www.tokohindonesia.com/aneka/tokohdunia/benazir-bhutto/index.shtml 41 Negara Islam ialah suatu negara ketuhanan, di mana firman Tuhan menjadi dasarnya, dan suara rakyat (musyawarah) berkuasa. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa firman Tuhan dan ajran Nabi bergabung dengan suara rakyat, menjadi kekuasaan yang tertinggi di dalam negara, Zainal Abidin Ahmad, Konsep Politik dan Ideologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 69.

berdasarkan hukum Islam dan diperintah oleh para pemimpin agama ataukah mengambil sistem pemerintahan sekuler seperti halnya dengan India. Akhirnya terdapat dualisme hubungan antara nasionalisme dan agama. Kalangan konserfatif yang termasuk di dalamnya golongan Islamis menginginkan Pakistan didasarkan pada hukum Islam secara komplit, mengingat alasan didirikannya negara Pakistan adalah keinginan Muslim India untuk membentuk bangsa Muslim dengan merealisasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Di lain pihak, golongan modernis sekuler berpandangan Islam hanya sebagai sumber nasionalisme belaka sehingga tidak perlu mendasarkan negara pada Al-Quran dan Sunnah. Karena apabila negara telah berusaha mewujudkan cita-cita sekulerisme itu bersamaan dengan hak dan keadilan maka negara akan dengan sendirinya telah mewujudkan nilai-nilai pokok Islam.42 Dalam pelaksanaannya, setiap pemerintahan mempunyai persepsi sendiri mengenai bentuk suatu negara Islam. Ali Bhutto misalnya mempersepsikan sosialisme Islam sebagai wujud dari negara Islam. Dan ternyata kata Islam hanya digunakan Ali Bhutto sebagai upaya legitimasi pemerintahan sosialisme gaya baratnya.43 Sementara itu, Zia ul-Haq yang mempersepsikan islamisasi sebagai wujud dari negara Islam untuk melaksanakan pemurnian Islam ternyata juga tidak dapat melaksanakan sepenuhnya pemurnian Islam itu.44 Dengan belum ditemukannya konsensus yang jelas yang sesuai dengan ideologi Islam dan bagaimana aplikasinya dalam program-program dan kebijakan-kebijakan 42

Dhurorudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 73. 43 Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, terj. Dewi Haryani (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 75. 44 Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, h. 75.

negara, telah menempatkan Islam sebagai faktor yang sangat menentukan dalam perkembangan politik di Pakistan. Pihak manapun yang akan memerintah Pakistan, sipil atau militer, dan apapun corak politiknya, otoriter dan diktatoris atau demokratis, tidak dapat mengabaikan peranan Islam.45 “Islam” dipakai pemerintah untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun bersamaan dengan hal itu, “Islam” pun dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk menjatuhkan penguasa. Ketika pemerintahan sipil termasuk partai-partai politik dan birokrasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah tersebut, baik yang dilatar belakangi oleh konflik etnis maupun isu agama, akhirnya militer pun seringkali tampil ke kancah politik untuk mengambil alih kekuasaan dengan alasan menyelamatkan negara.

B. Biografi Politik Benazir Bhutto B.1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Benazir (dalam bahasa Pakistan berarti: tak ada duanya) dilahirkan di Karachi 21 Juni 1953 dan meninggal kamis, 27 Desember 2007 dalam serangan tembakan dan bom bunuh diri di Rawalpindi.46 Benazir Bhutto Dilahirkan dari pasangan Ali Bhutto dengan istri keduanya Begum Nusrat. Benazir dikenal dunia sebagai politisi Pakistan yang menjadi perempuan pertama yang berhasil memimpin sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Islam dalam sejarah dunia di masa pasca-kolonial. Ia terpilih dua kali sebagai Perdana Menteri Pakistan yaitu pada periode 1988-1990 dan 1993-1996.47 Ia dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas masih buta huruf dan feodal yang masih

45

Dhurorudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h.73. 46 Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 36. 47 Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 55.

cenderung memandang wanita sejenis perabot keluarga, dimana laki-laki keluar rumah mencari nafkah dan wanita cukup mengurus rumah tangga. Pembagian kerja demikian oleh masyarakat Pakistan dipercaya sebagai telah diatur oleh alam secara luhur dan adil, dan oleh karena itu harus dipertahankan.48 Kepercayaan demikian lebih diperkuat oleh interpretasi sebagian Ulama Pakistan yang 97% penduduknya beragama Islam, bahwa agama Islam tidak mengijinkan pria menjadikan wanita sebagai Imam dalam shalat berjamaah (bersama). Sehingga sebagai

konsekuensi kiasnya, seorang wanita tak diperkenankan menjadi pemimpin, termasuk dalam pemerintahan. Karakteristik masyarakat feodal (dengan masyarakat didomonasi kaum pria) ini akhirnya menyebabkan terhambatnya mobilitas hidup dikalangan wanita. Wanita cenderung tertinggal dalam banyak hal, termasuk bidang pendidikan. Namun, justru dalam situasi demikian ternyata Benazir Bhutto berhasil memperlihatkan perbedaan mendasar dalam latar belakang kehidupannya. Benazir mengalami

proses

Sosialisasi,

Internalisasi,

dan

Enkulturisasi49

secara

lebih

menguntungkan dibanding umumnya wanita Pakistan. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri Benazir ini, baik yang diperoleh karena usaha aktif lewat bangku sekolah maupun dari berbagai pengalaman hidup yang ia alami sangat berpengaruh dalam membentuk

48

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam (Jakarta: Pustaka CIDESINDO, 1996), h. 7. 49 Sosialisasi adalah proses pengajaran penamaan sikap terhadap seseorang tentang bagaimana seseorang seharusnya berinteraksi dengan orang lain. Internalisasi adalah proses pengajaran dari penanaman sikap terhadap orang lain. Tentang bagaimana cara seseorang mengemukakan perasaan / isi hati, baik rasa cinta, benci suka maupun duka. Sedang Enkulturisasi adalah proses pengajaran dan penanaman sikap terhadap seseorang tentang bagaimana seseorang menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat. Lebih jelas lihat Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 8.

watak kepribadian baik sebagai seorang individu maupun sebagai anggota masyarakat serta membedakannya dengan kebanyakan wanita Pakistan. Berbeda dengan mayoritas rakyat Pakistan yang hidup dalam kemiskinan, sebagai anak Ali Bhutto dengan latar belakang keluarga tuan tanah yang kaya kehidupan Benazir tak pernah kekurangan materi. Apalagi Ali Bhutto pun adalah pejabat tinggi yang luas pergaulan dan pengalamannya, yang oleh sebab itu dia punya sikap berbeda dari umumnya keluarga Pakistan dalam urusan pendidikan anak-anaknya. Bhutto yang dikenal berpandangan cenderung sekuler bersikap sangat moderat dalam mendidik anaknya. Bahkan walaupun berasal dari keluarga Muslim, Benazir diperkenankan menamatkan pendidikan di sekolah-sekolah Katolik. Dimasa kecil dan remajanya, Benazir belajar di lady Jennings Nursery School dan sekolah perempuan Jesus and Mary di Karachi, Pakistan. Seterusnya di Rawalpindi Presantation Convent. Ia lulus O-level ketika berumur 15 tahun. Begitu setelah tamat sekolah menengahnya Benazir telah dikirim ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya di Radcliffe College, sekolah katolik khusus wanita di bawah bendera Harvard University. Di Amerika dalam waktu relarif singkat ternyata Benazir sudah mampu menemukan pribadinya dalam menghadapi budaya Barat yang sangat berbeda dari budaya Pakistan. Sehingga ia segera dapat aktif terlibat dalam berbagai kegiatan, termasuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi anti perang Vietnam.50 Benazir lulus dari Harvard University pada tahun 1973 dan melanjutkan kuliah di Oxford University di Inggris dan lulus tahun 1977. Dikampusnya Benazir dikenal sebagai orator ulung, bahkan pada tahun 1976 Benazir terpilih menjadi pemimpin Oxford Union, sebuah kelompok diskusi di kampus Oxford dan ia menjadi perempuan Asia 50

Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 9.

pertama yang memimpin kelompok elit tersebut sehingga langsung menarik perhatian media di seluruh dunia.51 b. 2. Latar Belakang dan Pengalaman Politik Dari latar belakang sosial-budaya dan pendidikan tergambar jelas bahwa jiwa Benazir mengalami percampuran (akulturasi) budaya antara nilai-nilai Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan nilai-nilai sekuler Barat, antara nilai-nilai feodal masyarakat Pakistan dengan nilai-nilai kebebasan Barat. Akulturasi demikian akhirnya membentuk Benazir pada suatu pribadi “mendua” dalam arti tak mempunyai ketertarikan kuat terhadap suatu nilai tertentu, baik terhadap Islam, adat-istiadat Pakistan, maupun nilai-nilai sekuler Barat. Dalam kehidupannya Benazir pun cenderung berusaha “mengawinkan”

berbagai

nilai

yang

telah

tersosialisasi,

terinternalisasi

dan

terenkulturisasi dalam dirinya itu.52 Benazir sebenarnya telah mulai kenal dunia politik sejak ia masih “kanakkanak”,hal ini dimungkinkan mengingat ayahnya, Ali Bhutto, sudah menjabat pos-pos penting di pemerintahan Pakistan mulai dari Menteri Luar Negeri, Ketua Delegasi Pakistan di PBB, dan akhirnya sebagai Perdana Menterti tetkala Benazir masih kecil. Sedari kecil Benazir memang telah dipersiapkan Ali Bhutto untuk terjun ke dunia politik. Terbukti setelah Ali Bhutto berkuasa pada tahun 1970 segera membina putri sulungnya untuk melanjutkan aspirasi politiknya. Untuk itu Benazir segera dikirim ke Harvad (AS) dan selanjutnya ke Oxford (Inggris) untuk membina ilmu pengatahuan yang berkaitan dengan soal-soal pemerintahan.

51 52

Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 56. Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 10.

Kendati demikian waktu itu Benazir sebenarnya tak cukup tertarik pada dunia politik praktis, meskipun di kampus dia telah dikenal sebagai orator ulung dan cerdas, sehingga cukup potensial untuk terjun dalam politik. Bahkan, tetkala pulang ke Pakistan pada pertengahan 1977 pun Benazir masih menyatakan: “Tapi aku bukanlah seorang aktifis politik…aku hanya tertarik pada masalahmasalah internasional tanpa melibatkan unsur politik dalam kehidupanku.”53 Dengan kata lain waktu itu Benazir belum berniat terjun ke dunia politik kendati sang ayah, Ali Bhutto, sudah mempersiapkan Benazir untuk dunia tersebut. Hal demikian terefleksi dari tindakkan-tindakkan Ali Bhutto, misalnya, pada usia 18 tahun oleh sang ayah Benazir diikut sertakan dalam perjalanan bersejarah ke Simla, India, dimana Bhutto dan Ghandi menandatangani perjanjian Simla untuk mengakhiri krisis Bangladesh. Bahkan tetkala berusia 25 tahun Benazir diangkatnya menjadi anggota komite sentral Partai Rakyat Pakistan. Setelah ayahnya dieksekusi pada 1979 oleh rezim militer Zia ul-Haq, Benazir secara tidak resmi menjadi pemimpin sementara Partai Rakyat Pakistan. Namun ia dikenai penahanan rumah pada 1979-1984. Sejak tahun 1984 hingga 1986 ia bahkan diasingkan walau kemudian bisa kembali ke Pakistan dan segera menjadi tokoh penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq.54 Pada 8 Desember 1987, Benazir menikah dengan Asif Ali Zardari di Karachi. Mereka mendapat tiga anak, yaitu Bilawal, Bakhtwar, dan Aseefa.55 Pada Agustus 1988, Presiden Zia ul Haq tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. Akibatnya, terjadi kekosongan kekuasaan di Pakistan. Dalam pemilu yang dilakukan kemudian, Partai 53

Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 73. Zaenal, Tragedi Benazir Bhutto, h. 58 55 Zaenal, Tragedi Benazir Bhutto, h. 58 54

Rakyat Pakistan memenangkan mayoritas kursi di Dewan Nasional yang berujung pada pengangkatan Benazir Bhutto sebagai perdana menteri pada 1 Desember 1988. Benazir Bhutto menjadi perempuan Muslim pertama di dunia yang menjadi perdana menteri. Pada awalnya, Benazir sangat popular dan dilihat sebagai tokoh yang sangat berbeda dengan pemerintah militer. Tetapi dua kali masa jabatannya sebagai perdana menteri berakhir dengan pemecatan atas dakwaan korupsi. Benazir meninggalkan kantor perdana menteri dengan reputasi yang hancur. Selama berkuasa, Benazir banyak menghadapi perlawanan dari gerakan-gerakan Islam ekstrim yang tidak menyukai kepemimpinan seorang perempuan. Dalam pemilu berikutnya yang berlangsung pada Oktober 1993, Partai Rakyat Pakistan menang kembali dan untuk yang kedua kalinya Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan. Namun kembali masalah korupsi, maka Presiden Pakistan Farooq leghari membubarkan pemerintahan pada November 1996.56 Setelah Jenderal Pervez Musarraf melakukan kudeta pada 1999, kondisi Benazir tidak mengalami perubahan berarti. Permohonan agar tuduhannya terhadap dirinya dan suaminya dicabut, ditolak oleh pimpinan Pakistan Pervez Musarraf. Ia kemudian diasingkan dan diancam akan ditangkap jika berani kembali ke Pakistan. Benazir Bhutto pun hidup dalam pengasingan di London dan Dubai sejak akhir tahun 1999.57 Karena dekrit Musharraf tahun 2002 melarang mantan perdana menteri mencalonkan diri untuk ketiga kalinya, maka Benazir tidak bisa ikut pemilu tahun itu. Benazir

pun

mendapat

ganjalan

karena

statusnya

sebagai

terpidana

tidak

memungkinkannya memimpin sebuah partai. 56

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4. Ririn, “Perjalanan Benazir Bhutto” data diakses pada 6 http://suryoele.wordpress.com/2008/05/19/perjalanan-benazir-bhutto/ 57

Juni

2008

dari

Pada tahun 2007 ketika akan dilangsungkannya pemilu, dimulailah pembicaraan mengenai kemungkinan kembalinya Benazir Bhutto ke Pakistan. Musharraf akhirnya memberi amnesti terhadap tuduhan korupsi yang ditimpakan pada Benazir di masa pemerintahan Nawaz Sharif. Pada Oktober 2007, Benazir bisa kembali ke Pakistan setelah delapan tahun hidup di pengasingan di Dubai. Tapi ancaman terhadapnya tidak pernah surut. Selain pemerintah, banyak kalangan yang kurang menyukainya. Pada tanggal 27 Desember 2007, terjadi tembakan dan ledakan bom yang mengakhiri perjalanan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan, dan akhirnya Benazir meninggal bersama puluhan orang yang mengikutinya. 58

BAB III BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK

Pada tanggal 17 Agustus 1988, Pakistan digemparkan dengan peristiwa terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang mengakibatkan meninggalnya Jenderal Mohammad Zia ul Haq dan juga 20 tokoh top militer Pakistan, termasuk didalamnya Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Jenderal Akhtar Abdul Rahman serta Duta Besar 58

Bambang Kurniawan, “Pembunuhan Benazir dan Tragedy Pakistan”, artikel diakses pada 7 Juni 2008, dari http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg05923.html

Amerika untuk Pakistan Arnold Raphel dan penasehat militer Amerika di Pakistan Brigjend. Herbert Wassom. Pesawat Hercules tersebut meledak di udara hanya beberapa menit setelah lepas landas dari bandara sipil Bahawalpur, 550 km sebelah Selatan Islamabad, pukul 11.30 waktu setempat.59 Berita kematian Zia ul Haq tentu saja membawa kegembiraan bagi Benazir Bhutto yang memang telah lama berambisi untuk menyingkirkan Zia ul Haq dari kekuasaannya. Benazir Bhutto menyimpan dendam pribadi terhadap Zia ul Haq, akibat telah menghukum gantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto 4 April 1979 di penjara pusat Rawalpindi. Proses Benazir untuk meraih kekuasaan menjadi semakin lancar, setelah militer Pakistan sebagai kelompok yang paling menentukan dalam politik Pakistan membiarkan terlaksananya pemilu secara jujur dan adil. Meskipun sesungguhnya militer Pakistan tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu, namun pada saat itu militer tidak siap mengambil alih kekuasaan ketika Presiden Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat. . Karena tokoh-tokoh militer lainnya yang bisa diandalkan untuk menggantikan Zia ulHaq juga ikut tewas. Dari 30 orang penumpang yang terdapat di dalam pesawat tersebut, tak ada seorangpun yang selamat. Dengan demikian mau tidak mau kalangan oposisi sipil dapat maju untuk bersaing mengikuti pemilu di Pakistan. Dalam bab ini penulis akan membahas awal ketertarikan Benazir Bhutto terhadap politik dengan keterlibatannya dalam partai politik yang didirikan Ali Bhutto, yang kemudian ikut pencalonan menjadi perdana menteri yang didalamnya membahas kemenangan pada pemilu 1988, Dua Puluh Bulan Pakistan dibawah Pemerintahan

59

“Misteri kematian Zia ul-Haq,” data diakses pada 11 November, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/05/SEL/mbm.19890805.SEL21028.id.html

dari

Benazir Bhutto, dan mengenai kekalahannya dalam Pemilu 1990. selain itu akan dibahas pula upaya-upaya yang dilakukan Benazir Bhutto untuk menggoyahkan pemerintahan Nawaz Sharif yang berhasil memenangkan pemilu tersebut.

A. Keterlibatan dalam Partai Politik Setelah eksekusi dilakukan terhadap ayahnya Zulfikar Ali Bhutto tahun 1979 pada masa pemerintahan militer Mohammad Zia-ul-Haq, Benazir Bhutto secara tidak resmi menjadi pimpinan sementara Partai Rakyat Pakistan. Dengan demikian Benazir menjadi penerus partai yang didirikan ayahnya, termasuk permusuhannya dengan pemerintahan yang berkuasa. Dan ia menjadi tokoh penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq lewat partainya itu. PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah ketertindasan 11 tahun di bawah pemerintahan militer Zia ul-haq. Benazir Bhutto sudah mengenal kehidupan di penjara pada tahun 1978 akibat menghina rezim penguasa dalam berbagai pidatonya. Sejak tahun 1984 hingga 1986 Benazir bahkan diasingkan ke luar negeri. 60 Kematian sang ayah dan kerasnya tekanan rezim berkuasa terhadap diri Benazir tidaklah membuat takut akan perlawanannya terhadap pemerintahan. Hal ini justru dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir untuk mulai terlibat dalam kancah politik Pakistan dengan memimpin partai politik yang di besarkan oleh ayahnya, untuk

60

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam (Jakarta:Pustaka CIDESINDO, 1996), h. 14.

menentang pemerintahan Zia ul-Haq yang dianggap telah memporak-porandakan kehidupan demokrasi di Pakistan. Dalam hal ini akan dibahas keterlibatannya dalam partai politik yang diawali oleh kematian Zulfikar Ali Bhutto oleh kediktatoran rezim Zia ul-Haq dan meneruskan perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto atas tekanan yang terus menerus yang di lakukan oleh pemerintahan Zia terhadap keluarga Bhutto. A. 1. Kematian Zulfikar Ali Bhutto Dinasti politik keluarga Bhutto dibangun oleh Zulfikar Ali Bhutto. Dia lahir di wilayah Larkana (waktu itu masih di bawah kekuasaan inggris dan kemudian menjadi wilayah Provinsi Sindh di bawah Pakistan) pada 5 Januari 1928. ayahnya bernama Shah Nawaz Bhutto seorang tuan tanah yang kaya raya. Pada 1947, Ali Bhutto dikirim untuk menempuh pendidikan tinggi di University Southern California, kemudian kuliah di Universitas Barkeley, California, dan pada tahun 1949 meraih gelar sarjana ilmu politik. Selama di Berkeley, Ali Bhutto tertarik untuk mempelajari teori sosialisme dan memberikan kuliah tentang kesempatan sosialisme di dunia Islam. Pada 1950, Zulfikar belajar hukum di The Christ Church, Oxford Inggris. Ali Bhutto kemudian menikah dengan Begum Nusrat Ispahani, merupakan istri keduanya setelah bercerai dari Shireen Amir Begum. Dari Ispahani, Ali Bhutto mendapat seorang anak perempuan yang kelak menjadi penerusnya yaitu Benazir Bhutto. Sekembalinya di Pakistan, Ali Bhutto mengajar di Sindh Muslim College. Karir politik Ali Bhutto dimulai pada tahun 1957 ketika menjadi anggota termuda delegasi Pakistan yang dikirim ke PBB. Ali Bhutto berbicara di komite keenam PBB tentang Agresi dan menjadi pemimpin delegasi Pakistan ke Konferensi PBB tentang

Aturan Kelautan 1958. di tahun yang sama Ali Bhutto menjadi menteri termuda dalam kabinet Presiden Muhammad Ayub Khan. Dia menjadi orang kepercayaan Ayub Khan, walaupun usianya masih muda. Ali Bhutto kemudian ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri. Dia mengubah arah kebijakan luar negeri Pakistan yang sebelumnya pro-Barat. Ali Bhutto sering mengkritik kebijakan AS di wilayah itu. Dia menjalankan politik luar negeri yang merdeka dari pengaruh AS. Sebagai sandarannya, Ali Bhutto menjalin hubungan yang sangat baik dengan Cina. Ali Bhutto bahkan terkenal karena sikapnya yang keras terhadap India. 61 Ketika terjadi pergolakan hebat di Kashmir dan India, dia mengirimkan pasukan besar ke wilayah itu. Ali Bhutto mengobarkan semboyan perang dengan berbicara pedas terhadap India dalam Sedang Dewan Keamanan PBB. Ali Bhutto menuding India melakukan agresi dan menyatakan, “kami akan berperang selama seribu tahun!” lalu Ali Bhutto merobek-robek berkas DK PBB dan beranjak dari hadapan sidang. Akibatnya, Pakistan dan Indoia terlibat dalam peperangan hebat yang mengkhawatirkan bagi AS, Inggris, dan Uni Soviet. Perang baru mereda setelah PBB turun tangan. Ali Bhutto kemudian mendampingi Presiden Ayub Khan dalam negoisasi dengan India. Negoisasi itu menyepakati bahwa masing-masing negara mundur ke garis batas sebelum perang. Perjanjian damai itu tidak disambut baik oleh Ali Bhutto dan sebagaian besar rakyat Pakistan. Karena kritiknya terhadap Ayub Khan, Ali Bhutto mulai disisihkan dan akhirnya dia menjadi tokoh oposisi terhadap pemerintahan Ayub Khan. Setelah mundur dari kabinet, Ali Bhutto mendirikan Partai Rakyat Pakistan yang mendapat dukungan besar dari rakyat. Partai ini pula yang kermudian rajin melakukan demonstrasi sehingga Ayub Khan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya. 61

Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 48.

