BUKU AJAR

Download Farmakoterapi 1 . Buku ajar ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa yang mengambil matakuliah Farma...

1 downloads 470 Views 1MB Size
BUKU AJAR MATA KULIAH :

FARMAKOTERAPI 1 FA 934220

Luh Putu Febryana Larasanty,S.Farm.,M.Sc.,Apt. 198402222008012008 Dewa Ayu Swastini, S.F.,M.Farm.,Apt. 197905162006042002

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2013

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ajar untuk matakuliah Farmakoterapi 1 . Buku ajar ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa yang mengambil matakuliah Farmakoterapi 1 dan dosen pengampu matakuliah Farmakoterapi 1. Buku ajar ini terdiri atas 5 pokok bahasan yang masing – masing memiliki sub bab untuk masing – masing materi pokok yang disusun sistematis dengan harapan memudahkan dalam memahami pokok bahasan tersebut. Buku ajar yang penulis susun masih jauh dari sempurna. Saran dan masukan dalam penulisan buku ajar ini akan sangat membantu dalam proses perbaikan dan perkembangan buku ajar sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar, khususnya pada matakuliah Farmakoterapi 1.

Jimbaran, Januari 2013

Penulis

i

DAFTAR ISI Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………. Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………………… …………… BAB I FARMAKOTERAPI HIPERTENSI………………………………………………………………………………. A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit…………………………………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi……………………………………………………………………………………………. D. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB II FARMAKOTERAPI DISLIPIDEMIA…………………………………………………………………………… A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit…………………………………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi Dislipidemia………………………………………………………………………… D. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB III FARMAKOTERAPI GANGGUAN GINJAL KRONIK…………………………………………………… A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit…………………………………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi Gangguan Ginjal Kronik……………………………………………………… D. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB IV FARMAKOTERAPI STROKE ISKEMIK…………………………………………………………………….. A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit Stroke Iskemik…………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi Akut Stroke Iskemik……………………………………………………………. D. Tatalaksana Terapi Pencegahan Serangan Ulang Stroke Iskemik………………………

i ii 1 2 4 16 26 28 29 32 37 48 50 51 52 62 72 74 75 77 83 95

E. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB V FARMAKOTERAPI STROKE PERDARAHAN…………………………………………………………….. A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Intraserebral…………………………………….. C. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Intraserebral………………………………………… D. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Subaraknoid……………………………………… E. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Subarakhnoid……………………………………….. F. Profil Obat Pasien Stroke Perdarahan……………………………………………………………….. G. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… .

104 106 107 110 114 121 126 129 139

ii

BAB I FARMAKOTERAPI HIPERTENSI

Oleh : LUH PUTU FEBRYANA LARASANTY 198402222008012008

1. Indikator Pencapaian

: Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan definisi hipertensi,

klasifikasi

hipertensi,

etiologi

dan

patofisiologi penyakit hipertensi, faktor resiko serta tatalaksana terapi non farmakologi dan farmakologi hipertensi. 2. Materi Pokok

: 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Hipertensi 2.3. Tatalaksana Terapi 2.4. Penutup

1

A. PENDAHULUAN

Worlds Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang diperkirakan telah menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global. Prevalensi terjadinya hipertensi di negara berkembang dan di negara maju hampir setara (Muchid dkk, 2006). Diseluruh dunia prevalensi terjadinya hipertensi diperkirakan sebanyak 1 milyar orang, dan sekitar 7,1 juta kematian pertahun dapat disebabkan karena hipertensi (NHBPEP, 2004). Di Amerika Serikat hampir sekitar 72 juta masyarakatnya mengalami hipertensi, yang juga disebut sebagai tekanan darah tinggi. Diperkirakan hampir sekitar 30% orang dewasa di Amerika mengalami hipertensi, membuatnya menjadi kondisi medis kronis yang paling sering ditemukan. Hipertensi juga merupakan salah satu faktor resiko yang paling signifikan untuk mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular yang terjadi karena kerusakan organ target pada pembuluh darah jantung, otak, ginjal dan mata. Komplikasi hipertensi dapat berwujud penyakit vaskular atherosklerosis atau bentuk lain dari penyakit kardiovaskular (Saseen, 2009). Laporan WHO menyebutkan bahwa tekanan darah sub optimal (tekanan darah sistolik > 115 mmHg) bertanggung jawab terhadap 62% penyakit serebrovaskular dan 49% penyakit jantung iskemik (NHBPEP, 2004). Hipertensi merupakan isu medis dan kesehatan masyarakat yang penting dan terus mengalami peningkatan. Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan peningkatan usia, dimana hampir separuh orang dengan usia 60 – 69 tahun mengalami hipertensi dan meningkat sampai dengan tiga per empat pada mereka yang berusia 70 tahun dan lebih tua. Peningkatan tekanan darah sistolik yang terkait usia merupakan penyebab utama pada peningkatan insidensi dan prevalensi hipertensi seiring peningkatan usia (NHBPEP, 2004). Kewaspadaan, perawatan dan kontrol terhadap hipertensi belumlah optimal. Berdasarkan data terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 2003 – 2004, hanya sekitar 76% pasien yang benar – benar mengalami hipertensi terdiagnosa untuk kondisi medis ini, selebihnya masih belum 2

terdiagnosa. Hanya sekitar 65% pasien dengan hipertensi yang menerima sejumlah bentuk perawatan untuk penyakitnya tersebut. Dan akhirnya, statistik yang paling mengecewakan adalah bahwa hanya sekitar 37% pasien dengan hipertensi, termasuk mereka yang hipertensinya belum terdiagnosa, yang tekanan darahnya dapat terkontrol dengan baik (Saseen, 2009). Kepatuhan terhadap terapi merupakan isu lain yang perlu diperhatikan dalam terapi hipertensi. Hampir 50% pasien yang memperoleh obat antihipertensi tidak meminum obat sesuai yang dianjurkan. Untuk dapat mencapai target tekanan darah yang diinginkan, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketaan pasien terhadap pengobatannya. Pendekatan yang paling efektif adalah dengan kombinasi strategi seperti edukasi, modifikasi sikap dan sistem yang mendukung. Praktek evidence-based medicine untuk hipertensi termasuk di dalamnya adalah memilihkan obat antihipertensi yang sesuai didasarkan pada data klinik pasien. Dengan pemilihan obat yang tepat dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan organ akibat hipertensi. Selain itu dengan membantu pasien memodifikasi pola hidupnya juga dapat membantu pasien mencapai tujuan terapi (Muchid, 2006). Adanya panduan tatalaksana terapi dapat mendukung managemen hipertensi pada pasien. Panduan ini dapat meningkatkan kewaspadaan, pencegahan, terapi dan kontrol terhadap hipertensi (NHBPEP, 2004).

3

B. PENGENALAN PENYAKIT

1. Definisi dan Klasifikasi Diagnosa hipertensi didasarkan pada pengukuran yang berulang, reproduksibel dari peningkatan tekanan darah. Klasifikasi tekanan darah oleh Joint National Committee (JNC) 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Pasien dengan

prehipertensi, yang juga mengalami diabetes atau gangguan ginjal, harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk mendapatkan terapi obat yang sesuai apabila modifikasi gaya hidup gagal untuk menurunkan tekanan darah menjadi 130/80 mmHg atau kurang. Pasien hipertensi stage 2 harus mendapatkan terapi obat baik tunggal maupun dalam kombinasi (Katzung, 2003; NHBPEP, 2004).

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg) < 120 Normal 120 – 139 Prehipertensi 140 – 159 Hipertensi Stage 1 ≥ 160 Hipertensi Stage 2

Tekanan Darah Diastolik (mmHg) dan < 80 atau 80 – 89 atau 90 – 99 atau ≥ 100

Krisis hipertensi merupakan situasi klinis dimana tekanan darah sangat meningkat, utamanya lebih besar dari 180/120 mmHg, yang kemudian dikategorikan sebagai hipertensi gawat darurat atau hipertensi urgensi. Hipertensi gawat darurat merupakan peningkatan tekanan darah ekstrim yang diikuti dengan kerusakan organ target akut atau progresif. Hipertensi urgensi merupakan peningkatan tekanan darah yang tinggi tanpa kerusakan organ target akut atau progresif (Saseen & Maclaughlin, 2008).

4

2. Etiologi dan Patofisiologi A. Etiologi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Hipertensi dapat merupakan hasil dari etiologi patofisiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau essensial). Hipertensi jenis ini tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol. Sejumlah kecil pasien memiliki penyebab spesifik untuk kondisi hipertensinya (hipertensi sekunder). Terdapat banyak penyebab potensial hipertensi sekunder, baik berupa kondisi medis yang bersamaan atau induksi endogen. Apabila penyebabnya dapat diidentifikasi, jenis hipertensi ini potensial dapat disembuhkan. a. Hipertensi essensial Lebih dari 90% individu dengan hipertensi memiliki jenis hipertensi essensial. Banyak mekanisme telah diidentifikasikan dapat berkontribusi terhadap patogenesis hipertensi essensial,

Sehingga tidak mungkin dapat mengetahui

penyebab abnormalitas yang utama. Faktor genetik memiliki peran penting dalam perkembangan hipertensi essensial. Terdapat bentuk monogenik dan poligenik dari disregulasi tekanan darah yang bertanggung jawab terhadap hipertensi essensial.

Banyak fitur sifat genetik ini yang mempengaruhi keseimbangan

natrium, namun mutasi genetik akan mengubah ekskresi urinari kalikrein, pelepasan nitrit okside, dan ekskresi aldosteron, steroid adrenal lainnya, dan angiotensin. Di masa depan, identifikasi individu dengan sifat genetiknya dapat menjadi pendekatan alternatif untuk mencegah atau menterapi hipertensi, namun saat ini belum dapat direkomendasikan. b. Hipertensi sekunder Kurang dari 10% pasien mengalami hipertensi sekunder yang mana penyakit komorbid atau obat dapat bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (tabel 2). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal yang disebabkan penyakit ginjal kronik yang parah atau penyakit renovaskular merupakan penyebab sekunder yang paling sering. Beberapa obat, baik langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan hipertensi atau memperburuk hipertensi dengan meningkatkan tekanan darah. Tabel 2 berisi daftar agen yang paling sering menyebabkan hipertensi, dimana beberapa diantaranya adalah produk herbal. 5

Walaupun secara teknis bukanlah obat, namun produk herbal ini juga telah diidentifikasi sebagai penyebab sekunder. Apabila penyebab sekunder telah teridentifikasi, menghilangkan agen penyebab (apabila memungkinkan) atau menterapi/mengkoreksi kondisi komorbid yang mendasari merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan (Saseen & Maclaughlin, 2008). Tabel 2. Penyebab sekunder hipertensi Penyakit Penyakit ginjal kronik Sindrom Cushing’s Coarctation of the aorta Obstructive sleep apnea Penyakit Paratiroid Feokromositoma Aldosteronisme primer Penyakit Renovaskular Penyakit Tiroid

Obat yang terkait dengan hipertensi pada manusia Obat keras (dengan resep)a • Steroid adrenal (misalnya prednison, fludrokortison, triamsinolon) • Amfetamin/anoreksian (misalnya fendimetrazine, fentermine, sibutramine) • Obat antivaskular endothelin growth factor (bevacizumab, sorafenib, sunitinib), estrogen (biasanya kontrasepsi oral) • Inhibitor kalsineurin (siklosporin dan trakolimus) • Dekongestan (fenilpropanolamin dan analognya) • Erythropoiesis stimulating agents (erithropoietin dan darbepoietin) • Obat antiinflamasi nonsteroid, inhibitor siklooksigenase2 • Lain – lain : venlafaksin, bromokriptin, bupraprion, buspirone, karbamazepine, klozapine, desulfrane, ketamin, metoklopramide • Situasi : beta bloker atau alfa agonis aksi sentral (apabila secara tiba – tiba dihentikan); beta bloker tanpa alfa bloker saat pertama kali digunakan untuk terapi feokromositoma Narkotika dan obat – obat berbahaya • Kokain dan penghentian kokain • Alkaloid efedrin (misalnya Ma-Huang), “ekstasi herbal”, analog fenilpropanolamin lainnya • Penghentian nikotin, steroid anabolik, penghentian narkotik, metilphenidate, fensiklidin, ketamin, ergotamin dan produk herbal yang mengandung ergot, St. John’s wort Substansi makanan • Natrium • Etanol • Licorice • Makanan yang mengandung tiramin apabila mendapatkan obat inhibitor monoamine oksidase a. Obat yang paling penting secara klinik

6

B. Patofisiologi (Saseen & Maclaughlin, 2008; Riaz, 2011) Patogenesis dari hipertensi essensial sangat multifaktorial dan kompleks. Sejumlah faktor mengatur tekanan darah agar dapat menghasilkan perfusi jaringan yang adekuat, termasuk di dalamnya adalah mediator humoral, reaktivitas vaskular, sirkulasi volume darah, mutu pembuluh darah, viskositas darah, output jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis dari hipertensi esensial kemungkinan melibatkan beberapa faktor, termasuk perubahan genetik, intake diet garam yang berlebih dan kesesuaian hormon andrenergik dapat saling berinteraksi untuk

menyebabkan

terjadinya

hipertensi.

