Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

Dalam mengantisipasi implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, ... serta hasil simulasi aplikasi UU-PKPD te...

10 downloads 295 Views 61KB Size
Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan *

Pembangunan Ekonomi Daerah

Armida S. Alisjahbana Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran 6 Mei, 2000

Abstrak: Dalam mengantisipasi implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, prioritas utama Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam jangka pendek adalah melakukan reorientasi atas peran dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hasil simulasi dan estimasi implikasi UU nomor 25 tahun 1999 untuk Jawa Barat menunjukkan Pemerintah Propinsi harus menyerahkan/mengurangi peran dan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan perubahan fungsi/kewenangan dan perkiraan penurunan penerimaan APBD, yaitu sebesar 50% dibandingkan dengan penerimaan APBD pada pengaturan lama. Sebaliknya, untuk Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat secara keseluruhan, peningkatan peran dan kewenangan yang berasal dari Pusat dan Propinsi diperkirakan harus dapat dibiayai oleh peningkatan 90-100% penerimaan APBD. Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah dalam era desentralisasi tidak hanya tergantung pada aspek penerimaan daerah, kemampuan ataupun kreativitas masingmasing daerah. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah Daerah di setiap tingkat dituntut untuk dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasardasar kepentingan bersama.

*

Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Science Club STIE YPKP dengan tema “Prospek Perekonomian Indonesia Ditinjau dari Perkembangan Dunia Perbankan, Pasar Modal dan Sektor Riil dalam Tatanan Indonesia Baru". Tulisan ini pernah disampaikan dalam Kongres ISEI XIV “Membangun Ekonomi Daerah yang Kompetitif dan Efisien dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Memperkokoh Kesatuan Bangsa”, 21-23 April 2000 di Makassar.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Armida S. Alisjahbana* Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Jl. Dipati Ukur 35 Bandung 40132

1. Pendahuluan Implementasi otonomi daerah yang direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2001 mengacu pada dua UU, yaitu: UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.

UU

Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (UU-PKPD) merupakan UU yang mengatur perimbangan keuangan atau desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat-Daerah berdasarkan pembagian fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan di antara pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam UU tentang Pemerintahan Daerah.

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji implikasi implementasi UU Pemerintahan Daerah serta UU-PKPD terhadap pembiayaan pembangunan daerah dan reorientasi peran antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota yang dilakukan dengan cara: pertama, mensimulasikan aplikasi UU-PKPD terhadap penerimaan Daerah Jawa Barat. Kedua, berdasarkan perubahan kewenangan dan fungsi antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota serta hasil simulasi aplikasi UU-PKPD terhadap penerimaan daerah, makalah ini mengkaji reorientasi kebijakan pembangunan ekonomi antara daerah propinsi dengan daerah kabupaten/kota yang perlu dijadikan prioritas.

*

Ketua Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Jl. Dipati Ukur no. 35, Bandung 40132. E-mail: [email protected] Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

1

2. Implikasi Implementasi UU-PKPD Terhadap Pembiayaan Daerah: Perkiraan untuk Jawa Barat 2.1. Hasil Perhitungan Perkiraan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, SDA; Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU-PKPD meliputi: (i).

Pendapatan Asli

Daerah (PAD); (ii).

Dana Perimbangan; (iii). Pinjaman Daerah; (iv). Lain-lain

pendapatan yang sah.

Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan

dengan desentralisasi dibiayai dari anggaran daerah.

Penerimaan daerah yang berupa PAD masih mengacu pada UU nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. 1 Dana Perimbangan terdiri dari: bagian daerah atas hasil Sumber Daya Alam, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant, dengan kriteria alokasi berdasarkan potensi ekonomi daerah dan kebutuhan obyektif daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum diserahkan sepenuhnya pada daerah. 2

Dana Alokasi Khusus

merupakan transfer dari pusat ke daerah yang bersifat spesifik, yang peruntukannya ditetapkan pusat. 3

1

2

Sedang dalam pertimbangan untuk direvisi. Dana Alokasi Umum (DAU):

− −

Berfungsi sebagai dana untuk pemerataan antar daerah. Besarnya DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN dengan pembagian 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. − DAU untuk suatu Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan terhadap jumlah semua Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan: kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah. 3

Dana Alokasi Khusus (DAK): Dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. − Kebutuhan khusus adalah: kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. −

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

2

Perkiraan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, dan SDA: Aplikasi UU-PKPD di Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Kantor Statistik Jawa Barat mengestimasi penerimaan daerah yang berasal dari PBB, BPHTB, dan SDA berdasarkan UU nomor 25 tahun 1999. 4 Hasil estimasi berdasarkan UU-PKPD untuk tahun anggaran 1998/99 dibandingkan dengan realisasi yang terjadi pada tahun anggaran tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Bagian Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Dari PBB, BPHTB dan SDA Tahun 1998/99 (Rp Milyar) Sumber penerimaan