Tongkat kepemimpinan Pakistan diserahkan kepada Jenderal Yahya Khan yang kemudian menggelar pemilu pada 7 Desember 1970. Dalam pemilu itu Partai Rakyat Pakistan meneng telak di wilayah Pakistan Barat, sementara di Pakistan Timur, Liga Awami pimpinan Sheikh Mujibir Rahman meraih suara terbanyak. Liga Awami menolak tawaran Ali Bhutto untuk berkoalisi dan malah membentuk Dewan Nasional yang kemudian lahirnya negara Bangladesh. Atas intervensi India, kekuatan tentara Pakistan di wilayah timur dikalahkan, dan negara Bangladesh pun lahir.62 Ali Bhutto menyalahkan kebijakan Yahya Khan atas kemerdekaan Bangladesh. Tekanan rakyat terhadap pemerintah pun semakin keras. Akhirnya Yahya mengundurkan diri dan menyerahkan tongkat kepemimpinan Pakistan kepada Zulfikar Ali Bhutto. Di masa kepemimpinannya, Pakistan tidak menjadi lebih damai. Langkah politik dan kebijakannya banyak yang kontroversial. Dia melakukan perjanjian damai dengan India untuk membebaskan 93.000 tawanan perang Pakistan di India. Dalam perjanjian itu Ali Bhutto dianggap terlalu banyak memberi konsesi kepada India. Di sektor bisnis, Ali Bhutto dianggap meresahkan karena menasionalisasi perusahaan industri barat. Dia juga dianggap berkhianat karena mengakui keberadaan negara Bangladesh. Ketika situasi semakin tidak menentu, Ali Bhutto dituduh menghilangkan nyawa lawan-lawan politiknya. Situasi Pakistan semakin tegang, lalu dia menunjuk Jederal Zia ul-Haq untuk menjadi panglima angkatan bersenjata. Ali Bhutto juga mulai menetapkan kebijakan mengembangkan senjata nuklir. Penolakkan atas kepemimpinan Ali Bhutto semakin kuat. Pada bulan Juli 1977 Zia ul-Haq mengambil alih kekuasaan dari Zulfikar Ali Bhutto dengan cara mengkudeta. Kudeta yang dilakukan Zia pada tahun 1977, ditanggapi 62

Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 50-51.

dengan berbagai macam sikap oleh rakyat Pakistan di satu sisi kekhawatiran terhadap tindakkan “pembedahan” politik yang dilakukan militer dan harapan bahwa militer tidak akan lama menguasai pemerintahan. Zia bersumpah bahwa dia akan mengembalikan pemerintahan ke sipil di tangan wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat setelah negara dalam keadaan aman dan akan menyelenggarakan pemilu yang fair yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober 1977.63 Namun, kenyataannya Zia tidak memenuhi janjinya tersebut, malahan sebaliknya dia berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperluas tujuan-tujuan politiknya demi menguasai sepenuhnya kehidupan politik Pakistan. Ia menguasai kehidupan politik, berusaha menarik dukungan dari berbagai kelompok agar kekuasaannya dapat dipertahankan diantaranya dari unsur militer, birokrasi, tuan tanah, dan unsur-unsur religius. Zia tidak hanya mempertimbangkan militer sebagai pilar utama dan fundamental bagi rezimnya, tetapi dia memberikan militer suatu posisi yang sangat penting dalam konstitusi sebagai pemegang tertinggi integritas negara. Dengan pembatalan pemilu yang dijanjikan oleh Zia pada tanggal 18 Oktober 1977, telah memperbesar kekuasaan militer dalam kehidupan politik Pakistan. Kediktatoran Zia ul-Haq sangat terlihat jelas saat dia menghukum gantung Zulfikar Ali Bhutto dan memenjarakan lawan-lawan politiknya termasuk Benazir Bhutto dan keluarganya. Kematian sang ayah dan kerasnya tekanan rezim berkuasa terhadap diri Benazir tidaklah membuat takut akan perlawanannya terhadap pemerintahan. Hal ini

63

Veena Kukreja, “Military Politics in Pakistan: Ten Years of Zia’s Rule, Strategic Analysis”, Agustus 1988, h. 427-428.

justru dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir untuk mulai tertarik dan terlibat dalam kancah politik Pakistan dengan menjadi oposisi untuk menentang pemerintahan Zia ul-Haq yang dianggap telah memporak-porandakan kehidupan demokrasi di Pakistan. A. 2. Kediktatoran Pemerintahan Zia ul-Haq Zia ul-Haq mengambil tindakkan cepat untuk melegitimasi kudetanya dan melanjutkan pemerintahan atas nama Islam. Dia bersumpah akan melaksanakan sistem pemerintahan Islam (Nizham i-Islami). Islam menjadi lambang utama rezimnya, dan tampaknya mewarnai kebijakan dalam dan luarnegeri dengan kekuatan militernya. 64 Ketika

mengambil

kekuasaan

sebenarnya

Zia

ul-Haq

tidak

memiliki

kecenderungan untuk mengembangkan suatu program politik, tetapi Zia mengumumkan rezimnya hanya akan memerintah selama sembilan puluh hari untuk memulihkan kembali keadaan dan mengadakan pemilihan umum. Pada kenyataannya Zia menunda pemilihan umum untuk waktu yang tak terbatas, melarang partai-partai politik, dan melakukan sensor ketat terhadap media, kekuasaannya sebagai pelaksana undang-undang darurat perang dan sebagai presiden dijustifikasi atas nama Islam. Pengeluaran partai-partai politik dari partisipasi pemerintahan jelas telah memberikan kekuasaan yang besar bagi Zia ul-Haq, dan tindak diakuinya partai politik dalam sistem islami berarti memberikan legitimasi bagi pemerintahannya. Alasan mengapa Jenderal Zia ul-Haq mengkudeta pemerintahan Zulfikar Ali Bhutto ialah para pemimpin politik telah gagal untuk mengemudikan negara keluar krisis,

64

John L. Esposito dan Jon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan Prospek (Bandung: Mizan, 1999), h. 144

dan dia menambahkan, tidak melihat adanya prospek kompromi antara PPP dan PNA karena saling ketidak percayaann mereka. Hal ini dikhawatirkan bahwa kegagalan PPP dan PNA untuk mencapai kompromi akan membawa negara ke situasi kekacauan. Zia juga menyatakan bahwa rezimnya hanya berfungsi untuk sementara waktu, hal ini ditegaskan oleh pernyataannya bahwa angkatan bersenjata Pakistan menginginkan bahwa pemerintah harus tetap berada ditangan wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat.65 Kenyataannya Zia tidak memenuhi janji tersebut, bahkan dia berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperluas tujuan-tujuan politiknya demi menguasai sepenuhnya kehidupan politik Pakistan. Ia menguasai kehidupan politik, berusaha menarik dukungan dari berbagai kelompok agar kekuasaannya dapat dipertahankan diantaranya dari unsur militer, birokrasi, tuan tanah, dan unsur-unsur religius. Zia tidak hanya mempertimbangkan militer sebagai pilar utama dan fundamental bagi rezimnya, tetapi dia memberikan militer suatu posisi yang sangat penting dalam konstitusi sebagai pemegang tertinggi integritas negara. Dengan pembatalan pemilu yang dijanjikan oleh Zia pada tanggal 18 Oktober 1977, telah memperbesar kekuasaan militer dalam kehidupan politik Pakistan. Zia sebagai figur sentral militer, kemudian menamakan dirinya sebagai Presiden dan ketua administrasi Undang-Undang

darurat

perang

(Chief

Martial

Law

Administrator-CMLA). Dia segera menetapkan kekuasaan militer, pada pucuk struktur pemerintahan. Legalitas para perwira militer merupakan faktor utama yang memungkinkan Zia memegang kendali kekuasaan selama 11 tahun. Dukungan ini bisa diperoleh karena dua cara yang dilakukan Zia untuk mempertahankan loyalitas para perwira militer kepadanya. 65

Sawhney, Zia’s Pakistan (New Delhi: ABC Publishing House, 1985), h. 13-23.

Pertama , Zia sebagai presiden tidak meninggalkan masalah-masalah militer kepada perwira lain. Kedua, para komandan militer senior Zia menerapkan prinsip rotasi kerja dan periode penugasan yang telah ditetapkan. Dalam cara yang pertama, Zia tidak pernah melepaskan jabatan Ketua Staf Angkatan Darat (KSAD) yang diduduki sejak bulan Maret 1976. Kediktatoran Zia ul-Haq sangat terlihat saat dia menghukum mati Zulfikar Ali Bhutto juga memenjarakan lawan-lawan politiknya termasuk keluarga Bhutto. Benazir diusir dari Pakistan tahun 1982 setelah mendekam tiga tahun dalam penjara. Tidak hanya itu bahkan ibunya Nusrat pernah dijebloskan pula ke penjara. Tekanan Pemerintahan Zia ul-Haq selama 11 tahun terhadap kluarga Bhutto ternyata mendapat manfaat, semakin besarnya dukungan rakyat dan simpatisan pada diri Benazir Bhutto sebagai tokoh oposisi yang berani menentang pemerintahan militer Zia ul-Haq. Dari sikap ini menjadikan Benazir Bhutto menjadi tokoh yang sangat populer dengan membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dengan demikian Benazir Bhutto menjadi penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto, atas kediktatoran yang dilakukan pemerintahan militer Zia ul-Haq. A. 3. Penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto Kematian Ali Bhutto pada 4 April 1979 telah menghancurkan hampir seluruh kebahagiaan diri dan keluarganya, namun hal itu tidaklah membuat Benazir dalam kesedihan. Peristiwa itu justru dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir untuk mulai terjun dalam kehidupan politik meneruskan perjuangan politik ayahnya dengan menentang pemerintahan Zia ul-haq yang dianggap telah memporak-porandakan kehidupan Demokrasi. Mulanya, Benazir tidak terlalu suka terlibat dalam urusan politik

praktis. Namun setelah terjadi malaise sosial politik yang berujung pada kematian sang ayah, akhirnya benazir berbalik arah menjadi sangat terlibat dalam politik.66 Benazir yang mulanya hanya seorang gadis manja, akhirnya harus berhadapan dengan kerasnya politik pakistan. Benazir akhirnya berani untuk berusaha membongkar segala kebobrokan pemerintahan Zia ul-Haq yang disebutnya telah memporakporandakan kehidupan demokrasi. Benazir diubah oleh beratnya bebaban moral perjuangan di masa-masa susah akibat kematian sang ayah dan tekanan yang di lakukan pemerintah berkuasa terhadap keluarga Bhutto. Benazir Bhutto secara tidak resmi menjadi pimpinan sementara Partai Rakyat Pakistan. Dengan demikian Benazir menjadi penerus partai yang didirikan ayahnya, termasuk permusuhannya dengan pemerintahan yang berkuasa. Dan ia menjadi tokoh penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq lewat partainya itu. PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah ketertindasan 11 tahun di bawah pemerintahan militer Zia ul-haq. Lewat partainya itu dia memposisikan diri sebagai oposisi.

B. Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri Dalam sub bab ini penulis akan membahas Benazir Bhutto dalam pencalonannya menjadi

perdana

menteri

dengan

kemenangannya

dalam

pemilu

1988

dan

pemerintahannya yang hanya bertahan Dua Puluh Bulan, serta kembali ikut sertanya dalam pemilu 1990 dimana Benazir Bhutto dalam pemilu ini mengalami kekalahan dari 66

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 13-14.

lawan politiknya Nawaz Sharif. b. 1. Kemenangan dalam Pemilu 1988 Dalam Pemilu November 1988 tiga pesaing utama segera muncul yaitu PPP, IJI, dan MQM. IJI pimpinan Nawaz Sharif adalah partai aliansi yang terdapat dari beberapa partai sayap kanan, dengan anggota yang terbesar adalah PML. IJI mengumumkan jaminan atau kesanggupan untuk meneruskan kebijakan Zia, terutama melanjutkan kebijakan Islamisasi dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan. MQM pimpinan Altaf Hussain adalah partai politik baru untuk memajukan kedudukan kaum Muhajir di bidang ekonomi dan politik, yang merupakan para pengungsi dari Delhi Utar Pradesh, Bihar dan Madya Pradesh ketika India terpecah pada tahun 1947. PPP pimpinan Benazir Bhutto berkampanye untuk mengadakan pembaharuan demokrasi termasuk peninjauan kembali

terhadap Amandemen ke-8 yang tercantum dalam konstitusi 1973 yang mana telah memperkuat kedudukan Presiden atas Legislatif.67 PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah 11 tahun di bawah pemerintahan militer, dan penampilan figur pemegang tampuk kekuasaan yang berbeda. IJI, bagaimanapun tidak mempunyai seoang figur yang populer. Tidak satupun para calon yang diunggulkan pada waktu itu, dapat menyaingi kharisma dan dinamisme Benazir Bhutto. Pemilu untuk Majelis Nasional diselenggarakan tanggal 16 November 1988. pemilu tersebut dilukiskan oleh para pengamat asing, sebagai pemilu yang dilaksanakan 67

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 61-62.

secara terbuka. Pemilu ini untuk mengisi 237 kursi di Majelis Nasional, dengan perincian 207 kursi diperebutkan oleh partai politik dan kelompok independen sedangkan 30 kursi tambahan diberikan bagi 10 kursi untuk politikus non Islam dan 20 kursi untuk kaum wanita. 68 Hasil dari pemilu mengejutkan ketiga partai tersebut, PPP tidak mencapai hasil yang diharapkan, khususnya daerah Punjab. PPP mendapat 92 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan. Hal ini bukan merupakan kemenangan mutlak meskipun PPP merupakan satu-satunya partai yang mempunyai kursi di keempat propinsi. Sedangkan IJI hanya mencapai hasil gemilang di daerah Punjab, dengan memperoleh total 54 kursi. Sementara itu MQM meraih kemenangan di Karachi dan Hyderebad, yaitu 2 kota terbesar di propinsi Sindh dengan memperoleh 13 kursi dan sisanya dikuasai oleh partai-partai kecil. (lihat tabel 1) Tabel 1. Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional Bulan November 198869

NO.

NAMA PARTAI

PEROLEHAN KURSI

1.

Pakistan People’s Party (PPP)

92 kursi

2.

Islami Jamhoori Ittihad (IJI)

54 kursi

3.

Muhajir Qaumi Movement (MQM)

13 kursi

4.

Kelompok Independen

30 kursi

5.

Partai Kecil

18 kursi

68

69

“Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 28 Desember 2007. h. 4. Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 63.

TOTAL

207 kursi

Dari tabel 1 terlihat bahwa PPP mendapat suara terbanyak. Dalam pemilihan di propinsi Sindh, Benazir Bhutto memperoleh suara terbanyak. Sementara IJI dan partaipartai kecil lainnya sama sekali tidak memperoleh suara di propinsi Sindh. Benazir Bhutto yang orang Sindh tentunya sangat dudukung oleh masyarakat Pakistan yang cenderung memilih PPP sebagai partainya. Hal ini jelas sangat berperan bagi menangnya Benazir Bhutto dalam pemilu 1988, karena jumlah penduduk di propinsi Sindh adalah nomor dua terbesar di Pakistan. Selain itu ia mampu memanfaatkan nama besar ayahnya, Ali Bhutto untuk menarik simpati masyarakat Pakistan lainnya yang berasal dari etnis yang berbeda dengannya, khususnya masyarakat pedesaan agar mendukungnya. Karena kebijakan-kebijakan di masa pemerintaha Ali Bhutto banyak mengutamakan kepentingan masyarakat bawah, dengan program “Sosialisme Islamnya”. 70 Ternyata strategi tersebut memberikan hasil yang menggembirakan dimana PPP berhasil menang pula di Punjab, yang merupakan tempat saingannya, Nawaz Sharif. Bahkan dengan semangat “Bhutoisme” pula, Benazir Bhutto berusaha bekerja sama dengan kaum Islam Populer yang dipimpin oleh kyai. Kyai ini berperan sebagai patron, dan dengan adanya kerja sama tersebut diharapkan Benazir Bhutto akan dapat menguasai kliennya, yaitu masyarakat pedasaan. Pada masa pemerintahan Ali Bhutto, para Kyai tersebut sangat mendukungnya di mana meskipun Ali Bhutto melakukan kebijakan Land Reform, namun kebijakannya tidak berlaku bagi para kyai. Kyai tersebut malah diberikan bantuan tanah wakaf. Pemerintah juga ikut memelihara tempat-tempat keramat leluhur mereka dan tetap melindungi tanah mereka. Dengan latar belakang 70

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. ix.

tersebut, tentunya para Kyai cenderung mendukung Benazir Bhutto dengan partainya PPP sebagai pewaris kebijakan Ali Bhutto. Keberhasilan Benazir Bhutto untuk meraih suara moyoritas dalam pemilu 1988, tak lepas karena ia juga melakukan pendekatan kepada para wanita Pakistan dengan usahanya memberikan pengertian Islam dari segi sejarah. Ia mengatakan bahwa ratu Sheba pernah berkuasa pada masa pra Islam, Yaman pernah dikuasai oleh beberapa wanita Muslim, seperti malika Urwa yang berkuasa hampir 50 tahun pada abad ke-11.71 Bahkan sebelum Benazir Bhutto muncul dalam politik Pakistan , telah ada Fatimah Jinnah yang memimpin partai Liga Muslim dan pernah mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden melawan Jenderal Ayub Khan pada tahun 1964.72 dengan demikian Benazir Bhutto dapat mengatakan bahwa sebenarnya wanita boleh menjadi pemimpin, sehingga kaum wanita Pakistan mayoritas masih buta huruf mendukungnya dan menganggap Benazir Bhutto sebagai generasi baru yang memperjuangkan emansipasi wanita Pakistan.73 PPP tidak hanya mmperoleh suara mayoritas di propinsi Sindh, melainkan juga di propinsi Punjab. Padahal IJI dipimpin oleh Nawaz Sharif yang berasal dari Punjab. Hal ini dikarenakan Nawaz Sharif menganggap dirinya sebagai penerus kebijakan Zia ul-Haq. Sementara rakyat sudah bosan dengan cara kepemimpinan Zia ul-Haq yang keras dan represif. Saat itu rakyat berharap akan adanya suatu pemerintahan sipil yang demokratis.

71

Budi Winarno, “Wanita Berkuasa di Dunia”, artikel diakses pada 27 Februari 2007 dari http://search.yahoo.com/search;_ylt=A0oGklLNMRlJBfEAPutXNyoA?p=pemilu+di+pakistan+1988&y=S earch&fr=moz2&ei=UTF-8 72 Azaz Ahmad, Islamic Modernism 1957-1964, bab II (London: University Press, 1992), h. 209. 73 Anita M Weiss, “Benazir Bhutto and The Future of Women in Pakistan”, ASIAN SURVEY. Vol. XXX No 5, May 1990, h 445.

Oleh karena itu, mereka cenderung memilih PPP yang dipimpin oleh Benazir Bhutto dan menganggapnya sebagai simbol demokrasi di Pakistan. Dalam pemilihan itu, beberapa figur yang terkemuka dari periode Zia ul-Haq, termasuk mantan PM khan Junejo gagal untuk mendapatkan tempat di Majelis Nasional dalam pemilu 1988. Bahkan dalam pemilu itu , Benazir sendiri sukses merebut 3 kursi sekaligus di daerah pemilihan Larkana, Lahore, dan Karachi. Hal ini memang sah karena konstitusi Pakistan tak melarang seorang calon maju di beberapa daerah pemilihan sekaligus. Sebaliknya, IJI hanya berhasil meloloskan Nawaz Sharif, Ketua Menteri propinsi Punjab. Dengan demikian kesempatan Benazir untuk terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan semakin terbuka sehingga Benazir Bhutto pun disibukan untuk mencari dukungan dari kemenangan MQM dan partai-partai kecil lainnya di parlemen. Memang dari tabel 1 dapat dilihat bahwa PPP telah memperoleh suara mayoritas. Namun Benazir Bhutto belum dapat di pastikan tampil sebagai perdana menteri, karena partainya tidak memperoleh mayoritas mutlak 2/3 dari seluruh jumlah kursi parlemen atau setidaknya minimal 50%+1. Untuk itu, ia harus berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Sementara itu, kelompok-kelompok sosial, ekonomi dan para profesional yang dijuluki oleh Benazir Bhutto “kaum Islamabad” menjadi ragu sebelum meminta Benazir Bhutto untuk membentuk sebuah pemerintahan. Para birokrat sipil dan militer, pedagang dan industrialis besar serta kelas menengah mempunyai alasan untuk mengkhawatirkan kembalinya PPP. Mereka seluruhnya pernah menjadi korban kebijakan politik PPP yang

serius pada masa pemerintahan ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto.74 Keadaan ini membuat mereka memakai Ishaq Khan sebagai pelindung. Benazir Bhutto kemudian menyetujui beberapa prasyarat yang ditetepkan oleh “kaum Islamabad” yaitu membiarkan urusan militer untuk ditangani oleh golongan militer, melanjutkan kebijakan Zia mengenai perang sipil yang berkelanjutan di negara tetangga Afghanistan. Membujuk IJI untuk bekerja sama di Punjab dan melaksanakan program penyesuaian struktur ekonomi, melanjutkan sikap pemerintah sementara yang telah bekerja sama dengan International Monetery Found (IMF) dan World Bank. Untuk menjamin bahwa kesepakatan itu ditepati, Benazir Bhutto juga telah menyetujui permohonan “kaum Islamabad” yang meminta agar partainya menjadikan Ishaq Khan sebagai presiden. Sepuluh hari kemudian, Benazir Bhutto pun berhasil menjadi Perdana Menteri setelah membujuk MQM untuk berkoalisi membentuk pemerintahan bersama. Bahkan PPP bekerja sama dengan IJI dan MQM untuk memilih Ghulam Ishaq Khan sebagai Presiden dan Benazir Bhutto pun akhirnya mengukir sejarah besar menjadi Perdana Menteri wanita pertama di sebuah negara mayoritas Islam pada abad Modern.75 b. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto. Sampai awal Agustus 1988, tak seorang pun menduga bahwa Benazir Bhutto bakal secepat itu menjadi Perdana Menteri. Bukan karena popularitasnya ataupun bakatnya, tetapi saat itu Zia ul-Haq telah nemutuskan untuk “menyingkirkan” Benazir Bhutto dari partai PPP selama hidupnya serta melakukan segala cara untuk melaksanakan hal tersebut mulai dari menggantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto, mengadakan

74 75

Shahid Javed Burki, “Current History”, h. 118. Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 71-72.

pemilu tanpa partai pada tahun 1979 serta memperkuat kelompok-kelompok politik untuk melawan PPP.76 Namun demikian manipulasi politik, penendasan dan pengawasan yang dilancarkan Zia ul Haq ternyata tidak dapat menghancurkan kharisma Ali Bhutto serta dukungan rakyat terhadap partainya , PPP dan Benazir Bhutto. Sekalipun ia masih muda, pernah mengalami pahitnya penjara dan pembuangan, Benazir Bhutto tetap aktif di dalam kegiatan-kegiatan politik sebagai pemimpin oposisi yang terkemuka dan terkenal blakblakan

selama

11

tahun,

yang

akhirnya

telah

membentuk

kualitas

pribadi

kepemimpinannya. Ia berhasil menduduki jabatan Perdana Menteri dalam usia 35 tahun, tanggal 2 Desember 1988 dan merupakan wanita pertama yang menjadi Perdana Menteri di negara Pakistan. 77 Ia mengobarkan semangat demokrasi ke seluruh pelosok Pakistan. Dengan mengobarkan semangat demokrasinya itu, pamornya menanjak dan mendapat dukungan di mana-mana. Rakyat Pakistan mendukung pemerintahannya karena rakyat memang menghendaki suatu pemerintahan sipil, di mana rakyat sudah bosan diperintah rezim militer yang otoriter selama 11 tahun. Sejak awal pemerintahannnya pada bulan Desember 1988, sebenarnya sudah dilemahkan dengan kenyataan bahwa PPP hanya mempunyai sejumlah kecil kursi di Majelis Nasional dan diawasi oleh dua dari empat pemerintahan propinsi, yaitu Sindh dan NWFP. Hal ini sempat memberi kekhawatiran terhadap pendukungnya dan mengusulkan sebaiknya Benazir mempertahankan posisinya sebagai oposisi saja daripada mencoba untuk menjalankan pemerintahan dengan kondisi yang kurang baik. 76

Raul B. Rais, “PAKISTAN IN 1988: From Command to Conciliaton Politics”, ASIAN SURVEY, Vol XXIX, No. 2, February 1989, h. 204. 77 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 72.