Walaupun

genetika

tampaknya

berkontribusi terhadap munculnya hipertensi esensial, mekanisme yang tepat tentang bagaimana pengaruhnya, sampai saat ini belum dapat dipastikan (Riaz, 2011). a. Tekanan darah arteri Tekanan darah arteri adalah tekanan pada dinding arteri yang diukur dalam milimiter raksa (mmHg). Terdapat 2 tipe tekanan darah arteri yaitu tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik diperoleh selama kontraksi jantung dan mewakili nilai puncak tekanan darah. Tekanan darah diastolik dicapai setelah kontraksi pada saat ruang jantung terisi darah, dan mewakili nilai nadir. Perbedaan antara tekanan darah sistolik dan distolik disebut tekanan nadi dan merupakan ukuran tekanan dinding arteri. Tekanan darah arteri rata – rata merupakan tekanan rata – rata sepanjang siklus kontraksi jantung, kadang – kadang digunakan secara klinis untuk mewakili keseluruhan tekanan darah arteri, terutama dalam keadaan hipertensi darurat (Saseen & Maclaughlin, 2008). Sepanjang siklus jantung, duapertiga waktu dihabiskan untuk diastole dan sepertiga untuk sistole. Konsekuensinya tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : Tekanan Arteri Rata – rata : (SBP . 1/3) + (DBP . 2/3) Tekanan darah arteri secara hemodinamik dihasilkan oleh interaksi antara aliran darah dan tahanan terhadap aliran darah. Hal ini secara matematika didefinisikan sebagai hasil dari curah jantung dan tahanan perifer total menggunakan persamaan di bawah ini : 7

Tekanan Darah : Curah Jantung . Tahanan Perifer Total (cardiac ouput) . (total peripheral resistance) Tabel 3. Mekanisme potensial patogenesis hipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Tekanan darah secara matematis merupakan hasil dari curah jantung dan tahanan perifer. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan dari peningkatan curah jantung dan/atau peningkatan tahanan perifer total. Peningkatan curah jantung Peningkatan preload jantung : • peningkatan volume cairan dari intake natrium yang berlebihan atau retensi natrium ginjal (karena penurunan jumlah nefron atau penurunan filtrasi glomerulus Kontraksi vena • Stimulasi berlebih dari sistem reninangiotensin-aldosteron • Overaktivitas sistem syaraf simpatik Peningkatan tahanan perifer Penyempitan pembuluh darah fungsional • Stimulasi berlebih dari sistem reninangiotensin-aldosteron • Overaktivitas sistem syaraf simpatik • Perubahan genetik membran sel • Endothelial-derived factors Hipertrofi pembuluh darah struktural • Stimulasi berlebih dari sistem reninangiotensin-aldosteron • Overaktivitas sistem syaraf simpatik • Perubahan genetik membran sel • Endothelial-derived factors • Hiperinsulinemia disebabkan karena obesitas atau sindrom metabolik

Curah jantung merupakan penentu utama dari tekanan darah sistolik, sedangkan tahanan perifer total sangat menentukan tekanan darah diastolik. Pada gilirannya, curah jantung merupakan fungsi dari volume stroke, denyut jantung, dan kapasitas vena. Pada kondisi fisiologis normal, tekanan darah arteri berfluktuasi sepanjang hari. Fluktuasi ini mengikuti ritme sirkadian, yang mana turun ke nilai paling rendah setiap harinya selama tidur. Diikuti dengan kenaikan tajam mulai dari beberapa jam sebelum terbangun dan nilai tertinggi terjadi menjelang siang hari. Tekanan darah juga meningkat akut selama aktivitas fisik atau stress emosional. Tabel 3 memuat beberapa faktor yang dapat meningkatkan curah jantung dan tahanan perifer total yang kemudian dapat meningkatkan tekanan darah (Saseen & Maclaughlin, 2008). 8

Gambar 1. Mekanisme patofisiologi hipertensi (http://www.ucla.edu.ve/dmedicin/magazine/fisiopatologia/fisiopatologia-temas-010_archivos/frame.htm) b. Mekanisme humoral Sejumlah abnormalitas humoral ambil bagian dalam munculnya hipertensi essensial. Abnormalitas ini melingkupi sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon natriuretik dan hiperinsulinemia. i.

Sistem renin-angiotensin-aldosteron Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) merupakan sistem endogen kompleks yang terlibat dengan sebagian besar komponen pengatur tekanan darah arteri. Aktivasi dan pengaturan sistem ini, utamanya diatur oleh ginjal (gambar 2). Sistem RAA mengatur natrium, kalium dan keseimbangan cairan. Karenanya sistem ini secara signifikan berpengaruh terhadap tonus vaskular dan aktivitas sistem syaraf simpatik dan merupakan kontributor yang paling berpengaruh terhadap pengaturan homeostatik dari tekanan darah. Renin merupakan enzim yang tersimpan pada sel jukstaglomerular, yang lokasinya pada arteriola afferent ginjal. Pelepasan renin dimodulasi oleh beberapa faktor : faktor intrarenal (misalnya : tekanan perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II), dan faktor ekstrarenal (misalnya : natrium, klorida dan kalium). Sel jukstaglomerular berfungsi sebagai bagian baroreseptor. Penurunan tekanan 9

arteri ginjal dan aliran darah ginjal akan dirasakan oleh sel ini dan akan menstimulasi

sekresi renin.

Apparatus

jukstaglomerular

juga

mencakup

sekelompok sel tubulus distal khusus yang secara kolektif disebut sebagai macula densa. Penurunan kadar natrium dan klorida akan dikirim ke tubulus distal dan menstimulasi pelepasan renin. Katekolamin akan meningkatkan pelepasan renin kemungkinan secara langsung melalui stimulasi syaraf simpatik pada arteriola afferent yang pada gilirannya akan mengaktivasi sel jukstaglomerular. Penurunan serum kalium dan/atau kalsium intraseluler akan terdeteksi oleh sel jukstaglomerular menghasilkan sekresi renin.

Gambar 2. Sistem renin – angiotensin – aldosteron (Saseen & Maclaughlin, 2008) Renin mangkatalisasi konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I pada darah. Angiotensin I kemudian akan dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Setelah berikatan pada reseptor yang spesifik (diklasifikasikan sebagai sub tipe AT1 atau AT2), angiotensin II akan menimbulkan efek biologik pada beberapa jaringan. Reseptor AT1 berlokasi pada 10

otak, ginjal, miokardium, pembuluh darah perifer dan kelenjar adrenal, merupakan reseptor yang memediasi sebagian besar respon akut pada fungsi ginjal dan kardiovaskular, sehingga berperan dalam pengaturan tekanan darah. Sirkulasi angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah melalui tekanan dan efek volume. Efek tekanan termasuk vasokontriksi langsung, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan secara sentral akan memediasi peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik. Angiotensin II juga menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal. Hal ini akan memicu reabsorpsi natrium dan air yang akan meningkatkan volume plasma, tahanan perifer total, dan kemudian peningkatan tekanan darah. Secara jelas, setiap gangguan pada tubuh yang memicu aktivasi sistem RAA dapat memicu terjadinya hipertensi kronik. ii.

Hormon natriuretik Hormon natriuretik menghambat natrium dan kalium-adenosin trifosfat sehingga mengganggu transport natrium melintasi membran sel. Cacat bawaan pada kemampuan ginjal untuk mengeliminasi natrium dapat menyebabkan peningkatan volume darah.

Kompensasinya adalah peningkatan konsentrasi hormon

natriuretik tersirkulasi, yang secara teoritis dapat meningkatkan ekskresi urinari dari natrium dan air. Namun hormon yang sama ini juga dapat memblok transport aktif dari natrium keluar dari sel otot polos arteriolar. Peningkatan konsentrasi natrium intraseluler dapat meningkatkan tonus vaskular dan tekanan darah. iii.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia Munculnya hipertensi dan hubungannya dengan abnormalitas metabolik disebut sebagai sindrom metabolik. Secara hipotesis, peningkatan konsentrasi insulin dapat memicu hipertensi karena peningkatan retensi natrium ginjal dan mengganggu aktivitas sistem syaraf simpatik. Lebih lagi, insulin memiliki aksi seperti hormon pertumbuhan yang mana dapat menginduksi terjadinya hipertrofi pada sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan kalsium intraseluler, yang mana dapat memicu peningkatan resistensi vaskular. Mekanisme pasti bagaimana resistensi insulin dan hiperinsulinemia dapat menimbulkan hipertensi masih belum diketahui. Namun 11

demikian, hubungannya sangat kuat karena populasi yang mengalami obesitas abdominal, dislipidemia dan peningkatan glukosa puasa sangat sering ditemui pada pasien hipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008). c. Regulasi neuronal Sistem syaraf pusat dan autonomik secara intrinsik terlibat pada pengaturan tekanan darah arteri. Sejumlah reseptor baik yang meningkatkan atau menghambat pelepasan norefinefrin terletak pada permukaaan presinaptik dari terminal simpatik. Tujuan dari mekanisme neuronal ini adalah untuk mengatur tekanan darah dan mempertahankan homeostasis. Gangguan patologik pada salah satu dari 4 komponen utama yang meliputi serabut syaraf autonom, reseptor adrenergik, baroreseptor, atau sistem syaraf pusat dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah kronik. Sistem ini secara fisiologis saling berhubungan. Cacat pada satu komponen dapat menyebabkan gangguan pada fungsi normal komponen yang lain, dan hal tersebut akan menyebabkan terjadinya akumulasi abnormalitas yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. d. Komponen autoregulasi perifer Abnormalitas

pada

ginjal

atau

sistem

jaringan

autoregulator

dapat

menyebabkan hipertensi. Kemungkinan besar yang terjadi pertama kali adalah gangguan pada ekskresi natrium ginjal, yang dapat menyebabkan perubahan setting pada proses autoregulator jaringan shingga menghasilkan tekanan darah arteri yang lebih besar.

Ginjal biasanya mempertahankan tekanan darah normal melalui

mekanisme adaptif volume-tekanan. Bilamana tekanan darah

turun, ginjal akan

memberikan respon dengan meningkatkan retensi terhadap natrium dan air. Perubahan ini akan memicu ekspansi volume plasma yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, apabila tekanan darah meningkat diatas normal, ekskresi natrium dan air akan ditingkatkan untuk menurunkan volume plasma dan curah jantung. Mekanisme ini akan mempertahankan homeostatik kondisi tekanan darah. e. Mekanisme endothelial pembuluh darah Endotel pembuluh darah dan otot polos memegang peran penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah dan tekanan darah. Fungsi pengaturan ini dimediasi 12

melalui substansi vasoaktif yang disintesis oleh sel endothelial. Telah dipostulasikan bahwa defisiensi sintesis lokal pada substansi vasodilator (protasiklin dan bradikinin) atau berlebihnya substansi vasokontriktor (angiotensin II dan endothelin I) berkontribusi

terhadap

hipertensi

essensial,

atherosclerosis

dan

penyakit

kardiovaskular lainnya. Nitrit okside diproduksi di endothelium, merelaksasi epithelium pembuluh darah, dan merupakan vasodilator yang sangat potent. Sistem nitrit okside merupakan pengatur tekanan darah arteri yang sangat penting. Pasien dengan hipertensi dapat memiliki defisiensi intrinsik nitrit okside, menyebabkan vasodilatasi yang tidak adekuat. f. Elektrolit dan senyawa kimia lainnya Data epidemiologi dan klinis menunjukan adanya hubungan antara intake natrium yang berlebih terhadap terjadinya hipertensi. Penelitian pada populasi mengindikasikan diet tinggi garam berhubungan dengan kemungkinan terjadinya stroke dan hipertensi. Sebaliknya, diet rendah garam dihubungkan dengan prevalensi hipertensi yang rendah. Perubahan homeostasis kalsium juga memegang peranan penting dlam patogenesis hipertensi. Kurangnya asupan kalsium dari makanan secara hipotetis dapat mengganggu keseimbangan antara kalsium intraseluler dan ekstraseluler, menghasilkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Ketidakseimbangan ini dapat mengganggu fungsi otot polos vascular dengan terjadinya peningkatan tahanan vascular perifer. Peran fluktuasi kalium sampai saat ini belum dapat dipahami dengan baik (Saseen & Maclaughlin, 2008).

3. Manifestasi Klinik Secara umum, pasien yang mengalami hipertensi dapat terlihat sangat sehat. Beberapa pasien dapat memiliki beberapa faktor resiko kardiovaskular tambahan, misalnya : a. Usia (≥ 55 tahun untuk pria dan 65 tahun untuk wanita) b. Diabetes mellitus 13

c. Dislipidemia (peningkatan low-density lipoprotein-cholesterol, kolesterol total, dan/atau trigliserid; penurunan high-density lipoprotein-cholesterol) d. Mikroalbuminuria e. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dini f. Obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2 g. Inaktif secara fisik h. Merokok (Saseen & Maclaughlin, 2008). Kebanyakan pasien tidak menunjukan gejala (asimptomatik), sehingga banyak pasien yang tidak waspada terhadap adanya hipertensi. Beberapa gejala yang dapat muncul pada pasien hipertensi antara lain : a. Sakit kepala, merupakan gejala yang paling sering terjadi, namun sangat tidak spesifik. Sakit kepala berdenyut pada daerah suboccipitalis, yang biasanya muncul pada awal pagi hari dan mereda pada siang hari, dikatakan sebagai karakteristik hipertensi, namun berbagai jenis sakit kepala dapat muncul. b. Somnolence c. Bingung d. Gangguan visual e. Mual dan muntah (hipertensi ensefalopati) (McPhee & Massie, 2006). Selain melihat gejala hipertensi, pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui penyebab hipertensi, durasi dan keparahannya, serta tingkat pengaruhnya pada organ target. Tanda hipertensi yang dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik antara lain : a. Tekanan darah : pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan apabila denyut pada ekstremitas bawah diminished atau delayed, pada kaki untuk mengeksklusi koartasi dari aorta. Penurunan ortostatik biasanya muncul pada feokromositoma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi kesalahan pembacaan peningkatan tekanan darah pada sphygmomanometri dikarenakan pembuluh darah yang tidak kompresibel. Kadang kala, mungkin diperlukan pengukuran langsung pada tekanan intra-arterial, terutama pada pasien hipertensi berat yang tidak toleran terhadap terapi. 14

b. Retina : penyempitan diameter arteri sampai kurang dari 50% dari diameter vena, munculnya serat berwarna tembaga atau perak, eksudat, perdarahan atau papilledema dihubungkan dengan prognosis yang buruk. c. Jantung dan arteri : pelebaran ventrikel kiri dengan ventrikel kiri yang menyembul mengindikasikan hipertrofi yang berat dan lama. Pasien yang lebih tua seringkali mengalami murmur ejeksi sistolik yang disebabkan kalsifikasi aorta sklerosis. d. Denyut nadi : waktu nadi ekstremitas atas dan bawah harus dibandingkan untuk mengeksklusi koartasi dari aorta. Semua denyut nadi perifer utama harus dievaluasi untuk mengeksklusi diseksi aorta dan atherosklerosis perifer, yang mungkin berhubungan dengan keterlibatan arteri ginjal (McPhee & Massie, 2006). Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan termasuk diantaranya adalah pemeriksaan hemoglobin, urinalisis dan fungsi ginjal untuk mendeteksi hematuria, proteinuria, dan warna tambahan (casts), untuk menandai adanya penyakit ginjal primer atau nefrosklerosis, penentuan konsentrasi serum K+, konsentrasi aldosteron plasma, dan aktivitas plasma renin dan perhitungan rasio plasma aldosteron/renin untuk mendeteksi kelebihan mineralokortikoid. Pemeriksaan level gula

darah

puasa,

karena

hiperglikemia

berkaitan

dengan

diabetes

dan

feokromositoma, lipid plasma sebagai indikator resiko atherosklerosis dan sebagai tambahan target terapi. Pemeriksaan serum asam urat, yang mana bila meningkat merupakan kontraindikasi relatif penggunaan terapi diuretik (McPhee & Massie, 2006).