1. Minyak bumi 2. Gas bumi 3. PBB 4. BPHTB 5. Iuran HPH 6. Kehutanan Propinsi 7. Pertambangan Umum 8. Perikanan 9. Reboisasi Total bagian daerah Sumber:

Bagian daerah menurut pengaturan lama 353,99 56 0,88 0,50 0,31 0,22 411,9

Bagian daerah Persentase berdasarkan perubahan UU nomor 25 tahun 1999 555,07* 253,14* 315,09 56,70 3,50 1,99 1,56 0,22 1187,2

188%

Diolah dari “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari, 2000.

Keterangan: * termasuk penerimaan pajak atas minyak bumi, sehingga angka ini mungkin overestimate (terlalu tinggi).

Hasil perhitungan memperlihatkan bagian daerah dari PBB, BPHTB dan SDA secara total untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat diperkirakan akan meningkat

4

Perhitungan dan penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam: “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota di Jawa Barat”, disampaikan Asisten Administrasi Pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Januari, 2000.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

3

sekitar 188% dengan implementasi UU-PKPD dibandingkan dengan pengaturan lama. Angka ini merupakan perkiraan tertinggi mengingat dalam perhitungan unsur penerimaan yang berasal dari pajak migas masih ikut diperhitungkan. 5

Selanjutnya, hasil perhitungan perkiraan penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan gabungan penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat untuk PAD, dan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan SDA Tahun 2000/2001 (12 bulan) dapat dilihat pada Tabel 2.2. di halaman berikut.

Dana Alokasi Umum: Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat a. Hasil perkiraan penerimaan DAU Jawa Barat berdasarkan UU-PKPD: Studi perkiraan penerimaan DAU Jawa Barat dilakukan berdasarkan UU-PKPD dengan menggunakan beberapa asumsi berikut:6 − DAU menurut UU-PKPD merupakan transfer pemerintah pusat yang bersifat umum dan merupakan ekuivalen dari pengaturan lama berupa SDO dan Inpres Pembangunan. − Perhitungan DAU dilakukan dengan menggunakan bobot daerah: jumlah penduduk (bobot: 22.5%); luas wilayah (bobot: 22.5%); PDRB non-migas (bobot: 22.5%); Rasio PAD/APBD (bobot: 22.5%); Pemerataan (bobot: 10%). Pemilihan bobot ini didasarkan atas kriteria kebutuhan obyektif daerah otonom dan potensi ekonomi daerah.

5

Bagian daerah propinsi dan kabupaten atas hasil minyak bumi dan gas alam tergantung pada Peraturan Pemerintah dari UU nomor 25 tahun 1999, apakah bagian daerah dihitung dari total penerimaan daerah dari migas (profit dan pajak), atau hanya diambil dari komponen profit penerimaan migas, diluar pajak migas. 6 Untuk pengkajian yang serupa tetapi menggunakan pembobotan yang berbeda dan data PDRB termasuk migas, lihat Armida Alisjahbana, Arief Anshory Yusuf dan Bagja Muljarijadi, “Implikasi Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah Terhadap Perencanaan Pembiayaan Pembangunan Jawa Barat”, Kerjasama LP3E Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran dengan Bappeda Tingkat I Propinsi Jawa Barat (1999).

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

4

Tabel 2.2.

Perkiraan PAD dan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan Sumber Daya Alam Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Jawa Barat Tahun 2000/2001 (12 Bulan) Uraian I. Pendapatan Asli Daerah 1.1. Pajak daerah 1.2. Retribusi daerah 1.3. Laba BUMD 1.4. Penerimaan dinas 1.5. Penerimaan lainnya II. Bagian Daerah dari PBB BPHTB dan SDA 2.1. PBB 2.2. BPHTB* 2.3. Iuran HPH 2.4. Kehutanan propinsi 2.5. Pertambangan umum 2.6. Perikanan 2.7. Reboisasi 2.8. Minyak bumi 2.9. Gas bumi

Potensi Penerimaan Penerimaan Propinsi Penerimaan Kab/kota Daerah (Rp milyar) % Rp milyar % Rp milyar 1,356.68 300.54 1,056.14 480.80 265.35 215.45 717.91 7.54 710.37 19.31 6.63 12.68 138.66 429.32 78.00 4.52 3.10 1.61 0.04 1.19 3,531.57 1,054.52

16.00% 16.00% 16.00% 16.00% 16.00% 0.00% 40.00% 3.00% 6.00%

21.02 252.34 68.69 12.48 0.72 0.50 0.26 0.48 105.95 63.27

64.00% 64.00% 64.00% 64.00% 64.00% 100.00% 60.00% 12.00% 24.00%

117.64 1,008.22 274.76 49.92 2.89 1.98 1.03 0.04 0.71 423.79 253.08

Sumber: “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari, 2000.