Setelah wafatnya Jenderal Zia ul Haq, kekuasaan selama satu dekade yang terdiri dari dua pusat kekuasaan, pola Diarchy, yaitu Presiden dan Perdana Menteri (Presiden Zia ul Haq waktu itu sekaligus menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata), selanjutnya digantikan oleh sebuah “Troika” di Pakistan. Jabatan Kepala Staf Angkatan Darat dan Presiden yang semula dipegang oleh Zia ul Haq, kemudian diisi oleh dua orang yang berbeda, Yaitu Jenderal Mirza Aslam Beg selaku pemimpin Angkatan Bersenjata dan Ghulam Ishaq Khan yang sejak tanggal 17 Agustus 1988 menjabat sebagai presiden sementara pun segera mengadakan pemilihan umum. Pemilihan umum yang dilakukan berdasarkan pada sistem partai akan dilaksanakan pada tanggal 16 November 1988 dan telah menciptakan sebuah pusat kekuasaan yang lain, yaitu Perdana Menteri. 78 Pergeseran dari pola Diarchy ke Troika ini semula diharapkan dapat membuka peluang bagi keluwesan sistem politik Pakistan. Secara teoritis adalah dimungkinkan bagi Perdana Menteri untuk berurusan dengan militer dan Presiden secara terpisah, dan jika dibutuhkan dapat mempermiankan satu terhadap lainnya. Namun kenyataannya, politik segitiga ini nantinya malah menimbulkan banyak masalah untuk Perdana Menteri. Selama

menjalankan

pemerintahannya,

ia

dihadapkan

pada

persoalan

ketidakcocokannya dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mirza Aslam Beg. Padahal untuk melanggengkan suatu pemerintahan di negara Pakistan, seorang perdana menteri harus dapat menjalankan hubungan dan kerja sama yang baik dengan Presiden dan militer. Apabila gagal, hal tersebut dapat menyebabkan jatuhnya pemerintahan yang dipimpinnya.

78

Samina Yusman, “the Politics of Dismissal in Pakistan”, Asian Studies Review, Vol 17. No. 1, July 1993 h. 86.

Sebenarnya sejak Benazir Bhutto tampil sebagai pemimpin Pakistan, rongrongan militer sudah terasa. Bahkan ia harus memberikan konsensi tertentu kepada Angkatan Bersenjata, termasuk ikut campurnya militer dalam menentukan anggaran pertahanan keamanan, tahun 1989/1990 misalnya anggaran Angkatan Bersenjata mencapai Rs. 51,77 milyar atau 36,9% dari anggaran tahun 1989/1990. Pemerintahan Benazir Bhutto yang semula ingin meningkatkan anggaran di bidang kesehatan dan pendidikan, namun karena meningkatnya ketegangan dengan India adalah mustahil untuk berdebat demi pengurangan anggaran pertahanan keamanan ketika anggaran pertahanan keamanan tahun 1990/1991 dipresentasikan. Benazir Bhutto dalam hal apapun merasa enggan untuk memotong terlalu besar pengeluaran untuk militer karena ketakutannya akan meningkatnya campur tangan dan atau terjadinya konflik dengan militer. Bersamaan dengan hal tersebut Angkatan Bersenjata juga ragu-ragu untuk menjatuhkan pemerintahan demokratis karena hal ini pasti akan membuat Amerika memotong anggaran bantuan militernya untuk Pakistan. Oleh karena itu pihak Angkatan Bersenjata masih mempertahankan sumber pendapatan dan pengaruhnya yang paling dibutuhkan, sementara itu menghindarkan campur tangannya di dalam kontroversi politik yang dirasanya paling cocok ditangani oleh kaum politisi sipil. Meskipun Angkatan Bersenjata waktu itu secara resmi mengakui kedaulatan sipil, tetapi pengaruhnya di dalam memformulasikan kebijakan luar negeri tetap besar. Dalam hal ini, Benazir Bhutto juga harus memberikan konsensi terhadap militer mengenai masalah Afghanistan, di mana ia harus melanjutkan kebijakan Zia ul-Haq dalam soal Afghanistan. Namun akhirnya ia melakukan juga kesalahan dengan memecat Letjen.

Hamid Gul, seorang Kepala Dinas Intellegen yang merupakan salah satu arsitek kebijakan tentang Afghanistan. Hal ini menimbulkan ketidaksukaan militer dan Presiden terhadap Benazir Bhutto.79 Militer semakin tidak senang pada Benazir Bhutto karena telah ikut campur dalam masalah intern militer, dengan tindakannya memperpanjang masa dinas sejumlah pejabat militer yang sudah pensiun. Pimpinan militer menilai hal itu sebagai usaha yang jelasjelas ingin memecah belah Angkatan Bersenjata, dan menganggap langkah yang ditempuhnya sebagai upaya untuk menarik dukungan perwira yang dipromosokannya itu.80 Hubungan

Benazir

Bhutto

dengan

militer

semakin

memburuk

ketika

pemerintahannya tidak dapat mengatasi masalah etnis yang muncul kembali sejak tanggal 9 Maret 1989, yaitu konflik antara etnis Muhajir yang merupakan warga imigran India yang berbahasa Urdu melawan Pathan Punjabi yang berasal dari Karachi Utara, akibat MQM memboikot sebuah harian lokal berbahasa Urdu yang sebelumnya menolak meliputi kegiatan Muhajir.81 Kemelut etnis ini memang telah memaksa pemerintah untuk menerapkan larangan ke luar rumah. Para pemimpin etnis yang bentrok pun sebenarnya mengadakan pertemuan untuk membuat strategi bersama guna menghentikan pertumpahan darah. Namun kerusuhan justru kian buruk, bahkan merembet melibatkan etnis Sindh dan melebar ke kota Hyderabad dan kota kecil Sindh. Pertentangan antara etnis Sindh dengan 79

Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan", h. 80. 80 Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008 dari, http://klikinter.blogspot.com/2008_02_01_archive.html 81 Sebenarnya hubungan kedua etnis tersebut telah tegang sejak 1986, terutama akibat persaingan lapangan kerja, penjualan obat terlarang dan senjata. Bahkan, pada bentrokan tahun 1986 sekitar 150 orang telah menjadi korban. Dan sampai tahun 1989 korban akibat bentrokan kedua etnis tersebut telah mencapai lebih dari 500 orang. Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan.”

etnis Muhajir yang telah mendominasi lapangan pekerjaan di propinsi Sindh. Konflik etnis pada masa pemerintahan Benazir Bhutto memuncak karena Benazir tidak memenuhi janjinya terhadap kaum Muhajir untuk antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis Muhajir yang menganggur sebagai akibat dari sistem quota yang telah diberlakukan sejak Ali Bhutto; membebaskan para tahanan MQM yang di tahan sejak pemerintahan Zia ul Haq, dan janji Benazir Bhutto untuk membagi kekuasaan secara adil sebagaimana yang telah dijanjkan sewaktu pembentukan koalisi.82 Kendati Angkatan Darat telah melihat kerusuhan ini sebagai persoalan serius, namun anehnya justru Benazir Bhutto terlihat tenang dan melukiskan kerusuhan tersebut hanya sebagai “pemberontakan kecil”. Benazir Bhutto hanya memerintahkan militer untuk mengirimkan kendaraan lapis baja dan memberlakukan jam malam sebagai upaya untuk meredakan konflik etnis tersebut, namun tindakan ini hanya bersifat sementara dan setelah militer pergi ternyata konflik antar etnis berlanjut lagi.83 Sehingga Jenderal Aslam Beg atas inisiatifnya sendiri mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat, termasuk ketua Menteri propinsi Sindh, yang disusul pula dengan pembicaraan Aslam Beg bersama sejumlah perwira di Markas Besar Angkatan Darat di Karachi. Dalam kesempatan itu, Aslam Beg menyebut betapa kerusuhan itu sudah sedemikian parahnya sehingga tidak saja perlu menghukum beberapa pelaku kejahatan, melainkan perlu pula segera diambil suatu prakarsa politik untuk menyelesaikan berupa pengambilan secara langsung kekuasaan di Sindh oleh pemerintah federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas.

82

Charles H. Kennedy, “Policies of Ethnic Preference in Pakistan”, ASIAN SURVEY, vol. XII, NO. 6, September 1989, hal. 695. 83 Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan”, artikel diakses pada 28 meret 2008 dari, http://www.media-indonesia.com/subscribe/login.asp?mcid=

Ternyata Benazir Bhutto mengabaikan usulan Aslam Beg dan malah menuduh militer dengan cara bermaksud untuk kembali berperan dalam politik. Benazir Bhutto takut tindakan ini akan mengandung semacam Undang-Undang Militer yang dapat menimbulkan tindakan intimidasi.84 Akhirnya kerusuhan menjadi semakin parah dan bahkan pada tanggal 1 Mei 1989 pimpinan MQM, Altaf Hussein menarik para menterinya dari pemerintahan Benazir Bhutto dan dengan demikian menandai akhir dari koalisi pemerintahan MQM-PPP.85 Sehingga MQM kemudian berpindah haluan ke Combined Opposition Party (COP). Masalah utama yang selalu dihadapi oleh propinsi Sindh di bidang keamanan dan ketertiban memang mempunyai dampak yang luas, karena tidak hanya mempengaruhi sitiasi politik di propinsi Sindh itu sendiri, tetapi juga dalam lingkup nasional. Penyebabnya masih bersifat traditional, yaitu pertentangan antar kelompok, suku dan ras. Namun faktor yang paling dominan mempertajam pertentangan itu sehingga mempunyai dampak nasional adalah pertentangan antar partai MQM dengan PPP. Pengikut-pengikut kedua faksi tersebut selalu berbenturan satu sama lainnya, yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua pihak. MQM dengan didukung oleh IJI, bersama-sama menjadikan masalah keamanan dan ketertiban propinsi Sindh ini sebagai isu nasional untuk kepentingan politiknya. Jenderal Mirza Aslam Beg berpendapat bahwa masalah keamanan dan ketertiban masyarakat hanya akan dapat diselesaikan secara tuntas, apabila militer diberi wewenang melebihi ketentuan yang tercantum dalam konstitusi. Namun Benazir Bhutto berkeberatan terhadap tuntutan militer tersebut, karena khawatir banyak dari pengikut-

84 84 85

Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan.” Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 80.

pengikut PPP yang terlibat kerusuhan akan dimasukkan dalam tahanan, apalagi pimpinan Angkatan Darat adalah Muhajir. Kalau hal ini sampai terjadi akan merugikan posisi PPP. Militer Pakistan sebenarnya tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu. Jika Benazir tampil sebagai Pemimpin, hal itu tidak seluruhnya karena kharisma keluarga Bhutto atau pesona pribadi Benazir Bhutto, tetapi karena militer tidak siap untuk mengambil alih kekuasaan ketika Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat tanggal 17 Agustus 1988. Aslam Beg yang tampil pada masa transisi itu tidak mampu menghimpun kekuasaan dengan segera, sehingga secara artifisial mekanisme demokrasi sempat berjalan sampai tampilnya Benazir dalam pemilu 16 November 1988. tetapi ketika usaha konsolidasi berjalan dua tahun, militer sudah kembali merasa solid dan mulai merongrong pemerintahan demokratis pimpinan Benazir. Aslam Beg juga pada akhirnya telah mempengaruhi keputusan Benazir Bhutto untuk mengganti Ketua Menteri propinsi Sindh yaitu Qaim Ali Shah dengan Aftab Shaban Mirani. 86 Dari uraian tersebut, terlihat bahwa peranan militer sangat kuat di Pakistan. Benazir pun bisa naik ke posisi puncak pada akhir tahun 1988 tak lepas karena persetujuan para Jenderal Pakistan. Namun ketika dia tidak bisa mengatasi masalahmasalah yang terjadi di dalam negeri Pakistan, maka militer menarik kembali persetujuannya. Militer menganggap pemerintahan sipil di bawah pimpinan Benazir Bhutto telah gagal dalam mengatasi konflik etnis di Pakistan. Bahkan militer kemudian ikut mendeskriditkan PPP dengan tuduhan melakukan koripsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehubungan dengan

adanya beberapa kasus mengenai ketidakbecusan

kabinetnya serta korupsi dalam pemerintahan Benazir Bhutto. Sebagai contoh, pada bulan 86

Widiyartono R, “Jalan Darah Keluarga Benazir Bhutto Ayah digantung, Dua Adik ditembak Mati”, data diakses pada 16 Oktober 2008, dari http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=15749&Itemid=28

Desember 1989, Begum Rehan Sarwar, menteri negara urusan peranan wanita meresmikan sebuah pusat pelatihan komputer di Islamabad. Tetapi Benazir kemudian mengatahui bahwa pusat pelatihan tersebut telah bubar hanya dalam waktu 24 jam. Hal tersebut dikarenakan komputer-komputer yang ada di sana ternyata hanya disewa khusus untuk acara pembukaan tersebut. Lalu di bulan yang sama, menteri perdagangan ditemukan telah mengadakan negoisasi kontrak dagang yang sangat menguntungkan dengan sebuah perusahaan Abu Dhabi yang tidak dikenal sebelumnya yang memberi hak monopoli bernilai USD 30 Juta pertahunnya kepada perusahaan ekspor beras Pakistan untuk mengekspor beras ke negara Emirat Arab (UAE). Paling tidak perjanjian ini merupakan penyalahgunaan kewenangan.87 Dari awal pemerintahannya, Benazir Bhutto memang dinilai tidak memilih orang-orang

yang

tepat

dalam

anggota

kabinet

pemerintahannya.

Ia

hanya

mempertahankan Sahebzada Yaqub Khan yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri dari pemerintahan sebelumnya. Tetapi rekan-rekan kabinetnya yang lain tidak mempunyai pengalaman dinas. Walaupun kabinetnya tercatat sebagai salah satu yang terbesar, namun dapat dikatakan bahwa tidak ada politisi yang berbobot dalam kabinet. Sementara itu, pihak oposisi yang ditulangpunggungi IJI cukup berhasil mengekspor isu yang di lontarkan oleh golongan dan partai-partai agama yang konservatif bahwa seorang wanita tidak dibenarkan memegang pemerintahan. Pemerintaha Benazir Bhutto terlibat pertikaian dengan para Ulama Pakistan yang berpegang teguh pada hukum Syariah dan menunjukan ketidak senangan atas pengangkatan seorang wanita untuk menjadi kepala pemerintahan di negara itu.

87

Tamir Hasan, “Peranan Militer Sangat Kuat di Pakistan”, artikel diakses pada 28 Maret 2008, dari http://beritadotcom.blogspot.com/2007_11_15_archive.html

Meskipun ia telah berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut, ia tetap tidak mampu meredakan penolakan para ulama atas dirinya. Penolakan para Ulama semakin keras ketika Benazir Bhutto mulai menjauhi Syariah Islam, bahkan ia menyatakan akan membatalkan pengadilan Syariah. 88 Kemudian ia juga telah mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat ditentang oleh para Ulama dan militer. Benazir Bhutto yang dalam pidato-pidatonya menyatakan dukungannya kepada gerilyawan Mujahiddin sesuai dengan janjinya untuk melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya, namun kenyataannya Benazir Bhutto tidak lagi mengupayakan kemenangan kaum Mujahiddin lewat pertarungan senjata tetapi mengupayakan suatu penyelesaian politik. Perubahan kebijakan Pakistan terhadap Afghanistan dapat dilihat dari kasus penggantian Letjen. Hamid Gul selaku Dirjen Badan Intellegen Antar Angtkatan dengan Jenderal Shamsur Rahman Kallu. Padahal Hamid Gul adalah salah seorang arsitek kebijakan Pakistan tentang Afghanistan. Ia dikabarkan cenderung memberi dukungan kuat terhadap kelompok fundamentalis di kalangan kaum Mujahiddin, khususnya faksi yang dipimpin Gulbuddn Hekmatyar.89 Walaupun perubahan kebijakan itu dimaksudkan agar para pengungsi Afghanistan meninggalkan Pakistan guna memenuhi tuntutan warga Pakistan yang merasa terganggu oleh keberadaan lebih dari tiga juta pengungsi Afghanistan di Pakistan. Tetapi kalangan militer dan oposisi, pendukung kuat faksi-faksi garis keras Mujahiddin, tetap tidak bisa menerima alasan tersebut. Menurut mereka, sikap pemerintah Benazir

88

Nurani Soyomukti, “Dua Musuh Bubuyutan Bersaing Lagi”, artikel diakses pada 4 April 2008, dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/05/SEL/mbm.19890805.SEL21028.id.html 89 Ahmad Jubaedi, “Kaum Fundamentalis di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008, dari http://indonesia99.blogspot.com/2007_12_01_archive.html

Bhutto tidak sesuai dengan maksud utama negara Pakistan dalam membantu Mujahiddin Afghanistan, yaitu dalam upaya berdirinya negara Afghanistan yang Islamis di bawah pimpinan Gulbuddin Hekmatyar. Apalagi sikap pemerintah Benazir Bhutto ternyata pada akhirnya hanya untuk menyenangkan pihak Amerika Serikat saja. Hampir setiap sidang parlemen, pemerintahan Benazir Bhutto terus menerus diboikot oleh pihak oposisi. Bahkan oposisi melancarkan mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Benazir Bhutto, walau akhirnya tidak berhasil menjatuhkan Benazir. Pengajuan dari mosi tidak percaya ini didahului oleh serangan protes terhadap pemerintahan Benazir Bhutto yang dituduh tidak mempu berprestasi, nepotisme dan melemahkan gerak Islamisasi. COP juga menggunakan fatwa dari para ulama Arab Saudi yang menegaskan lagi bahwa kepemimpinan seorang wanita tidak diperkenankan di sebuah negara Islam. Selain itu, di Pakistan masih ada budaya feodalisme yang menempatkan kedudukan pria lebih tinggi dari wanita. Hubungan Benazir Bhutto dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan juga memburuk ketika Benazir ingin mencabut Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq dengan alasan ingin memurnikan Konstitusi 1973. padahal alasan sebenarnya adalah Benazir khawatir kalau sewaktu-waktu dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi masalah-masalah dalam negeri Pakistan selama pemerintahannya. Pemerintahan PPP ingin mencabut Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan lebih pada Presiden, sehingga dapat mengancam kedudukan Perdana Menteri. Adanya Amandemen ke-8 dalam kehidupan konstitusi telah mempersempit ruang gerak Benazir Bhutto sebagai kepala pemerintahan sehingga Benazir berusaha untuk menghapusnya. Namun pencabutan tersebut tidak mudah, karena memerlukan konsensus dari Majelis Nasional,

sedangkan PPP saat itu bukanlah mayoritas, apalagi tidak didukung oleh oposisi Benazir bhutto saat itu terlalu yakin pada dukungan massa partainya, PPP dan hal ini merupakan kekeliruannya yang pertama selama masa pemerintahannya. Usia muda dan kekurang pengalamannya, menyebabkan Benazir Bhutto tergelincir berkonfrontasi melawan Presiden dan Kepala Staf Angkatan Darat yang akhirnya malah menyebabkan kejatuhannya. Hasil pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Benazir Bhutto memang tidaklah terlalu mengesankan. Parlemen belum juga membuahkan produk Undang-Udang sejak berkuasanya Benazir Bhutto. Pendukung PPP menuduh bahwa hal tersebut terjadi karena kaum oposisi mempunyai kekuatan dan dukungan yang sangat luar biasa besarnya di Majelis Nasional, namun hal ini tidak juga menjelaskan kenyataan bahwa rancangan peraturan baru belum juga diajukan. Selain masalah tersebut di atas, juga terdapat beberapa masalah lain, yaitu adanya pertentangan antara pemerintah federal dengan propinsi Punjab, di mana yang menjadi Ketua Menteri adalah Nawaz Sharif, yang juga menjadi ketua IJI. Seperti halnya dengan masalah Sindh, pertentangan ini diperlebar menjadi isu nasional untuk kepentingan IJI. Nawaz Sharif membentuk Bank Daerah Punjab dan mengusulkan untuk membentuk stasiun televisi daerah. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut, ia menentang hak monopoli pemerintah federal. Kepentingan propinsi lain, sehingga seolaholah sebagai pertentangan antara pusat dengan daerah secara menyeluruh. Misalnya, Ketua menteri propinsi Baluchistan, Nawab Akbar Bugti tergabung dengan Nawaz Sharif dan menuntut seperti yang diinginkan oleh IJI, yaitu antara lain: pemberian otonomi yang lebih luas dan masalah bersidangnya dewan untuk kepentingan umum (Council of

Comman Interst – CCI). CCI adalah suatu badan yang terdiri dari empat ketua menteri propinsi ditambah dengan empat menteri pemerintahan federal, yang digariskan pada Undang-undang 1973, meskipun Undang-Undang tersebut belum pernah disahkan. Presiden Ghulam Ishak Khan setelah berkonsultasi dengan pimpinan Angkatan Bersenjata Pakistan akhirnya pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan keputusan No. 178, yaitu memberlakukan parlemen dan membekukan kabinet Benazir Bhutto. Adapun alasannya adalah: tidak berfungsinya badan legislatif; pertentangan antara pemerintah pusat dan propinsi; korupsi dan nepotisme; kegagalan menegakkan keamanan dan ketertiban di propinsi Sindh, dan pelanggaran konstitusi. Dengan bubarnya parlemen dan kabinet di tingkat federal, otomatis parlemen dan kabinet propinsi juga membubarkan diri. Dari uraian tadi terlihat bahwa Presiden Ghulam Ishaq Khan membubarkan kabinet pernah mengajukan mosi tidak percaya dengan tuduhan bahwa pemerintahan Benazir Bhutto korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah . Tetapi mosi yang dikemukakan dalam bulan November 1989 itu tidak memperoleh dukungan mayoritas, sehingga gagal menyingkirkan Benazir Bhutto. Namun, tuduhan yang sama terhadap Benazir Bhutto akhirnya muncul kembali dalam pengumuman Presiden Ghulam Ishaq Khan mengenai pembubaran kabinet Benazir Bhutto dan parlemen. Jelaslah bahwa kejatuhan pemerintahan Benazir Bhutto bisa dikatakan sebagai kudeta tanpa kekerasan, yang ujung tombaknya adalah Ghulam Ishak Khan tetapi diduga dalangnya adalah militer. Tindakan Ghulam Ishaq Khan untuk memecat pemerintahan Benazir Bhutto yang dinilai sebagai langkah yang berani, boleh jadi karena

adanya tekanan dari pihak militer yang memang sudah berkali-kali merebut kekuasaan di negeri itu. b. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990 Tanggal 6 Agustus 1990, Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Benazir Bhutto dari jabatan Perdana Menteri. Ia mengumumkan pembubaran pemerintahan Benazir Bhutto, dengan alasan utama berupa korupsi dan nepotisme. Sesudah melakukan pemecatan, Ishaq Khan menunjuk saingan Benazir Bhutto, Ghulam Mustafa Jatoi (58 tahun) sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan sementara sekaligus mempersiapkan pemilu pada bulan Oktober 1990. keempat Majelis Propinsi juga dibubarkan dan ditunjuk pula seorang Ketua Menteri sementara.90 Benazir Bhutto menolak mengakui pemerintahan Ghulam Mustafa Jatoi ini dan mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung agar pemerintahan Mustafa Jatoi dibubarkan dan diganti dengan kabinet peralihan yang netral. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan itu serta mengemukakan “sembilan tindakan pelanggaran dan kelalaian” yang memberikan alasan sah dan layak untuk memecat Benazir Bhutto. Pelanggaran dan kelalaian itu, misalnya: penyadapan telepon, penggunaan pesawat Angkatan Udara selama mosi tidak percaya di parlemen, kegagalan mendapat dukungan yang cukup di Majelis Tinggi yang didominasi oposisi, penyalahgunaan dana rahasia, kegagalan mengendalikan pelanggaran hukum di propinsi Sindh dan konfrontasi antara pusat dan pemerintah daerah.91 Ghulam Mustafa Jatoi adalah pemimpin Combined Opposition Party (COP). Ia memulai karir politiknya di Pakistan People’s Party (PPP) yang dibentuk oleh Zulfikar Al

90 91

Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007)”. Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007)”.