15

C. TATALAKSANA TERAPI

Tujuan utama terapi antihipertensi adalah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal. Biasanya, satu – satunya tanda dari hipertensi essensial hanyalah peningkatan tekanan darah. Hasil pemeriksaan fisik lainnya dapat saja normal. Evaluasi medis yang lengkap direkomendasikan setelah diagnosa untuk mengidentifikasi penyebab sekunder, mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular atau kondisi komorbid dan untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan organ target terkait hipertensi. Data tersebut dapat digunakan untuk menetapkan prognosis dan/atau panduan terapi (Saseen & Maclaughlin, 2008). Kebanyakan orang dengan hipertensi, khususnya mereka dengan usia > 50 tahun akan mencapai target tekanan darah diastolik pada saat target tekanan darah sistolik tercapai, fokus utama adalah untuk mecapai target tekanan darah sistolik. Target tekanan darah sistolik dan diastolik < 140/90 mmHg dihubungkan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien hipertensi dengan diabetes atau penyakit ginjal target tekanan darahnya adalah < 130/80 mmHg (tabel 4). Hasil penelitian klinis menunjukan bahwa pemberian terapi antihipertensi dapat menurunkan insidensi terjadinya stroke sebesar 35 – 40%, infark miokard sebesar 20 – 25% dan gagal jantung sebesar > 50% (NHBPEP, 2004). Tabel 4. Target tekanan darah yang direkomendasikan oleh American Heart Association tahun 2007 Sebagian besar pasien sebagai pencegahan umum Pasien dengan diabetes (dijelaskan sebagai penyakit yang resikonya ekuivalen dengan penyakit arteri koroner), gagal ginjal kronik signifikan, penyakit arteri koroner (infark miokard, angina stabil, angina unstabil), penyakit pembuluh darah atherosklerotik nonkoroner (stroke iskemik, transient iskemik attack, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdomen [dimaksud resiko yang setara dengan penyakit jantung koroner]), atau nilai resiko Framingham 10% atau lebih. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (gagal jantung)

< 140/90 mmHg < 130/80 mmHg

< 120/80 mmHg

16

1. Terapi Non Farmakologi Seluruh pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus diberikan modifikasi gaya hidup. Tabel 5 berisi daftar modifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah. Pendekatan ini direkomendasikan oleh Joint National Committee 7 (JNC7) dan American Heart Association (AHA). Modifikasi gaya hidup ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik kecil sampai sedang. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan resiko perkembangan penyakit menjadi hipertensi pada pasien dengan prehipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008). Adopsi gaya hidup sehat oleh semua orang merupakan pencegahan penting peningkatan tekanan darah dan merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam penanganan pasien dengan hipertensi (NHBPEP, 2004). Penurunan berat badan minimal 4,5 kg dapat menurunkan tekanan darah dan/atau mencegah terjadinya hipertensi pada sejumlah besar pasien dengan bobot tubuh berlebih, walaupun idealnya adalah bagaimana mempertahankan berat badan normal. Adopsi Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) juga bermanfaat untuk tekanan darah. DASH tersusun atas diet kaya buah, sayuran dan produk susu rendah lemak dengan reduksi lemak total dan lemak jenuh (modifikasi seluruh diet). DASH kaya akan kandungan potassium dan kalsium. Asupan sodium dari makanan harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol perhari (2,4 gram sodium). Setiap orang harus bisa melakukan aktivitas fisik aerobik secara reguler misalnya dengan melakukan jalan cepat paling tidak selama 30 menit per hari pada sebagian besar hari sepanjang minggu. Intake alkohol harus dibatasi tidak lebih dari 1 oz (30 mL) etanol, setara dengan dua kali minum per hari pada pria dan tidak lebih dari 0,5 oz etanol

(satu kali

minum) perhari pada wanita dan orang yang kurus. Satu kali minum adalah 12 oz bir atau 5 oz wine atau 1,5 oz liquor 80%. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mencegah atau memperlambat insidensi hipertensi, meningkatkan efikasi obat antihipertensi dan menurunkan resiko kardiovaskular (NHBPEP, 2004).

17

Tabel 5. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan penanganan hipertensi (NHBPEP, 2004). Modifikasi

Penurunan berat badan

Rekomendasi

Perkiraan penurunan tekanan darah sistolik (rentang) 5 – 20 mmHg/10 kg

Mempertahankan berat badan normal (indeks massa tubuh 18,5 – 24,9 kg/m2) Konsumsi makanan kaya buah, 8 – 14 mmHg Dietary Approaches to sayuran, dan produk susu rendah Stop Hypertension (DASH) lemak dengan menurunkan kadar lemak total dan lemak jenuh Penurunan intake Penurunan intake sodium dari 2 – 8 mmHg sodium makanan makanan menjadi tidak lebih dari 100 mmol perhari (2,4 g sodium atau 6 g sodium klorida Aktivitas fisik Melaksanakan aktivitas fisik aerobik 4 – 9 mmHg reguler seperti jalan cepat (paling tidak 30 menit per hari pada sebagian besar hari dalam seminggu) Konsumsi alkohol Batasi konsumsi alkohol tidak lebih 2 – 4 mmHg secukupnya dari 2 kali minum (misalnya 24 oz bir, 10 oz wine, atau 3 0z wiski 80%) perhari pada sebagian besar pria, dan tidak lebih dari 1 kali minum perhari pada wanita dan orang yang lebih ringan Untuk keseluruhan penurunan resiko kardiovaskular, hentikan merokok 2. Terapi Farmakologi

Sejumlah besar obat telah tersedia untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Terdapat 9 kelompok obat antihipertensi yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan hipertensi yaitu golongan diuretik, golongan antagonis aldosteron, golongan pemblok kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB), golongan beta blocker (BB), golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), golongan angiotensin II reseptor blocker (ARB), golongan alpha – 1 blocker, golongan central alpha – 2 agonist and other centrally acting drugs dan golongan vasodilator langsung. Golongan diuretik, beta blocker, ACEI, ARB dan CCB dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat – obat ini baik sendiri atau kombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena berdasarkan hasil 18

penelitian klinis menunjukan keuntungan dan adanya penurunan resiko terjadinya komplikasi hipertensi dengan penggunaan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan CCB) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Golongan alpha – 1 blocker, golongan central alpha – 2 agonist and other centrally acting drugs dan golongan vasodilator langsung digunakan sebagai obat alternatif pada pasien – pasien tertentu disamping obat utama (Muchid, dkk, 2006; NHBPEP, 2004; Saseen & Maclaughlin, 2008) Pemilihan terapi obat awal

Tanpa komplikasi

Hipertensi stage 1 TDS 140 – 159 mmHg atau TDD 90 -99 mmHg

Diuretik tiazid (A-1) ACEI, ARB, CCB atau kombinasi (A-2)

Dengan komplikasi (gambar 4)

Hipertensi stage 2 TDS ≥160 mmHg atau TDD ≥ 100 mmHg

Kombinasi 2 obat antihipertensi untuk sebagian besar pasien (A-3) Biasanya diuretik tiazid dengan ACEI atau ARB atau CCB (A-4)

Gambar 3. Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi tanpa komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Dua per tiga pasien hipertensi tidak dapat dikontrol tekanan darahnya dengan hanya menggunakan 1 macam obat dan membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi yang dipilihkan dari golongan obat yang berbeda. Sebagai contohnya, penelitian ALLHAT menunjukan bahwa sebanyak 60% pasien yang tekanan darahnya terkontrol < 140/90 mmHg mendapatkan 2 atau lebih obat antihipertensi dan hanya 30% yang tekanan darahnya dapat terkontrol dengan 1 obat antihipertensi. Pada pasien dengan target tekanan darah lebih rendah atau mengalami peningkatan tekanan darah substansial, penggunaan 3 atau lebih obat antihipertensi mungkin 19

dibutuhkan (NHBPEP, 2004). Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi dapat dilihat pada gambar 3. Huruf A, B dan C menunjukan kekuatan rekomendasi, secara berurutan menunjukan bukti yang baik, sedang dan buruk untuk mendukung rekomendasi. Angka 1, 2 dan 3 menunjukan kualitas dari bukti yang ada. Angka 1 menunjukan bukti dari lebih dari 1 penelitian randomisasi yang terkontrol dengan baik. Angka 2 menunjukan bukti dari paling tidak 1 penelitian klinis dengan desain yang baik dengan randomisasi; dari penelitian kohort atau penelitian analitik kasus kontrol; atau hasil yang dramatis dari penelitian tanpa kelompok kontrol atau analisis subgroup. Angka 3 menunjukan bukti diambil dari opini ahli yang dipercaya, berdasarkan pengalaman klinis, penelitian deskriptif atau laporan dari kelompok ahli (Saseen & Maclaughlin, 2008). Penyakit komplikasi

Left Ventricular Function

Pasca Infark Miokard

Penyakit Koroner

Diabetes mellitus

Gagal Ginjal Kronik

Pencegahan Stroke Ulang

Farmakoterapi Standar Diuretik dengan ACEI (A-1); kemudian tambahkan BB (A-1)

BB (A-1); kemudian tambahkan ACEI (A-1) atau ARB (A-2)

BB (A-1); kemudian tambahkan ACEI (A-1) atau ARB (A2)

ACEI (A-1);

ACEI (A-1);

atau

atau

ARB (A-2)

ARB (A-1)

ARB (A-2) atau Antagonis aldosteron (A-2)

Antagonis aldosteron (A-2)

CCB (B-2), diuretik (B-2)

Diuretik (B-2)

Diuretik dengan ACEI (A-2) atau ARB (A-2)

Farmakoterapi Tambahan

BB (B-2), CCB (B-2)

Gambar 4. Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi dengan komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008). 20

1. Diuretik Diuretik tiazid secara tradisional digunakan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien. Panduan JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid apabila memungkinkan sebagai terapi lini pertama pada sebagian besar pasien, yang mana merupakan farmakoterapi tradisional untuk hipertensi. Panduan dari AHA tidak merekomendasikan pemilihan diuretik tiazid melebihi penggunaan ACEI, ARB atau CCB sebagai terapi lini pertama. Rekomendasi penggunaan diuretik tiazid sebagai terapi lini pertama oleh JNC 7 berdasarkan hasil penelitian dari the Antihypertensive and LipidLowering Treatment to Prevent Heart attack Trial (ALLHAT) yang menunjukan bahwa penggunaan

klorthalidone

(diuretik

tiazid)

menunjukan

penurunan

resiko

kardiovaskular melebihi obat – obat antihipertensi yang lebih baru (lisinopril atau amlodipine). Secara keseluruhan, diuretik tiazid masih tidak tertandingi dalam kemampuannya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular pada sebagian besar pasien. Karena sebagian besar pasien membutuhkan dua atau lebih obat untuk mengontrol tekanan darah, salah satunya haruslah diuretik tiazid, kecuali ada kontraindikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008). 2. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) Walaupun diuretik tiazid masih merupakan farmakoterapi konvensional sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi, namun banyak bukti klinik yang juga menunjukan bahwa penggunaan ACEI, CCB atau ARB dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi. Panduan terapi yang diterbitkan The United Kingdom Guidelines mengelompokan pasien berdasarkan usia dan ras, panduan ini merekomendasikan penggunaan ACEI sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan usia kurang dari 55 tahun (Saseen & Maclaughlin, 2008). 3. Penyekat Kanal Kalsium (Calcium Channels Blockers / CCB) Penyekat kanal kalsium dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan perbedaan strukturnya yaitu kelompok dihidropiridin dan non-dihipropiridin. CCB dihidropiridin berikatan dengan kanal kalsium tipe L pada otot polos vaskular, yang mana menghasilkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Penggunaanya efektif sebagai monoterapi pada pasien kulit hitam dan pasien usia lanjut. CCB 21

nondihidropiridin berikatan dengan kanal kalsium tipe L pada nodus sinoatrial nodus atrioventrikular, dan dapat meningkatkan kerja miokardium dan pembuluh darah. Obat – obat kelompok ini lebih bagus efeknya pada pasien kulit hitam (Riaz, 2011). Tabel 6. Obat antihipertensi golongan diuretik Sub kelas

Dosis lazim (mg/hari)

Frekuensi harian

Catatan

12,5 – 25 12,5 – 25 1,25 – 2,5 2,5 – 5

1 1 1 1

Berikan obat pada pagi hari untuk mencegah diuresis noktural; tiazid merupakan antihipertensi yang lebih efektif dibandingkan dengan loop diuretik pada kebanyakan pasien; gunakan dosis lazim untuk meminimalkan efek samping metabolik; idealnya pertahankan konsentrasi potassium antara 4,0 – 5,0 mEq/L untuk meminimalkan efek metabolik; hidroklorotiazid dan klorthalidon umumnya dipilih, dengan dosis 25 mg/hari sebagai dosis efektif maksimum; klorthalidon setidaknya 2 kali lebih pten dibandingkan hidroklorotiazid; memiliki tambahan keuntungan pada pasien osteoporosis, membutuhkan tambahan pengawasan pada pasien dengan sejarah gout atau hiperglikemia.

Loop - Bumetanide - Furosemide - Torsemide

0,5 – 4 20 – 80 5 – 10

2 2 1

Obat diberikan pada pagi atau sore hari untuk mencegah diuresis nokturnal. Dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk pasien dengan penurunan filtrasi glomerulus yang parah atau disfungsi ventrikel kiri.

