OTONOMI DAERAH DI INDONESIA : KEBERHASILAN

Download Berbicara tentang otonomi daerah bukanlah hal baru dalam kehidupan bertata ..... Pemerintahan Daerah. Jurnal: I...

1 downloads 332 Views 52KB Size
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA : KEBERHASILAN ATAU KEGAGALAN PEMERINTAH? Oleh: Indah Wahyu Maesarini,S.IP.,M. Si* ABSTRAK Berbicara tentang otonomi daerah bukanlah hal baru dalam kehidupan bertata negara dan pemerintahan di Indonesia, Mengapa demikian ? karena sejak di Proklamirkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia melalui Undang – Undang Dasar 1945 pemerintah telah menekankan pada 4 unsur penting negara, yaitu : (1) urusan rakyat; (2) pemerintahan daerah; (3) pimpinan kepolisian; dan (4) tentara kebangsaan. Hal ini tidak terlepas dari adanya keberadaan negara kita sebagai bangsa besar yang memiliki wilayah yang meliputi pulau – pulau besar hingga daerah yang bersuku – suku yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sehingga membutuhkan tata pemerintahan yang benar – benar dapat menjadi fasilitator di dalam pengelolaan pemerintahan, sumber daya daerah baik itu sumber daya yang meliputi : ekonomi, manusia dan alamnya serta keamanan dan keutuhan wilayah juga kemandirian pengelolaan administrasi dan manajemen di daerah. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang digulirkan oleh pemerintah sebagai penyempurna dari undang – undang sebelumnya semakin mengukuhkan adanya kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan potensi di daerahnya masing – masing sebagai bentuk tanggung – jawab moral putera daerah di dalam membangun kemandirian daerahnya sendiri, terlepas dari turut campur serta pemerintah pusat di dalam pengelolaan potensi daerah tersebut. Namun demikian ternyata eforia kebebasan daerah di dalam mengelola potensi daerahnya tersebut tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh seluruh pemerintahan daerah dengan sebaik – baiknya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kegagalan di beberapa pemerintahan daerah di dalam mengembangkan pembangunan tata kelola administratif dan manajemen di pemerintahannya termasuk perekonomiannya. Bahkan tidak sedikit dari pemerintahan daerah tersebut justru terjerumus ke dalam pemindahan kekuasaan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Akibat yang ditimbulkan dari pemindahan kekuasaan tersebut adalah adanya praktek patologi kekuasaan di mana banyak elit – elit daerah yang merasa inilah kesempatan mereka untuk meraup sebesar – besarnya aset – aset daerah yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangA. Pendahuluan : Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah Menurut B. C. Smith, desentralisasi adalah sebuah proses pemecahan konsentrasi administrasi dan pemerintahan dari satu pusat dan pemberian kekuasaan kepada pemerintah lokal. (Nur, 2000, hal. 8). Desentralisasi di anggap mampu mewakili kegagalan strategi * Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia

pembangunan terpusat karena mengedepankan strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity). Konsep desentralisasi di Indonesia sendiri cenderung melekat dengan sebutan otonomi daerah. Namun tidak sedikit orang menyebutkannya sebagai pemekaran daerah. Berbicara tentang otonomi daerah tidak akan pernah terlepas dari adanya pemerintahan daerah (local government). Hal ini dikarenakan otonomi daerah merupakan kemampuan atas