PDRB non-migas digunakan sebagai salah satu variabel yang mencerminkan potensi ekonomi daerah, khususnya daerah-daerah dengan basis ekonomi di luar sektor migas. 7 Pertimbangan digunakannya PDRB non-migas disebabkan nilainya akan lebih mencerminkan kinerja ekonomi daerah di luar sektor SDA, sedangkan kontribusi SDA daerah yang kembali ke daerah sudah diperhitungkan dalam bagian daerah dari SDA.

7

Kritik yang sering dilontarkan terhadap UU nomor 25 tahun 1999 adalah tidak terdapatnya mekanisme insentif bagi daerah dengan basis ekonomi non SDA berupa bagian daerah dari pajak pusat yang dipungut di daerah tersebut. Usul yang sering dikemukakan untuk memberikan insentif ini, antara lain dengan memberikan bagian penerimaan pajak PPh dan PPN kepada daerah penghasil (Alisjahbana, 1999).

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

5

Sebelum dikeluarkannya secara resmi PP yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dasar perhitungan DAU berdasarkan pemilihan bobot seperti tersebut di atas baru sebatas satu alternatif kajian empiris (exercise) dan belum merupakan cara alokasi DAU yang final. − Penerimaan dalam negeri APBN yang dialokasikan untuk DAU berjumlah 25%. Alokasi DAU adalah: 10% untuk daerah propinsi dan 90% untuk daerah kabupaten/kota. − Perkiraan dilakukan dengan membandingkan alokasi DAU berdasarkan UU-PKPD jika diterapkan pada tahun anggaran 1994/95 sampai dengan 1996/97 dengan transfer rutin (SDO) dan pembangunan dari pemerintah pusat ke Jawa Barat menurut pengaturan lama. Hasil perkiraan yang diperoleh8 :

Tabel 2.3. Transfer “block grant” Pemerintah Pusat ke Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Barat (Rp juta) Tahun anggaran

1994/95 1995/96 1996/97

Realisasi transfer Perkiraan alokasi block (menurut DAU (menurut UU pengaturan lama) nomor 25 tahun 1999) 1.234.963 1.810.630 1.425.453 1.989.200 1.481.998 2.405.940

Persentase perubahan 46,61% 39,54% 62,34%

Sumber: Hasil pengolahan data

8

Lihat Lampiran Tabel L.1. sampai dengan Tabel L.10. Hasil simulasi alokasi DAU yang ditampilkan di Tabel 2.3. sampai dengan Tabel 2.5. mendasarkan pada asumsi alokasi APBN untuk DAU nasional berjumlah 25%.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

6

Hasil simulasi yang membandingkan transfer block grant antara pengaturan lama dengan implementasi UU-PKPD menunjukkan peningkatan nilai transfer berupa block grant dari pusat ke Daerah Jawa Barat (total Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebesar antara 40% - 63%.

Tabel 2.4. Tranfer “block grant” Pemerintah Pusat ke Pemda Propinsi Jawa Barat (Rp juta) Tahun anggaran

1994/95 1995/96 1996/97

Realisasi transfer Perkiraan alokasi block (menurut DAU (menurut UU pengaturan lama) nomor 25 tahun 1999) 861.548 181.063 941.631 198.920 963.720 240.594

Persentase perubahan -79,0% -78,9% -75,0%

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel 2.5. Tranfer “block grant” Pemerintah Pusat ke Pemda Kabupaten/Kota Jawa Barat (Rp juta) Tahun anggaran

1994/95 1995/96 1996/97

Realisasi transfer Perkiraan alokasi block (menurut DAU (menurut UU pengaturan lama) nomor 25 tahun 1999) 504.453 1.629.569 641.699 1.790.280 701.234 2.165.346

Persentase perubahan 223,0% 179,0% 208,8%

Sumber: Hasil pengolahan data

Hasil simulasi menunjukkan terjadinya perubahan komposisi penerimaan transfer Pemerintah Dati I dan Pemerintah Dati II secara sangat signifikan. Transfer block grant yang diterima Pemerintah Dati I mengalami penurunan rata-rata 75%-80% dibandingkan dengan pengaturan lama. Sebaliknya, transfer block grant yang diterima Pemerintah

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

7

Dati II diestimasikan meningkat antara 180%-223% dibandingkan dengan pengaturan lama.