Hemat Kalium - Amiloride - Triamteren

5 – 10 50 – 100

1 atau 2 1 atau 2

Obat diberikan pada pagi atau sore untuk mencegah diuresis noktural; merupakan diuretik lemah yang biasanya digunakan dalam kombinasi dengan diuretik tiazid untuk meminimalkan efek hipokalemia; hindari penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal kronik (perkiraan kecepatan filtrasi glomerulus 2mg/dL pada pria), dan diabetes tipe 2 dengan mikroalbuminuria; hindari penggunaan spironolaton pada pasien dengan gagal ginjal kronik (perkiraan 2 kecepatan filtrasi glomerulus 30

34

kg/m2 atau ukuran pinggang > 40 inci (101,6 cm) pada pria atau 35 inci (88,9 cm) pada wanita. 3) Tes laboratorium : Peningkatan kolesterol total, LDL, trigliserida, apolipoprotein B, C-reactive protein serta penurunan level HDL. Klasifikasi kadar lipid dan kolesterol dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. 4) Tes diagnostik lainnya : Lipoprotein(a), homosistein, serum amiloid A, small dense LDL (pola B), subklasifikasi HDL, isoform apolipoprotein E, apolipoprotein A-1, fibrinogen, folate, titer Chlamydia pneumoniae, lipoprotein terkait fosfolipase A2, omega-3 indeks. Tes diagnostik lain termasuk tes skrining manifestasi penyakit vaskular (ankle-brachial index, exercise testing, magnetic resonance imaging) dan diabetes (glukosa puasa, tes toleransi glukosa oral) (Talbert, 2008). Tabel 2. Klasifikasi total kolesterol, LDL, HDL kolesterol dan trigliserida Jenis Klasifikasi Kolesterol total Desirable 55 mL/menit

Scr > 2,5 mg/dL GFR 13 – 24 mL/menit

Lanjutkan asupan protein seperti biasa

Pembatasan protein menjadi 0,6 g/kg/hari

Scr/GFR stabil

Lanjutkan asupan protein seperti biasanya

Peningkatan Scr dan/atau penurunan GFR Batasi asupan protein menjadi 0,8 g/kg/hari

Modifikasi gaya hidup sesuai JNC VIII

• Pencapaian target TD secara perlahan • Pemilihan agen farmakologi awal berdasarkan rekomendasi JNC VIII Tambahkan diuretik apabila ada bukti retensi cairan : • Clcr < 30mL/menit Loop diuretik Loop diuretik + thiazid atau metolazone

Tambahkan β-bloker, klonidin, minoksidil, atau α-bloker

Gambar 3. Strategi terapetik untuk mencegah perkembangan penyakit ginjal pada pasien nondiabetik (Joy et all, 2008) 1). Penanganan hipertensi Target kontrol tekanan darah harus pada level normotensif < 130/80 mmHg pada pasien gangguan ginjal kronik. Pada pasien dengan proteinuria di atas 3g/hari dan GGK, terapi ACEI atau ARB masih dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Hiperlipidemia harus diterapi untuk menurunkan resiko kardiovaskular dan adanya kemungkinan antara 66

abnormalitas lipid dan progresifitas GGK (Joy et all, 2008). Pengukuran konsentrasi serum kalium dan perhitungan GFR harus dilakukan pada pasien GGK sebelum memulai terapi ACEI/ARB. Pengukuran ini harus diulang kembali antara minggu 1 dan minggu 2 setelah memulai terapi ACEI/ARB dan setelah setiap peningkatan dosis. Terapi ACEI/ARB normalnya tidak dapat diberikan apabila serum kalium sebelum terapi secara signifikan di atas rentang normal acuan (biasanya lebih dari 5,0 mmol/L). Bilamana hiperkalemia menghalangi penggunaan ACEI/ARB, penilaian, investigasi dan terapi faktor lainnya yang diketahui memicu hiperkalemia harus dilakukan dan konsentrasi serum kalium dicek ulang. Pemberian ACEI harus dihentikan apabila konsentrasi serum kalium meningkat menjadi 6,0 mmol atau lebih dan obat lain yang diketahui memicu hiperkalemia telah dihentikan (NICE, 2008). Apabila terjadi penurunan nilai GFR perkiraan atau peningkatan plasma kreatinin setelah memulai atau pada saat peningkatan dosis ACEI/ARB, namun kurang dari 25% (eGFR) atau 30% (serum kreatinin) dibandingkan nilai awal, lakukan tes ulang setelah 1 – 2 minggu. Jangan melakukan modifikasi dosis ACEI/ARB apabila ada perubahan nilai GFR kurang dari 25% dibandingkan nilai awal sebelum terapi atau peningkatan kreatinin plasma kurang dari 30% dibandingkan nilai awal sebelum terapi. Apabila perubahan nilai eGFR 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% atau lebih lakukan penyelidikan apakah ada penyebab lain yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal semisal deplesi volume atau obat – obat yang diberikan bersamaan (contohnya NSAIDs). Apabila tidak terdapat penyebab perburukan fungsi ginjal lainnya, hentikan terapi ACEI/ARB atau turunkan dosis menjadi dosis sebelumnya yang masih dapat ditoleransi, dan tambahkan obat antihipertensi alternatif apabila dibutuhkan (NICE, 2008).

67

TEKANAN DARAH > 130/80 MMHG APABILA TD > 15-20/10 MMHG DI ATAS TARGET BP, KOMBINASIKAN LANGKAH 1 DAN 2 TARGET TD = 30%, hentikan obat

TD belum mencapai target ( 160 mmHg terdeteksi pada > 60% pasien dengan stroke akut. Baik peningkatan maupun penurunan tekanan darah dihubungkan dengan outcome yang buruk setelah stroke. Untuk setiap 10 mmHg peningkatan > 180 mmHg, resiko perburukan neurologik akan meningkat 40% dan resiko outcome yang buruk meningkat 23%. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi akibat stress kejadian gangguan serebrovaskular, kandung kemih yang penuh, mual, nyeri, hipertensi yang telah ada sebelumnya, respon fisiologis terhadap hipoksia atau merupakan respon akibat peningkatan tekanan intrakranial. Alasan teoritis untuk penurunan tekanan darah termasuk didalamnya adalah mengurangi pembentukan edema otak, mengurangi resiko terjadinya stroke perdarahan pada daerah infark, mencegah kerusakan vaskular lebih lanjut, mencegah terjadinya stroke ulangan yang terlalu awal. Sebagai tambahan, terapi antihipertensi yang segera diperlukan untuk merawat pasien dengan stroke yang juga mengalami stroke ensefalopati, pembedahan aorta, gagal ginjal akut, edema paru akut atau infark miokard akut. Namun yang perlu diingat adalah bahwa terapi yang agresif terhadap tekanan darah dapat memicu perburukan neurologik dengan menurunkan tekanan perfusi pada area yang mengalami iskemik di otak. 84

Pada sebagian besar pasien, penurunan tekanan darah dapat terjadi beberapa jam setelah stroke walaupun tanpa terapi medis yang spesifik. Tekanan darah dapat turun spontan pada saat pasien dipindahkan pada ruangan yang sunyi, pasien dibiarkan beristirahat, kandung kemih dikosongkan, atau nyeri dikontrol. Sebagai tambahan terapi terhadap peningkatan tekanan intrakranial juga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah. Pendekatan penanganan hipertensi arterial pada pasien stroke iskemik akut dapat dilihat pada tabel 1. e. Hipotensi arterial Hipotensi arterial yang menetap sangat jarang ditemui pada pasien dengan stroke iskemik akut, namun bila terjadi diasosiasikan dengan peningkatan outcome yang tidak diinginkan. Berdasarkan penelitian Castillo, dkk mencatat rata – rata kejadian perburukan neurologik, outcome neurologik yang buruk atau kematian meningkat pada baseline tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau tekanan darah diastolik < 70 mmHg. Penyebab hipotensi masih terus diteliti, namun beberapa kemungkinan diantaranya disebabkan oleh pembedahan aorta, deplesi cairan, kehilangan darah, dan penurunan kardiak output yang disebabkan karena iskemia miokard atau aritmia jantung. Terapi pada hipotensi arterial antaranya dengan penggantian volume dengan normal saline dan koreksi aritmia jantung, misalnya dengan memperlambat respon ventrikular terhadap fibrilasi atrial yang cepat. Apabila tindakan ini tidak efektif, penggunaan agen vasopresor seperti dopamin dapat digunakan.

85

Tabel 1. Penangan hipertensi arterial pada pasien stroke iskemik akut Indikasi pasien memenuhi syarat untuk terapi dengan rtPA intravena atau intervensi reperfusi akut lainnya Level tekanan darah Sistolik > 185 mmHg atau diastolik > 110 mmHg Labetalol 10 sampai 20 mg IV selama 1 sampai 2 menit, dapat diulang 1 kali atau Nitropaste 1 sampai 2 inci atau Nicardipine infus, 5 mg/jam, titrasi dosis dapat dinaikkan dengan interval sampai dengan 2,5 mg/jam dengan rentang waktu tiap 5 sampai 15 menit. Dosis maksimal 15 mg/jam; bilamana tekanan darah yang diinginkan telah tercapai, turunkan menjadi 3 mg/jam Apabila tekanan darah tidak turun dan tetap > 185/110 mmHg, jangan berikan rtPA Manajemen tekanan darah selama dan setelah terapi dengan rtPA atau intervensi referfusi akut lainnya Monitor tekanan darah setiap 15 menit selama terapi sampai 2 jam berikutnya, kemudian setiap 30 menit untuk 6 jam selanjutnya, dan setiap jam untuk 16 jam berikutnya. Level tekanan darah Sistolik 180 sampai 230 mmHg atau diastolik 105 sampai 120 mmHg Labetalol 10 mg IV selama 1 sampai 2 menit, dapat diulang setiap 10 sampai 20 menit, dosis maksimum 300 mg atau Labetalol 10 mg IV diikuti infus dengan dosis 2 sampai 8 mg/menit Sistolik > 230 mmHg atau diastolik 121 – 140 mmHg Labetalol 10 mg IV selama 1 sampai 2 menit, dapat diulang setiap 10 sampai 20 menit, dosis maksimum 300 mg atau Labetalol 10 mg IV diikuti infus dengan dosis 2 sampai 8 mg/menit atau Nicardipine infus, 5 mg/jam, dapat dititrasi naik sampai mencapai efek yang diinginkan dengan menaikkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimum 15 mg/jam Bila tekanan darah masih tidak terkontrol, pertimbangkan natrium nitroprusside

86

f. Hipoglikemia Karena hipoglikemia dapat menunjukan gejala neurologik yang menyerupai stroke iskemik dan karena hipoglikemia itu sendiri dapat memicu cedera otak, pengukuran segera dari konsentrasi glukosa serum, dan koreksi yang cepat dari level serum glukosa yang rendah sangatlah penting. g. Hiperglikemia Hiperglikemia akan terdeteksi kira-kira pada sepertiga pasien yang masuk rumah sakit karena stroke. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan moderat dari level glukosa.

Penelitian

klinik

menunjukan

bahwa

munculnya

hiperglikemia

dihubungkan dengan outcome yang buruk setelah stroke iskemik, termasuk pada pasien yang diterapi dengan agen trombolitik. Penggunaan insulin untuk terapi hiperglikemia merekomendasikan level glukosa darah yang ingin dicapai adalah berkisar antara 80 – 140 mg/dL. Monitoring glukosa yang sering dan penyesuaian dosis insulin diperlukan dalam mencapai target kadar glukosa tersebut.

2. Trombolisis Intravena a. Recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) Pemberian intravena dari rtPA merupakan terapi medis yang telah disetujui oleh FDA untuk perawatan pasien dengan stroke iskemik akut. Penggunaannya dapat memperbaiki outcome untuk sejumlah besar pasien yang mana dapat diterapi dalam kurun waktu 3 jam onset stroke. Terapi yang lebih awal (misalnya selama 90 menit pertama) lebih dapat menunjukan hasil outcome yang lebih baik. Terapi pada 90 – 180 menit setelah serangan juga bermanfaat. Karena adanya resiko perdarahan yang besar pada pasien dengan defisit yang parah, keputusan untuk merawat pasien dengan rtPA harus dibuat dengan hati – hati. Metode terbaik untuk mencegah komplikasi perdarahan adalah dengan pemilihan pasien yang akan diterapi dengan rtPA dengan hati – hati dan tambahan perawatan dengan observasi yang teliti serta praperlakuan awal pada pasien yang memiliki hipertensi arteri serta pemantauan yang baik. Faktor – faktor yang mempengaruhi

87

administrasi rtPA diuraikan pada tabel 2, sedangkan regimen pengobatan dengan rtPA dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2. Karakteristik pasien dengan stroke iskemik yang dapat diterapi dengan rtPA Diagnosa stroke iskemik menyebabkan defisit neurologik yang terukur Tanda neurologis tidak boleh hilang secara spontan Tanda neurologis tidak boleh minor atau terisolasi Hati – hati penggunaannya pada pasien dengan defisit mayor Gejala stroke tidak boleh mengarah pada perdarahan subaraknoid Onset gejala < 3 jam sebelum dimulainya terapi Tidak ada riwayat trauma atau stroke sebelumnya selama 3 bulan terakhir Tidak ada riwayat infark miokard selama 3 bulan terakhir Tidak ada riwayat perdarahan gastrointestinal atau saluran kemih selama 21 hari terakhir Tidak ada riwayat pembedahan mayor selama 14 hari terakhir Tidak ada kebocoran arteri pada daerah yang tidak dapat ditekan selama 7 hari terakhir Tidak ada riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya Tekanan darah tidak meningkat (sistolik < 185 mmHg dan diatolik 1/3 bagian otak) Pasien dan keluarga pasien mengerti resiko potensial dan keuntungan dari perawatan INR : international normalized ratio; aPTT : activated partial tromboplastin time