Bhutto dan pernah menjabat Ketua Menteri Propinsi Sindh pada masa pemerintahan Ali Bhutto. Namun ketika Benazir Bhutto mengambil alih kekuasaan pada 1988-1990, ia berperan sebagai tokoh oposisi bagi PPP.92 COP, sebagaimana namanya adalah kelompok yang berbeda-beda, yang lebih dipersatukan oleh rasa kebencian yang sama terhadap pemerintahan Benazir Bhutto ketimbang program alternatif yang lebih masuk akal. Dalam hal ini COP nampaknya melanjutkan tradisi Pakistan National Alliance (PNA) yang ikut membantu kejatuhan Zulfikar Ali Bhutto pada tahun 1977 serta Gerakan untuk Perbaikan Demokrasi (Movement for the Restiration of Democracy – MRD) yang berkapanye menentang Zia ul-Haq sejak tahun 1981.93 Pengikut terbesar dari COP adalah Islami Jamhoori Ittehad (IJI), aliansi sembilan partai yang terbentuk sesaat sebelum pemilu tahun 1988. anggotanya yang paling kuat dari aliansi ini adalah Pakistan Moslem League (PML), yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Mohammad Khan Junejo dan Ketua Menteri propinsi Punjab, Nawaz Sharif. Pengikut kedua yang terpenting dari COP adalah kaum Muhajir yang tergabung dalam Muhajir Qoumi Movement (MQM) dari Karachi dan beberapa daerah urban di propinsi Sindh. COP nempaknya ingin meningkatkan tekanannya pada hal-hal yang berkaitan dengan Islam secara resmi, namun pada prakteknya harus sedikit membedakan program kerjanya dari apa yang dimiliki PPP. Pertikaian politik pada saat itu berpusat pada manusianya ketimbang mengenai ideologinya. COP mengatakan bahwa ia sanggup menyelenggarakan pemerintah yang lebih handal dan lebih jujur. Namun pada 92

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 163. . Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”, atikel diakses pada 5 Oktober 2008, dari http://esaipolitiknurani.blogspot.com/2008_02_01_archive.html 93

kenyataannya tekanan-tekanan untuk mempererat partai koalisi yang terpecah belah jelas akan menjurus kepada sejenis tawar menawar politik dan perpindahan kaum politisi dari satu partai ke partai yang lain. Hal ini pada akhirnya tentu dapat mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan sipil di Pakistan. Setelah Presiden Ishaq Khan mengakhiri ketidakstabilan pemerintahan Benazir Bhutto, maka sesuai dengan konstitusi 1973 dan janji dari pemerintahan sementara untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu, dibentuklah panitia pemilu yang diketuai oleh hakim Naemuddin, untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu. 94 Ishaq Khan juga telah menjadwalkan pemilu tingkat nasional maupun pemilihan Majelis Propinsi yang masing-masing ditetapkan pada tanggal 24 Oktober 1990 dan tanggal 27 Oktober 1990.95 Walaupun Benazir Bhutto tetap mengkritik atas pemecatan dirinya, namun akhirnya dia bersedia untuk bertanding dalam pemilihan umum yang diharapkan “bebas dan

adil”.

Dalam

rangka

mengsukseskan

pemilu,

Komite

Pemilu

Nasional

mengumumkan “Code of Conduct” sebagai tata tertib pemilu guna menjamin pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur dan tidak memihak. Tata tertib itu antara lain; melarang mengganggu pertemuan yang diadakan partai lain; melarang menyampaikan pendapat atau bertindak dalam cara apapun yang sifatnya merugikan ideologi, kedaulatan, integritas dan keamanan negara; menghindari untuk secara langsung mengkritik partai-partai politik lain dan para pemimpinnya; menghindari pembicaraan yang menimbulkan rasa pertentangan antar masyarakat; melarang membawa senjata atau

94

Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”. Shahid Javed Burki, Pakistan: The Continuting Search for Nationhood, secound edition (San Francisko: Westview Press, 1993), h. 103. 95

peledak dalam setiap pertemuan; dan melarang membawa spanduk-spanduk yang mempunyai unsur intimidasi lebih dari 400 yard di tempat pemungutan suara. Untuk pelaksanaan pemilu tersebut telah terdaftar 80 partai politik, namun hanya 45 partai politik saja yang akhirnya dinilai memenuhi syarat serta menyampaikan tanda gambarnya. Di antara partai-partai tersebut yang paling dominan dan menentukan perimbangan politik di Pakistan hanya ada dua kelompok, yaitu aliansi Islam Jamhoori Ittehad (IJI) pimpinan Nawaz Sharif dan People’s Democratic Aliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto. IJI terdiri dari Pakistan Muslem League (PML), National People’s Party (NPP-Jatoi), Jamiat ul Ulama i Islami Fazlur Rahman (JUIF), Jamaat Islami (JI), Jama’at Ulema Pakistan (JUP), Awami National Party (ANP), Jamhoori Watan Party (JWP), Islamic Ahle Hadith Party, Jamaat ul Mashaikh, Azad Group dan Nizami Mustafa Group. Sedangkan People’s Democratic Alliance (PDA) terdiri dari Pakistan People’s Party (PPP), Tehrik I Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Jafariya dan Pakistan Moslem League (PML) Qasim Group.96 Selama masa kampanye, kedua kelompok tersebut masing-masing telah menyampaikan program dan janji-janji mereka sebagai platform kampanye. Program PDA misalnya dapat dilihat dari manifesto. Manifesto itu antara lain berisi rencana penghapusan Amandemen ke-8; pengajuan daftar kekayaan sebelum dan sesudah menjadi presiden, perdana menteri, anggota-anggota parlemen dan pejabat-pejabat tinggi, perbaikan nasib pengacara, kebebasan pers; meningkatkan peranan wanita; menjamin hak-hak golongan minoritas dalam pemerintahan. Manifesto politik berisi pula rencana pengembangan sektor industri, pendidikan dan kesehatan, meningkatkan peranan ulama;

96

Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The far East and Australasia 1993, 24 th edition (London: Europa Publications Limited, 1992), h. 803.

memberantas perdagangan obat-obat terlarang, peningkatan sarana angkutan, modernisasi angkatan bersenjata, pembangunan program nuklir untuk maksud damai, peningkatan politik luar negeri; peningkatan sarana untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas listrik, gas, telepon, tempet-tempat rekreasi, sekolah dan rumah sakit.97 Sedangkan program-program yang dicanangkan IJI, meliputi peningkatan perlindungan hak-hak azasi manusia; memperbaharui sistem peradilan sesuai dengan perinsip Islam; pembentukan pemerintahan yang jujur dan berwibawa; perbaikan lembaga kemasyarakatan; penyederhanaan cara mendapatkan pupuk, air minum, listrik, gas, telepon dan peningkatan pelayanan angkutan umum. Kendati masing-masing telah memiliki program konkrit seperti tercermin dari manifesto politiknya tadi, namun kenyataannya selama rapat-rapat umum, kedua kelompok besar tesebut lebih menfokuskan perdebatan pada isu saling menjelek-jelekan atau bersifat saling berusaha melemahkan posisi lawan saja. Keduanya jarang menyampaikan program-program yang sifatnya bermanfaat bagi rakyat.98 Selama kampanye kubu PDA selalu dihantui oleh tindakan pertanggungjawaban (acountability) yang dilancarkan oleh pemerintahan sementara. Tindakan itu sebagai langkah lanjut atas tuduhan yang dilancarkan Presiden Ghulam Ishaq Khan terhadap Benazir Bhutto yang mengakibatkan dipecatnya perdana menteri wanita itu. Pemerintah sementara ini melakukan penyidikan dan penangkapan para aktifis PPP sesuai dengan tuduhan yang dijadikan alasan Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk membubarkan pemerintahan Benazir Bhutto. Tidak hanya Benazir Bhutto yang diajukan ke pengadilan,

97

Riza Aulia, “Apa yang Terjadi di Pakistan?”, data diakses pada 29 Oktober 2008, dari http://hizbut-tahrir.or.id/2007/11/22/apa-yang-terjadi-di-pakistan/ 98 Lawrence Ziring, “Pakistan in 1990: The fail of Benazir Bhutto”, ASIAN Survey, Vol. XXXI, No. 2, Februari 1991, h. 119.

tetapi banyak juga tokoh-tokoh PPP yang diajukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan sesuai dengan tuduhan atas tindakan mereka selama dua puluh bulan pemerintahan PPP berkuasa. Tuduhan-tuduhan yang akan dibuktikan di depan pengadilan meliputi tindak pidana korupsi, teror politik terhadap musuh-musuhnya serta tindakan-tindakan tidak konstutisional. Waktu itu banyak tokoh PDA khususnya PPP, yang di tangkap dan ditahan sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkampanye di daerah para pemilihnya. Masalah pertanggungjawaban accountability mendapat reaksi keras tidak hanya dari PPP yang merasa dirugikan, tetapi juga memancing reaksi dari Amerika Serikat yang disampaikan melalui Duta Besar Amerika Serikat di Pakistan dengan mengkritik bahwa terjadi ketidakadilan karena diskriminatif hanya diberlakukan terhadap orang-orang PPP, dan bukan termasuk tokoh-tokoh pemerintah sebelumnya. Dari proses pelaksanaannya terlihat bahwa motif sebenarnya dari “pertanggungjawaban” accountability lebih bersifat politis, yaitu untuk menyingkirkan tokoh-tokoh PPP. Dengan demikian diharapkan dapat memperkuat kedudukan IJI. Pihak

PPP

tidak

hanya

mendapat

tekanan

dari

pemerintah

melalui

pertanggungjawaban accountability. Pemerintahan Jatoi ternyata juga semakin keras berusaha mengeliminir pengaruh Benazir Bhutto dengan menarik para pendukung utama Benazir untuk bergabung dalam pemerintahan sementara. Jatoi menarik empat orang mantan sekutu Benazir (Ghulam Mustafa Khan, Miraj Khalid, Mahdoem Shafiquzzaman dan Kazi Abdul Majed Abid), untuk menjadi menteri dalam pemerintahan sementara. Pengangkatan Makhdoem Shafiquzzaman ini menjadi pukulan berat bagi Benazir untuk mengumpulkan dukungan pada pemilu Oktober 1990. Makhdoem adalah keluarga kiyai

yang dipuja para pengikutnya (para santri) di propinsi Sindh dan Punjab. Sebagaimana para kiyai lainnya, keluarga Makhdoem ini juga mengikat tali keluarga dengan kaum Zamidar (tuan tanah muslim), yang juga berpengaruh besar pada rakyat pedesaan. 99 Pihak Angkatan Darat juga memberi peluang bagi kemenangan IJI. Hal ini terlihat dari penempatan pasukan Angkatan Darat di beberapa daerah para pemilih yang merupakan basis PPP. Alasan yang disampaikan pimpinan Angkatan Darat bagi penempatan pasukannya adalah untuk menangkal kemungkinan teror yang akan dilakukan pihakpihak tertentu yang ingin mengacaukan pemilu. Namun daerah-daerah tersebut adalah tempat potensial bagi PPP untuk meraih kemenangan, seperti di propinsi Sindh dan beberapa tempat di Punjab. Melihat gelagat demikian, ketua PPP Benazir Bhutto dari awal telah dapat meramalkan bahwa pemilu tersebut tidak akan dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, yaitu bebas, jujur dan tidak memihak. Proses pengadilan atas diri Benazir dan sejumlah mantan menterinya jelas merugikan PPP, terutama dalam menghadapi pemilu 1990 ini. Benazir tidak dapat berkampanye secara bebas karena harus menghadiri sidang pengadilan. Hal ini berpengaruh pada semangat para pendukung tokoh-tokoh PPP lainnya karena Benazir merupakan tokoh senteral PPP yang pada pemilu 1988 terbukti mampu memobilisasi massa. Dengan absennya Benazir dari beberapa kampanye PPP, tokoh-tokoh PPP lainnya tidak terlalu yakin akan dapat menarik simpati massa. Selain itu, selama pengadilan berlangsung, pers resmi cenderung pula membuat versi yang sudah mengarah pada “pengadilan oleh media”. Kondisi ini jelas akan berpengaruh besar sebab turunnya kredibilatas Benazir dan tokoh-tokoh PPP lain di hadapan masyarakat Pakistan. Media

99

Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h. 80.

massa (pers) adalah pembentuk “opini publik” yang sangat ampuh. Sehingga apa yang diinformasikan oleh pers tentang diri Benazir Bhutto akan langsung diterima mentahmentah oleh masyarakat. Akhirnya pemilu tanggal 24 Oktober 1990 dimenangkan IJI dengan memperoleh 105 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan untuk mengisi 217 kursi di parlemen. Sementara PDA yang didominasi PPP hanya memenangkan 45 kursi. Dalam pemilu ini, MQM tampil lagi sebagai kekuatan ketiga terbesar dengan memenangkan 15 kursi, ANP 11 kursi, JUIF 11 kursi, dan partai-partai kecil dan calon Independen 30 kursi (lihat tabel 2). Dari hasil pemilu tesebut terlihat IJI (bersama-sama dengan sekutunya) berhasil memimpin perolehan suara dengan menjadi mayoritas.

Tabel 2. Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional di Pakistan, 24 Oktober 1990100

NO.

NAMA PARTAI

Perolehan Kursi

1. Islamic Jamhoori Ittehad (IJI)

105 kursi

2. Pakistan People’s Party (PPP)

45 kursi

3. Mohajir Qoumi Movement (MQM)

15 kursi

4. Awami National Party (ANP)

11 kursi

5. Jamaati Ulamai Islami (JUI)

11 kursi

6. Lainnya: - Nation People’s Party (NPP), 100

Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 82.

- Sind National Party (SNP), - Tehrik i Nifaz Fiqh i Jafrida (TNFJ), - dan partai-partai kecil independent.* Total

30 kursi 217 kursi

* NPP, SNP< TI, TNFJ adalah pendukung People’s Democratic Alliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto.

Kemenangan IJI ternyata tidak hanya terjadi pada tingkat nasional. Pada pemilihan tingkat propinsi tanggal 27 Oktober 1990, ternyata menghasilkan pola sama. IJI dan sekutunya memperoleh 325 kursi dari 473 kursi di keempat propinsi, PDA ternyata gagal memenangkan suara mayoritas propinsi asal Benazir Bhutto sendiri, Sindh. Alhasil, dengan kemenangan telak, IJI pun membentuk pemerintahan propinsi di Punjab. IJI juga menunjukkan kekuatannya di propinsi Sindh dan Baluchistan serta membentuk pemerintahan koalisi dengan ANP di NWFP. Untuk pertama kalinya pula, IJI dapat membentuk pemerintahan di empat propinsi.

C. Upaya Benazir Bhutto Menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif Dengan keberhasilan IJI memperoleh suara meyoritas maka pencalonan Nawaz Sharif sebagai Perdana Menteri Pakistan semakin terbuka. Kendati sebenarnya ada dua calon dari IJI ditembak mati oleh pendukung oposisi, namun Benazir Bhutto dan kelompoknya tetap menuduh IJI lah sebagai pihak yang curang dalam pemilu 1990. selain PPP, partai-partai lain seperti Jamiat Ulema Pakistan. (JUP) pimpinan Ahmad Noorani ikut pula melontarkan ucapan bahwa selama pemilu dibanyak tempat telah

terjadi manipulasi yang dirancanakan sebelumnya. Presiden Ghulam Ishaq Khan dianggap telah gagal memenuhi janjinya untuk menjamin pemilu dilaksanakan dengan bebas, jujur dan tidak memihak.101 Namun demikian pemilu 1990 tetap dianggap sah apalagi setelah diperkuat oleh para Peninjau international yang netral, National Democratic Institute (NDI) yang menyatakan bahwa pemilu tersebut telah terlaksana secara bebas, adil, dan tanpa hal-hal yang menyimpang secara

serius. NDI adalah suatu lembaga dari partai demokrat

Amerika yang berpusat di Washington yang sengaja datang untuk memonitor pelaksanaan pemilu tersebut. Delegasi NDI terdiri dari 40 orang ahli dari 17 negara, seperti Amerika Serikat, Sri Langka, Senegal, Turki, Kenya, Namibia, Jepang, Cekoslovakia, Bulgaria, Swedia dan Afrika Selatan, dan lain-lain. 102 Sebagai tindak lanjut dari menangnya IJI, dilaksanakanlah beberapa proses konstitusional di parlemen, yaitu pemilihan Ketua Majelis Nasional, pemilihan perdana menteri, pemberian mosi percaya pada Perdana Menteri terpilih dan pelantikan perdana menteri. Dalam sidang Majelis Nasional tanggal 6 November 1990, telah dilaksanakan pemilihan Perdana Menteri. Untuk pemilihan tersebut telah diajukan dua orang calon, masing-masing Nawaz Sharif dari IJI dan Mohammad Afzal Khan dari PDA. Dalam pemilihan melalui sistem terbuka tersebut, Nawaz Sharif mantan Ketua Menteri Punjab terpilih secara mutlak dengan mengumpulkan 153 suara. Sedangkan Afzal Khan hanya memperoleh 39 suara.103 Nawaz Sharif menang mudah dalam pemilihan Perdana Menteri

101

“Ghulam Ishaq Khan”, data diakses pada 12 November 2008, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Ghulam_Ishaq_Khan 102 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 61-62. 103 Kholda Naajiyah, “Seputar Krisis Politik di Pakistan”, data diakses pada 13 November 2008, dari http://politisi.blogspot.com/2007_06_01_archive.html

karena aliansi IJI yang dipimpinnya merupakan mayoritas di Majelis Nasional. Lebih dari itu partainya juga berkoalisi dengan MQM, ANP, JUIF, dan JWP. Nawaz Sharif memulai jabatannya sebagai Perdana Menteri dengan kekuatan yang cukup besar. Dia memimpin 2/3 mayoritas kursi di Majelis Nasional dan memiliki dukungan yang besar di Senat. Keempat propinsi juga diperintah oleh orang-orangnya. Ia pun memperoleh keyakinan dan dukungan dari Presiden Ghulam Ishaq Khan dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mirza Aslam Beg.104 Untuk melaksanakan kebijakan pemerintahannya, Perdana Menteri Nawaz Sharif telah membentuk kabinet yang terdiri dari 19 orang menteri dan 4 orang penasehat Perdana Menteri. Dari sembilan belas orang menteri tersebut, terdapat sembilan muka lama semasa pemerintahan sementara. Sebagai politisi, Sharif juga cerdik dengan berhasil menyatukan komponenkomponen partai yang saling berlawanan dalam aliansi IJI yang berkuasa. Nawaz Sharif juga sukses membentuk konsensus antara pusat dan propinsi mengenai masalah sensitif seperti alokasi sungai Indus dan pembagian pemasukan federal. Kedua pemufakatan yang baik ini dianggap sebagai salah satu keberhasilan diplomatik yang sangat penting, karena hal ini tidak terpecahkan selama lebih dari 17 tahun. Tindakan pertama Nawaz Sharif sebagai Perdana Menteri adalah penghapusan keadaan darurat negara yang diberlakukan sejak tanggal 6 Agustus 1990. dalam pidato pertamanya, ia menyerukan untuk menjauhkan diri dari “pembalasan politik” dan mengobarkan semangat untuk bermusyawarah, pengampunan dan menahan diri. Ia juga bersumpah untuk mengatasi semua masalah-masalah yang besar dengan dasar kerja sama.

104

Rais Ahmad Khan, “PAKISTAN IN 1992: Waiting for Change”, ASIAN SURVEY, Vol. XXXIII, No. 2, February 1993, h. 130.

Bermula dari hal ini, pemerintahan Nawaz Sharif dinilai oleh banyak pengamat akan lebih stabil dari berbagai pemerintahan sebelumnya sejak pertengahan tahun 1960an. Namun sebenarnya ia tetap dihadapkan pada berbagai masalah dan beberapa isu-isu yang kontroversial, baik dibidang politik maupun ekonomi. Dengan ini beralasan karena walaupun Perdana Menteri sering menyerukan untuk rekonsilasi, namun Benazir Bhutto ternyata secara terus menerus lebih suka mengambil sikap konfrontasi. PDA mengancam untuk mengadakan pengunduran diri secara masal dan memboikot pemerintahan federal dan Dewan Propinsi Sindh. Memang meskipun Benazir telah kalah dalam pemilu 1990, namun tidak berarti ia langsung hilang dalam kancah politik Pakistan. Benazir Bhutto bertekad untuk tetap di gelanggang politik, meskipun berbagai kesulitan melilitnya semenjak dipecat dari jabatan Perdana Menteri. Kesulitan politik dan hukum yang menghadangnya, tidak akan menghentikan kegiatannya sebagai politikus Pakistan. Pada bab ini akan dibahas upaya Benazir Bhutto sebagai Oposisi untuk menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif dengan mempengaruhi Opini Publik, Menggalang

Demonstrasi

dan

mendesak

untuk

diadakannya

Pemilu,

berikut

penjelasannya. C. 1. Mempengaruhi Opini Publik Selama Nawaz Sharif memerintah Pakistan sejak kemenangannya dalam pemilu 1990, Benazir Bhutto bertindak sebagai pemimpin oposisi. Benazir mulai melancarkan aksi-aksi politiknya untuk merongrong kewibawaan pemerintah Nawaz Sharif. Berbagai cara dilakukan mulai dari tuduhan-tuduhan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah yang telah mendiskreditkan PPP dalam kancah politik Pakistan, menyebarkan “White

Paper” yang berisi tentang kecurangan dalam pemilu 1990, melakukan aksi mogok makan sebagai protes terhadap kecurangan yang dilakukan pemerintah atas partainya, sampai melakukan “Long March”. Tak lama setelah pemilu 1990, Benazir memulai aksi protesnya terhadap pemerintah dengan menyebarkan “White Paper” yang berisi tuduhan bahwa selama pemilu pemerintah telah melakukan manipulasi yang memungkinkan kelompok Nawaz Sharif menang mutlak. Oleh karena itu, menurut Benazir Bhutto keberadaan pemerintah Nawaz Sharif tidaklah absah. Oposisi juga meminta agar masalah pro dan kontra mengenai pembentukan pemerintahan nasional serta perdebatan-perdebatan mengenai pidato Presiden pada Sidang Gabungan Parlemen yang dianggap berat sebelah dan tidak mencerminkan semua golongan untuk diperdebatkan kembali di parlemen. Belum lagi ketika terjadi Perang Teluk yang pecah pada bulan Januari 1991, pemerintahan Nawaz Sharif sempat menghadapi krisis kepercayaan karena keputusannya yang menyanggupi pengiriman 11.000 tentara Pakistan untuk bergabung dalam pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat. Keputusannya ini menimbulkan gelombang protes anti Amerika Serikat. Hal ini dieksploitasi oleh beberapa partai termasuk PPP untuk mengorganisir protes dan unjuk rasa pro-Irak.105 Posisi Nawaz Sharif dalam hal ini memang sulit, karena disatu pihak dia harus mendapat dukungan dari rakyat, yang menentang kebijakannya dalam Perang Teluk. Sedangkan di lain pihak

harus menjaga hubungan baik dengan Saudi Arabia dan

Amerika Serikat yang merupakan donor utama Pakistan. Selain itu pengiriman pasukan ke Saudi Arabia juga sebagai realisasi dari perjanjian antara kedua negara tahun 1982, di mana keduanya akan saling membantu apabila kemerdekaan dan kedaulatannya 105

Sharif Al Mujahid, “Pakistan History, The Far East And Australia 1993”, h 801.