b. Hasil estimasi alokasi DAU yang diperkirakan diterima Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat, 1998/99, 1999/2000 dan 2000: Hasil perhitungan menggunakan data-data tahun anggaran 1994/95, 1995/96 dan 1996/97, menghasilkan perkiraan persentase DAU nasional yang dialokasikan ke Daerah Jawa Barat sebesar 10,93%. 9 Dengan mengasumsikan DAU nasional yang dialokasikan ke Daerah

Jawa Barat tidak mengalami perubahan pada tahun-tahun anggaran

selanjutnya, maka diperoleh estimasi alokasi DAU ke Daerah Jawa Barat (Propinsi dan Kabupaten/Kota), alokasi DAU yang diterima Propinsi dan alokasi DAU yang diterima Kabupaten/Kota sebagai berikut (lihat Tabel 2.6.)10 :

Tabel 2.6. Estimasi Alokasi DAU yang diterima Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat 1998/99, 1999/2000, 2000 (Rp miliar) Penerimaan dalam negeri APBN Alokasi DAU nasional (25%) Alokasi Jawa Barat (10.93% dari DAU nasional) Alokasi DAU Pemerintah propinsi Jawa Barat Alokasi DAU Pemerintah kabupaten/kota di JawaBarat

1998/1999* 158,905 39,726 4,342 434 3,908

1999/2000** 142,204 35,551 3,886 389 3,497

2000 (9 bln) 152,890 38,223 4,178 418 3,760

Keterangan: *Realisasi; **Anggaran (budget) Sumber: Hasil pengolahan data

9

Lihat Lampiran Tabel L.1. sampai dengan Tabel L.5. untuk perhitungan selengkapnya.

10

Hasil perkiraan ini cukup realistis jika persentase variabel-variabel Jawa Barat yang digunakan dalam perhitungan alokasi DAU, terhadap total Indonesia selama periode 1998/99, 1999/2000, dan 2000 tidak berubah dibandingkan dengan periode 1994/95 – 1996/97 yang dijadikan sebagai periode referensi.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

8

Dana Alokasi Khusus: Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Dana Alokasi Khusus diasumsikan sama dengan nilai transfer spesifik (Inpres Spesifik) dalam pengaturan lama, atau sama dengan komponen Dana Khusus dari Dana Pembangunan Daerah jika mengacu pada format APBD tahun anggaran 1999/2000, baik untuk Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota.

Alokasi Dana Khusus dari Dana Pembangunan Daerah Tahun Anggaran 1999/2000: Propinsi Jawa Barat: Rp 149.851 juta (untuk Pengembangan Prasarana dan Sarana Ekonomi; Pengembangan Sosial Budaya dan Pelayanan; Pemeliharaan Lingkungan Hidup; Pengembangan Wilayah; Peningkatan Pendidikan Dasar; dan Pembangunan Sarana Kesehatan);

Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat: Rp 357.446 juta (untuk Dana Pembinaan Daerah Bawahan; Dana Pelayanan Sosial-Ekonomi; Dana Penanganan Lingkungan Hidup; Dana Pembangunan Prasarana Umum; dan Dana Peningkatan Produksi).

2.2. Perkiraan Penerimaan APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat: Aplikasi UU-PKPD Implikasi implementasi UU-PKPD terhadap pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat pada dampaknya terhadap penerimaan APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu membandingkan APBD realisasi dengan perkiraan APBD yang mengaplikasikan UU-PKPD.

Tabel 2.7. memperlihatkan angka-angka

APBD tersebut untuk tahun anggaran 1994/95 sampai dengan 1996/97. Aplikasi UUPKPD dalam perhitungan ini dibatasi pada aplikasi DAU, dengan asumsi penerimaanpenerimaan lainnya dianggap tidak berubah.

Atas dasar alokasi DAU yang menggantikan transfer block grant dari pengaturan lama, terlihat penerimaan APBD Propinsi rata-rata berkurang secara drastis, antara 45-50% dibadingkan dengan pengaturan lama. Sebaliknya, penerimaan APBD Kabupaten/Kota secara keseluruhan meningkat secara signifikan, antara 72-93%.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

9

Jika memperhitungkan sumber penerimaan lain yang juga akan berubah dengan diaplikasikannya UU-PKPD, misalnya komponen Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan SDA, diperkirakan penurunan penerimaan APBD Propinsi tetap akan berkisar pada 45%. Penerimaan beberapa Kabupaten/Kota, khususnya Kabupaten/Kota penghasil SDA, dapat meningkat secara lebih drastis lagi dengan dimasukkannya bagian daerah dari SDA, sementara Kabupaten/Kota bukan daerah penghasil SDA, hanya mendapat tambahan bagain daerah yang relatif kecil dari bagian hasil SDA yang dibagi rata diantara Kabupaten/Kota yang berada di propinsi penghasil tersebut.