88

Tabel 3. Terapi intravena rtPA pada stroke iskemik akut Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimum 90 mg) selama 60 menit dengan 10% dosis diberikan sebagai bolus selama 1 menit Masukan pasien ke perawatan intensif atau unit stroke untuk monitoring Lakukan penilaian neurologik setiap 15 menit selama infusi dan setiap 30 menit setelahnya selama 6 jam kemudian, kemudian tiap jam selama 24 jam setelah terapi Bila muncul gejala sakit kepala yang parah, hipertensi akut, mual atau muntah pada pasien, hentikan infus (apabila rtPA telah diberikan) dan lakukan CT scan darurat Ukur tekanan darah tiap 15 menit untuk 2 jam pertama dan setiap 30 menit untuk 6 jam berikutnya, kemudian tiap jam sampai 24 jam setelah terapi Tingkatkan frekuensi pengukuran tekanan darah apabila tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau apabila tekanan darah diastolik ≥ 105 mmHg; berikan obat antihipertensi untuk mempertahankan tekanan darah pada atau dibawah level tersebut (tabel 1) Tunda pemasangan tube nasogastrik, kateter kandung kemih atau kateter tekanan intra-arterial Lakukan CT scan lanjutan 24 jam sebelum memulai terapi antikoagulan atau antiplatelet b. Agen Trombolitik Lainnya Penelitian klinik penggunaan streptokinase dihentikan lebih awal karena resiko tinggi perdarahan yang tidak dapat diterima, dan agen ini tidak boleh digunakan. Pemberian agen trombolitik intravena termasuk reteplase, urokinase, anistreplase dan staphylokinase dapat dipertimbangkan untuk terapi pasien dengan stroke iskemik akut. Namun tidak satupun dari agen – agen tersebut yang telah diuji secara

luas

sehingga

penggunaannya

diluar

percobaan

klinis

tidak

direkomendasikan. c. Enzim Defibrogenating Ancrod, enzim yang diturunkan dari bisa ular dapat mendegradasi fibrinogen, telah diteliti dalam rangkaian penelitian klinik. Penelitian preeliminasi menunjukan bahwa terapi ancrod memperbaiki outcome setelah stroke, dengan pasien dengan

89

level fibrinogen < 100 mg/dL memiliki respon yang paling baik. Penggunaannya secara klinis diluar untuk penelitian tidak dianjurkan.

3. Trombolisis Intra-Arterial Trombolisis intra-arterial merupakan pilihan untuk pasien yang terpilih yang mengalami stroke mayor dengan durasi < 6 jam disebabkan karena penyumbatan arteri serebral tengah (middle cerebral artery) dan pasien yang tidak merupakan kandidat pemberian rtPA intravena. Pemberian terapi trombolisis intra-arterial harus dilakukan pada pusat stroke yang memiliki akses cepat ke serebralangiografi dan interventionalis yang terkualifikasi. Fasilitas ini harus dapat menentukan kriteria bagi individu mana yang dapat melakukan trombolisis intra-arterial. Penggunaan intraarterial trombolisis masuk akal untuk pasien yang memiliki kontraindikasi menggunakan trombolisis intravena, misalnya pada pasien yang baru operasi. Namun keberadaan trombolisis intra-arteri tidak boleh menyingkirkan penggunaan rtPA atau trombolisis intravena bagi mereka yang memenuhi syarat.

4. Antikoagulan Penggunaan antikoagulan yang mendesak dengan tujuan mencegah stroke ulangan dini, menghentikan perburukan neurologik, dan memperbaiki outcome setelah serangan stroke akut tidak direkomendasikan untuk terapi kondisi akut. Penggunaan antikoagulan yang segera tidak direkomendasikan untuk pasien dengan stroke sedang – berat karena peningkatan resiko komplikasi perdarahan intrakranial yang serius. Inisiasi penggunaan terapi antikoagulan dalam waktu 24 jam setelah pemberian rtPA intravena tidak direkomendasikan.

5. Antiplatelet Aspirin, tiklopidin, clopidogrel dan dipyridamole merupakan agen antiplatelet. Pemberian aspirin oral (dosis awal 325 mg) dalam kurun waktu 24 – 48 jam setelah onset stroke direkomendasikan untuk terapi pada kebanyakan pasien. Aspirin tidak boleh dipertimbangkan sebagai pengganti untuk intervensi akut lainnya dalam terapi 90

stroke, termasuk pemberian rtPA intravena. Pemberian aspirin sebagai adjunctive terapi dalam kurun waktu 24 jam setelah terapi trombolitik tidak direkomendasikan. Walaupun tiklopidin, clopidogrel dan dipiridamol telah banyak digunakan dalam penanganan sindrom koroner akut, penggunaan ketiga agen tersebut pada keadaan stroke iskemik akut belum dievaluasi. Pemberian clopidogrel sendiri atau dalam kombinasi dengan aspirin tidak direkomendasikan untuk terapi stroke iskemik akut. Penggunaan agen antiplatelet intravena seperti agen yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa diluar setting penelitian klinik masih tidak direkomendasikan karena masih dalam penelitian lebih lanjut.

6. Ekspansi Volume, Vasodilator dan Induksi Hipertensi a. Hemodilusi pada stroke iskemik akut Pasien

yang

mengalami

stroke

iskemik

diketahui

mengalami

berbagai

abnormalitas yang meningkatkan viskositas darah utuh, termasuk aktivasi leukosit, aggregasi sel darah merah dan menurunkan deformabilitas sel darah merah. Sebagai tambahan peningkatan level fibrinogen, yang mana juga meningkatkan viskositas plasma, juga tercatat. Atas dasar temuan tersebut, penelitian mengenai hemodilusi, dengan atau tanpa venesection telah dilakukan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan aliran darah ke otak dalam upaya memperbaiki perfusi penumbra iskemik. Data terbaru menunjukan hemodilusi yang disengaja, dengan atau tanpa venesection pada paktik klinik, tidak menurunkan kasus kematian atau memperbaiki outcome fungsional pada pasien yang bertahan hidup, sehingga penggunaannya tidak direkomendasikan. b. Vasodilator pada stroke iskemik akut Turunan metilxantin diketahui sebagai vasodilator yang juga memiliki aktivitas yang lain seperti menghambat aggregasi platelet, menurunkan pelepasan radikal bebas dan menghambat sintesis tromboksan A2. Adanya karakter ini, turunan metilxantin, khususnya pentoksifilin, propentofilin dan pentifilin dievaluasi penggunaannya dalam setting stroke iskemik akut. Namun penggunaannya untuk pasien stroke iskemik akut tidak direkomendasikan. 91

c. Induksi hipertensi untuk manajemen stroke iskemik akut Dalam kondisi stroke akut, pasien dapat saja memiliki jaringan otak penumbra noniskemik, yang mana mengalami gangguan perfusi namun bukan kerusakan yang irreversibel. Pada kondisi seperti ini, penurunan aliran darah otak lokal terjadi, dan arteriola

otak

akan

melebar

dalam

upaya

untuk

mengimbangi

dan

mempertahankan aliran darah pada daerah iskemik yang potensial dapat diselamatkan. Magnitudo dari perfusi yang rendah dan durasi dari iskemik merupakan variabel yang penting. Hal ini secara intuitif menarik, bahwa reperfusi dari kawasan ini oleh dilatasi kolateral leptomeningeal mungkin menguntungkan. Induksi hipertensi ditujukan untuk meningkatkan aliran darah otak untuk memperbaiki penurunan aliran darah lokal yang terjadi, menjadi suatu hal yang menarik pada percobaan eksperimental. Penelitian awal dan dengan subyek kecil menunjukan bahwa obat yang menginduksi hipertensi dapat digunakan pada manajemen beberapa pasien dengan stroke iskemik akut. Namun data dari penelitian yang lebih besar belum tersedia. Dengan demikian data efikasi dari terapi ini belum terbukti. Pemberian vasopresor untuk memperbaiki aliran darah otak menjadi rumit terkait efek samping yang mungkin timbul, termasuk miokardial iskemik, pada beberapa pasien stroke. Beberapa pasien sebaiknya tidak dirawat dengan terapi ini. Keamanan penggunaan obat yang menginduksi hipertensi untuk perawatan stroke untuk pasien dalam lingkup yang luas belum terbukti. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk terapi – terapi ini.

7. Intervensi Operasi Data keamanan dan efektifitas dari carotid endarterectomy dan prosedur operasi lainnya untuk perawatan pasien dengan stroke iskemik akut tidak cukup untuk membuat suatu rekomendasi. Prosedur operasi dapat memiliki resiko yang serius dan tidak membuat suatu perubahan seperti yang diharapkan pada outcome pasien stroke.

92

8. Intervensi Endovaskular Beberapa

intervensi

endovaskular

telah

dievaluasi

untuk

menangani

penyumbatan arteri intrakranial atau ekstrakranial yang menyebabkan stroke iskemik akut. Pilihannya termasuk angioplasti darurat dan stenting, disrupsi mekanik dari jendalan darah, dan ekstraksi trombus. Pada kebanyakan kasus, intervensi mekanik dikombinasikan dengan terapi trombolitik intravena atau intra-arteri. Area terapi endovaskular pasien dengan stroke iskemik akut menunjukan janji yang besar. Penggunaan alat untuk mengeluarkan trombus dari arteri intrakranial yang tersumbat hanya dapat dilakukan pada pusat stroke yang memilikinya dan dikerjakan oleh ahli yang membuat prosedur ini aman.

9. Kombinasi Terapi Reperfusi pada Stroke Akut Penelitian awal terapi trombolitik pada stroke iskemik akut melibatkan penggunaan agen farmakologi tunggal yang diberikan melalui intravena maupun intraarterial. Terapi trombolisis intravena maupun intra-arteri hanya dengan agen tunggal kurang efisien untuk secara tepat merekanalisasi ateri mayor otak yang tersumbat. Walau terapi itu bekerja dengan baik, rtPA intravena atau intra-arteri membutuhkan waktu paling tidak 15 sampai 30 menit untuk dapat membuka kembali pembuluh darah mayor yang tersumbat misalnya pada arteri otak tengah, dan tidak ada bukti yang menunjukan tersedianya agen trombolitik yang lebih cepat. Sumbatan pada pembuluh darah besar dari arteri karotid internal arau arteri basiler seringkali resisten terhadap 1 agen trombolisis intravena maupun intra-arteri. Penelitian klinik kemudian meneliti kombinasi antara terapi trombolisis dan agen neuroprotekstif serta kombinasi antara terapi trombolisis dengan antiplatelet. Namun demikian, sampai saat ini belum ada data yang tersedia untuk membuat suatu kesimpulan mengenai keamanan atau efikasi dari kombinasi obat untuk memperbaiki perfusi serebral. Hingga sampai saat ini, intervensi kombinasi untuk mengembalikan perfusi tidak direkomendasikan diluar area penelitian klinik.

93

10. Agen Neuroprotektif Pengobatan yang dapat membatasi efek seluler dari iskemik akut atau mengembalikan perfusi darah dapat mengurangi cedera neurologikal setelah stroke. Strategi terapetik yang potensial termasuk menahan efek dari asam amino eksikatorik, misalnya glutamat, fluks kalsium transmembran, aktivasi intraselular protease, apoptosis, perusakan oleh radikal bebas, respon inflamasi, dan perbaikan membran. Walaupun sejumlah intervensi menunjukan janji pada penelitian eksperimental, kebanyakan percobaan klinik dari terapi – terapi tersebut menunjukan hasil yang mengecewakan. Penelitian eksperimental dan klinis yang lebih besar dibutuhkan sebelum intervensi dengan suatu agen neuroprotektif yang telah diketahui efeknya dan kemudian dapat direkomendasikan untuk perawatan pada pasien dengan stroke iskemik

akut.

Beberapa

langkah

untuk

meningkatkan

penelitian

telah

direkomendasikan. Diharapkan bahwa penelitian selanjutnya dari intervensi neuroprotektif, termasuk hipotermia, dapat diteliti sendiri – sendiri atau dalam kombinasi untuk mengukur perbaikan perfusi, yang akan menunjukan keamanan dan efikasinya juga.

94

D. TATALAKSANA TERAPI PENCEGAHAN SERANGAN ULANG STROKE ISKEMIK

Jumlah pasien yang dapat bertahan hidup setelah serangan stroke iskemik maupun transient ischemic attack (TIA) meningkatkan resiko untuk mengalami stroke ulangan, yang mana merupakan sumber utama peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien. American Heart Association/American Stroke Association mengeluarkan suatu panduan tatalaksana terapi untuk pencegahan stroke pada pasien yang menderita stroke iskemik atau TIA. Tujuan panduan ini adalah untuk menyediakan rekomendasi yang berdasarkan bukti yang komprehensif dan tepat waktu untuk pencegahan stroke iskemik pada pasien yang dapat bertahan hidup setelah serangan stroke iskemik atau TIA (Sacco & Adams, 2006). 1. Antihipertensi Terapi antihipertensi direkomendasikan baik untuk pencegahan stroke ulang maupun pada pencegahan kejadian vaskular lainnya pada pasien yang mengalami stroke iskemik atau TIA pada saat diluar periode hiperakut. Karena keuntungan penggunaan antihipertensi meluas pada pasien dengan atau tanpa sejarah hipertensi, rekomendasi penggunaan antihipertensi dapat dipertimbangkan pada seluruh pasien stroke iskemik dan TIA. Target absolut level tekanan darah dan penurunan tekanan darah masih belum pasti dan harus diindividualisasi, namun rata – rata penurunan sebesar 10/5 mmHg menunjukan manfaat, tekanan darah normal oleh JNC 7 ditetapkan 120/80 mmHg. Beberapa modifikasi gaya hidup dihubungkan dengan penurunan tekanan darah dan harus dimasukan sebagai bagian terapi antihipertensi yang komprehensif. Regimen terapi obat yang optimal masih belum jelas, namun data yang tersedia mendukung penggunaan kombinasi diuretik dan ACE inhibitors. Pemilihan dari obat yang spesifik dan target harus dilakukan secara individual berdasarkan hasil review data dan pertimbangan karakter spesifik pasien (misalnya : adanya oklusi serebrovaskular ekstrakranial, gangguan ginjal, penyakit jantung dan diabetes).