terancam. Meskipun keputusan tersebut pada akhirnya telah mengakibatkan keduanya partai agama Jamaat Islami (JI) pimpinan Qazi Hussain Ahmad dari koalisi IJI dan mundurnya Menteri Agama Pakistan Abdussatar Niazi dari Jama’at Ulama Pakistan (JUP), pemerintah masih berhasil mempertahankan posisinya dari protes keras tersebut.106 Setelah melakukan perjalanannya ke luar negeri selama sebulan, Benazir Bhutto mulai melancarkan serangannya lagi kepada pemerintah dengan tuduhan bahwa pemerintah Pakistan telah mencoba menyisihkan peranannya sebagai pemimpin oposisi serta memfitnah suaminya telah melakukan tindakan kriminal. Benazir Bhutto juga menuduh pemerintah ingin menyingkirkannya dari Majelis Nasional Pakistan dan partai politik, dengan cara melancarkan beberapa tuduhan pemerintah terhadap ketidak becusan Benazir Bhutto dalam memerintah Pakistan, seperti antara lain: korupsi, nepotisme, ktidakmampuan mengatasi masalah dalam negeri Pakistan, pelanggaran konstitusi, kegagalan mengendalikan pelanggaran hukum dan tata tertib di propinsi Sindh konfrontasi antara pusat dan daerah. Polisi juga mengajukan tuntutan kepada beberapa mantan anggota kabinet Benazir Bhutto dengan tuduhan telah berkomplot membunuh Altaf Hussain, pemimpin MQM. Ditengah kritikan-kritikan Benazir Bhutto ini, pemerintah Nawaz Sharif berhasil menguasai isu yang paling kontroversial mengenai pemberian status legal kepada Syariah, sebuah Undang-Undang resmi yang menerima hukum Islam. Hal tersebut disampaikan dalam Sidang Majelis Nasional pada pertengahan April 1991. keberhasilan ini menjadi acuan bagi panitia terpilih untuk meninjau kembali dan mempertimbangkan usul-usul perubahan. Perubahan Undang-Undang Syariah diterima oleh Majelis pada 106

Sharif Al Mujahid, “Pakistan History, The Far East and Australia 1995”, h. 833.

pertengahan bulan Mei 1991 dan disetujui oleh Senat dua minggu kemudian Akhirnya, Presiden Ghulam Ishaq Khan mensahkan Undang-Undang Syariah yang menyatakan AlQuran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai hukum tertinggi di Pakistan.107 Menurut Pemerintah, Undang-Undang tersebut ditujukan untuk meng-Islamkan sistem ekonomi dan pendidikan Pakistan, serta akan mempercepat proses keadilan bagi rakyat dan menjadikan Pakistan sebagai negara Islam yang sejahtera108 Undang-Undang tersebut didukung oleh kaum fundamentalis yang bergabung dalam Jamaat Islami (IJI). Tetapi Benazir Bhutto yang bertindak selaku pemimpin kubu oposisi, menilai undang-undang tersebut sebagai kemunduran dan inkounstitusional. Bahkan menurut Benazir Bhutto, undang-undang tersebut akan mengandung sentiman atau pertikaian di antara para ulama dan sekte-sekte keagamaan. Sekte minoritas Syiah, sejumlah intelektual dan kelompok-kelompok kaum feminis juga menentang pemberlakuan undang-undang yang disetujui Majelis Nasional (16 Mei 1991) dan disahkan Senat (28 Mei 1991) itu. Bahkan partai radikal JUI (Jamiat ul Ulema i-Islami) menganggap undangundang tersebut hanya sebagai lelucon, dengan alasan undang-undang itu tak melarang praktek riba dan pemberian bunga atas pinjaman.109 Persamaan-persamaan anti pemerintah di kalangan partai-partai oposisi telah menimbulkan semangat persatuan, yang diwujudkan dalam All Parties Conference (APC) dipimpin ketua Pakistan Democratic Party (PDP), Nawabzada Nasrullah Khan. APC ini bukan merupakan aliansi, tetapi suatu kerja sama antara beberapa partai yang bertujuan

107

Ghulam Ishaq Khan”, data diakses pada 12 November 2008, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Ghulam_Ishaq_Khan 108 Yudi Prianto, “Setelah Masa Berkabung Usai”, artikel diakses pada 12 November 2008, dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/1988/09/03/LN/mbm.19880903.LN28105.id.html 109 Hafid Usman, “Political Parties and Leaders” artikel diakses pada 12 November 2008, dari http://surf.de.uu.net/bookland/compendia/cia/factbook/fields/political_parties_and_leaders.html

untuk menggalang persatuan dalam menghadapi pemerintah. Kerja sama tesebut terdiri dari: PDP, PPP, Tehrik Nifaz Firqah Jafariya, Tehrik i-Istiqlal, PML Qasim Group, Qaumi Mashrik Awami (QMA), Mazdoor Kissan Party (MKP), dan Hizb-e-Jebeb ini dimaksudkan untuk mengoreksi dan mengkritik kebijakan pemerintah. Upaya yang dilakukan di luar parlemen adalah melalui unjuk rasa, pawai demonstrasi, dan rapat-rapat umum. Hal ini tentu saja sangat mendukung People Democratic Alliance (PDA) sebagai partai oposisi dalam menghadapi pemerintah. Banyak cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi agitasi kaum oposisi. Untuk mengurangi pengaruh PPP di propinsi Sindh yang dianggap sebagai ancaman utama terhadap kedudukannya misalnya, Nawaz Sharif mengangkat Jam Saddiq Ali, seorang mantan pimpinan PPP yang kurang puas pada Zulfikar Ali Bhutto – sebagai Ketua Menteri. Selama masa pemerintahan Jam Saddiq Ali ini, dilakukan berbagai cara untuk menghancurkan kekuatan PPP, baik di parlemen maupun di luar parlemen. Banyak pemimpin PPP termasuk suami Benazir, Asif Zardari ditahan dengan berbagai tuduhan. Demikian pula di dalam tubuh IJI, Nawaz Sharif telah melakukan pembersihan kabinetnya terhadap orang-orang yang dianggap terlalu dekat oposisi atau terlalu vokal menentang kebijkan pemerintahannya, seperti Menteri Dalam Negeri Zahid Sarfraz dan Menteri Komunikasi Murtaza Jatoi.110 Pada bulan Juli 1991 pemerintah telah pula mengeluarkan Amandemen ke-12. Amandemen ke-12 ini sebelumnya telah disetujui oleh Majelis Nasional dan Senat, dan pada akhirnya disetujui oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan sebagai Undang-Undang No. 15/1991. Di keluarkannya amandemen tersebut berawal dari situasi keamanan dan

110

“Asif Ali Zardari”, data http://id.wikipedia.org/wiki/Asif_Ali_Zardari

diakses

pada

12

November

2008,

dari

ketertiban yang sedemikian buruknya yang tidak bisa diatasi dengan segala perangkat kepolisian dan perundang-undangan yang ada. Dengan disetujuinya Amandemen ke-12 ini telah menjadi bagian dari konstitusi 1973 dan harus ditaati oleh semua pihak tanpa kecuali dan menjadi dasar hukum bagi pembentukan peradilan khusus di keempat propinsi. Menurut

pemerintah amandemen

ini

merupakan

senjata ampuh untuk

menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat, di mana proses peradilan terhadap pelaku kejahatan dipercepat. Namun oposisi meragukan dari amandemen tersebut, karena kalau sekedar menampung kriminal sebenarnya sudah ada pengadilan. Oleh karena itu oposisi beranggapan bahwa Amandemen ke-12 lebih dimaksudkan untuk menghukum lawan-lawan politik dan atau kelompok oposisi. Dugaan oposisi ternyata benar, karena setelah berlakunya Amandemen ke-12 tersebut maka pemerintahan propinsi terutama di propinsi Sindh, melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh dan anggota-anggota PPP, yang ditangkap sebagai pembunuh, teroris dan penculik. Untuk memprotes pemerintahan Nawaz Sharif yang dianggapnya akan menghancurkan partainya ini, Benazir dan beberapa tokoh oposisi lantas melakukan aksi mogok makan pada Minggu tanggal 4 Agustus 1991. Aksi mogok makan selama 12 jam di luar gedung parlemen ini sebagai protes menentang aksi penahanan dan penyiksaan 5.000 pendukung partainya.111 Bahkan bersamaan dengan tuduhan-tuduhan Benazir tenteng terjadinya kecurangan dalam pemilu 1990 yang menyebabkan kerugian besar bagi PPP, ternyata muncul pengakuan kecurangan dari Naveed Malik mantan Penasehat Perdana Menteri Nawaz Sharif

111

itu

mengaku telah berbuat

curang, dengan

Rosyadi, “Perjalanan Benazir Bhutto”, artikel diakses pada 12 November 2008, dari http://suryoele.wordpress.com/page/2/

mengkoordinasikan dua sel pemilu yang dibentuk untuk memanipulasi hasil pemilu agar Benazir Bhutto (PPP) tidak menang. Dengan demikian terungkaplah sebagian dari kecurangan-kecurangan pemilu 1990. Benazir Bhutto menuduh bahwa Presiden Ishaq Khan lah sebagai penanggung jawab utama dari semua kejahatan ini. Bahkan sebagai aksi protes bagi pemerintah, Benazir berhasil juga membujuk 18 anggota parlemen PPP untuk mengundurkan diri.112 Setahun sesudah pemecatannya, Benazir Bhutto mengangkat pula isu skandal ratusan juta dollar yang melibatkan partai yang sedang berkuasa, sebagai tindakan balas dendam atas isu yang sama ditimpakan pada pemerintahannya, 1988-1990. Isu skandal yang tersebut terutama dituduhkan pada lembaga-lembaga koperasi simpan pinjam yang dijalankan para anggota partai berkuasa, yang berhenti membayar setoran dan memohon bantuan pemerintah. Koperasi-koperasi itu sebagai salah satu contohnya adalah Lembaga Keuangan Koperasi Nasional (Nation Industrial Credit Financial Corporation – NICFC), dimiliki anggota partai IJI pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif. 113 Benazir Bhutto menuding Nawaz Sharif dan Menteri Dalam Negeri Shujaan Hussain telah mengambil pinjaman dalam jumlah besar dari koperasi untuk membiayai usaha pribadi mereka. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Koperasi Masyarakat tahun 1952 yang tidak membenarkan untuk memberikan pinjaman kepada Perseroan Terbatas (PT). Ada dugaan kuat bahwa perusahaan milik Perdana Menteri dalam semalam meminjam Rs. 300 juta dari Muslim Commercial Bank dalam 112

Serangan-serangan Benazir Bhutto, ditanggapi Nawaz Sharif dalam sebuah pidato hari Kemerdekaan Pakistan, 14 Agustua 1991 di Lahore dengan kemarahan, kebencian dan ancaman. Pada saat yang sama, Nawaz Sharif telah pula mendeklarasikan dirinya sebagai pembawa panji prinsip-prinsip Ali Jinnah. Juga pada hari ulang tahun kematian Zia Ui Haq tiga hari kemudian, ia mengangkat dirinya tersebut sebagai penjaga warisan Zia Ui Haq, lihat Rais Ahmad Khan, ASIAN SURVEY, h.131. 113 Zacky Khairul Umam, “Pakistan dan Demokrasi yang Tersisih,”artikel diakses pada 12 November 2008, dari http://klikinter.blogspot.com/2007_12_01_archive.html

rangka membayar kembali hutang-hutangnya kepada NICFC. Dinyatakan juga bahwa jaminan atas pinjaman tersebut dinaikan secara tidak wajar, sertifikat-sertifikatnya dipalsukan dan pinjaman-pinjaman baru disetujui tanpa melihat adanya keganjilankeganjilan pada pinjaman-pinjaman sebelumnya. Salah satu Perseroan Terbatas yang dimaksud PDA adalah milik Perdana Menteri, The Itterfaq Group of Industries, yang memberi hak para pemegang deposito NICFC sejumlah Rs. 61 juta dengan diskon sangat besar. Namun, pada akhirnya para pemegang deposito tersebut justru kehilangan harapan untuk menerima uangnya kembali.114 Perdana Menteri membentuk komisi untuk menyelidiki sebab-sebab kebangkrutan bank-bank koperasi dan mencari segala cara dan upaya untuk mengembalikan uang para penyetor. Tetapi komisi tersebut gagal bertindak cepat, bahkan hanya memfokuskan usahanya untuk membersihkan nama Ittefaq Industries tanpa memikirkan cara untuk memecahkan inti masalah. Pemerintah benar-benar telah dipermalukan dengan tuduhantuduhan ini, sebab persoalannya hampir sama dengan tuduhan Presiden atas Benazir Bhutto dan kelompoknya yang kasusnya justru sedang dalam proses pengadilan. C. 2. Menggalang Demonstrasi Dalam hal ini menurut Benazir, masalah nasional hanya dapat diselesaikan melalui wakil-wakil rakyat yang murni, baik di Majelis Nasional, Senat, maupun Majelis Propinsi. Lebih jauh, Benazir Bhutto pada awal September 1992 menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menuntut pengunduran pemerintahan Nawaz Sharif, seperti rapat di kota Taxila (35 kilometer dari kota Islamabad) dan kota Marri (sebelah utara

114

Mohammad Waseem, “

ASIAN SURVEY”, h. 628.

Islamabad).115 Sikap Benazir ini didukung hampir seluruh kalangan oposisi. Mereka yang tergabung dalam PDA itu, berdemonstrasi menentang kepemimpinan Nawaz Sharif. Dalam arak-arakan yang berlangsung dipimpin Benazir Bhutto, demonstran bergerak dari Rawalpindi menuju Islamabad sejauh 15 kilometer, sambil meneriakkan agar pemilu dipercepat. Namun polisi Pakistan telah menggagalkan rencana demonstrasi secara besarbesaran tersebut. Sebelumnya, pemerintah sebenarnya telah melarang Benazir Bhutto memimpin demonstrasi di parlemen. Bahkan pemerintah telah memberlakukan larangan berkumpul lebih dari lima orang di Islamabad selama dua bulan sejak hari itu juga. Namun Benazir mengatakan akan menentang perintah itu dan meneruskan rencana Long Marchnya dengan rute sepanjang 18 kilometer dari Rawalpindi ke gedung parlemen di Islamabad pada 18 November 1992.116 Ribuan personil para militer dan polisi menutup kota Islamabad dan mengepung rumah Benazir Bhutto guna mencegah rencana Long Marchnya ke gedung parlemen. Tentara menggelar ratusan meter kawat berduri di antara pepohonan di sepanjang rute menuju parlemen. Sementara itu ribuan polisi dan personil para militer beresnjata senapan berderet di sepanjang jalan, memblokir persimpangan-persimpangan utama dan memeriksa kartu identitas. Polisi menahan ribuan anggota PPP di seluruh Pakistan, mulai dari desa-desa terpencil di Kashmir hingga ke Karachi. Selain para anggota PPP, Benazir Bhutto dan para pemimpin oposisi lainnya juga ditahan. Bahkan sebelumnya, polisi setempat pula menembakkan berlusin-lusin bom gas air mata terhadap mantan Perdana

115

Triyono Lukmantoro, “Negara-Bangsa dan Politik Kehidupan”, data diakses pada 13 November 2008, dari http://danielpinem.wordpress.com/pemikiran- -september-1992-2/ 116 Arif Budiman, “Pemerintahan Nawaz Sharif”, data diakses pada 13 November 2008, dari http://zhyntativ.blogspot.com/

Menteri Pakistan itu ketika menuju Rawalpindi, di mana ribuan rakyat menunggunya untuk bersama-sama menuju gedung parlemen di Islamabad guna menuntut pemilu baru dan penggantian pemerintahan. Setelah ditangkap, Benazir Bhutto ditahan di kota Karachi serta dilarang menginjakkan kakinya di Islamabad selama 30 hari. Di Karachi, ia dan ibunya, Nusrat Bhutto ditahan di rumah masing-masing yang sudah dipersiapkan menjadi penjara kecil oleh Departemen Urusan Dalam Negeri. Semua peraturan penjara diberlakukan di rumah. Meskipun gagal melaksanakan Long March, namun Benazir Bhutto tetap berhasil membuat Islamabad menjadi lumpuh. Bahkan sekalipun tanpa Benazir, demonstrasi tetap berlangsung dan melebar bukan hanya di Islamabad dan Karachi tetapi juga di kota-kota besar lainnya seperti Lahore dan Peshawar. Akibatnya polisi terpaksa menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa. Dalam kerusuhan tersebut belasan orang cedera serius dan ratusan lainnya terpaksa ditahan.117 Para pejabat pemerintah tampaknya terpancing oleh provokasi Benazir Bhutto. Mereka, termasuk Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Bagi Nawaz Sharif, Long March yang dimobilisir Benazir Bhutto memang menimbulkan berbagai kekhawatiran. Sharif menyadari bahwa partainya sudah tidak populer lagi, terutama dengan adanya beberapa kelompok yang memisahkan diri dari koalisi IJI, seperti Jamaat Islami (JI) dan Pakistan Moslem League (PML) Chatta group. Sementara itu di mata pers, Nawaz Sharif juga mendapat nama buruk akibat tindakannya yang mencoba menyingkirkan beberapa wartawan terkemuka, seperti Ghulam Hussain dan Shareen Sehbai. Berbagai tindakan Benazir Bhutto tadi ternyata memberi keuntungan

117

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 153.

pada dirinya yang memang sedang berusaha menarik perhatian, baik di dalam negeri maupun dari kalangan masyarakat international. Gagal melakukan Long March, Benazir Bhutto mengubah rencana menjadi suatu perjalanan kereta api sepanjang 1600 kilometer dari selatan ke Utara menuju Rawalpindi dan diteruskan ke gedung parlemen di Islamabad guna berkampanye untuk menggulingkan pemerintahan Nawaz Sharif. Benazir dan ibunya ingin memborong tiket kereta api untuk para pemimpin partai yang tergabung dalam PDA, tetapi ditekan pemerintah dengan alasan kehabisan tempat duduk. Namun akhirnya pemerintah tidak dapat mencegahnya lagi karena pada tanggal 23 November 1992, kereta api Khyber Mail berhasil membawa Benazir Bhutto dan para pemimpin partai yang tergabung dalam PDA ke kota-kota Selain Pakistan, Hyderabad dan Bahawalpur. Ribuan massa mengelu-elukan kedatangan para pemimpin oposisi tersebut, terutama ketika Benazir Bhutto mengunjungi Lahore dengan berkunjung ke tempat ziarah Muslim untuk berdoa demi keberhasilan kampannyenya untuk menggulingkan pemerintah.118 Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemerintah kemudian menyatakan kesediaannya untuk berdialog dengan oposisi, namun dengan syarat oposisi harus mengakui keberadaan parlemen dan tidak akan melakukan provokasi terhadap pemerintah. Oposisi ganti mengajukan syarat: pemerintah harus membebaskan semua tahanan politik; menarik semua tuduhan terhadap oposisi; mempekerjakan kembali buruh-buruh atau pegawai negeri yang telah dipecat; serta diadakannya pemilu yang bebas dan jujur untuk pembentukan pemerintahan nasional. Sebenarnya keinginan Nawaz Sharif untuk berdialog dengan oposisi tersebut masih dihalangi beberapa tokoh IJI, termasuk Presiden Ishaq Khan. Upaya kerja sama 118

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Isla, h. 155-159.

antara oposisi dan pemerintah hanya terlihat “berhasil” di propinsi Sindh, terutama dibentuknya pemerintahan baru dipimpin Muzzafar Hussain Shah. Sedangkan di propinsi-propinsi lain apalagi di propinsi Punjab kerja sama sulit diwujudkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dialog tersebut masih belum berhasil diwujudkan karena antara kedua belah pihak saling memberikan persyaratan yang sulit diterima oleh masingmasing pihak. Mantan Perdana Menteri sementara Ghulam Mustafa Jatoi telah berusaha menjembatani perbedaan antara Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan pemimpin oposisi Benazir Bhutto. Upaya ini belum menampakan hasil. Satu-satunya instrument yang bisa mengarah kepada pendekatan antara pemerintah dengan oposisi adalah dengan diterimanya tawaran pemerintah oleh Benazir Bhutto untuk menjadi Ketua Standing Committee Parlemen Luar Negeri. Pencalonan Benazir Bhutto tersebut adalah atas inisiatif Menteri Luar Negeri Mohammad Siddique Khan Kanju. Inisiatif tersebut diterima baik oleh Nawaz Sharif, dengan menyatakan bahwa tawaran pemerintah ini tulus dan beritikad baik, yang diharapkan akan dapat membuka saling pengertian dan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan oposisi mengenai masalah nasional. Benazir Bhutto meskipun menanggapi pemilihannya tersebut sebagai tanda-tanda yang baik dalam membentuk hubungan kerja sama yang positif antara pemerintah dengan oposisi, namun hal ini tidak dapat dikaitkan dengan usaha kearah dialog antara oposisi dengan pemerintah. Apalagi Komite urusan Luar Negeri ini tidak mempunyai otoritas yang memadai, karena hanya mampunyai kekuasaan administratif dan keuangan saja. untuk itu, Benazir Bhutto tetap akan terus menuntut pemerintah agar segera dilaksanakan pemilu yang baru. Namun,

Majelis Nasional pun akhirnya secara bulat memilih ketua oposisi Benazir Bhutto sebagai Ketua Panitia tetap Majelis Nasional urusan Luar Negeri, tanggal 12 januari 1993. 119 C. 3. Mendesak untuk diadakannya Pemilu Dengan ini terlihat jelas bahwa berbagai tekanan yang dilakukan Benazir Bhutto (oposisi) untuk menjatuhkan pemerintahan Nawaz Sharif semakin hari kian gentar, baik di forum parlemen maupun di luar parlemen. Di parlemen, usaha-usaha oposisi selalu gagal karena mayoritas suara dipegang oleh partai pemerintah (IJI). Sedangkan di luar parlemen Juga tidak menunjukan hasil karena pihak pemerintah dan Angkatan Bersenjata ikut terlibat dalam menggagalkan usaha oposisi tersebut. Beberapa kali oposisi mengadakan “Long March” yang dimulai pada tanggal 18 November 1992, dari kotakota besar seperti Karachi, Multan, Lahore dan Peshawar menuju ibukota Islamabad. Kondisi Long March didukung tidak hanya aliansi PDA yang berintikan PPP pimpinan Benazir Bhutto, tetapi juga beberapa aliansi oposisi lain seperti National Democratic Alliance (NDA) dan Islamic Democratic Front (IDF). Namun selalu gagal menembus pertahanan pemerintah yang melibatkan Angkatan Bersenjata. Selama Long March telah dilakukan protes-protes keras terhadap pemerintah, baik melalui media massa maupun parlemen, namun tampaknya pemerintah masih kuat untuk meredam gejolak politik tesebut. Perdana Menteri Nawaz Sharif dalam mengimbangi Long March oposisi telah mengadakan rapat-rapat umum di daerah. Hal ini dilakukan karena Nawaz Sharif khawatir akan kehilangan pengaruh akibat Long March oposisi tersebut. Bahkan pemerintah telah berusaha untuk melakukan pendakatan terhadap oposisi dengan mengadakan diolog antara pemerintah dengan oposisi. Namun 119

Usman Hamid, “Perjalanan Benazir Bhutto”, artikel diakses pada 14 November 2008, dari http://www.ciptapangan.com/index.php?action=view_all_news&module=newsmodule&src=%40random44 bde58d708c5

usaha pemerintah tersebut tidak berhasil karena adanya persyaratan dari kedua belah pihak yang tidak bisa diterima oleh masing-masing pihak maupun pihak lain. Meskipun Benazir Bhutto berusaha semaksimal mungkin dalam upaya-upaya menggoyahkan pemerintahan Nawaz Sharif, tetapi selama Presiden dan Angkatan Darat. Masih dalam satu barisan dengan pemerintah, sulit bagi oposisi untuk menjatuhkan Perdana Menteri Nawaz sharif walaupun dengan dalih atau cara apapun. Oposisi berharap bahwa kampanye menentang Presiden itu akan menunjukkan bahwa sistem pemerintah yang dijalankan oleh pemerintah Nawaz Sharif tidaklah lebih baik dari apa yang telah dijalankan oleh pemerintahan Benazir Bhutto.