57

kesiapan pemerintah lokal di dalam menjuga termasuk pers didalamnya) serta pegatur sistem pemerintahannya sendiri merintahan daerah sendiri. (Ida, 2000, yang diwujudkan dalam peraturan sendiri hal. 4-5). (self rule), pemerintahan sendiri (self Diawal sejarahnya, pada masa pengovernance), dan badan pengurus pemerdudukan Belanda dalam sistem pemerinintahannya sendiri (self legislation). (Ida, tahan kita telah mengenal adanya sistem 2000, hal. 3). Selain itu otonomi daerah pemerintahan sentralisasi yang sekaligus juga memungkinkan untuk mengembangmenjalankan pola dekonsentrasi. Pada kan konsep pemberdayaan masyarakat tahun 1903 Pemerintahan Kerajaan secara umum. Ada 3 (tiga) hal utama Belanda menetapkan adanya pembentuyang perlu diperhatikan dalam konsep kan sebuah Decentralisatiewet (Undang pemberdaya an masyarakat tersebut, – Undang Desentralisasi) sehingga pada antara lain : pertama, dimensi ekonomi. masa tersebut kita telah dikenalkan pada Rakyat diharapkan memperoleh kesemwilayah – wilayah administratif, seperti patan dan kebebasan untuk mengemJawa yang dimaksudkan sebagai Gewest bangkan ekonomi kerakyatannya. Pengatau daerah yang membiayai segala gunaan sumber daya ekonomi lokal kegiatannya melalui keuangan sendiri digunakan untuk kepentingan masyara(yang kemudian di sebut sebagai Resikat. Kedua, dimensi politik. Lepasnya dentie), Afdeeling, District, dan Onketergantungan organisasi masyarakat derdistrict.(Kaho, 1997, hal. 21). dari pemerintahan. Dalam hal ini tidak Proklamasi Kemerdekaan Negara Repubada intervensi dari pusat, semua kembali lik Indonesia yang digaungkan pada kepada kepentingan daerah. Ketiga, ditanggal 17 Agustus 1945 menjadi pintu mensi psikologis. Perasaan individu yang pembuka bagi perkembangan otonomi terakumulasi menjadi perasaan kolektif daerah di Indonesia. (bersama) untuk menentukan nasibnya Kesempatan ini semakin diperkukuh densendiri menuju sistem yang demokrasi di gan adanya perubahan dari undang – undaerah. Dengan kata lain tidak ada istilah dang tentang pemerintahan daerah yang “orang pusat” lebih disempurnakan, seperti : Daerah di Indonesia, hebat dari pada Tabel 1: Pemekarandari 1. Undang – Undang No“orang daerah”, mor 1 Tahun 1945 Tentang tetapi yang ada Periode Provinsi Kabupaten/Kota Badan Perwakilan Rakyat adalah upaya pemDaerah; 1950 – 6 99 berdayaan masyara2. Undang – Undang No1955 kat. Untuk mencamor 22 Tahun 1948 Ten1956 16 145 pai tataran kondisi tang Pembentukan Daerah 1960 ini maka perlu Otonom; 1961 3 16 1965 adanya penyadaran 3. Undang – Undang No1966 1 11 pada masyarakat, mor 1 Tahun 1957 Tentang 1970 aktivis sosial atau Pokok – Pokok Pemerin1971 1 33 yang di kenal dentahan Daerah; 1998 gan sebutan Lem4. Penetapan Presiden Nobaga S wada ya mor 5 Tahun 1960 Tentang 1999 6 136 2005 Masyarakat (LSM), Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Harian; organisasi ke2006 0 51 5. Undang – Undang masyarakatan, in- Sumber : Ferrazzi, 2008 2008 Nomor 18 Tahun 1965 Tentelektual (ilmuwan, Jumlah 33 491 tang Pembagian Daerah; cendikiawan dan

58

6. Undang – Undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok – pokok Pemerintahan di Daerah 7. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dengan disempurnakan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut maka pemerintahan daerah memiliki kekuatan penuh secara legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahan di daerahnya sendiri tanpa turut camput tangan dari pemerintahan pusat. Penyempurnaan otonomi daerah di Indonesia sendiri dihadapkan pada reformasi dari tata kelola negara dan pemerintahan, tepatnya sejak tumbangnya rezim orde baru di mana pemekaran daerah mengalami perkembangan yang sangat menakjubkan dari waktu ke waktu. Hingga tahun 2008 saja kita telah mengalami peningkatan dari jumlah provinsi yang sebelumnya hanya 27 provinsi menjadi 33 provinsi dan 491 kabupaten. Lonjakan ini tidak terlepas dari adanya perubahan reformasi dari sistem kebijakan desentralisasi pada periode tahun 1999 hingga mencapai puncaknya pada tahun 2005. Untuk memperjelas pemekaran daerah – daerah di Indonesia di bawah ini terdapat tabel yang akan memperlihatkan perkembangan pemekaran daerah – daerah dari tahun 1950 hingga tahun 2008 (Lihat Tabel 1). (Dwiyanto, 2009, hal. 290-291). B. Perkembangan Otonomi Daerah, Keberhasilan dan Kegagalannya Eforia otonomi daerah mulai mengalami perkembangan sejak tumbangnya Pemerintahan Orde Baru (ORBA) di tahun 1998. Gelagat bangkitnya keberanian daerah – daerah tersebut disuarakan melalui 3 (tiga) tuntutan utama yang berisi tentang : (1) kebebasan wewenang, (2) kekuasaan yang maksimal dan (3) pembagian keuangan yang adil. Tuntutan ini tidak disia-siakan oleh pemerintahan pusat. Dalam hal ini pusat menyambut tuntutan tersebut dengan