95

2. Terapi Penanganan Diabetes Kontrol yang lebih ketat terhadap tekanan darah dan lipid harus dipertimbangkan pada pasien dengan diabetes. Walaupun sebagian besar kelas obat antihipertensi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan darah, kebanyakan pasien membutuhkan lebih dari 1 agen. ACE inhibitors dan Angiotensin Receptors Blokers (ARB)

lebih

efektif

dalam

menurunkan

progresifitas

penyakit

ginjal

dan

direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada pasien dengan diabetes mellitus. Kontrol glukosa direkomendasikan mendekati level normoglikemik pada pasien diabetik dengan stroke iskemik atau TIA untuk menurunkan komplikasi mikrovaskular dan kemungkinan resiko makrovaskular. Target untuk hemoglobin A1c harus ≤ 7%.

3. Terapi Penanganan Kolesterol Pasien strike iskemik atau TIA dengan peningkatan kolesterol, komorbid penyakit arteri koroner atau bukti sumber atherosklerosis harus dirawat sesuai dengan panduan NCEP III, yang termasuk didalamnya adalah modifikasi gaya hidup, panduan diet dan rekomendasi obat. Agen statin direkomendasikan untuk terapi penanganan kolesterol, dan target tujuan untuk menurunkan kolesterol untuk pasien dengan penyakit jantung koroner atau penyakit atherosklerosis simptomatik adalah LDL-C < 100 mg/dL dan LDL-C 50% stenosis intrakranial. Pada saat penghentian, penggunaan warfarin menunjukan rata – rata kejadian efek samping yang lebih tinggi dan menunjukan tidak ada keuntungan melebihi aspirin.

7. Terapi untuk Pasien Stroke dengan Kondisi Spesifik Lainnya Rekomendasi terapi untuk pasien stroke dengan berbagai kondisi spesifik dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Rekomendasi untuk pasien dengan kondisi spesifik lainnya Faktor Resiko Diseksi Arterial

Rekomendasi Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan diseksi arterial, terapi dengan warfarin untuk 3 sampai 6 bulan atau dengan agen antiplatelet adalah wajar Setelah 3 sampai 6 bulan terapi, terapi antiplatelet jangka panjang wajar diberikan untuk sebagian besar pasien dengan stroke iskemik atau TIA. Pemberian antikoagulan setelah terapi 3 sampai 6 bulan dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami serangan iskemik ulang. Untuk pasien yang mengalami serangan iskemik ulang yang nyata walau telah mendapat terapi antitrombotik, dapat dipertimbangkan terapi endovaskular (stenting) Pasien yang gagal atau tidak merupakan kandidat untuk terapi endovaskular dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan operasi

Patent Foramen Ovale

Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan PFO, pemberian terapi antiplatelet adalah wajar untuk mencegah kejadian ulang Pemberian warfarin wajar untuk pasien dengan resiko tinggi yang memiliki indikasi lain untuk mendapatkan antikoagulan oral misalnya mereka dengan penyakit pokok gangguan hiperkoagulasi atau adanya trombosis vena Belum ada data yang memadai untuk membuat rekomendasi mengenai penutupan PFO pada pasien dengan serangan stroke pertama dan PFO. Penutupan PFO dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan stroke kriptogenik berulang disamping terapi medis

101

Tabel 5. Rekomendasi untuk pasien dengan kondisi spesifik lainnya (lanjutan) Faktor Resiko Hiperhomosisteinemia

Rekomendasi Untuk pasien stroke iskemik atau TIA dengan hiperhomosisteinemia (level > 10 µmol/L), pemberian harian multivitamin standar adalah wajar untuk menurunkan level homosistein, memberi keamanan dan biaya yang murah. Namun tidak ada bukti pemberian multivitamin yang akan menurunkan level homosistein akan menurunkan resiko terjadinya stroke.

Keadaan hiperkoagulasi Thrombofilia bawaan

Pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang terbukti mengalami thrombofilia bawaan harus dievaluasi terhadap kemungkinan deep vein thrombosis (trombosis vena dalam), yang merupakan indikasi untuk terapi antikoagulan jangka pendek atau jangka panjang, tergantung pada keadaan klinik dan hematologik Pasien harus dievaluasi secara keseluruhan terhadap mekanisme alternatif stroke Wajar apabila terapi antiplatelet atau antikoagulan jangka panjang digunakan tanpa adanya thrombosis vena Pasien dengan sejarah kejadian ulang thrombosis, dipertimbangkan pemberian antikoagulan jangka panjang

Sindrom antibodi Antifosfolipid

dapat

Untuk kasus stroke iskemik kriptogenik atau TIA dengan antibodi antifosfolipid positif, terapi antiplatelet adalah wajar Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang memenuhi kriteria sindrom antibodi antifosfolipid dengan penyakit oklusif vena dan arteri pada beberapa organ, keguguran, dan livedo reticularis, pantas diberikan terapi antikoagulan dengan target INR 2 sampai dengan 3

Penyakit Sel Sabit

Untuk pasien dewasa dengan penyakit sel sabit dan stroke iskemik atau TIA, direkomendasikan diberikan terapi umum dengan tujuan untuk mengontrol faktor resiko dan juga terapi antiplatelet Terapi tambahan yang dapat ditambahkan termasuk transfusi darah reguler untuk menurunkan Hb S < 30% sampai 50% dari Hb total, hidroksiurea, atau operasi bypass pada kasus penyakit oklusif yang berat.

Trombosis serebral sinus vena

Untuk pasien dengan trombosis serebral sinus vena, terapi dengan heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah adalah pantas bahkan bila terjadi infark perdarahan Terapi antikoagulan dapat dilanjutkan dengan agen antikoagulan oral untuk 3 sampai 6 bulan, diikuti terapi antiplatelet

102

Tabel 5. Rekomendasi untuk pasien dengan kondisi spesifik lainnya (lanjutan) Faktor Resiko Kehamilan

Rekomendasi Untuk wanita hamil dengan stroke iskemik atau TIA dan resiko tinggi mengalami kondisi tromboembolik misalnya karena koagulopati atau katup jantung mekanik, beberapa terapi pilihan berikut ini dapat dipertimbangkan : • Heparin tidak terfraksinasi dengan penyesuaian dosis selama kehamilan misalnya dengan dosis subkutan setiap 12 jam dengan monitor APTT; • Heparin dengan bobot molekul rendah dengan monitor faktor Xa selama kehamilan; atau • Heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah sampai dengan minggu ke 13, diikuti dengan warfarin sampai pertengahan semester ketiga, pada saat heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah digunakan kembali sampai saat melahirkan Wanita hamil dengan kondisi resiko rendah dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi dengan heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah pada trimester pertama, diikuti dengan aspirin dosis rendah selama sisa kehamilan

Terapi penggantian hormon postmenopause

Untuk wanita dengan stroke atau TIA, tidak direkomendasikan untuk mendapatkan terapi penggantian hormon postmenopause

Perdarahan serebral

Untuk pasien yang mengalami perdarahan intrakranial, perdarahan subaraknoid, perdarahan subdural, semua antikoagulan dan antiplatelet harus dihentikan selama periode akut selama paling tidak 1 sampai 2 minggu setelah perdarahan dan efek antikoagulan harus dibalikan secepatnya dengan agen yang tepat (misalnya dengan vitamin K, fresh frozen plasma) Untuk pasien yang membutuhkan antikoagulan segera setelah perdarahan serebral, heparin intravena dapat lebih aman dibandingkan antikoagulan oral. Antikoagulan oral dapat digunakan kembali setelah 3 sampai 4 minggu, dengan monitoring yang ketat dan pemeliharaan INR pada titik rendah dari range terapi Keadaan khusus : Antikoagulan tidak boleh digunakan kembali pada perdarahan subaraknoid sampai dengan aneurisma yang pecah dijamin telah aman Pasien dengan perdarahan intraserbral lobar atau perdarahan mikro dan kemungkinan angiopati amiloid serebral pada pemeriksaan MRI merupakan pasien dengan resiko tinggi perdarahan intraserebral ulang apabila antikoagulan digunakan kembali Untuk pasien dengan infark perdarahan, penggunaan antikoagulan dapat diteruskan, tergantung pada skenario spesifik klinik dan indikasi dasar untuk terapi antikoagulan

103

E. PENUTUP

Panduan tatalaksana terapi pada pasien stroke iskemik pada kondisi akut dan pencegahan terhadap serangan ulang stroke iskemik pada pasien stroke iskemik atau TIA telah dipaparkan pada dua BAB sebelumnya. Masing – masing terapi harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan klinis pasien. Penggunaan agen – agen farmakologi terus dievaluasi untuk dapat membuat rekomendasi yang sesuai dengan evidence based. Penelitian – penelitian dilakukan untuk melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya agar dapat dibuat suatu rekomendasi untuk suatu terapi yang sebelumnya belum dapat dibuatkan rekomendasi. Tenaga kesehatan perlu melakukan up date terhadap panduan tatalaksana terapi ini secara berkala agar dapat diketahui rekomendasi – rekomendasi terbaru yang telah diterbitkan oleh American Heart Association/American Heart Association. Pertimbangan perbedaan populasi dan setting perawatan yang berbeda juga harus diperhatikan dalam implemantasi paduan tatalaksana terapi pasien stroke iskemik. Pedoman tatalaksana ini diharapkan dapat membantu dalam identifikasi dan membantu dalam mengatasi kesenjangan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Sebagai farmasis, pengetahuan tentang panduan tatalaksana terapi ini diharapkan dapat sebagai pedoman dalam memberikan rekomendasi terapi dan dalam melakukan suatu monitoring penggunaan obat pada pasien stroke iskemik sehingga dapat bekerjasama dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya demi tercapainya outcome klinik yang diharapkan pada pasien.

104

DAFTAR PUSTAKA

Adams,H.P., del Zoppo, G., Alberts, M.J., Bhatt, D.I., Brass, L., Furlan, A., et all. (2007) Guidelines for the Early Management of Adults with Ischemic Stroke : A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council, Clinical Cardiology Council, Cardiovascular Radiology and Intervention Council, and the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease and Quality of Care Outcomes in Research Interdisciplinary Working Group. [Online] Stroke Journal of American Heart Association 2007;38;1655-1711. Sumber : http://stroke.ahajournals.org/ [Akses 25 Oktober 2010]. Becker,J.U., Wira,C.R., Arnold (2010). Stroke Ischemic. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 04 November 2010]. Fagan, S.C., Hess, D.C. (2008) Stroke. Dalam : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds.) Pharmacotherapy. Seventh edition. New York. McGraw-Hill. p. 380. Hoch,D.B., Zieve, D., (2010) Stroke. [Online] Sumber : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ [Akses 07 November 2010]. Internet Stroke Center (2008) Types of Stroke. [Online] Sumber : http://www.strokeassociation.org/ [Akses 04 November 2010]. Sacco,R.L, Adams,R., Albers,G., Alberts,M.J., Benavente,O., Furie,K., et all. (2006). Guidelines for Preventionof Stroke in Patients With Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. [Online] Stroke Journal of American Heart Association 2006; 37; 577-612. sumber : http://stroke.ahajournals.org/cgi/content/full/37/2/577 [Akses 14 November 2010]. van der Worp,H.B., van Gijn, J. (2007) Acute Ischemic Stroke. The New England Journal of Medicine 2007;357:572-9. [Online] sumber : http://www.nejm.org/ [Akses 07 November 2010].

105

BAB V FARMAKOTERAPI STROKE PERDARAHAN

Oleh : DEWA AYU SWASTINI, S.F.,M.FARM.,APT. 197905162006042002

1. Indikator Pencapaian : Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan definisi stroke perdarahan, etiologi dan patofisiologi, manifestasi klinik serta tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan 2. Materi Pokok : 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Intraserebral 2.3. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Intraserebral 2.4. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Subaraknoid 2.5. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Subarakhnoid 2.6. Profil Obat Pasien Stroke Perdarahan 2.6 Penutup

106

A. PENDAHULUAN

American Heart Association (2009) menunjukan data bahwa rata – rata tiap 40 detik, satu orang mengalami serangan stroke di Amerika Serikat. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Delapan puluh tujuh persen kejadian stroke disebabkan karena iskemik, 10% karena perdarahan intraserebral dan 3% karena perdarahan subaraknoid. Kejadian stroke iskemik 10 kali lebih sering dibandingkan stroke perdarahan pada negara – negara barat, namun stroke perdarahan memiliki resiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik (Andersen & Olsen, 2009). Stroke perdarahan terjadi karena melemahnya pembuluh darah yang pecah dan darah keluar mengalir melingkupi otak. Darah akan menggumpal dan menekan jaringan otak. Terdapat 2 tipe stroke perdarahan yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Penyebab melemahnya pembuluh darah yang paling biasanya menyebabkan stroke perdarahan antaralain adalah aneurisma dan malformasi arteriovenous (American Stroke Association, 2010).