120

Oleh karena

itu, oposisi berpendapat bahwa untuk mengatasi memburuknya keamanan dan ketertiban Pakistan perlu diambil tindakan drastis, yaitu penggantian Presiden dan Perdana Menteri. Oposisi mendesak agar segera diadakan pemilu bebas dan jujur di bawah pemerintahan sementara yang netral tanpa adanya intervensi Angkatan Bersenjata.

120

Shahid Javed Burki, “Pakistan’s Cautious Democtatic Course, Current History”, h. 122.

BAB IV KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK TAHUN 1993

Nawaz Sharif akhirnya mengalami nasib yang sama dengan Benazir Bhutto. Presiden Ghulam Ishaq Khan yang pada masa sebelumnya merupakan sekutu dekat Nawaz Sharif, akhirnya membubarkan pemerintahan Nawaz Sharif pada tanggal 18 April 1993 dengan tuduhan korupsi, melakukan malperaktek di bidang administrasi pemerintahan, serta dituduh berbuat subversive terhadap kekuasaan Presiden. 121 Atas dasar tuduhan-tuduhan itulah kemudian dia dipecat dan Majelis Nasional dibubarkan. Selain itu pemilihan umum yang baru ditetapkan untuk dilaksanakan bulan Juli 1993. Berakhirnya kekuasaan Nawaz Sharif dalam memimpin Pakistan (1990-1993) ini, tentu saja membawa kegembiraan bagi Benazir Bhutto yang memang telah lama berambisi untuk menyingkirkan Nawaz Sharif dari kekuasaannya. Kegembiraan tersebut menjadikan lengkap setelah Ghulam Ishaq Khan pada akhirnya sepakat mundur dari panggung politik Pakistan bersama-sama dengan Nawaz Sharif. Hal itu memperlancar

121

“Biography of Nawaz Sharif ,” data ini diakses pada 13 November 2008, dari http://www.pmln.org.pk/profile.php

Benazir Bhutto untuk meraih kekuasaan melalui pemilu yang akan segera dilaksanakan. Apalagi militer sebagai unsur yang paling menentukan dalam politik Pakistan ternyata mengambil sikap yang lebih realistis, dengan membiarkan terlaksananya pemilu secara jujur dan adil. Pemilu tersebut akhirnya dimenangkan PPP. Benazir Bhutto pun akhirnya tampil kembali ke puncak kekuasaan di Negara Pakistan pada tanggal 19 Oktober 1993. Untuk mendapatkan gambaran secara lebih jelas tentang faktor faktor keberhasilan Benazir Bhutto dalam usahanya meraih kekuasaan, pada bab ini akan diuraikan lebih luas mengenai perpolitikan Pakistan pada waktu itu, mulai dari konflik antara Ishaq Khan-Nawaz Sharif yang menyebabkan kejatuhan Nawaz Sharif, sikap politik militer menjelang pemilu sampai terlaksananya pemilu Pakistan tahun 1993 yang akhirnya mampu mengantarkan Benazir Bhutto ke kursi Perdana Menteri untuk kedua kalinya di Republik Pakistan.

A. Konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif Salah satu faktor keberhasilan Benazir Bhutto meraih kembali kekuasaan menjadi Perdana Menteri adalah dengan adanya konflik Ishaq khan-Nawaz Sharif, dimana kedua tokoh ini yang tadinya bersama-sama melawan Benazir Bhutto untuk mengganjal untuk tidak terpilih menjadi menteri pada pemilu 1990. tetapi pada akhirnya kedua tokoh ini pun dihadapkan pada perselisihan yang menyebabkan permusuhan di antara keduanya. Konflik antara Ishaq Khan-Nawaz Sharif sebenarnya berakar pada Amandemen ke-8, dimana Presiden dapat memecat Perdana Menteri, dengan berlakunya Amandemen ke-8 sistem parlementer telah berubah menjadi kekuasaan “tunggal” di bawah Presiden dengan kekuasaan di bidang eksekutif, yudikatif dan militer. Sedangkan sistem

parlementer sesungguhnya Presiden tidak bisa memecat Perdana Menteri karena wewenang memecat Perdana Menteri hanya berada di tangan parlemen.

Dengan adanya konflik ini sangatlah menguntungkan Benazir Bhutto sebagai pemimpin Oposisi, disini Benazir dapat menyikapi konflik tersebut dengan baik yang menyebabkan peluang untuk menggulingkan pererintahan Nawaz Sharif semakin nyata. A. 1. Pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan. Tindakan Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Nawaz Sharif terjadi terutama setelah kemunculan Nawaz Sharif di televisi yang menuduh Presiden Ghulam Ishaq Khan telah mengganggu stabilitas pemerintahan terpilih yang dipimpinnya. Pemecatan ini ternyata membuat “goncangan” politik yang luar biasa. Perdana Menteri menolak keputusan Presiden itu. Ia menyatakan bahwa dirinya mempunyai dukungan yang sangat besar di Majelis Nasional dan oleh karenanya tidak akan mundur ataupun menyerah. Bahkan Sharif menantang Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk “bertarung” di pengadilan. Maka percekcokan pun memuncak diantara dua orang yang paling berkuasa di Pakistan, yang telah berlangsung sejak berbulan-bulan. Selama lebih kurang dua tahun Nawaz Sharif telah bekerja sama dengan Ghulam Ishaq Khan dan Angkatan Bersenjata dalam menjalankan pemerintahan. Namun keadaan berubah pada tahun 1992, ketika Nawaz Sharif mulai secara sepihak menjalankan roda pemerintahan. Bahkan akhirnya timbul pula ketidak cocokan tentang pengangkatan pejabat-pejabat senior di Angkatan Bersenjata, Lembaga Yudikatif dan pertahanan sipil.122 Percekcokan yang paling seruis mencuat ketika Kepala Staf Angkatan Darat,

122

Deepak Tripathi, “Pakistan in Turmoul, h. 102.

Jenderal Asif Nawaz Janjua mendadak meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1993.123 Nawaz Sharif dan Ghulam Ishaq Khan masing-masing memiliki kepentingan atas pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, karena pengaruhnya yang besar dalam perpolitikan Pakistan. Nawaz Sharif diketahui telah berusaha mengusulkan beberapa nama atas pilihannya sendiri untuk menggantikan jabatan tersebut. Nawaz Sharif kesal karena Presiden sering campur tangan dalam hal kewenangannya sebagai Perdana Menteri di dalam menjalankan pemerintahan. Ia ingin menaruh orangnya sendiri pada posisi tersebut, yaitu orang yang akan mendukungnya, atau paling tidak akan tetap netral. Namun ketiga nama yang diusulkan Nawaz Sharif ditolak Presiden Ghulam Ishaq Khan dan sekutunya di Angkatan Bersenjata. Presiden menginginkan seorang sekutu yang terpercaya, tidak hanya untuk menjaga kekuasaan Presidensial yang besar, sebagai akibat dari Amandemen ke-8 dalam konstitusi Pakistan, tetapi juga untuk membantunya terpilih kembali untuk masa jabatan kedua dalam pemilihan Presiden yang akan dilakukan 10 bulan berikutnya. Presiden Ghulam Ishaq Khan akhirnya menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, melompati enam oring Letnan Jenderal yang senior tanpa konsultasi dengan Perdana Menteri. 124 Walaupun kedua pemimpin itu sepertinya mencapai konsensus dalam pemilihan tersebut, bentrokan kepentingan antar keduanya menjadi jelas bagi umum, Nawaz Sharif

123

“Asif Nawaz”, data diakses pada 13 November 2008, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Asif_Nawaz 124 Tahir Amin,” Pakistan in 1993: Some Dramatic Changes”, ASIAN SURVEY, Vol. XXXIV, No. 2, February 1994, h. 192.

mengumumkan bahwa ia menginginkan agar Amandemen ke-8 dihapuskan, sehingga kekuasaan akan kembali ke Perdana Menteri dan parlemen. A. 2. Kontroversi Amandemen ke-8 Percekcokan antara Presiden dengan Perdana Menteri di Pakistan sebenarnya berakar pada Amandemen ke-8 yang telah diberlakukan oleh Jenderal Zia Ul Haq pada tanggal 2 Maret 1985.125 Amandemen tersebut memungkinkan Presiden mempunyai kekuasaan untuk menghapus atau membatalkan kabinet pemerintahan terpilih hasil pemilu, serta memungkinkan Presiden menunjuk Dewan Militer atau Pejabat Militer untuk menjalankan pemerintahan. Nawaz Sharif berpendapat bahwa bentuk pemerintahan pada saat ini telah melangkahi

kewenangannya

sebagai

kepala

pemerintahan.

Sistem parlementer

sesungguhnya tidak memperbolehkan Presiden untuk campur tangan dalam urusan pengadilan pemerintahan sehari-hari dan tidak bisa memecat Perdana Menteri kerena wewenang memecat Perdana Menteri hanya berada di tangan parlemen, namun akibat berlakunya Amandemen ke-8, system parlementer telah berubah menjadi kekuasaan “tunggal” di bawah Presiden dengan kekuasaan di bidang eksekutif, yudikatif, militer dan pemerintahan daerah. Berkat Amandemen ke-8 dalam konstitusi, Presiden juga diberikan hak prerogratif untuk mengangkat pejabat-pejabat tinggi di kalangan Angkatan Bersenjata, pengangkatan gubernur untuk empat propinsi dan pengangkatan hakim pada Mahkamah Agung. Namun penunjukan oleh Presiden tersebut harus mendapat persetujuan dari angkatan bersenjata. Dengan demikian berarti bahwa militer selalu berada di belakang

125

Yudi Prianto, “About the Islamic Republic of Pakistan”, data ini diakses pada 13 November 2008, dari http://zhyntativ.blogspot.com/2008_07_01_archive.html

penobatan aktor-aktor politik di Pakistan. Angkatan Bersenjata adalah jaminan yang paling canggih bagi stabilitas keamanan negara tersebut. Presiden menyatakan bahwa adalah tugasnya untuk melindungi konstitusional, termasuk di dalamnya Amandemen ke-8, yang ia warisi dari Zia ul-Haq dan merupakan “kunci pengaman” dari hukum militer dan kuatnya kedudukan Presiden. Dampaknya adalah para birokrat yang dekat dengan presiden seringkali tidak menunjukkan rasa hormatnya terhadap Perdana Menteri Nawaz Sharif. Sementara itu para Ketua Menteri propinsi serigkali melecehkannya sampai-sampai tidak menyebutnya saat Perdana Menteri Nawaz Sharif mengunjungi mereka. Sebaliknya jika para ketua Menteri tersebut berkunjung ke Islamabad, mereka hanya mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden tetapi tidak kepada Perdana Menteri. Bahkan sejak penunjukannya, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru mengadakan kunjungan kehormatan sebanyak hanya dua kali ke Perdana Menteri, namun sedikitnya sudah enam kali pertemuan dengan Presiden. Tidak jelas apa yang menyebabkan Nawaz Sharif memilih berseteru dengan Presiden, padahal dia tidak memiliki 2/3 suara mayoritas di Majelis Nasional yang diperlukan untuk menghapus suatu amandemen. Ia juga tidak memiliki hubungan yang baik dengan PPP, partai oposisi utama pimpinan Benazir Bhutto yang juga tidak mengakui hasil pemilu tahun 1990. Dalam konflik tersebut Presiden akhirnya merekayasa atau perpecahan di dalam partai yang berkuasa, yaitu Pakistan Muslim League (PML) yang menghasilkan banyak menteri yang mengundurkan diri. Beberapa orang menteri yang mengundurkan diri adalah Menteri Negara Urusan Zakat Haji Gul Sher, Menteri perencanaan pembangunan Hamid Naser Chatta, Menteri Lingkungan Hidup Anwar Saifullah dan penesehat resmi

setingkat menteri Asad Junejo. Atas tekanan ghulam Ishaq Khan, para menteri kabinet mulai mengucilkan Nawaz Sharif. Nawaz Sharif yang mulai menyadari kesalahannya, kemudian berusaha menawarkan Ghulam Ishaq Khan suatu nominasi resmi dari partai yang berkuasa (IJI) untuk menjadi Presiden yang kedua kalinya, tetapi Presiden menolak tawaran damai itu. Memperkirakan dia akan segera dipecat, Nawaz Sharif melakukan suatu pidato yang keras di televisi pada tanggal 17 April 1993 yang menyalahkan Presiden sebagai “akar” dari krisis politik yang terjadi, dan menyatakan: “I will not resign and Iwill not take dictation.126 [“Saya tidak akan mundur dan saya tidak akan mau didikte.”] Sebaliknya pada 18 April 1993 Presiden menyatakan, pidato Nawaz Sharif itu sebagai suatu aksi “sebversi” dan menuduh pemerintahan Nawaz Sharif telah berbuat korupsi, nepotisme, melecehkan lawan-lawan politik, kurangnya transparansi dalam proses swastanisasi. Bahkan Ghulam Ishaq Khan secara implisit juga menuduh pemerintah sebagai bertanggung jawab atas kematian mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Asif Nawaz Janjua, sehubungan dengan pernyataan janda Jenderal tersebut bahwa suaminya tidak meninggal secara wajar, melainkan karena suatu pembunuhan politis akibat diracun oleh persekongkolan yang melibatkan Brigjen Imtiaz (kepala Intelejen) dan Nisar Ali (penasehat Nawaz Sharif). 127 Kedua orang tersebut lantas dicopot dari jabatannya atas desakan Ghulam Ishaq Khan. Ghulam Ishaq Khan kemudian menginstruksikan pada Nawaz Sharif agar melakukan penyelidikan atas laporan janderal Asif Nawaz Janjua tersebut. Namun lagi126

Tafsir Amin,’ ASIAN SURVEY”, h. 193. Firman Noor, “Bhutto, Sosialisme, dan Islam”, artikel ini diakses pada 13 November 2008, dari http://jawabali.com/ada/pakistan/ 127

lagi Nawaz Sharif menunjukkan sikap menentang. Sehingga Ghulam Ishaq Khan semakin mantap untuk mengeluarkan keputusan memecat Nawaz Sharif. Dengan menggunakan kekuatannya yang didukung oleh Amandemen ke-8, Ghulam Ishaq Khan memecat Perdana Menteri tinggal 18 April 1993, membubarkan Majelis Nasional, dan mengumumkan pemilu baru yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 juli 1993 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri sementara, Mir Balakh Sher Mazari. PPP menjadi unsur utama dalam pemerintahan sementara. Namun pemerintahan sementara itu hanya bertahan enam minggu. Mahkamah Agung atas dasar petisi tertulis dari Nawaz Sharif, menyatakan bahwa keputusan Presiden tersebut adalah illegal dan tidak konstitusional. Mahkamah Agung dengan perbandingan suara 10 : 1 mengumumkan bahwa tindakan Presiden memecat Nawaz Sharif dan membubarkan Majelis Nasional adalah telah melampaui batas-batas kekuasaannya, dan oleh karenanya lantas mengembalikan kekuasaan Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Majelis Nasional. Tak lama setelah kembali menjabat Perdana Menteri, akhir bulan Mei 1993, Nawaz Sharif segera menempatkan kembali 137 anggota parlemen pusat di Islamabad dan parlemen propinsi Punjab dengan dikawal beberapa polisi federal. Kebijakan ini mendapat tantangan keras dari Mansor Watto Ketua Menteri Punjab, dengan cara mengirim polisi Punjab serta menagkap beberapa orang kiriman Nawaz Sharif. Bahkan Mansor Watto dengan dukungan gubernur Punjab, Chaudhury Altaf Hussein segera membubarkan parlemen propinsi. Tindakan tersebut jelas ditentang Nawaz Sharif. Sebab, jika ia menerima maneuver politik Chaudhury Altaf Hussein ini berarti Nawaz Sharif harus melaksanakan

pemilu baru bagi parlemen propinsi itu. Padahal masa pemerintahan dan masa tugas parlemen hasil pemilu baru berakhir tahun 1995. keberatan Nawaz Sharif ini mendapat dukungan dari Pengadilan Tinggi Punjab, sehingga pada tanggal 28 Juni 1993 keberadaan majelis itu dikukuhkan kembali.128 Namun pemerintahan Punjab Pro-Ishaq Sharif untuk memperkuat posisinya di propinsi asalnya itu. Pada saat yang sama Majelis propinsi North West Frontier Province (NWFP) dibubarkan, dan suatu mosi tidak percaya diajukan terhadap Ketua Menteri propinsi Sindh. Dengan memanipulasi perpolitikan propinsi, Presiden kemudian mengisolasi pemerintah pusat pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif. Pemerintahan Nawaz Sharif lantas berusaha mengeluarkan pasal 234 di parlemen, dalam upaya mendapatkan kembali kendali atas Punjab. Krisis makin menjadi ketika Angkatan Darat memutuskan untuk menolak menerima perintah dari pemerintah pusat tanpa persetujuan Prsiden. Angkatan darat memiliki kepentingan untuk berpihak pada Presiden, mengingat bahwa Jenderal Abdul Waheed Kakar adalah orang pilihan Ghulam Ishaq Khan. Apalagi antara Angkatan Bersenjata dengan pemerintahan Nawaz Sharif tampaknya juga timbul perselisihan karena kecewa dengan hasil operasi militer di propinsi Sindh dalam rangka memberantas kelompok bandit dan pejabat politik. A. 3. Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif Akibat pertentangannya dengan Presiden sejak februari 1993, pendukung Nawaz Sharif terpecah menjadi dua kubu pro-Nawaz Sharif dan Pro Ishaq Khan. 129 Perpecahan ini tentunya akan berakibat fatal dalam pemilu berikutnya karena sebelum pecah kedua kubu tersebut adalah merupakan satu kekuatan melawan Benazir Bhutto. Bahkan dengan 128

“North-West Frontier Province”, data ini diakses pada 13 November darihttp://en.wikipedia.org/wiki/North-West_Frontier_Province 129 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 198.

2008,

adanya kedua kubu tersebut, bukan mustahil kubu yang pro-Ishaq Khan nantinya akan mendukung Benazir Bhutto dalam pemilu 1993. Benazir Bhtuto saat itu mendapatkan posisi menguntungkan, karena baik Presiden maupun Perdana Menteri berusaha mendapatkan dukungannya ia kemudian mengambil kebijakan dua-jalur, yaitu ia bersedia berkompromi dengan pemerintah dan menerima tawaran jabatan tersebut dari pemerintah Nawaz Sharif adalah karena ia ingin menggalang kekuatan dengan Nawaz Sharif untuk bersama-sama menghapuskan Amandemen ke-8 yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen hasil pemilu dan memecat Perdana Menteri yang selama ini mereka anggap telah menghalangi kekuasaan Perdana Menteri dalam memimpin pemerintahan. Dengan kedekatannya terhadap pemerintah, ia saat itu juga berusaha untuk mengeluarkan suaminya, Asif Zardari dari penjara. Akan tetapi diluar dugaan ia sekaligus juga melakukan tawar menawar rahasia dengan Presiden, dan meyakinkan Ghulam Ishaq Khan bahwa ia akan mendukung Presiden untuk melawan Nawaz Sharif maupun untuk pemilihan Presiden berikutnya, dan sebagai balasannya ia akan mendapatkan pemilu secepatnya. Pertanyaan yang muncul, kenapa Benazir Bhutto mendukung pemecatan Nawaz Sharif padahal tindakan Presiden Ghulam Ishaq Khan yang seperti ini pernah dikecamnya ketika ia mengalaminya pada tahun 1990? Alasannya adalah: Pertama, Ishaq Khan berjanji akan memberi beberapa jabatan Menteri dalam kabinet sementara kepada kubu Benazir. Kedua, Ishaq Khan berjanji untuk segera melaksanakan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan Nawaz Sharif. Benazir berharap bahwa lewat pemilu mendatang, partainya akan menang. Ketiga, apabila partainya menang dalam pemilu 1993, Benazir Bhutto berharap dirinya

bisa tampil lagi menjadi Perdana Menteri Pakistan. Posisi Benazir yang ambivalen ini memperkeruh persaingan kekuasaan antara Perdana Menteri dan Presiden. 130 Lebih jauh lagi, sikap benazir Bhutto ini akhirnya juga telah menyulut kembali permusuhan Benazir Bhutto-Nawaz Sharif, yang semula sempat mereda. Sebenarnya dukungan Benazir Bhutto terhadap Ghulam Ishaq Khan tidaklah menguntungkan dirinya, misalnya: pertama, jika saja ia tetap konsisten pada sikapnya, tentu kekuatan Benazir Bhutto-Nawaz Sharif akan mampu menghapus amandemen ke-8 yang selama ini dianggap telah menghambat terwujudnya kehidupan demokratis di Pakistan. Kedua, Ishaq Khan ternyata telah melanggar kesepakatan dengan memberikan jatah jabatan menteri tidak lebih dari seperempat jumlah kabinet. Benazir merasa kecewa, meskipun suaminya telah pula menduduki salah satu dari jabatan menteri tersebut. Lebih sial lagi, pemerintahan Nawaz Sharif yang telah dipecat oleh Ishaq Khan ternyata berkuasa kembali berkat keputusan Mahkamah Agung Pakistan yang telah membatalkan tindakan pemecatan yang dilakukan Ishaq Khan. Ketiga, sikap Benazir Bhutto yang kelihatan sekali berambisi untuk meraih kekuasaan dengan tindakannya menyetujui pemecatan pemerintahan Nawaz Sharif, dikhawatirkan rakyat akan berpikir dua kali untuk memilihnya dalam pemilu karena ternyata ia bukan seorang demokrat tulen seperti yang telah ia gambarkan selama ini.

B. Sikap Politik Militer Dalam percaturan politik Pakistan terdapat tiga kekuatan sentral penentu jalannya pemerintahan, yaitu militer, presiden dan perdana menteri. Oleh karena itu, siapapun

130

Kholda Naajiyah, “Seputar Krisis Politik di Pakistan”, artikel diakses pada 13 November 2008, dari http://politisi.blogspot.com/2007_06_01_archive.html

yang menjadi perdana menteri Pakistan sudah seharusnyalah berusaha menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan hubungan perdana menteri dengan militer dan presiden dapat terjalin dengan serasi. Apabila gagal maka sangatlah mungkin terjadi suatu persaingan bahkan permusuhan antara tiga kekuatan sentral tersebut, yang seringkali berakhir dengan jatuhnya pemerintah. Sikap politik militer pada waktu itu merupakan salah satu faktor yang menguntungkan bagi Benazir Bhutto dalam keberhasilan meraih kembali kekuasaan. Dalam konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif peran militer terlihat jelas. Pertentangan Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif akhirnya dapat diselesaikan berkat campur tangan militer. Masing-masing pihak akhirnya bersepakat untuk mengundurkan diri dan menyelenggarakan pemilu lewat pemerintahan sementara. Selain itu militer yang seharusnya bersikap netral kesemua pihak, tetapi dalam kenyataannya militer lebih dekat dengan presiden, hal ini dikarnakan Jenderal Abdul Waheed Kakar yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat adalah orang pilihan Presiden. Dengan demikian Ghulam Ishaq Khan bergandengan dengan militer. Otomatis militer pada waktu itu tidak suka terhadap pemerintahan Nawaz Sharif yang berseteru dengan Presiden Ishaq Khan. Momen inilah yang dimanfaatkan Benazir Bhutto untuk merongrong pemerintahan Nawaz Sharif yang sudah tidak didukung lagi oleh militer. B. 1. Kuatnya pengaruh Militer di Pakistan Media massa barat umumnya yakin bahwa Ghulam Ishaq Khan tidak sendirian dalam menggeser Nawaz Sharif. Seperti telah diketahui bahwa peran militer sangatlah dominan dalam kehidupan politik Pakistan. Meskipun dalam konflik politik Ishaq KhanNawaz Sharif, militer “menyatakan” bersikap netral, tetapi kalau melihat profil petinggi

militernya, sulit mengatakan bahwa militer benar-benar netral. Yang benar adalah militer tidak begitu suka terhadap Nawaz Sharif, sehingga tidak lagi memberikan dukungan kepadanya. Dalam konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif pun peran militer akhirnya terlihat jelas. Setelah beberapa usaha perdamaian gagal misalnya, pertentangan kekuatan antara Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif akhirnya dapat diselesaikan berkat campur tangan militer lewat upaya diplomasi yang dilancarkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar. Masing-masing pihak akhirnya bersapakat untuk mengundurkan diri pada tanggal 18 Juli 1993.131 Amandemen ke-8 merupakan alat yang memberikan kekuasaan mutlak pada Presiden. Sementara dalam kenyataannya Presiden adalah boneka militer karena hampir selalu meminta persetujuan pihak militer dalam tindakkannya. Karena itu selama Amandemen ke-8 masih berlaku, militer akan tetap sangat menentukan dalam panggung politik Pakistan. B. 2. Ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif Militer merasa Nawaz Sharif telah mencampuri urusan militer dan militer menjadi tidak suka terhadapnya. Sebetulnya hubungan Nawaz Sharif dengan militer mulai renggang ketika terjadi perselisihan yang menyangkut masalah tindakan militer untuk mengatasi kekerasan dan perselisihan etnis di Sindh dengan menempatkan satuan Angkatan Darat di Sindh. Terlebih lagi ketika Jenderal Asif Nawaz Janjua meninggal dunia dan Presiden Ghulam Ishaq Khan menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar. Dibanding Waheed, Asif Nawaz Janjua lebih independen dan tidak terlalu mencampuri urusan politik. Sejak Abdul Waheed Kakar menjadi Kepala Staf Angkatan Darat itulah, 131

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 202.