Tabel 2.7. Penerimaan APBD Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Barat Realisasi

Aplikasi DAU

Persentase Perubahan

Tahun anggaran 1994 / 1995

Dati I 1,325,290

Dati II 1,204,844

Dati I 644,805

Dati II 2,329,960

Dati I -51.3%

Dati II 93.4%

1995 / 1996 1996 / 1997

1,587,935 1,646,283

1,579,425 1,826,572

845,224 923,157

2,728,006 3,290,685

-46.8% -43.9%

72.7% 80.2%

Sumber: Hasil pengolahan data

Perkiraan di atas dianggap cukup realistis, dengan melihat pada kenyataan: UU nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah belum direvisi, Dana Alokasi Khusus kemungkinan masih mengacu pada pola transfer spesifik pengaturan lama, komponen lain-lain penerimaan yang sah diperkirakan tidak banyak berubah, serta pinjaman daerah tidak dilakukan.

Pada tahap selanjutnya, untuk keperluan perencanaan kebijakan pembangunan ekonomi daerah perlu diperkirakan dampak implementasi UU-PKPD terhadap APBD Propinsi dan APBD masing-masing Kabupaten/Kota, sehingga daerah dapat melakukan perencanaan implementasi otonomi daerah dengan memperhatikan aspek perubahan anggaran.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

10

Sebagai ilustrasi, Tabel 2.8. memperlihatkan perkiraan penerimaan APBD Propinsi Jawa Barat tahun anggaran 2000 yang telah mengaplikasikan UU-PKPD. 11

Komposisi

penerimaan diperkirakan menjadi: PAD (24%), Bagian Daerah Propinsi dari PBB,BPHTB dan SDA (20%); DAU (44%), dan DAK (12%).

Tabel 2.8. Perkiraan Penerimaan APBD Propinsi Jawa Barat Tahun 2000 Aplikasi UU nomor 25 tahun 1999 (Rp milyar) Penerimaan I. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah 3. Laba BUMD 4. Penerimaan lainnya

Thn anggaran 2000a 225.41 199.01 5.66 4.97 15.77

II. Dana Perimbangan 1. Bagian daerah dari: 1. PBB 2. BPHTB 3. Iuran HPH 4. Kehutanan propinsi 5. Pertambangan umum 6. Perikanan 7. Reboisasi 8. Minyak bumi 9. Gas bumi

51.52 9.36 0.54 0.37 0.19 0.36 79.46 47.45

2. Dana alokasi umumb) c)

3. Dana alokasi khusus

23.9%

189.26

20.0%

418.00

418.00

44.2%

112.39

112.39

11.9%

III. Dana pinjaman IV. Lain-lain pendapatan yang sah TOTAL

945.05

Keterangan: a) 9 bulan b) Hasil perhitungan c) Berdasarkan alokasi dana khusus dari Dana Pembangunan Daerah 1999/2000 untuk 9 bulan

Sumber: Hasil pengolahan data

11

Hal yang sama dapat dilakukan untuk masing-masing Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

11

Penggunaan penerimaan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Propinsi menjadi 88% dari total penerimaan APBD, dan hanya 12% yang penggunaannya ditentukan Pusat. Meskipun diskresi kewenangan Propinsi dalam penentuan penggunaan penerimaan APBD menjadi sangat besar, tetapi harus diingat bahwa Propinsi tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi sumber maupun besar penerimaan itu sendiri. Alokasi DAU dan DAK dilakukan melalui mekanisme yang ditentukan Pusat, demikian pula dengan ketentuan Bagian Daerah dari SDA, PBB, BPHTB dan penerimaan PAD. Hal yang sama berlaku untuk Daerah Kabupaten/Kota.

3. Implikasi Implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah 3.1. Reorientasi Peran serta Kewenangan Penyelenggaraan Pemerintahan antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota Dalam jangka pendek, prioritas utama daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah melakukan reorientasi atas peran dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Reorientasi ini tidak terbatas pada peran dan kewenangan saja, tetapi juga menyangkut relokasi pegawai serta peningkatan kemampuan, kapasitas pemerintah Kabupaten/Kota dari segala aspek.

Jika mengacu pada UU Pemerintah Daerah, maka reorientasi peran dan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi langsung ke Daerah Kabupaten/Kota mengikuti ketentuan:

Kewenangan Pemerintah Pusat: Melaksanakan

kewenangan-kewenangan

Pemerintah

dalam

bidang-bidang

Pertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, Agama serta kewenangan bidang Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12

12

Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: (i) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro; (ii) Kebijakan dana perimbangan keuangan; (iii) Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (iv) Kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (v) Kebijakan

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

12

Kewenangan Pemerintah Propinsi: Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan disamping kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. 13

Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota: Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan pertanahan.