Gambar 1. Macam stroke perdarahan

Stroke perdarahan subaraknoid merupakan stroke dengan tingkat kematian yang tinggi, yaitu sekitar 51% (van Gijn & Rinkel, 2001). Kematian pada 107

pasien dapat disebabkan karena kerusakan otak yang sangat parah, terjadinya vasospasme yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia pada jaringan otak dan dapat pula karena terjadinya perdarahan ulang pada pasien (Bederson & Connolly, 2009, Giraldo, 2007). Angka mortalitas dalam kurun 30 hari pada perdarahan intraserebral berkisar antara 35% sampai dengan 52%, dengan separuh kematian terjadi pada 2 hari pertama (Broderick & Sanders, 2007). Stroke perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke dengan mortalitas tertinggi, dengan hanya sekitar 38% pasien yang dapat bertahan hidup selama setahun pertama setelah serangan stroke (Qureshi & Tuhrim, 2001). Buruknya luaran pada pasien stroke yang ditandai dengan tingginya mortalitas pasien dan morbiditas yang nyata pada pasien yang dapat bertahan hidup memicu penelitian – penelitian dalam penatalaksanaan stroke perdarahan. Sejumlah penelitian multicenter, prospektif, terandomisasi dan analisa prospektif cohort membawa pembaruan pada protokol perawatan pada pasien stroke perdarahan subaraknoid. Evolusi yang cepat dari terapi – terapi baru, bersamaan dengan pertimbangan praktis dan etik, memberikan pendekatan baru atas protokol yang telah ada sebelumnya (Bederson & Conolly, 2009). Penggunaan agen – agen terapi seperti nimodipine dan asam tranexamat berdasarkan penelitian dapat mencegah perburukan kerusakan neurologik dan komplikasi yang dapat terjadi pasca perdarahan subaraknoid, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki luaran terapi pada pasien stroke perdarahan subaraknoid (Bederson & Connolly, 2009, Fagan & Hess, 2008). Mortalitas yang tinggi pada stroke perdarahan intraserebral pada awalnya membatasi

penelitian

mengenai tatalaksana

terapi

stroke

perdarahan

intraserebral. Namun dengan makin berkembangnya bidang medis dan teknologi pada bidang kesehatan membawa banyak kemajuan pada penanganan pasien perdarahan intraserebral. Peningkatan dramatis penelitian klinis stroke perdarahan intraserebral membawa harapan yang besar untuk terapi baru dan efektif untuk pasien dengan perdarahan intraserebral. Penggunaan agen 108

antihipertensi, diuretik osmotik, insulin, antiepilepsi, Recombinant Activated Factor VII merupakan bagian dari tatalaksana terapi obat yang direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien perdarahan intraserebral (Broderick & Sanders, 2007). Hasil berbagai penelitian dibidang terapi obat yang dirangkum dalam panduan tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan subaraknoid dapat dijadikan pegangan bagi praktisi kesehatan dalam menangani pasien stroke perdarahan. Sebagai seorang farmasis, pengetahuan tentang tatalaksana terapi obat pada pasien stroke perdarahan dapat digunakan sebagai pegangan untuk memantau terapi obat yang diberikan pada pasien, baik untuk memantau luaran terapi, memantau masalah terkait penggunaan obat, penyesuaian terapi pada pasien dengan kondisi khusus, dan monitoring penggunaan obat.

109

B. PENGENALAN PENYAKIT STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL

1. Definisi Perdarahan intraserebral terjadi apabila pembuluh darah yang lemah pada otak pecah sehingga darah keluar menuju parenkim otak. Adanya darah pada parenkim otak dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan yang dilingkupinya (Fagan & Hess, 2008).

Gambar 2. Pecahnya pembuluh darah yang lemah pada otak Perdarahan

intraserebral

dan

edema

yang

menyertainya

akan

mengganggu dan menekan jaringan otak, menyebabkan gangguan neurologik. Substantial displacement dari parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan potensial menyebabkan sindrome herniasi yang fatal (Liebeskind, 2010). Tekanan yang meningkat secara tiba – tiba dapat menyebabkan pasien mengalami kehilangan kesadaran atau kematian. Perdarahan intraserebral biasanya muncul pada bagian tertentu pada otak, termasuk didalamnya ganglia basalis, cerebellum, batang otak atau korteks (Internet Stroke Center, 2010).

2. Etiologi Penyebab yang paling sering dari perdarahan intraserebral adalah tekanan darah tinggi (hipertensi). Hipertensi itu sendiri kadang kala tidak 110

menunjukan suatu gejala tertentu, sehingga banyak pasien dengan perdarahan intraserebral tidak mengetahui mereka memiliki tekanan darah tinggi, atau bahwa tekanan darah tinggi yang dialami memerlukan terapi. Penyebab perdarahan intraserebral yang lebih jarang termasuk trauma, infeksi, tumor, defisiensi faktor pembekuan darah dan abnormalitas pada pembuluh darah misalnya seperti malformasi arteriovenous (Internet Stroke Center, 2010). Perdarahan intraserebral kemudian dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam berdasarkan pada penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan yaitu primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral primer terjadi pada 78% - 88% kasus perdarahan intraserebral, disebabkan karena pecahnya pembuluh darah kecil secara spontan yang disebabkan karena hipertensi kronik atau amyloid angiopathy. Perdarahan intraserebral sekunder merupakan kejadian minoritas yang terjadi pada pasien perdarahan intraserebral yang dihubungkan dengan adanya abnormalitas pembuluh darah, misalnya malformasi arteriovenous dan aneurisma, tumor atau gangguan koagulasi (Qureshi & Tuhrim, 2001).

3. Patofisiologi Perdarahan intraserebral nontraumatik paling banyak terjadi dikarenakan efek tekanan darah tinggi yang merusak dinding pembuluh darah (misalnya pada hipertensi, eklampsia, penyalahgunaan obat), namun juga dapat dikarenakan gangguan autoregulator dengan aliran darah otak yang berlebihan (misalnya pada gangguan reperfusi, paparan dingin), pecahnya aneurisma atau malformasi arteriovenous, arteriopati (misalnya pada angiopati amiloid serebral, penyakit moya – moya), perubahan hemostasis (misalnya pada trombolisis, penggunaan antikoagulan), perdarahan nekrosis (misalnya pada tumor dan infeksi) atau gangguan aliran darah vena (misalnya pada trombosis vena serebral). Trauma tulang tengkorak otak baik yang tidak terpenetrasi maupun terpenetrasi juga merupakan penyebab perdarahan intraserebral yang sering terjadi Hipertensi kronis menyebabkan vaskulopati pembuluh darah kecil yang dikarakterisasi 111

dengan lipohyalinosis, nekrosis fibrinoid dan berkembangnya aneurisma CharcotBouchard

mengakibatkan

penetrasi

arteri

sepanjang

otak

termasuk

lenticulostriates, thalamoperforators, cabang paramedian dari arteri basilar, arteri cerebral superior dan arteri cerebelar anterior inferior. Tempat terjadinya perdarahan intraserebral yang paling sering adalah pada ganglia basalis (4050%), lobar regions (20-50%), thalamus (10-15%), pons (5-12%), cerebellum (510%) dan bagian batang otak lainnya (1-5%) (Liebeskind, 2010). Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan darah keluar menuju otak dan membentuk hematoma. Munculnya hematoma menyebabkan terjadinya edema dan kerusakan pada parenkim. Cairan mulai berkumpul secara cepat pada daaerah sekeliling hematoma, dan edema biasanya akan menetap sampai dengan 5 hari, dan masih dapat dipantau keberadaannya sampai dengan 2 minggu setelah serangan stroke. Edema yang pertama terjadi disekeliling hematoma disebabkan karena pelepasan dan akumulasi dari protein serum osmotik aktif yang berasal dari gumpalan darah. Edema vasogenik dan edema sitotoksik kemudian muncul mengikuti edema awal karena terjadinya gangguan pada sawar darah otak, kegagalan pompa natrium, dan kematian neuron. Terjadinya iskemia serebral pada wilayah disekitar hematoma terjadi karena mediasi dari produk darah dan plasma yang memediasi proses sekunder yang dimulai segera setelah perdarahan intraserebral. Kematian neuron pada area disekitar hematoma utamanya terjadi karena nekrosis karena munculnya program kematian sel (apoptosis) karena ekspresi faktor- B pada nukleus (Qureshi & Tuhrim, 2001).

4. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik klasik dari perdarahan intraserebral adalah defisit neurologik fokal dengan onset yang tiba – tiba yang terus menunjukan perkembangan tiap menitnya sampai dengan beberapa jam kemudian yang disertai dengan sakit kepala yang berat, mual, muntah, penurunan keasadaran 112

dan peningkatan tekanan darah > 220 mmHg. Perkembangan awal dari defisit neurologik dan penurunan kesadaran terjadi pada sekitar 50% pasien. Defisit neurologik berkembang seiring dengan perjalanan perdarahan yang terjadi dan pelebaran dari hematoma pada jama- jam pertama setelah serangan. Bila dibandingkan dengan pasien stroke iskemik, kejadian sakit kepala dan muntah 3 kali lebih sering terjadi sebagai gejala serangan (Sahni & Weinberger, 2007, Morgenstern & Hemphill, 2010).

113

C. TATALAKSANA TERAPI STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Guidelines dari American Heart Association/American Stroke Association tahun 2007 memberikan rekomendasi mengenai penatalaksanaan pada pasien yang mengalami stroke perdarahan intraserebral spontan. Terapi potensial untuk perdarahan

intraserebral

termasuk

menghentikan

dan

memperlambat

perdarahan awal selama jam – jam pertama setelah onset serangan, menghilangkan darah dari parenkim atau ventrikel untuk mengeliminasi faktor mekanik dan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan otak, menangani komplikasi adanya darah pada otak termasuk peningkatan tekanan intraserebral dan penurunan perfusi serebral serta terapi suportif yang baik untuk pasien dengan kerusakan otak yang parah. Guidelines ini kemudian diperbarui pada tahun 2010 berisi informasi – informasi tambahan mengenai tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan intraserebral dan perbaikan atas rekomendasi yang telah ada sebelumnya berdasarkan hasil penelitian terbaru. Penanganan pasien stroke merupakan penanganan medis gawat darurat, dimana perlu diperoleh informasi riwayat waktu munculnya gejala serangan (atau waktu terakhir dimana pasien normal) dan informasi mengenai riwayat penyakit serta riwayat penggunaan obat. Hal ini akan membantu mengetahui penyebab terjadinya serangan stroke perdarahan. Penanganan gawat darurat pada pasien perdarahan intraserebral antaralain intervensi bedah syaraf untuk pengangkatan hematoma, drainase ventrikular eksternal atau monitoring invasif dan terapi tekanan intrakranial, penangangan tekanan darah, intubasi dan pengembalian gangguan koagulasi (Morgenstern & Hemphill, 2010).

114

1. Terapi Non Farmakologi Ditujukan untuk penanganan hematoma yang terjadi dan penanganan peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya hematoma. a. Elevasi kepala pada posisi tidur sebesar 300 meningkatkan aliran keluar vena jugular dan menurunkan tekanan intrakranial. Kepala harus berada pada garis tengah dan menghadap atas, hindari kepala menoleh kearah samping kiri atau kanan. Peningkatan posisi kepala pada pasien hipovolemia sebaiknya dihindari untuk mencegah penurunan tekanan darah (Broderick & Sanders, 2007). b. Drainase cairan serebrospinal dengan ventrikulostomi sebaiknya dinilai dengan hati – hati terkait dengan resiko infeksi dan perdarahannya. Intraventrikular kateter bilamana digunakan untuk monitor tekanan intrakranial, drainase cairan serebrospinal merupakan metode yang efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial, khususnya dalam penanganan hidrosefalus (Broderick & Sanders, 2007). c. Operasi untuk pasien perdarahan intraserebral yang paling banyak diteliti adalah kraniotomi. Operasi biasanya ditujukan untuk pasien dengan perdarahan otak > 3 cm yang mengalami perburukan neurologik atau pasien yang mengalami penekanan batang otak dan/atau hidrosefalus karena kerusakan ventrikular dimana operasi penghilangan perdarahan harus dilakukan sesegera mungkin (Broderick & Sanders, 2007). d. Sebagai profilaksis untuk mengurangi munculnya asimptomatik deep vein thrombosis pasca perdarahan intraserebral, berdasarkan penelitian diketahui bahwa kompresi pneumatik berselang yang dikombinasikan dengan stoking elastis menunjukan keunggulan dibandingkan penggunaan stoking elastik sendiri (Morgenstern & Hemphill, 2010).

115

2. Terapi Farmakologi a. Penanganan Tekanan Darah Penanganan peningkatan tekanan darah akut perlu dilakukan pada pasien perdarahan intraserebral karena peningkatan tekanan darah dapat meningkatkan resiko melebarnya perdarahan dari pecahnya arteri kecil dan arteriola selama jam – jam pertama setelah serangan (Broderick & Sanders, 2007). Mekanisme patofisiologi yang potensial termasuk aktivasi stress pada sistem neuroendokrin (sistem syaraf simpatetik, sumbu reninangiotensin atau sistem glukokortikoid) dan peningkatan tekanan intrakranial (Morgenstern & Hemphill, 2010). Level optimal dari tekanan darah pasien harus didasarkan pada faktor individual seperti hipertensi kronis, tekanan intrakranial, usia, dugaan penyebab perdarahan dan interval sejak onset serangan. Beberapa agen anhtihipertensi yang digunakan pada perdarahan intraserebral antara lain labetalol, nicardipine, esmolol, enalapril, hydralazine, nipride dan nitroglycerin (Broderick & Sanders, 2007). Guidelines 2010 memberikan rekomendasi bahwa pada pasien yang menunjukan tekanan darah sistolik 150 – 220 mmHg, penurunan tekanan darah sistolik akut menjadi 140 mmHg kemungkinan masih aman. Secara lebih jelas prinsip penurunan tekanan darah dapat dilihat pada tabel 1 (Morgenstern & Hemphill, 2010).

116

Tabel 1. Prinsip penurunan tekanan darah pada pasien perdarahan intraserebral 1. Bila tekanan darah sistolik > 200 mmHg atau tekanan arteri rata – rata > 150 mmHg, pertimbangkan penurunan tekanan darah secara agresif dengan infus intravena kontinu, dengan monitoring tekanan darah secara berulang setiap 5 menit. 2. Bila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan rata – rata arteri > 130 mmHg

dan

ada

kemungkinan

peningkatan

tekanan

intrakranial,

pertimbangkan monitoring tekanan intrakranial dan penurunan tekanan darah menggunakan obat intravena secara berselang atau secara terus menerus sambil mempertahankan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg 3. Bila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan arteri rata – rata > 130 mmHg

dan

tidak

ada

bukti

peningkatan

tekanan

intrakranial,

pertimbangkan penurunan tekanan darah sedang (misalnya tekanan arteri rata – rata 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg) menggunakan obat intravena secara berselang atau secara terus – menerus untuk mengontrol tekanan darah dan periksa ulang klinis pasien setiap 15 menit.

b. Terapi untuk peningkatan tekanan intrakranial 1) Analgesik dan sedasi : Sedasi intravena dibutuhkan pada pasien yang tidak

stabil

yang

mana

mendapatkan

intubasi

untuk

mempertahankan ventilasi dan mengontrol aliran udara bersamaan dengan prosedur lainnya. Pemberian sedasi harus dititrasi untuk meminimalkan nyeri dan peningkatan pada tekanan intrakranial, yang membutuhkan evaluasi terhadap status klinik pasien. Agen yang digunakan untuk sedasi adalah propofol, etomidate atau modazolam secara intravena dan morfin atau fentanil untuk analgesik dan efek antitusif. 2) Blokade neuromuskular : aktivitas otot mungkin saja meningkatkan tekanan intrakranial melalui peningkatan tekanan intratorak dan 117

obstruksi

aliran

keluar

vena

serebral.