Ghulam Ishaq Khan bergandengan dengan militer, mengingat Abdul Waheed Kakar adalah pilihan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Di bawah Abdul Waheed Kakar itulah Inter Service Intellegence (ISI), sebagai agen rahasia militer menjadi semakin kuat. Memang keterlibatan militer dealam urusan politik sangat kuat. Salah satu contohnya adalah bagaimana ISI turut membentuk pengelompokan baru dalam koalisi Islami Jamhoori Ittehad (IJI) yang didominasi oleh Pakistan Muslim League (PML) pimpinan Nawaz Sharif sehingga menyebabkan pecahnya IJI menjadi yang pro-Nawaz Sharif dan yang pro-Ishaq Khan. Ketidaksukaan militer atas Nawaz Sharif makin membesar setelah Nawaz Sharif terpilih kembali sebagai pimpinan PML, yang memberinya basis kekuasaan dan kekuatan yang lebih luas. Sadar bahwa Presiden dan militer siap membidikan senjata kearahnya, Nawaz Sharif mengumumkan bahwa ia akan meminta parlemen untuk menghapus Amandemen ke-8 dari konstitusi yang memberi presiden kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan perdana menteri, mencalonkan dan menunjuk Kepala Staf Angkatan Darat serta kekuasaan untuk membubarkan parlemen. Benazir Bhutto sebagai pemimpin oposisi mengencam untuk melakukan “Long March” di ibukota dengan ratusan ribu pendukungnya kecuali jika segera diadakan pemilu. Khawatir dengan akan konsekuensi yang akan terjadi, yaitu takut akan terjadinya pertumpahan darah yang dapat menimbulkan instabilitas politik dan keamanan di Pakistan, maka Jenderal Waheed Kakar berupaya untuk mengadakan pembicaraan dengan kedua kelompok yang saling bertentangan. Pada awalnya tidak satupun (baik Nawaz Sharif maupun Ishaq khan) menyetujui adanya pemilu, kecuali jika salah satu pihak mengundurkan diri terlebih dahulu. Pemecahannya menurut Jenderal Waheed

Kakar adalah sangat sederhana, yaitu kedua belah pihak harus berjalan secara seiring setelah menyetujui tentang siapa yang akan menjadi pemimpin pada pemerintahan sementara. Akhirnya dipilih politisi yang jujur dan netral Moeen Qureshi, seorang mantan Wakil Presiden Bank Dunia yang tinggal di Singapura. 132 Ia dianggap sebagai satusatunya orang yang dapat diterima semua pihak. Semua pejabat pengganti yang ditunjuk, termasuk para gubernur dan para ketua menteri dari keempat propinsi adalah para pejabat pensiunan militer. Sedangkan sebagai Presiden sementara dipilih Ketua Senat Wasim Sajjad. Kemudian pemerintahan sementara tersebut menetapkan pelaksanaan pemilu baru pada 6 Oktober 1993.133 Perdana Menteri Qureshi mengatakan pemilihan umum yang jujur dan adil serta memberikan kesempatan sama kepada semua pihak akan menjadi “prioritas utama” pemerintahannya. Penunjukan Moeen Qureshi sebagai pejabat Perdana Menteri sementara merupakan kejutan besar bagi Pakistan. Moeen Qureshi tidak memiliki hubungan dengan negara dan pemerintahan Pakistan dalam waktu yang lama, mengingat ia bekerja sebagai seorang konsultan sekaligus tinggal di Singapura. Tampaknya, dia dipilih oleh kelompok militer-birokrat karena sifat non-politisnya, sehingga ia bisa diterima oleh partai yang berkuasa maupun oposisi. Juga karena ia dianggap sebagai orang yang cocok untuk

132

Pada awalnya Moeen Qureshi menolak karena sudah meninggalkan Pakistan selama 40 tahun dan hanya mengenal sedikit seluk beluk politik di Pakistan. Tetapi pengalamannya yang sedikit itulah yang justru diinginkan. Setelah akhirnya ia menyetujui tawaran tersebut, maka ia berangkat ke Islamabad pada tanggal 18 Juli 1993 sore hari. Malamnya Nawaz Sharif membubarkan Majelis Nasional serta mengundurkan diri, beberapa menit kemudian Nawaz Sharif mengambil sumpah jabatan Moeen Qureshi sebagai perdana Menteri sementara dan kemudian Ishaq Khan mengundurkan diri pula. Kemudian Ketua Senat, Wasim Sajjad diangkat sebagai Presiden sementara. Yosef Ardi, “krisis Politik Pakistan”. 133 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 216.

memperbaiki hubungan Pakistan dengan Amerika Serikat dan institusi-institusi finansial Internasional, yang dapat memberikan pinjaman kepada Pakistan. 134 Dengan telah dibubarkannya pemerintahan Nawaz Sharif dan adanya rencana pemerintahan sementara untuk menyelenggarakan pemilu, maka besar kemungkinan Benazir Bhutto akan dapat kembali berkuasa di Pakistan. Apalagi Nawaz Sharif sebagai lawan utamanya tidak lagi didukung oleh partai-partai agama, militer, dan terlebih lagi oleh Presiden. Untuk itu pemilu 1993 tidak ada pilihan bagi militer selain menginginkan pemilu dapat terselenggara dengan jujur dan adil.

C. Keberhasilan Benazir Bhutto Menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya Benazir Bhutto dalam keberhasilan meraih kembali kekuasaan menjadi Perdana Menteri tidaklah mudah dan melalui proses yang panjang. Menjelang pemilu dilaksanakan kampanye di beberapa daerah pemilihan. Delapan belas hari sebelum pemilu, terjadi pertengkaran antara Benazir Bhutto dengan adik lelakinya, Murtaza Bhutto. Pertengkaran tersebut mungkin akan mengancam popularitas Benazir Bhutto sendiri dalam tubuh Pakistan People’s Party (PPP), Murtaza, 38 tahun, mulai mencalonkan diri saat ia berada di Damaskus, Suriah. Ia mengajukan diri untuk menjadi anggota parlemen propinsi Sindh. Tetapi tindakannya ini tidak direstui kakaknya, yang mengejutkan adalah sikap ibu mereka, Nusrat Bhutto, yang bersama dengan Benazir Bhutto menjabat sebagai ketua PPP justru sangat mendukung pencalonan anak lelakinya itu sehingga kehadiran Murtaza semakin memperjelas perpecahan yang terjadi dalam keluarga Bhutto.135 Akhirnya pertengkaran itu telah menyebabkan perpecahan dalam

134 135

Tahir Amin,” ASIAN SURVEY”, h. 195. Tahir Amin,” ASIAN SURVEY”, h. 200.

tubuh PPP. Untuk pertama kalinya PPP pecah menjadi dua faksi, kendati Murtaza memakai platform Shaheed Bhutto Committee (SBC). Peristiwa ini memang mengurangi wibawa keluarga Bhutto. Namun di sisi lain, justru dengan bentroknya Benazir Bhutto dengan Murtaza akan dapat mematikan isu nepotisme yang dituduhkan pada Benazir Bhutto. Bukan hanya keluarga Bhutto, sepuluh hari menjelang pemilu juga terjadi perpecahan didalam kubu Nawaz Sharif. Nawaz Sharif yang pernah mengalahkan Benazir Bhuttto dalam pemilu 1990 melalui aliansi sembilan partai, Islami Jamhoori Ittehad (IJI), namun sebagaian besar dari koalisi tersebut akhirnya membelot pada saat pemerintahan Nawaz Sharif baru berjalan selama 30 bulan. IJI pecah karena perdebatan kepentingan diantara partai yang meninggalkan koalisi IJI adalah Nasional People’s Party (NPP-Jatoi) Jamiat-ul Ulama-i-Islam Fazlur Rahman (JUIF) dan Jamaat Islami (JI). Bahkan PML sebagai partai terbesar dalam IJI juga pecah akibat pertentangan antara Ishaq Khan dengan Nawaz Sharif, sehingga menjadi dua kubu yaitu yang pro-Ishaq Khan dan kubu yang pro-Nawaz Sharif. Disini akan dijelaskan proses dan terselenggaranya Pemilu 1993. Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif kembali memperebutkan “mahkota” perdana menteri Pakistan. Peristiwa ini merupakan persaingan yang ketigakali sejak berakhirnya pemerintahan militer pimpinan Zia ul-Haq. C. 1. Terselenggaranya Pemilu Tahun 1993 Pemilu untuk Majelis Nasional direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 1993 dan untuk Majelis Propinsi pada tanggal 9 Oktober 1993.136 Tahun 1988, Benazir dengan ditopang kharisma mendiang bapaknya, Zulfikar Ali Bhutto, berhasil 136

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 202.

mengalahkan Sharif. Namun, pada pemilu 1990 Benazir gagal mengulangi suksesnya, akibat dianggap telah gagal memimpin Pakistan. Walhasil, Benazir yang sempat memimpin Pakistan selama 20 bulan itu akhirnya tergeser oleh kekuatan Nawaz Sharif. Setelah Sharif dipaksa mundur dari jabatannya, Benazir-Sharif kembali berhadapan di Pemilu 1993 guna mengulangi adu kekuatan. Benazir nampak optimis bahwa dirinya bakal menang. Mengingat kekuatan Sharif sedang rapuh akibat perseteruannya dengan mantan sekutu utamanaya, Ishaq Khan.137 Namun sebagian besar pengamat mengatakan bahwa kelemahan yang paling parah bagi prospek pemilihan Nawaz Sharif dalam pemilu adalah akibat perpisahannya dengan tokoh vokal Qazi Hussain Ahmed pimpinan Jamaat Islami (JI). Qazi Hussain Ahmed telah membentuk Pakistan Islamic Front (PIF), yang mulai menempatkan diri sebagai kekuatan politik ketiga setelah PPP dan PML. Selain itu, kelompok PML sempalan pimpinan Hamid Naser Chatta justru telah bergabung dengan PPP. Hal ini tentu dapat memperkuat kubu Benazir terutama di propinsi terpadat Punjab, yang merupakan kartu penentu kemenangan dalam pemilu. Sementara propinsi Sindh masih tetap berada dalam genggamannya, Benazir Bhutto kemudian mulai melakukan pengaturan pemilihan di NWFP dan bekerja sama dengan partai keagamaan penting, yakni Jamiat-ul Ulama-iIslam Fazlur Rahman (JUIF).138 JUIF mau bekerja sama dengan Benazir Bhutto karena. Pertama, meskipun JUIF adalah partai keagamaan yang semula sangat menentang kepemimpinan seorang wanita namun Benazir Bhutto pernah memerintah Pakistan pada tahun 1988-1990 sehingga kepemimpinan seorang wanita nampaknya tidak terlalu dipersoalkan lagi. Kedua, isu

137 138

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h.193-194. Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 208-209.

yang muncul menjelang pemilu 1993 bukan lagi isu agama tetapi lebih kepada perebutan kekuasaan di antara Nawaz Sharif-Ishaq Khan-Benazir Bhutto dan isu ekonomi. Sedangkan Nawaz Sharif sendiri bentrok dengan partai keagamaan karena mengirim pasukan ke Irak untuk membantu tentara multinasional pimpinan Amerika Serikat. Akibatnya Jamaat Islami (JI) keluar dari koalisi IJI dan membentuk PIF, sementara partai keagamaan lainnya seperti JUIF lebih memilih bekerja sama dengan Benazir Bhutto. Akhirnya pemilu pun berlangsung sesuai dengan rencana. Pemilu tersebut diikuti 64 partai politik, termasuk 12 kelompok minoritas non-muslim. Lebih dari 49 juta orang berduyun-duyun ke kotak suara untuk memilih wakil mereka yang akan mengisi 207 kursi yang diperuntukkan bagi wakil Muslim dalam Majelis Nasional yang beranggotakan 237 orang. Di antara 1.500 kandidat terdapat sekitar 600 calon independent. Sekitar 1,4 juta pemilih non Muslim secara terpisah memilih untuk 10 kursi yang dicadangkan bagi minoritas dan untuk kaum wanita disediakan 20 kursi.139 Dalam pemilu kali ini, partai-partai politik bersaing secara individu partai. Tidak ada lagi koalisi Islami Jamhoori Ittehad (IJI) ataupun People’s Democratic Alliance (PDA) karena masing-masing telah pecah menjelang berlangsungnya pemilu. Banyaknya partai politik di Pakistan yang ikut berpartisipasi dalam pemilu 1993 telah memancing perjuangan masing-masing partai untuk menawarkan program-program yang ditawarkan oleh partai-partai utama berbeda satu dengan dengan lainya. Pakistan Moslem League (PML) pimpinan Nawaz Sharif memfokuskan diri pada liberalisasi perekonomian, swastanisasi dan industrialisasi dengan tetap menonjolkan nilai-nilai ke-Islaman. Sebagai simbol pilihannya adalah gambar Harimau. Pakistan People’s Party (PPP) pimpinan Benazir Bhutto lebih menfokuskan diri pada reformasi struktur (birokrasi), swastanisasi 139

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 210.

sektor umum dan menawarkan disiplin penggunaan keuangan serta memotong defisit anggaran. PPP juga menjanjikan mendorong nilai-nilai agama melalui pendekatan filosofis demi penyesuaian kehidupan modern yang sekuler. Lambang dalam pemilihannya adalah panah. Pakistan Islamic Front (PIF), kelompok yang sering dikategorikan fundamentalis, mengajukan program akan membenahi banyaknya kesalahan manajemen dengan menghentikan korupsi. Lambang pemilihannya adalah mobil. Sedangkan Muhajir Qoumi Movemen (MQM), partai kuat di daerah Sindh, yang didirikan oleh Altaf Hussain memilih layang-layang sebagai lambang partainya. Selain empat partai utama tersebut, puluhan partai lainnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja keterlibatannya dalam pemilu 1993. mereka juga memiliki basis massa meski tidak besar namun memiliki fanatisme. Sebagaimana dengan pemilu sebelumnya, pemilu Pakistan 1993 ini kembali diwarnai dengan persaingan dua tokoh utama pemain politik Pakistan, Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif. PPP pimpinan Benazir Bhutto dan PML pimpinan Nawaz Sharif, muncul sebagai dua partai terkuat. Akhirnya, PPP beserta koalisinya yaitu PML Chatta group memperoleh 92 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan di Majelis Nasional, denagan perincian 86 kursi dari PPP sendiri dan 6 kursi dari PML Chatta group. Sementara saingan utamanya PML hanya memperoleh 72 kursi di Majelis Nasional.

Tabel 3 Hasil Pemilihan Umum Tanggal 6 Oktober 1993.140

140

Deepak Tripathani,” Pakistan: The Return of Benazir Bhutto”, The World Today, December, 1993, h 227.

NO

NAMA PARTAI

PEROLEHAN KURSI

1.

Pakistan People’s Party (PPP)

86 kursi

2.

Pakistan Moslem League (PML Nawaz Sharif Group)

73 kursi

3.

Pakistan Moslem League (PML Junejo/ Chatta group)

6 kursi

4.

Pakistan Islamic Front (PIF)

3 kursi

5.

Islami Jamhoori Mahaz (IJM)

3 kursi

6.

Pakhtoon Khawa Milli Awami Party

3 kursi

7.

Awami National Party (ANP)

3 kursi

8.

Muttahida Deeni Mahaz

3 kursi

9.

Jamhoori Watan Party (JWP)

2 kursi

10.

Pakhtoonkhwa Qaumi Party

1 kursi

11.

Baluchistan National Mavement (Hai)

1 kursi

12.

Baluchistan National Movement (Mengal)

1 kursi

13.

National Democratic Alliance (NDA)

1 kursi

14.

National People’s Party (NPP)

1 kursi

15.

Independent

15 kursi TOTAL*

202 kursi

* Penghitungan suara di lima daerah pemilihan dihentikan karena berbagai alasan, termasuk kematian para calon. Sedangkan pemilu propinsi untuk memilih 483 anggota Majelis Propinsi. Hasil pemilu propinsi Punjab menunjukan bahwa PML memperoleh 106 kursi dari 240 kursi. Sedangkan PPP beserta koalisinya yaitu PML Chatta group berhasil memperoleh 112

kursi, dengan perincian 94 kursi dari PPP dan 18 kursi dari faksi PML sempalan pimpinan Hamid Naser Chatta. Di propinsi Sindh, PPP memenangkan 56 kursi dari 100 kursi, MQM memenangkan 27 kursi, PML hanya memperoleh 8 kursi, dan satu kursi diperoleh Murtaza Bhutto, putra Zulfikar Ali Bhutto, yang ikut serta dalam pemilu dengan platform Shaheed Bhutto Commie (SBC) tanpa bergabung dengan PPP. Di propinsi NWFP, PPP memenangkan 22 kursi, ANP 21 kursi dan PML Nawaz Sharif memperoleh 15 kursi. Sementara PML Hamid Nasser Chatta memperoleh 4 kursi dan PIF juga memperoleh 4 kursi. Di propinsi Baluchistan, PML berhasil memperoleh 6 kursi, PPP hanya 3 kursi dan sisanya dibagi di antara partai-partai kecil dan para calon indpenden. (Lihat table 4, 5, 6 dan 7).

Tabel 4 Hasil Pemilu Propinsi Punjab, 9 Oktober 1993.141 NO.

NAMA PARTAI

PEROLRHAN SUARA

1.

Pakistan Moslem League (PML Nawaz Sharif)

2.

Pakistan People’s Party (PPP)

94 kursi

3.

Pakistan Moslem League (PML Chatta)

18 kursi

4.

Pakistan Islamic Front (PIF)

2 kursi

5.

National Democratic Party (NDP)

1 kursi

6.

Muttahida Deeni Mahaz (MDM)

1 kursi

7.

Independent

17 kursi TOTAL

141

106 kursi

240 kursi

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206.

Tabel 5 Hasil Pemilu Propinsi Sindh, 9 Oktober 1993.142

NO.

NAMA PARTAI

PEROLEHAN KURSI

1.

Pakistan People’s Party (PPP)

56 kursi

2.

Muttahida Qumi Mahaz-Altaf (MQM-A)

27 kursi

3.

Pakistan Moslem League (PMI, Nawaz Sharif)

8 kursi

4.

National People’s Party (NPP)

2 kursi

5.

Shaheed Bhutto Commite (SBC)

1 kursi

6.

Sindh National Front (SNP)

1 kursi

7.

Independent

5 kursi

TOTAL

100 kursi

Tabel 6 Hasil Pemilu Propinsi NWFP, 9 Oktober 1993.143 NO.

NAMA PARTAI

142 143

PEROLEHAN SUARA

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206. Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206.

1.

Pakistan People’s Party (PPP)

22 kursi

2.

Awami National Party (ANP)

21 kursi

3.

Pakistan Moslem League (PML Nawaz Sharif)

15 kursi

4.

Pakistan Moslem League (PML) Chatta)

4 kursi

5.

Pakistan Islamic Front (PIF)

4 kursi

6.

Islami Jamhooti Mahaz (IJM)

1 kursi

7.

Jamiat Mushaikh Pakistan (JMP)

1 kursi

8.

Muttahida Deeni Mahaz (MDM)

1 kursi

9.

Independen

11 kursi

TOTAL

80 kursi

Tabel 7 Hasil Pemilu Propinsi Baluchistan, 9 Oktober 1993.144 NO.

NAMA PARTAI

PEROLEHAN KURSI

1.

Pakistan Moeslim League (PML Nawaz Sharif)

6 kursi

2.

Jamhoori Watan Party (JWP)

5 kursi

3.

Baluchistan National Movement (BNM Mengal)

4 kursi

4.

Paktoon Khwa Milli Awami Party (PKMAP)

4 kursi

5.

Pakistan People’s Party (PPP)

3 kursi

6.

Islami Jamhoori Mahaz (IJM)

3 kursi

7.

Baluchistan National Movement (BNM Hai)

2 kursi

144

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206.

8.

Awami National Party (ANP)

1 kursi

9.

Pakistan National Party (PNP)

1 kursi

10.

Muttahida Deeni Mahaz (MDM)

1 kursi

11.

Dehi Ittehad Pakistan (DIP)

1 kursi

12.