melahirkan seperangkat aturan yang dikukuhkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 (sebagai hasil revisi dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999) Tentang Pemerintahan Daerah yang sekaligus menjadi pelengkap dari pada undang – undang sebelumnya. Undang – undang ini menjadi sangat istimewa ketika pemerintahan pusat merealisasikan tuntutan pemerintahan daerah melalui proporsional pengelolaan keuangan daerah dengan menambahkan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 (sebagai hasil revisi dari Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999) Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tentu saja hal ini di sambut baik oleh pemerintahan daerah yang merasa diberikan kepercayaan oleh pemerintahan pusat untuk leluasa menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya (APBD). Dengan demikian akan ada harapan bagi pemerintahan daerah untuk berpeluang meningkatkan sumber pendapatan di daerahnya bagi perkembangan ekonomi daerahnya terutama melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), maupun hasil dari pendapatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam realitanya, daerah – daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi sangat berlimpah ruah mendapatkan banyak sumber pendapatan dari daerahnya. Kenyataan ini membuat daerah tersebut akan mampu membangun daerahnya tanpa bantuan dari daerah lainnya bahkan pusat sekalipun. Di Indonesia kita mengenal beberapa daerah yang cukup memiliki potensi di dalam mengembangkan sumber daya alam daerahnya terutama dari sektor hasil bumi berupa minyak dan gas alamnya. Salah satu daerah yang berhasil mengangkat ekonomi di daerahnya melalui minyak dan gas buminya adalah Propinsi Riau. Dengan kekayaan

59

alamnya berupa minyak dan gas berlimpah, Riau mampu memproduksi minyak mentah per - hari mencapai kisaran 500.000 per – barel. Diluar migas, Riau juga berhasil mengembangkan potensi perkebunan sawitnya. Dengan luas perkebunan sawit yang mencapai 3.831 juta hektar, Riau mampu menjual 2,8 juta ton sawit atau setara dengan Rp 11 trilyun di tahun 2004 dan meningkat menjadi 3,380 juta ton sawit atau Rp 24 trilyun di tahun 2005. PAD Riau sendiri tidak kalah fantastis dibandingkan dengan daerah – daerah lainnya. Pada awal perkembangan otonomi daerah di tahun 1998/1999 saja Riau telah berhasil mencapai PAD sebesar Rp 94 miliar, meningkat menjadi Rp 504 miliar di tahun 2002. Sedangkan Dana Perimbangan Riau sendiri tidak kurang dari Rp 215 miliar di tahun 1998/1999 dan mengalami pergerakkan peningkatan secara tajam menjadi Rp 971 miliar di tahun 2003. Propinsi Riau tidaklah sendiri yang merasakan akibat dari perluasan otonomi daerah. Propinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam minyak bumi dan tambang batu bara seakan – akan bagai mendapatkan durian runtuh. Dalam APBDnya saja Kaltim mendapatkan anggaran pendapatan sebesar Rp 2,233 trilyun pada tahun 2005. Kontribusi yang di dapat dari PAD-nya sendiri tidak kurang dari Rp 698 miliar sedangkan dana perimbangannya sebesar Rp 1,535 trilyun. Diluar dari Sumber Daya Alam (SDA) sebagai aset penerimaan daerah seperti Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Selatan ternyata ada juga daerah yang bisa menggali potensi didaerahnya untuk dikembangkan menjadi aset penerimaan daerah khususnya melalui Sumber Daya Ekonominya (SDE). Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bisa menjadi contoh sukses dari keberhasilan pemerintah daerahnya di dalam mengembangkan potensi daerahnya.