Disamping mengacu pada PP Pemerintahan Daerah dan PP PKPD, reorientasi peran dan kewenangan diantara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota hendaknya juga dilakukan dengan memperhatikan: − Perubahan anggaran yang diestimasikan akan terjadi. Misalnya: untuk contoh daerah Jawa Barat seperti perhitungan di atas, maka Pemerintah Propinsi harus menyerahkan/mengurangi peran dan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/Kota senilai 50% dari APBD. − Sebaliknya, untuk Daerah Kabupaten/Kota secara keseluruhan, peningkatan peran dan kewenangan yang berasal dari Pusat dan Propinsi direncanakan 90-100% dari nilai penerimaan APBD.

pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup; (vi) Kebijakan konservasi; (vii) Kebijakan standarisasi nasional. 13

Kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup: (i) Perencanaan pembangunan regional secara makro; (ii) Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (iii) Pelabuhan regional; (iv) Lingkungan hidup; (v) Promosi dagang dan budaya/pariwisata; (vi) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman; (vii) Perencanaan tata ruang Propinsi.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

13

− Jika Pemerintah Propinsi tidak mengurangi/mengalihkan peran ke Daerah Kabupaten/Kota, maka diperkirakan akan terjadi defisit pada APBD (senilai 50% dari APBD). − Jika

Pemerintah

Kabupaten/Kota

dilimpahkan

kewenangan

yang

melebihi

kemampuan anggarannya (peningkatan beban anggaran APBD lebih besar dari 100%), sebagaimana disimulasikan di atas, maka dapat terjadi defisit dalam APBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan. − Seharusnya Pemerintah Pusat memberlakukan masa transisi persiapan reorientasi dan restrukturisasi Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Masa transisi yang cukup diawali dengan pengkajian dan sosialisasi oleh Pemerintah Pusat ke daerah-daerah tentang implikasi implementasi UU-PKPD terhadap anggaran masing-masing Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dengan demikian, dapat

dihitung secara akurat dampak UU-PKPD terhadap anggaran daerah, sebagai landasan bagi perubahan-perubahan dan reorientasi yang dilakukan daerah.

3.2. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Otonomi daerah mengandung makna beralihnya sebagian besar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah. Perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan ini memerlukan reorientasi/perubahan peran dan fungsi pemerintah seperti yang dijelaskan dalam UU tentang Pemerintahan Daerah dan implikasi implementasi UU-PKPD pada pembahasan di atas.

Pemerintah daerah akan bertanggung jawab secara lebih penuh terhadap kebijakankebijakan dasar yang diperlukan bagi pembangunan daerah, khususnya yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana, investasi (dan akses terhadap sumber dana), kebijakan lingkungan, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), dan pengembangan sumber daya manusia.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

14

Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi, efektifitas pemerintah daerah dalam memicu perkembangan ekonomi daerah akan sangat tergantung pada:14 − Kemampuan berafiliasi, yaitu kemampuan bekerjasama, negosiasi dan networking dengan pihak swasta (dalam negeri dan asing), dengan pemerintah daerah lain, institusi dan pemerintah pusat, institusi/pemerintah asing. − Kemampuan berpikir strategik, yaitu kemampuan melihat dan mengidentifikasi faktor-faktor dominan dari suatu daerah, yang akan mempengaruhi dan menentukan pembangunan daerah. − Sikap kreatif dan inovatif di tingkat pemerintah daerah, yaitu kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran baru yang berdampak pada kemajuan ekonomi daerah.

Kreativitas dan sikap inovatif pemerintah daerah dalam menghasilkan gagasan-gagasan baru hanya mungkin dalam suatu pemerintahan yang bersifat terbuka, yang memahami pendapat/pemikiran yang berbeda dan menganggap kreativitas sebagai kebutuhan untuk mencapai perbaikan pengelolaan maupun produk/jasa pelayanan terhadap masyarakat.

Pembangunan ekonomi daerah bukanlah monopoli dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga

diperlukan

kerjasama

dan

koordinasi

diantara

semua

pihak

yang

berkepentingan. Pemerintah daerah di setiap tingkat harus dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan bersama.

14

Yuyun Wirasasmita, “Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah”, Ceramah disampaikan pada ISEI Jawa Barat, 5 Februari, 2000.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

15

Keterpaduan yang harmonis dan terkoordinasi antara pemerintah daerah dengan lembaga lain, pihak swasta dan lembaga-lembaga nirlaba akan memperlancar tercapainya tujuan pembangunan daerah.