Independent

9 kursi TOTAL

40 kursi

Pemilu tersebut menampilkan PPP dan aliansinya sebagai partai yang memperoleh kursi terbanyak di Majelis Nasional, dan di Majelis Propinsi Sindh. Sedangkan di propinsi Baluchistan dan NWFP, aliansi oposisi menang menang tipis dibanding PPP. Dengan kemenangan tipis ini, dipastikan partai pimpinan Benazir Bhutto ini tidak akan mampu memenangkan mayoritas dua pertiga kursi dalam parlemen. Padahal seperti pernah dikatakan Benazir Bhutto, ia memerlukan sekurang-kurangnya dua pertiga dari 237 kursi yang diperebutkan dalam parlemen, agar dapat meleksanakan program-program partainya. Atau paling tidak 119 kursi (50%+ 1) dari 237 kursi parlemen, yang agaknya juga sulit diraih Benazir Bhutto. Partai yang dapat mengumpulkan mayoritas sederhana dengan 50%+ 1 (II9 kursi) dari 237 kursi majelis dapat membentuk pemerintahan. Dan sebuah partai yang mendapat sekitar 90 kursi masih dapat berharap membentuk pemerintahan dengan mengandalkan calon independen, delapan anggota dari daerah kesukuan dan 10 yang terpilih untuk menduduki kursi yang di cadangkan bagi minoritas non Muslim untuk memenuhi jumlah yang diperlukan. Dengan demikian, terciptanya suatu pemerintahan yang kuat dengan dukungan stabilitas politik yang lebih mantap masih jauh dari harapan, karena hampir dapat dipastikan

kedudukan pemerintahan rapuh dan sewktu-waktu bisa guncang, bahkan bisa dijatuhkan oleh suatu mosi tidak percaya di parlemen. Hasil pemilu juga menunjukkan bahwa beberapa partai kecil tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Fenomena lain yang dapat dicatat dari pelaksanaan pemilu tersebut adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam menggunakan haknya untuk memilih wakil-wakilnya di kedua Majelis. Diperkirakan dari 49. 585. 855 calon pemilih terdaftar hanya 20. 101. 310 (40,5%) pemilih yang hadir ke Tempat Pemilihan Suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya. Angka tersebut menunjukkan adanya penurunan partisipasi rakyat untuk lebih banyak banyak memusatkan perhatiannya kepada pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kurang peduli dengan masalah-masalah politik. Masyarakat Pakistan yang mayoritas masih buta huruf (65%). Tampaknya merasa mereka hanya dijadikan alat saja pada waktu itu. C. 2. Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri Hasil pemilu Pakistan memang membuka peluang bagi Benazir Bhutto untuk kembali menjadi Perdana Menteri. Namun tetap harus dicatat bahwa perolehan kursi PPP melawan PML hanyalah 92 : 72. Kemenangan tipis PPP ini tentu saja belum mampu untuk menggeser Nawaz Sharif. Bahkan Nawaz Sharif masih tetap yakin akan dapat menjegal ambisi Benazir yang ingin memegang kembali tampuk kepemimpinan Pakistan. Sementara Benazir Bhutto sendiri dengan pengalamannya selama tiga tahun berjuang untuk merebut kembali kekuasaannya, telah menjadikan dirinya bersikap pragmatis dan mau menerima kompromi. Hal ini ditunjukkan keyakinan Benazir Bhutto bersedia menjalin “kerja sama” dangan partai agama JUI Fazlur Rahman dan PML Chatta Group

yang juga merupakan unsur-unsur penting dalam percaturan politik Pakistan. Manufer Benazir ini tampaknya sangat berpengaruh dalam perolehan suara PPP.145 Perolehan kursi bagi PPP maupun PML yang kurang dari mayoritas sederhana (119 kursi), menyebabkan Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif sama-sama menyatakan berhak membentuk pemerintahan baru Pakistan. Tampaknya pemerintahan baru tersebut akan membentuk sebuah pemerintahan koalisi. Dalam upayanya memperoleh dukungan bagi masing-masing kubu, kedua mantan Perdana Menteri itu terjebak dalam pertarungan memperebutkan sekitar 40 wakil dari partai politik dan kelompok independen. Pertarungan tidak hanya di Islamabad, tetapi juga Punjab yang merupakan propinsi terdapat dengan jumlah penduduk sebesar 60% dari seluruh jumlah penduduk di Pakistan. 146 Baik di Majelis Nasional maupun di Majelis propinsi Punjab, partai Benazir Bhutto setelah berhasil mendapatkan tambahan kursi dari faksi PML sempalan pimpinan Hamid Naserr Chatta yang tampaknya memang menolak bekerja sama dengan Nawaz Sarif. Sementara PML pimpinan Nawaz Sharif yakin “bisa” membentuk sebuah pemerintahan baru dengan bantuan partai-partai dan kelompok independent. Nawaz Sharif menyebut calon-calon sekutunya: Awami National Party (ANP), Partai Pakhtoon Khawa Milli Awami Party, National People’s Party (NPP) dan beberapa kelompok independent. PML Nawaz Sharif juga berhasil memperoleh delapan kursi di propinsi Benazir Bhutto, Sindh. Sementara di propinsi Baluchistan, Abdul Samad Achakzai yang didukung PML Nawaz Sharif Group berhasil mengalahkan ketua PPP di propinsi tersebut, Fateh Mohammad Hasni. Partai-partai keagamaan dan para independent 145

Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 21. Yosef Ardi, “krisis Politik Pakistan”, Angkatan Bersenjata, data diakses pada 15 November 2008, dari http://.www.dictatorofthemonth.com/militer/sharif-ishaq=artiecle=316 146

menolak untuk mendukung Nawaz Sharif. Namun sebagaimana di maklumi, kesetiaan politik di Pakistan mudah berubah-ubah bahkan jurang pemisah tidaklah cukup untuk menjamin kemenangan Benazir Bhutto di Majelis Nasional agar supaya Benazir Bhutto terpilih sebagai Perdana Menteri.147 Juru bicara PPP mengatakan peluang Benazir Bhutto lebih terbuka karena partai itu sudah mengumpulkan 20 suara pendukung dan tinggal membutuhkan tiga suara lagi untuk menjadi kelompok mayoritas. Namun kenyataan ini tetap menghadapkan Benazir Bhutto pada masalah yang sulit karena tanpa dukungan mayoritas mutlak, Benazir Bhutto akan kehilangan kekuasaannya untuk menghapus Amandemen ke-8 yang membolehkan Presiden memecat Perdana Menteri. Sementara tekad Nawaz Sharif untuk membentuk sebuah pemerintahan semakin mantap. Dalam rangka mencari dukungan bagi keberhasilannya terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Pakistan, ia juga berusaha menghubungi beberapa “penguasa” untuk mendapatkan “restu”. Ia berkunjung kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar selama satu jam guna membahas skenario Presiden Wasim Sajjad. Tetapi nampaknya pertemuan tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan oleh Nawaz Sharif. Tarik menarik antara Benazir Bhutto dengan Nawaz Sharif jelas tidak akan menghasilkan pemenang kuat. Padahal siapapun yang akhirnya memimpin pemerintahan Pakistan, perlu dukungan kuat parlemen di propinsi guna menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintahannya, terutama di Punjab dan Sindh, propinsi terkaya dan terbesar di negeri itu. Itulah yang dicari Benazir Bhutto dengan PPPnya setelah kemenangan tipisnya. 147

Deepak Tripathi, , ”Pakistan: The Return of Benazir Bhutto”, h. 227.

Sebenarnya untuk menghindar dari ancaman oposisi Nawaz Sharif yang dapat dipastikan akan merongrong pemerintahannya, maka cara yang dapat ditempuh Benazir Bhutto adalah dengan merangkul PML Nawaz Sharif Group untuk berkoalisi. Dengan cara ini, koalisinya akan dapat menguasai mayoritas dua pertiga kursi dalam parlemen. Dan komitmen Benazir Bhutto untuk dapat menghapus Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan lebih kepada Presiden, tentunya akan dapat terlaksana kendati Nawaz Sharif juga ingin mengubah Amandemen ke-8 tetapi dia menyatakan tidak akan mendukung Benazir Bhutto. Hal itu tentu sebagai taktiknya untuk meruntuhkan pemerintahan anak Zulfikar Ali Bhutto itu. Baik Pakistan People’s Party (PPP) maupun Pakistan Moeslem League (PML Nawaz Sharif) telah menyatakan siap berkoalisi dengan partai-partai kecil guna memperkuat pemerintahan. Namun kenyataan memperlihatkan, akhirnya PPP dengan pertolongan PML sempalan pimpina Hamid Naser Chatta, para calon independent dan minoritas, mampu membentuk suatu koalisi di pusat PPP dan para sekutunya juga terbentuk pemerintahan propinsi di Punjab dan Sindh. Sedangkan PML pimpinan Nawaz Sharif yang duduk sebagai oposisi di pusat, Punjab dan Sindh, maupun membentuk pemerintahan di NWFP dan Baluchistan dengan bantuan sekutunya. Berdasarkan hasil pemungutan suara di parlemen Pakistan pada tanggal 19 Oktober 1993, Benazir Bhutto akhirnya ditetapkan sebagai Perdana Menteri dengan perbandingan 121 mendukungnya dan 72 suara tidak mendukungnya. Benazir Bhutto pun lantas dilantik oleh Presiden sementara Wasim Sajjad menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk kedua kalinya dengan membawa dua puluh bulan pengalaman sebagai Perdana

Menteri dan tiga tahun sebagai ketua partai oposisi di parlemen.148 Dengan kebaerhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk periode 1993-1998 sekaligus menggambarkan bahwa akhirnya ambisi Benazir Bhutto untuk kembali memerintah Pakistan telah tercapai. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Sejak awal pemerintahan Benazir Bhutto (1988-1990) hingga saat ini Pakistan dikuasai oleh tiga aktor utama, yaitu: Presiden, Perdana Menteri, dan Militer. Pertentangan yang terjadi diantara Presiden, Perdana Menteri, dan Militer berakar dari dikeluarkannya Amandemen ke-8 oleh rezim Presiden Zia ul-Haq pada tahun 1985. dengan amandemen itu presiden bisa memiliki wewenang lebih besar, seperti memilih dan memberhentikan perdana menteri, pimpinan militer dan anggota senior Mahkamah Agung. Selain itu, presiden juga dapat membubarkan parlemen. Peralihan dari pemerintahan parlementer menuju kekuasaan “tunggal” di bawah presiden inilah yang menjadi pokok permasalahan antara presiden dan perdana menteri di Pakistan yang pada akhirnya turut pula melibatkan militer. Dari tahun 1988-1993 di Pakistan telah terjadi tiga kali friksi antar kekuatan tersebut dan senantiasa perdana menteri yang akhirnya jatuh sebagai tumbal. Friksi

148

Bahkan PPP juga menang mudah dalam pemilihan Presiden pada tanggal 13 November 1993 ketika calonnya Farooq Leghari, mengalahkan calon dari PML yaitu Wasim Sajjad, dengan 274 suara lawan 168 suara. PPP merasa lebih aman setelah kemenangan ini apalagi Presiden Faroog Leghari menyatakan bahwa ia menginginkan agar amandemen ke-8 dihapuskan oleh parlemen karena telah menjadi sumber krisis politik di Pakistan. Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 204-210.

pertama menyebabkan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Khan Junejo akibat dipecat presiden Zia ul Haq pada tanggal 29 Mei 1988. friksi kedua berakhir dengan dipecatnya Perdana Menteri Benazir Bhutto oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan pada tanggal 6 Agustus 1990, dan yang ketiga adalah dipecatnya Perdana Menteri Nawaz Sharif yang juga akibat ulah Presiden Ghulam Ishaq Khan pada tanggal 18 April 1993. ada persamaan alasan dalam pemecatan Perdana Menteri dalam ketiga peristiwa tersebut, yaitu: mereka dituduh melakukan korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah. Sebagai kelanjutan dari pemecatan tersebut, presiden kemudian mengangkat pejabat sementara untuk melaksanakan jalannya pemerintahan serta menyiapkan pemilu yang baru. Peran militer di dalam tindakan pemecatan oleh presiden terhadap perdana menteri ternyata sangat besar karena sesuai dengan Amandemen ke-8, tindakan presiden haruslah dengan persetujuan militer. Terlebih apabila perdana menteri mulai ikut campur dalam masalah intern militer. Maka militer tentu saja cenderung mendukung tindakan presiden. Oleh karena itu, Amandemen ke-8 dapat dikatakan sebagai kunci pengaman dari “hukum militer” dan kuatnya kedudukan presiden. Akibatnya sering muncul anggapan bahwa presiden adalah boneka militer. Ketika Nawaz Sharif mulai merintis jalan menuju kursi perdana menteri, ia memang dekat dengan Presiden. Pencalonannya mendapat dukungan yang kuat dari Ghulam Ishaq Khan. Namun di Pakistan sebelumnya bukan rahasia lagi jika tiba-tiba kawan politik berubah menjadi lawan, begitu pula sebaliknya. Pada tahun ketiga setelah Nawaz Sharif menjabat sebagai Perdana Menteri, mulailah keduanya bentrok memperebutkan kekuasaan. Demikian pula antara Benazir Bhutto dengan Ghulam Ishaq

Khan, kendati Benazir Bhutto semula membencinya karena telah memecat dirinya pada tahun 1990 ketika ia ingin menghapus Amandemen ke-8 (sama seperti keinginan Nawaz Sharif), namun Benazir Bhutto akhirnya justru mendukung Ghulam Ishaq Khan untuk bersama-sama menjatuhkan Nawaz Sharif dari kursi Perdana Menteri pada tahun 1993. Uraian mengenai pertentangan yang terjadi antara Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan atau antara Benazir Bhutto denagn Nawaz Sharif merupakan konflik elit. Perubahan pemerintahan terjadi karena penguasa-penguasa dihadapkan pada beberapa konflik atau kontradiksi yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang terdapat di dalam sistem politik. Kontradiksi-kontradiksi ini lambat laun akhirnya menyebabkan disintegrasi sistem politik kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antar elit politik adalah kontradiksi yang disebabkan oleh kontradiksi kultural, seperti masih kuatnya perasaan kesukuan antara para tokoh penguasa pakistan tersebut. Dalam kasus pemilihan Kepala Staf Angkatan Darat misalnya, Nawaz Sharif telah mengusulkan beberapa nama namun ditolak ghulam Ishaq Khan. Pada akhirnya Presiden malah menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru. Persaingan antar suku di Pakistan tercermin pula dari konflik di tingkat elit, di mana Benazir Bhutto yang merupakan suku Sindh cenderung menentang Nawaz Sharif dari suku Punjabi, demikian pula sebaliknya. Kiranya keadaan tersebut sesuai pula dengan teori mengenai ikatan primordial dari Clifford Greets yang mengatakan bahwa konflik yang timbul biasanya salah satunya disebabkan oleh kesukuan. Selain kontradiksi kultural, kontradiksi struktural pun dapat menjadi faktor yang menyebabkan konflik di Pakistan. Benazir Bhutto yang saat itu berperan sebagai ketua

Oposisi terlihat lebih kompak dengan memberikan tekanan-tekanan pada pemerintah berupa White Paper dan Long March yang diikuti oleh puluhan ribu pengikutpengikutnya yang menginginkan jatuhnya pemerintahan Nawaz Sharif. Sementara itu akibat perseteruan antara Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan, maka pada pemilu 1993 IJI (pimpinan Nawaz Sharif) pecah antara yang pro-Sharif dengan yang pro-Ishaq Khan. Bahkan PML sebagai unsur utama IJI telah pecah pula menjadi dua faksi, yaitu PML Sharif dan kelompok PML Hamid Nasser Chatta yang kemudian bergabung dengan PPP. Bergabungnya PML semplan pimpinan Hamid Nasser Chatta tersebut dengan PPP, tentu saja sangat menguntungkan Benazir Bhutto dalam perolehan suara pada pemilu 1993. Meskipun kontradiksi kultural seringkali mewarnai perpolitikkan di Pakistan, namun dalam kasus keberhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri untuk kedua kalinya ini terlihat bahwa kontradiksi srtuktural mempunyai peran yang lebih penting daripada kontradiksi kultural. Karena jika para penguasa (Presiden Ghulam Ishaq Khan, Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Kepala Steaf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar) masih berjalan seiring dengan baik, tentu akan sulit bagi oposisi pimpinan Benazir Bhutto untuk menjatuhkan pemerintah ataupun untuk mendesak agar segera dilaksanakan pemilu baru. Juga akibat tetjadinya perpecahan di dalam koalisi Islami Jamhoori Ittehad (IJI) dan di dalam Pakistan Moeslim League (PML) yang sebenarnya merupakan partai terbesar dalam tubuh IJI, tentu saja mengakibatkan berkurangnya dukungan terhadap Nawaz Sharif dalam pemilu 1993. Dengan demikian berarti “pertentangan Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan mengakibatkan melorotnya perolehan suara bagi partai Nawaz Sharif”, adalah terbukti benar. Demikian pula dengan “perpecahan faksi-faksi dalam PML mengakibatkan

turunnya dukungan terhadap Nawaz Sharif dan menguatnya dukungan terhadap Benazir Bhutto” ternyata dapat terbukti. Sehingga PPP pimpinan Benazir Bhutto memperoleh suara lebih besar dari pada PML pimpinan Nawaz Sharif dalam pemilu 1993. hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Benazir Bhutto dapat meraih kekuasaan kembai menjadi Perdana Menteri. Kemenangan Benazir Bhutto dalam pemilu 1993, mengenai pengangkatan tokoh politik haruslah memiliki kriteria-kriteria tertentu, antara lain: kesesuaian dengan nilai dominan (nilai dasar) sebuah sistem dalam Masyarakat; mempunyai keahlian-keahlian tertentu; mempunyai karir dan mobilitas yang memadai; dan mempunyai kewibawaan, serta mempunyai tingkat keterwakilan terhadap kelomok-kelompok yang ada. Dalam hal ini Benazir Bhutto nampaknya telah memenuhi berbagai kriteria tersebut, yang merupakan prasyarat bagi usahanya untuk meraih kekuasaan. Benazir Bhutto adalah seorang orator ulung yang mampu memobilisasi dan menarik simpati massa. Ia memanfaatkan nama besar ayahnya untuk memperoleh dukungan dalam perolehan suara pada pemilu 1993. Gabungan antara keahliannya dan kharisma ayahnya mampu membentuk kewibawaan Benazir Bhutto di mata masyarakat Pakistan. Apalagi ia pernah memimpin Pakistan pada tahun 1988-1990, sehingga golongan konserfatif tidak terlau mengungkit-ngungkit tentang kepemimpinan seorang wanita. Untungnya isu agama tidak lagi menonjol dalam pemilu 1993, melainkan lebih pada ekonomi karena Nawaz Sharif tidak lagi didukung oleh partai-partai agama. Benazir Bhutto memang berbeda dengan wanita-wanita lain yang berada di Pakistan, yang mana pendidikan mereka masih sangat rendah dengan tingkat buta huruf yang tinggi di Pakistan, yaitu 65 dari 120, 84 juta jiwa jumlah penduduk Pakistan, yang

terdiri dari 63, 4441 juta jiwa pria dan 57, 399 juta wanita. Benazir Bhutto merupakan profil wanita Pakistan yang berhasil memperoleh pendidikan tinggi dari Harvard dan Oxford University, sehingga wajar saja jika ia tampil dengan cerdik dalam politik di Pakistan. Sementara Nawaz Sharif yang merupakan saingannya kendati juga berkualitas, namun saat ia gagal mencegah partainya pecah akibat perseteruannya dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Bahkan partai pecahnya itu malah kemudian mendukung PPP. Dalam kasus ini terlihat Benazir Bhutto cukup cerdik untuk memanfaatkan perseteruan Ishaq Khan-Nawaz Sharif. Strategi politik menyebabkan Benazir Bhutto berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993”, juga terbukti. Benazir Bhutto menyadari bahwa dukungan partainya saja tidak cukup untuk membentuk sebuah pemerintahan. Oleh karenanya ia berusaha mengadakan pendekatan dengan partai lain, bahkan ia juga menawarkan beberapa jabatan penting bagi tokohtokoh dari partai yang mau mendukungnya di dalam usahanya untuk membentuk sebuah pmerintahan. Hal ini merupakan kunci sukses bagi Benazir Bhutto untuk dapat meraih posisi perdana menteri. Sehingga “sikap pragmatis Benazir Bhutto untuk berbagai jabatan dalam pemerintahan dengan partai lain telah menyebabkan dirinya meraih posisi Perdana Menteri”, juga terbukti. Sementara itu militer yang memainkan peranan penting dalam perpolitikan Pakistan, sebelum berlangsungnya pemilu 1993 berupaya agar kedua elit politik yang berseteru (Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Presiden Ghulam Ishaq Khan) segera mundur dari jabatannya masing-masing guna mengakhiri krisis politik yang terjadi dan bersepakat untuk memilih pemerintahan sementara yang netral untuk bertugas menyelenggarakan pemilu baru. Militer juga tidak mendukung Nawaz Sharif dalam

pemilu 1993 karena militer kecewa terhadap sikap Nawaz Sharif yang ikut campur dalam masalah intern militer. Terlebih lagi, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru Jenderal Abdul Waheed Kakar adalah orang pilihan Presiden Ghulam Ashaq Khan lawan dari Nawaz Sharif. Sehingga militer tidak mempunyai pilihan terhadap calon Perdana Menteri baik Benazir Bhutto maupun Nawaz yang bersaing dalam pemilu 1993. Akibatnya militer cenderung bersikap realistis agar pemilu dapat terlaksana secara jujur dan adil dan tidak lagi mendukung Nawaz Sharif seperti pada pemilu sebelumnya. Dengan tidak adanya dukungan militer terhadap Nawaz Sharif, maka kubu Benazir Bhutto berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993. Militer Pakistan tidak lagi mendukung Nawaz Sharif menyebabkan kubu Benazir Bhutto meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993.

B. Saran 1. Seharusnya Pakistan yang berpenduduk multi-etnis tidak terlalu fanatik terhadap kesukuannya. Mengingat berdirinya Pakistan atas dasar pada masyarakat keagamaan untuk menjadi sebuah bangsa Muslim, dengan kata lain , dasar berdirinya

Pakistan

adalah

untuk

membentuk

bangsa

Muslim

dengan

merealisasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam kenyataannya rasa kesukuan atau etnis lebih di tonjolkan dengan merasa bahwa etnisnyalah yang paling berkuasa tanpa mempedulikan kesamaan dalam beragama. 2. Partai-partai Politik di Pakistan seharusnya menjadi alat pemersatu yang mengarahkan pada terwujudnya rasa kebangsaan demi terciptanya suatu pemerintahan yang adil untuk kesejahteraan rakyat, dalam kenyataannya partai

politik di Pakistan banyak yang berdimensikan pada semangat pengelompokan berdasar latar belakang etnis. Sehingga primordialisme demikian berimplikasi pula pada berbagai kebijakan dan pengangkatan pejabat suatu pemerintahan di Pakistan 3. Harus adanya undang-undang yang jelas yang mengatur pembagian kerja presiden dan perdana menteri. Sehingga hak kekuasaan perdana menteri tidak di kendalikan oleh presiden juga sebaliknya. Sehingga dalam kekuasaannya di Pakistan selalu terjadi kekuasaan yang tumpang tindih dimana baik presiden dan perdana menteri merasa saling berkuasa dan paling bertanggung jawab. 4. Militer seharusnya tidak ikut berkecimpung dalam politik peraktis. Toh dalam kenyataannya justru militerlah yang selalu mengendalikan perpolitikan Pakistan. Hal ini menjadikan tiga aktor utama dalam perpolitikan Pakistan: militer, presiden dan perdana menteri. Sehingga, siapapun yang ingin menjadi pemimpin Pakistan seolah haruslah mendapatkan restu dahulu dari pihak militer. 5. Pihak Oposisi seharusnya menjadi suatu badan pembanding dalam kebijakankebijakan pemerintah, dengan memberikan jalan keluar atau masukan-masukan kepada pemerintah. Dengan tidak menjadi provokator yang mengarah kepada kehancuran negara dengan cara anarkis untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa.

DAFTAR PUSTAKA

Bhutto, Benazir. The way out: Interviews, impressions, statements, and messages. Mahmood Publications. 1988. Bhutto, Benazir. Benazir Bhutto defends herself. Rhotas Books. 1990 Bhutto, Benazir. Issues in Pakistan. Jang Publishers. 1993. Ali, Zaenal. Tragedi Benazir Bhutto. Yogyakarta: Narasi. 2008. Mashad, Dhurorudin. Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan, Jurnal Ilmu Politik, No. 13 Jakarta: PT Gramedia, 1983. Mashad, Dhuroruddin. Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam Jakarta:Pustaka CIDESINDO. 1996. Esposito, John L. Ensiklopedi Dunia Islam Modern, New York, Syracuse Press. 1995. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990. Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1999. Ahmad, Zaenal Abidin. Konsep Politik dan Ideologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, 1988.

Crouch, Harold. Rezim Militer: Perkembangan Politik dan Modernisasi. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1982. Duverger, Maurich. Sosioligi Politik. Jakarta: Rajawali Press, 1985. Esposito, Jhon L. Agama dan Perubahan Sosio-Politik, terj. S.H.S. Jakarta: Aksara Perdata, 1983. Greetz, Clifford. Ikatan-Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-Negara Baru, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Sebuah Bunga Rampai), editor oleh Juwono Sudarsono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982. L. Garl Brown, Wajak politik Islam, Jakarta: Serambi,2003. Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (terj) (Bandung: Mizan Pustaka, 2004). Hasan, Rias. Islam Dari Konservatisme Sampai Fundamentalisme, terj. Dewi Haryani. Jakarta: Rajawali Press, 1985. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:: Bulan Bintang, 1975. Huntington, Samuel P. Tertib Politik di Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah. Jakarta: CV. Rajawali , 1983. Sligman, Lester G. Pengangkatan Tokoh-Tokoh Politik, Beberapa Aspek Dalam Pembangunan Politik, Tarj. Afan Gaffar. Jakarta: CV. Rajawali, 1990. Varma, S.P. Teori Politik Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1990.