60

Dengan mengandalkan pajak daerahnya saja Yogyakarta mampu menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) - nya sebesar Rp 200.848,69 juta di tahun 2002. Ditahun 2004 PAD - nya meningkat menjadi Rp 331.800,79 juta. Kesuksesan pelaksanaan pemerintahan daerah di Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Timur ini belum lengkap rasanya bila kita tidak berbicara tentang otonomi daerah di Kabupaten Jembrana, Bali. Sebagai daerah yang tidak punya sumber daya alam yang memadai bagi pembangunan daerahnya Bali di anggap mampu mewakili contoh keteladanan bagi daerah – daerah lainnya yang mampu mengembangkan potensi daerahnya melalui Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Ekonomi (SDE) - nya. Dengan hanya mengandalkan PAD yang tidak lebih dari Rp 11 miliar di tambah dengan APBD sebesar Rp 339,3 miliar di tahun 2006 saja sangatlah jauh dari mungkin untuk mengentaskan kebutuhan penduduk sejumlah 262.058 jiwa dari kehidupan yang lebih dari cukup. Lantas apa yang membuat pemerintahan daerah di Jembrana Bali begitu sangat istimewa melebihi daerah – daerah pemekaran lainnya? Ternyata otonomi daerah di Jembrana Bali disikapi dengan kebijakan populis yang kala itu dicetuskan oleh Bupatinya saat itu, yaitu oleh Bapak I Gede Winasa. Melalui kebijakan penghematan anggarannya (dengan merampingkan jumlah dinasnya dapat menekan angka pengeluaran anggaran sebesar Rp 2 miliar) untuk dapat dialokasikan kepada pelayanan umum terutama pada pelayanan kesehatan dasar masyarakat dan program pendidikan dasar bagi usia sekolah secara cuma – cuma menjadikan Jembrana Bali sebagai salah satu daerah pemekaran yang cukup berhasil memaknai otonomi di daerahnya dengan sebaik - baiknya. Selain hal tersebut di atas potensi menakjubkan dari Sumber Daya Manusia (SDM) – nya sangat

memegang peranan penting bagi pengembangan proses pelayanan administratif dan manajemen instansinya. Dengan program pelayanan satu atapnya (one stop service) sebagai bentuk komitmen pemerintahannya terhadap reformasi pelayanan publiknya menjadikan Jembrana Bali sebagai daerah yang mampu memberikan pelayanan primanya dalam rangka memaksimalkan kepentingan masyarakat di daerahnya. (Indiaho, 2009, hal. 95). Langkah sukses Kabupaten Jembrana Bali ini tidak disia – siakan oleh Pemerintahan Purbalingga saat itu. Dibawah kepemimpinan Bupati berkuasa saat itu, Triyono Budi Sasongko berusaha untuk mengembangkan pola yang sama di dalam sistem pelayanannya di mana Kabupaten Probolinggo mencoba untuk mengembangkan pelayanan satu atapnya yaitu terutama di dalam pengelolaan Pelayanan Perizinan dan Investasi di daerahnya. (Indiaho, 2009, hal. 104). Bukan tanpa sebab bila Bupati yang berkuasa saat itu, Triyono Budi Sasongko melakukan perubahan ini. Semua didasarkan pada keprihatinan beliau ketika melihat betapa buruknya pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan kala itu, terutama dalam pelayanan perizinan yang ada. Dengan berinisiatif membentuk Kantor pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) yang dilegalitasi oleh Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi memberikan sedikit harapan kepada masyarakat akan adanya pelayanan publik ini (dalam hal perizinan) yang tidak akan membutuhkan waktu lama. Realisasi hasil yang ditunjukkan memperlihatkan adanya pengaruh peningkatan yang sangat tinggi atas perubahan sistem pelayanan tersebut (perizinan) baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada segi kecepatan waktu, penyelesaian