4. Penutup Hasil simulasi dan estimasi implikasi UU nomor 25 tahun 1999 untuk Jawa Barat menunjukkan akan terjadinya peningkatan transfer dalam bentuk block grant dari pusat ke daerah Jawa Barat sebesar 25-45% dibandingkan dengan pengaturan lama. Terjadi penurunan drastis (45-50%) atas transfer pusat ke Propinsi Jawa Barat, sebaliknya peningkatan drastis (72-93%) ke Daerah Kabupaten/Kota. Demikian pula dengan Bagian Daerah atas PBB,BPHTB dan SDA, diperkirakan akan terjadi peningkatan penerimaan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota (khususnya Daerah Penghasil SDA) secara cukup signifikan dibandingkan dengan pengaturan lama. Atas dasar studi-studi semacam ini, daerah dapat mulai melakukan persiapan-persiapan implementasi otonomi daerah dengan memperhatikan aspek anggaran yang akan dikelolanya.

Meskipun diskresi kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam penentuan penggunaan penerimaan APBD menjadi sangat besar, tetapi harus diingat bahwa Propinsi maupun Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi sumber maupun besar penerimaan itu sendiri.

Alokasi DAU dan DAK dilakukan melalui

mekanisme yang ditentukan Pusat, demikian pula dengan ketentuan Bagian Daerah dari SDA, PBB, BPHTB dan penerimaan PAD.

Pembangunan ekonomi daerah bukanlah monopoli dan tanggung jawab pemerintah daerah sendiri.

Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku

pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Disamping diperlukan kreativitas masing-masing Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah di setiap tingkat juga harus dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan bersama.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

16

Referensi Ahmad, Ehtisham, Bert Hofman, Jun Ma, Dick Rye, Bob Searle and Jim Stevenson, 1999, “Indonesia: Decentralization-Managing the Risks”, International Monetary Fund, Fiscal Affairs Department, June. Armida S. Alisjahbana, 1999, “Regional Autonomy and Fiscal Decentralization:Towards Provincial and Local Government Financial Viability?”. Makalah disampaikan pada Konferensi Internasional “The Economic Issues Facing the New Government” diselenggarakan LPEM FE-UI bekerjasama dengan the United States Agency for International Development (USAID) dan Partnership for Economic Growth (PEG), Jakarta, 18-19 Agustus. _________________ , 1998, “Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”. Orasi Ilmiah pada Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, October 24. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Statistik Keuangan Daerah. Burki, Shahid Javed, Guillermo E. Perry and William R. Dillinger, 1999, Beyond the Center: Decentralizing the State, The World Bank, Washington, D.C. Dillinger, William and Steven B. Webb, 1999, “Decentralization and Fiscal Management in Colombia”, World Bank Staff Paper, May. Mahfud Sidik, 1999, “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Serta Implikasinya terhadap Pembiayaan Otonomi Daerah”, Makalah disampaikan pada Lustrum IV Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung, Agustus. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat, 2000, “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Bandung, Januari. . ______________________________, berbagai tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Bandung. “Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001”, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari. Republik Indonesia, berbagai tahun, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Jakarta.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

17

________________, 1999, UU nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah, Mei. _______________, 1999, UU nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Mei. Shah, Anwar, 1998, “Balance, Accountability, and Responsiveness: Lessons about Decentralization”, dalam Picciotto, Robert and Eduardo Wiesner, eds. Dalam Evaluation and Development: The Institutional Dimension, New Brunswick, USA and London, UK: Transaction Publishers. ________________, “The Reforms of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies,” The World Bank, Washington, DC. __________, 1991, “Perspectives on the Design of Intergovernmental Fiscal Relations”, Country Economics Department, the World Bank, Washington, DC. Susijati B. Hirawan, 1998, “Desentralisasi Kebijaksanaan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Oktober 31. Yuyun Wirasasmita, 2000, “Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah”, Ceramah disampaikan pada ISEI Jawa Barat, 5 Februari.