pelayanan perizinan lebih cepat dan tepat bila dibandingkan dengan dilaksanakan oleh dinas / instansi secara terpisah. Untuk biaya perizinan sangat juga efisiensi dengan memangkas pengeluaran dari segi jarak, waktu dan tenaga yang digunakan oleh pemohon / masyarakat sendiri karena hanya terfokus pada satu tempat saja. Pada tataran personil, tidak membutuhkan banyak orang untuk menyelesaikan satu pelayanan. Dari sisi jumlah perizinan juga mengalami peningkatan permintaan pelayanan perizinan karena kemudahan akses di atas. Reformasi pelayanan publik yang dilakukan oleh Kabupaten Purbalingga juga berimplikasi positif pada iklim investasi di sana di mana nilai penanaman modal di daerah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rr 39.385.051.182,00 (atau sebesar 37 %) di tahun 2007 saja. Namun demikian kesuksesan daerah – daerah tersebut di atas tidak diimbangi oleh kesuksesan daerah – daerah lain di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dari gambaran nyata akan kegagalan pemerintahan di daerah lainnya. Tidak sedikit daerah yang harus menelan pil pahit dari pada pelaksanaan pemekaran didaerahnya. Salah satu contoh nyata dari adanya kegagalan pemekaran daerah di Indonesia adalah bisa di lihat dari perkembangan otonomi daerah di Aceh tepatnya di Nisam, Aceh Utara. Aceh sebagai wilayah bagian barat Indonesia yang mempunyai sejarah panjang di dalam mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaannya sangatlah tidak sedikit jasanya di dalam mengorbankan sumber daya materi dan tokoh atau para pahlawan pembela negara bagi bangsa ternyata tidaklah mendapatkan porsi yang layak di dalam pembangunan bangsanya. Hal ini bisa di lihat di daerah pemberontakan berbasis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Nisam.

61

Nisam adalah bukti nyata ketidakseimbangan pemerataan kemakmuran tersebut. Sebagai daerah aman dari basis “Gerakan Aceh Merdeka” (GAM) Nisam menjadi daerah yang harus mandek perekonomian didaerahnya. Komoditas Pinang sebagai andalan warga belum dapat mengangkat perekonomian masyarakatnya, di tambah lagi dengan mahalnya biaya angkutan yang membawa hasil – hasil bumi mengharuskan pedagang mau tidak mau mematok harga tinggi terhadap barang – barang dagangannya agar tidak merugi. Kompensasi yang diharapkan akibat perang tidak berimbas pada kehidupan para mantan pemberontak tersebut. Hal ini masih diperburuk dengan adanya sikap pilih kasih dari pada pemerintah di dalam mengeluarkan kebijakannya. Sebagai salah satu contohnya adalah di mana pemerintah mengeluarkan bantuan pengelolaan lahan tanah seluas 2 (dua) hektar kepada sedikit orang yang dekat dengan elit – elit politik untuk mengelolanya. Semua itu masih harus diperparah dengan perilaku korupsi yang dilakukan oleh Bupatinya sendiri, Bapak Ilyas Pase dengan melakukan pembobolan kas daerahnya sebesar Rp 220 milyar yang di ambil dari APBD – nya untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membayar gaji pegawainya dan hampir mengalami kebangkrutan. Maka tidak berlebihan bila Aceh ditetapkan sebagai provinsi urutan ke – 7 termiskin di Indonesia menurut versi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Sangat ironis rasanya bila mengingat Propinsi Aceh ini merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang cukup banyak mendapat perhatian dari pemerintahan pusat berkaitan dengan penerimaan dana dae rahnya baik itu mulai dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus, Dana Otonomi Khusus, Dana bagi hasil migas, Dana rehabilitasi dan rekonstruksi serta bantuan luar negerinya

62

yang mencapai sekitar Rp 10 Trilyun per – tahun. Lain Aceh lain juga permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.Pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintahan daerahnya tersebut bukan didasarkan pada kebutuhan daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya melainkan karena kondisi sosial masyarakatnya di mana adanya perebutan penetapan ibu kota propinsi dari Kolonodale ke Bungku yang tidak berujung selesai sehingga menyebabkan proses pelayanan kepada masyarakat atas bentuk – bentuk pelayanan administrasi mengalami keberlarutan dan tentunya berdampak merugikan masyarakat. Sesuai administratif pemekaraan daerah melalui Undang – Undang Nomor 51 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Morowali ditetapkan Kolonodale sebagai ibukota baru. Penetapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Kolonodale cukup memadai untuk menyiapkan infrastruktur penunjang pembangunan seperti : pelabuhan, pasar dan depot pengisian bahan bakar PERTAMINA. Namun di dalam perkembangannya Bungku yang menjadi ibukota pertama dari pelayanan administratif daerah tersebut merasa tidak dihargai keberadaannya dan mengajukan protes kepada pemerintahan pusat dengan menggandeng kecamatan – kecamatan lain tetangganya seperti : Kecamatan Mori, Kecamatan Mori Atas, Kecamatan Mori Utara, Kecamatan Wita Ponda, Kecamatan Bintang Jaya, dan Kecamatan Mamosalato. Hal ini berlangsung cukup lama dan memunculkan benih konflik baru diantara kedua belah ibu kota tersebut dan ini cukup mengganggu bagi pemerintahan di daerah tersebut. Pemerintahan daerah pun sudah meminta bantuan kepada pemerintahan pusat sebagai pihak netral untuk dapat menangani masalah serius tersebut tetapi hingga saat ini pun masalah serius ini belum menemui jalan

keluar terbaik karena proses kebijakan ini terkendala dengan kebijakan moratorium (penghentian sementara) pemekaran oleh pemerintahan pusat. Masalah serupa juga dialami oleh Kabupaten Banggai. Sesuai dengan Undang – Un dang Nomor 15 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Banggai maka telah di atur bahwa ibu kota baru untuk Banggai berada di Pulau Banggai. Akan tetapi dalam perjalanannya ibu kota kabupaten tersebut dipindahkan ke Pulau Salakan. Kondisi ini membuat warga pulau Banggai meradang. Hal ini sempat membuat bentrokan serius antara petugas kepolisian di mana 3 (tiga) orang harus merenggang nyawa. Warga tidak segan – segan memblokir pasokan kebutuhan pokok yang sedianya akan di bawa dari pulau Banggai menuju Salakan. Bahkan tidak segan – segan mereka mengancam kepada pemerintahan daerah mereka untuk berpindah penduduk mereka ke Maluku Utara. Kemarahan warga baru mereda setelah mereka dijanjikan akan menjadi kabupaten baru (yang berasal dari pulau Banggai dan pulau – pulau sekitarnya) bernama Kabupaten Banggai Laut. Namun demikian di dalam perkembangannya proses perkembangan kabupaten baru ini juga mengalami hambatan seperti halnya Morowali di mana terdapat rencana penghentian sementara (moratorium) pemekaran oleh pemerintahan pusat. Dari beberapa kasus di atas dapat kita ketahui bahwa ternyata keberhasilan pelaksanaan pengelolaan beberapa pemerintahan daerah di atas di dalam pengembangan potensi daerahnya tersebut tidak diikuti dengan keberhasilan pemerintahan dari daerah – daerah lain yang umumnya mereka cukup memiliki kualitas sumber daya alam yang memadai. Esensi dari pada pelaksanaan otonomi daerah yang sesungguhnya di pandang sebelah mata oleh penguasa

di daerah – daerah tersebut. Banyak dari pemegang kekuasaan daerah melihat otonomi daerah di anggap sebagai peluang memindahkan sebagian wewenang pusat ke daerah. Dapat di tebak pada akhirnya bahwa yang terjadi kemudian adalah program otonomi daerah yang sejatinya dapat mendorong kesejahteraan masyarakat justru menjadi pemicu dari maraknya penyimpangan dari keuangan daerah seperti : APBD, politik uang di dalam pemilihan kepala daerah hingga kepada pungutan daerahnya. Dari beberapa kasus – kasus pemekaran daerah di atas dengan segala keberhasilan dan kegagalannya maka dapat kita ketahui bahwa ternyata di dalam pelaksanaan pemekaran daerah tersebut terdapat banyak hal yang harus menjadi pertimbangan pemerintahan daerah ketika akhirnya harus memutuskan untuk tidak tergantung kepada pusat. Tidak hanya bergantung dari satu faktor saja seperti keengganan pemerintah pusat melepaskan daerah mengelola pemerintahan dan ekonomi daerahnya tetapi berkisar juga mengenai hal – hal di luar konteks administrasi dan manajemen. Faktor penyimpangan birokrasi daerah terhadap indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi batu sandungan, juga ketidaksiapan masyarakat daerah untuk keluar dari pada zona nyaman mereka pada kepemimpinan sebelumnya semakin menambah deret panjang permasalahan yang ada sehingga pada akhirnya mereka banyak melakukan pelanggaran – pelanggaran yang bersifat merusak. Hal ini tidak terlepas dari adanya eforia kebebasan di negara kita yang sedang mengagung – agungkan transisi menuju ke arah demokratisasi yang oleh sebagian pengamat sosial masyarakat mengatakan era anarkisme massa. Hal lain yang tidak bisa diabaikan dari adanya kegagalan – kegagalan di atas adalah kegagalan pemerintahan daerah tersebut di dalam mengupayakan