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

18

Lampiran Tabel Tabel L1. Formula Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat Tahun anggaran 1994 / 1995 1995 / 1996 1996 / 1997

Jumlah penduduk 20.06% 20.14% 20.21%

Luas wilayah 2.23% 2.23% 2.23%

PDRB 18.07% 18.07% 18.14%

PAD / Pemerataan APBD 6.45% 3.70% 6.35% 3.70% 6.59% 3.70%

Tabel L2. Alokasi nasional menurut bobot (Rp milyar) Tahun anggaran 1994 / 1995 1995 / 1996

Jumlah penduduk 3,736.01 4,107.04

Luas wilayah 3,736.01 4,107.04

3,736.01 4,107.04

PAD / Alokasi Pemerataan APBD Nasional 3,736.01 1,660.45 16,605 4,107.04 1,825.35 18,254

1996 / 1997

4,929.19

4,929.19

4,929.19

4,929.19

PDRB

2,190.75

21,908

Tabel L3. Simulasi Alokasi DAU Jawa Barat (Rp milyar) Tahun anggaran 1994 / 1995

Jumlah penduduk 749.50

Luas wilayah 83.27

1995 / 1996 1996 / 1997

827.29 996.23

91.54 109.86

PDRB 675.28 742.14 894.01

PAD / Total DAU Pemerataan APBD Jabar 241.08 61.50 1,810.63 260.62 324.69

67.61 81.14

1,989.20 2,405.94

DAU Dati I 181.06

DAU Dati II 1,629.57

198.92 240.59

1,790.28 2,165.35

Sumber: Hasil pengolahan data

Tabel L4. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat (Rp juta) 1994 / 1995 Jabar

1995 / 1996 Nasional

Jabar

1996 / 1997

Skenario*

Nasional

Skenario 1 (25%) Skenario 2 (30%)

16,604,500 19,925,400

1,810,633 2,172,759

18,253,500 21,904,200

1,989,201 2,387,041

21,907,500 26,289,000

Nasional

2,405,940 2,887,128

Jabar

Skenario 3 (35%)

23,246,300

2,534,886

25,554,900

2,784,881

30,670,500

3,368,316

Keterangan: *) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

19

Tabel L5. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat (Persentase terhadap alokasi nasional) 1994 / 1995

1995 / 1996

Jabar

Nasional

1996 / 1997

Skenario*

Nasional

Skenario 1 (25%) Skenario 2 (30%)

16,604,500 19,925,400

10.90% 10.90%

18,253,500 21,904,200

Jabar 10.90% 10.90%

21,907,500 26,289,000

Nasional

Jabar 10.98% 10.98%

Skenario 3 (35%)

23,246,300

10.90%

25,554,900

10.90%

30,670,500

10.98%

Keterangan: *) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah

Tabel L6. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Dati I dan Dati II Jawa Barat (Rp juta)* 1994 / 1995 Skenario**

Dati I

Dati II

1995 / 1996 Dati I

1996 / 1997

Dati II

Dati I

Dati II

Skenario 1 (25%) Skenario 2 (30%)

181,063 217,276

1,629,569 1,955,483

198,920 238,704

1,790,280 2,148,337

240,594 288,713

2,165,346 2,598,415

Skenario 3 (35%)

253,489

2,281,397

278,488

2,506,393

336,832

3,031,484

Keterangan: *) 10% untuk Pemda Tk I dan 90% untuk Pemda Tk II **) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah

Tabel L7. Transfer block gran t (DAU) Pemerintah Pusat ke Pemda tk I Jawa Barat (Rp Juta) Implementasi UU Perimbangan Tahun anggaran

Skenario 0*

Skenario I

Skenario 2

Skenario 3

1994 / 1995 1995 / 1996

861,548 941,631

181,063 198,920

217,276 238,704

253,489 278,488

1996 / 1997

963,720

240,594

288,713

336,832

Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi

Tabel L8. Transfer "block grant" (DAU) Pemerintah Pusat Ke Pemda tk I Jawa Barat (Persentase perubahan) Implementasi UU HKPD Tahun anggaran 1994 / 1995

Skenario 0* 861,548

Skenario I -79.0%

Skenario 2 -74.8%

Skenario 3 -70.6%

1995 / 1996 1996 / 1997

941,631 963,720

-78.9% -75.0%

-74.6% -70.0%

-70.4% -65.0%

Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

20

Tabel L9. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat Pemda tk II Jawa Barat (Rp Juta) Implementasi UU HKPD Tahun anggaran 1994 / 1995

Skenario 0* 504,453

Skenario I 1,629,569

Skenario 2 1,955,483

Skenario 3 2,281,397

1995 / 1996 1996 / 1997

641,699 701,234

1,790,280 2,165,346

2,148,337 2,598,415

2,506,393 3,031,484

Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi

Tabel L10. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat Ke Pemda tk II Jawa Barat (Persentase perubahan) Implementasi UU HKPD Tahun anggaran 1994 / 1995

Skenario 0* 504,453

Skenario I 223.0%

Skenario 2 287.6%

Skenario 3 352.3%

1995 / 1996 1996 / 1997

641,699 701,234

179.0% 208.8%

234.8% 270.5%

290.6% 332.3%

Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi

Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

21