63

dan memberdayakan masyarakatnya. Bisa dipahami bila pemerintahan daerah tersebut melihat bila masyarakat dilibatkan maka “pembagian kue” pembangunan pastinya tidak akan pernah cukup untuk memenuhi gaya hidup hedonisme nya yang kaget atas perubahan – perubahan yang terjadi sejak reformasi pemerintahan daerah digulirkan. Sementara dari sisi masyarakat sendiri terlihat tidak cukup sigap untuk melihat adanya ketidaktransparansinya dari pembangunan daerah yang dicanangkan oleh pemerintahannya bila tidak mau dikatakan tidak peduli sama sekali karena merasakan adanya ketidakpercayaan lagi dengan kepemimpinan di pusat. Idealnya otonomi daerah dapat mensinergikan kemampuan pemerintahan daerah di dalam mengembangkan potensi daerahnya serta mampu memobilisasi partisipasi masyarakat di dalam mengelola potensi daerahnya baik itu dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya daerahnya secara lebih bertanggung – jawab dan transparan. Dengan demikian prinsip otonomi daerah sebagai pengembangan potensi daerah dapat dimaknai sebagai konsep kerakyatan yang sebenar – benarnya menuju cita – cita yang diidam – idamkan masyarakat Indonesia, yaitu demokratisasi yang diperuntukkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. C. Kesimpulan Otonomi daerah sebagai pintu pembuka bagi kesejahteraan masyarakat di daerah sepatutnya harus diperjuangkan oleh pemerintahan daerah sendiri. Hal ini dapat dimaksimalkan dengan adanya peranan pemerintah daerah di dalam mensukseskan penyelenggaraan otonomi di daerahnya. Bukti komitmen dari pemerintahan di Kabupaten Jembrana Bali adalah salah satu bukti konkrit dan nyata dari tindakan teladan yang patut dijadikan contoh oleh pemerintahan di daerah

64

lainnya. Dengan hanya bermodalkan kearifan lokal dari sumber daya manusianya melalui kebijakan pemerintahan daerahnya yang populis menjadikan pembangunan dapat berjalan sesuai dengan amanat penderitaan rakyat. Tentunya hal ini akan sangat lebih maksimal lagi bila diikuti dengan pemerintahan daerah lainnya yang memiliki sumber daya yang lebih baik lagi seperti Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusianya (SDM) dan bahkan Sumber Daya Ekonomi (SDE) - nya. Dibutuhkan tidak hanya kerja keras tapi kemauan dan kemampuan pemimpin daerah untuk mewujudkan ketertiban sosial dan politik terhadap perubahan – perubahan tatanan hidup yang ada di masyarakat, mobilisasi sumber daya manusia (SDM) dan pengelolaan ekonomi kerakyatan daerah demi kepentingan kemakmuran masyarakat seutuhnya.

DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia, Penerbit Gaya Media, 2009. Ferrazzi, Gabrielle, International Experiences in Territorial Reform – Implications for Indonesia, USAID Democratic Reform Support Program (DRSP), 2008. Ida, Laode, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government, Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK), 2000. Indiaho, Dwiyanto, Perbandingan Administrasi Negara, Penerbit Gava Media, 2009. Kaho, Josef Rawu, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, 1997. Nur, Rifai, Alimin Siregar & Jamal Bake, Orang Daerah Menggugat Pusat, Penerbit Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK), 2000.

Referensi Tambahan: Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintahan Daerah Jurnal: InfoTempo, Otonomi & Pembangunan, 20 Agustus 2006. Koran : Kompas, Selasa 28 Desember 2010. “Otonomi Daerah Aceh (1) : Melihat Aceh dari Nisam”. Kompas, Jum’at 4 Maret 2010. “Konsolidasi Demokrasi Sulawesi Tengah (4) : Pemekaran Tiada Ujung”.

65