Profilaksis

blokade

neuromuskular dipertimbangkan bila pasien tidak responsif terhadap analgesik dan sedasi 3) Terapi osmotik : Agen yang paling sering digunakan adalah manitol, suatu agen asmotik intravaskular yang dapat menarik cairan baik pada jaringan otak yang mengalami udem maupun yang tidak. Manitol menurunkan viskositas darah yang menyebabkan refleks vasokontriksi

dan

penurunan

cairan

serebrovaskular.

Target

osmolaritas serum direkomendasikan sebesar 300 sampai 320 mOsm/kg. Penggunaan larutan saline hipertonik menunjukan penurunan tekanan intrakranial pada berbagai kondisi. 4) Koma barbiturat : barbiturat dosis tinggi efektif dalam menurunkan hipertensi intrakranial yang berulang namun tidak efektif atau memiliki potensi yang membahayakan sebagai terapi lini pertama atau profilaksis pada pasien dengan cedera otak (Broderick & Sanders, 2007). c. Kontrol glukosa pada pasien diabetik maupun nondiabetik diperlukan karena kondisi hiperglikemia diasosiasikan dengan outcome yang buruk pada pasien. Insulin dapat digunakan pada kondisi akut maupun setelah serangan untuk menjaga target glukosa lebih rendah dari 300 mg/dL (Broderick & Sanders, 2007). Kadar glukosa harus selalu dipantau dan kondisi

normoglikemik

sangat

direkomendasikan

(Morgenstern

&

Hemphill, 2010). d. Obat antiepilepsi yang tepat harus digunakan untuk menangani seizure pada pasien dengan perdarahan intracerebral. Penanganan dari seizures pada saat perawatan di rumah sakit harus termasuk penggunaan obat secara intravena untuk mengontrol kejang dengan cepat. Obat untuk pilihan pertama adalah golongan benzodiazepam seperti lorazepam atau diazepam diikuti langsung dengan fos-fenitoin atau fenitoin intravena 118

(Broderick & Sanders, 2007). Pasien yang harus diterapi dengan obat antiepilepsi hanyalah pasien dengan seizure klinik atau elektrografik seizure pada pasien dengan perubahan status mental. Monitoring EEG secara terus menerus harus dipertimbangkan pada pasien perdarahan intraserebral dengan penurunan status mental diluar proporsi tingkatan kerusakan otak. Penggunaan antikonvulsan profilaksis harusnya tidak digunakan (Morgenstern & Hemphill, 2010). e. Managemen suhu perlu dilakukan karena pasien yang mengalami demam akan memperburuk outcome pada pasien karena peningkatan suhu diasosiasikan dengan peningkatan volume homeostasis intrakranial. Antipiretik harus diberikan untuk menurunkan demam pada pasien (Broderick & Sanders, 2007). f. Hemostasis/Antiplatelets/Profilaksis Deep Vein Thrombosis Faktor resiko terjadinya perdarahan intraserebral salah satunya adalah pada pasien yang menggunakan antikoagulan oral, mereka dengan defisiensi faktor koagulasi kongenital maupun dapatan, dan mereka dengan abnormalitas platelet kualitatif atau kuantitatif. Untuk pasien yang diterapi dengan antikoagulan oral yang mengalami perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, rekomendasi umum adalah untuk mengkoreksi international normalized ratio (INR) sesegera mungkin (Morgenstern & Hemphill, 2010). Terdapat agen spesifik yang digunakan untuk membalikan efek dari antikoagulan tersebut. Protamine sulfat harus digunakan untuk membalikan efek heparin yang menyebabkan perdarahan intraserebral. Sedangkan untuk perdarahan intraserebral terkait penggunaan warfarin maka harus diberikan vitamin K secara intravena untuk membalikan efek dari warfarin dan untuk menggantikan faktor pembekuan darah (Broderick & Sanders, 2007). Selain vitamin K agen lain yang dapat digunakan adalah fresh frozen plasma (FFP), prothrombin complex concentrates (PCCs) dan recombinan factor VIIa 119

(rFVIIa).

Walaupun

infus

vitamin

K

dan

FFP

secara

historis

direkomendasikan, namun seringkali PCC dan rFVIIa digunakan sebagai terapi yang potensial. Rekomendasi penggunaan PCCs terus meningkat untuk membalikan efek warfarin pada kondisi antikoagulan oral yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa atau pada perdarahan intrakranial. Target INR yang diharapkan adalah ≤ 1,4. Setelah ada dokumentasi terhentinya perdarahan, dapat dipertimbangkan penggunaan heparin dengan berat molekul rendah dosis rendah secara sub kutan atau heparin tidak terfraksinasi untuk pencegahan tromboemboli vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah 1 – 4 hari setelah onset (Morgenstern & Hemphill, 2010).

120

D. PENGENALAN PENYAKIT STROKE PERDARAHAN SUBARAKNOID

1. Definisi Perdarahan subaraknoid adalah kegawatdaruratan neurologik yang ditandai dengan ekstravasasi darah pada ruang subaraknoid, yang berada antara pial dan membran araknoid, yang berisi cairan cerebrospinal (Oman & Lavine, 2010, Suarez & Tarr, 2006). Penyebab utama dari perdarahan subaraknoid adalah rupturnya aneurisma intrakranial, yang mana terjadi pada 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid nonaneurisma, termasuk perdarahan subaraknoid perimesenphalik terisolasi, terjadi pada 20% kasus dan menunjukan prognosis yang baik dengan komplikasi neurologis yang sangat jarang ( Suarez & Tarr, 2006 ).

Gambar3 . Perdarahan subaraknoid (Internet Stroke Center, 2002)

2. Etiologi Kasus perdarahan subaraknoid yang disebabkan bukan karena trauma biasanya terjadi karena ekstravasasi darah dari pembuluh darah yang abnormal menuju permukaan otak. Hal tersebut terjadi biasanya karena adanya kebocoran atau pecahnya aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM). Tujuh puluh tujuh persen kasus perdarahan subaraknoid terjadi karena pecahnya aneurisma. 121

Walaupun etiologi dari aneurisma cerebral masih belum diketahui, faktor kongenital dan dapatan memegang peran didalamnya. Faktor - faktor kongenital yang dapat memicu aneurisma meliputi : a. Faktor keluarga, bila dalam keluarga memiliki riwayat aneurisma cerebral, kemungkinan untuk mengalami aneurisma cerebral lebih besar. b. Kejadian multiple aneurisma pada pasien perdarahan subaraknoid, pasien perdarahan subaraknoid memiliki kemungkinan sebesar 15% untuk mengalami lebih dari 1 aneurisma c. Penyakit kongenital spesifik, adanya aneurisma berhubungan dengan penyakit – penyakit spesifik misalnya Marfan syndrome, Ehlers-Danlos syndrome, fibromuscular dysplasia dan polycystic kidney disease. Faktor dapatan yang dihubungkan dengan pembentukan aneurisma antara lain : a. Atherosklerosis b. Hipertensi c. Stress hemodinamik Penyebab perdarahan subaraknoid kedua yang dapat diidentifikasi adalah pecahnya arteriovenous malformartion. AVM merupakan suatu gangguan berupa kompleks dinding vena dan arteri yang tipis sehingga lebih rapuh dari pembuluh darah yang normal. Hampir 10% kasus perdarahan subaraknoid terjadi karena AVM. AVM muncul kira – kira 4 – 5% pada populasi umum yang mana sekitar 10 – 15 % saja yang menunjukan gejala. Penyebab perdarahan subaraknoid yang lebih jarang antara lain : a. Displasia fibromuskular b. Penyakit Moyamoya c. Infeksi d. Neoplasma e. Trauma kepala f. Vaskulitis g. Perdarahan subaraknoid idiopatik (Oman & Lavine, 2010). 122

3. Patofisiologi

Gambar 4. Aneurisma pada pembuluh darah arteri Aneurisma biasanya muncul pada daerah percabangan arteri besar cerebri pada lingkaran Willis. Penanda awal dari aneurisma adalah cacat berupa benjolan kecil pada bagian tengah arteri (Oman & Lavine, 2010). Aneurisma terjadi apabila pembuluh darah yang pada mulanya normal, dimana dinding pembuluh darah mulus tanpa ada irregularitas, kemudian mengalami cacat. Cacat ini dapat terjadi karena adanya peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah karena tekanan hidrostatik dari denyut aliran darah dan turbulensi darah. Tekanan dari aliran darah yang melewati pembuluh darah yang mengalami cacat akan menyebabkan dinding pembuluh darah menonjol keluar. Makin besar tonjolan dinding pembuluh darah tersebut maka dinding pembuluh itu akan makin melemah dan menipis sehingga pada suatu saat tidak akan mampu lagi menahan tekanan dari aliran darah yang melewatinya sehingga mengalami robekan atau pecah (Oman & Lavine, 2010, The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group, NY ).

123

Gambar 5. Proses terbentuknya aneurisma Kemungkinan pecahnya aneurisma tergantung pada tekanan dinding aneurisma. Bilamana aneurisma ruptur, maka darah dari pembuluh darah akan keluar menuju tengkorak yang melingkupi otak pada ruang subaraknoid secara cepat (The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group, n.d. ). Darah yang keluar menuju ruang subarakhnoid akan mengalami suatu proses kerusakan sel yang dapat menghasilkan produk yang memicu proses inflamasi. Proses inflamasi ini akan mempengaruhi pembuluh darah besar pada lingkaran Willis dan pembuluh darah yang lebih kecil pada ruang subpial. Proses ini sangat kompleks namun akan menyebabkan gangguan distribusi darah yang adekuat pada daerah yang dipengaruhi melalui mekanisme vasospasme pembuluh darah. Vasospasme pembuluh darah akan menyebabkan iskemia otak yang seringkali tertunda sampai beberapa hari, yang mana merupakan memunculkan dan merupakan penyebab terjadinya kerusakan otak (Kirkpatrick, 2002).

4. Manifestasi Klinik Pasien yang mengalami perdarahan subaraknoid akan mengalami sakit kepala yang tiba – tiba dan bersifat intensif, nyeri pada leher, mual atau muntah. Sakit kepala yang dirasakan kadang kala dikatakan sebagai sakit kepala yang 124

paling parah selama hidup. Peningkatan tekanan yang tiba – tiba pada otak juga dapat menyebabkan hilangnya kesadaran yang tiba – tiba bahkan kematian (Internet Stroke Center, 2002).

125

E. TATALAKSANA TERAPI STROKE PERDARAHAN SUBARAKHNOID

Guidelines dari American Heart Association/American Stroke Association tahun 2009 memberikan rekomendasi mengenai penatalaksanaan pada pasien yang mengalami stroke perdarahan subaraknoid utamanya yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma. 1. Terapi Non Farmakologi a. Fokus awal pada penatalaksanaan pasien stroke perdarahan subaraknoid adalah memastikan dan mempertahankan kecukupan aliran udara, pernafasan dan sirkulasi pasien. b. Pasien stroke perdarahan subaraknoid harus bedrest total untuk mengurangi resiko terjadinya perdarahan ulang bersamaan dengan strategi terapi lainnya. c. Metode operasi (surgical clipping) atau endovaskular (endovascular coiling) dapat dilakukan untuk menurunkan resiko perdarahan kembali setelah perdarahan subaraknoid karena pecahnya aneurisma. d. Penanganan hidrosefalus dengan pengalihan cairan serebrospinal baik sementara ataupun permanen direkomendasikan pada pasien dengan hidrosefalus kronik setelah perdarahan subaraknoid. Ventrikulostomi bermanfaat bagi pasien yang mengalami ventrikulomegali. e. Pemberian cairan hipotonik dalam volume yang besar harus dihindari setelah perdarahan subaraknoid. Monitoring status volume pasien perdarahan subaraknoid dengan menggunakan kombinasi pengukuran tekanan vena sentral, tekanan pulmoner arteri paru – paru, keseimbangan cairan dan berat badan masuk akal sama halnya dengan terapi kontraksi volume menggunakan cairan isotonis (Bederson & Conolly, 2009).

126

2. Terapi Farmakologi Terapi farmakologi untuk pasien stroke perdarahan subaraknoid antaralain

digunakan

untuk

penatalaksanaan

vasospasme,

pencegahan

perdarahan ulang, kejang, terapi hipertensi serta terapi suportif lainnya. a. Antihipertensi

:

walaupun

hubungan

hipertensi

dan

perdarahan

subaraknoid karena aneurisma belum begitu jelas, penatalaksanaan tekanan darah tinggi merupakan terapi untuk mencegah perdarahan subaraknoid selain itu direkomendasikan untuk mencegah stroke iskemik, perdarahan intracerebral, kerusakan jantung, renal dan organ lainnya. Selain itu monitoring dan kontrol tekanan darah harus dilakukan untuk menyeimbangkan resiko stroke, hipertensi yang berhubungan dengan perdarahan ulang dan untuk mempertahankan tekanan perfusi otak. b. Antifibrinolitik : walaupun penelitian yang lebih dahulu menunjukan efek keseluruhan yang negatif terhadap penggunaan antifibrinolitik, bukti terbaru menunjukan bahwa terapi awal dengan antifibrinolitik jangka pendek dikombinasikan dengan program perawatan aneurisma yang segera kemudian diikuti dengan penghentian antifibrinolitik dan pemberian profilaksis untuk mencegah hipovolemia dan vasospasme adalah masuk akal, namun memerlukan penelitian lebih lanjut. Penggunaan antifibrinolitik terutama dipertimbangkan untuk kondisi klinik tertentu, misalnya pada pasien yang memiliki resiko rendah mengalami vasospasme dan/atau mendapatkan manfaat atas penundaan operasi. c. Nimodipine : sebagai terapi vasospasme cerebral yang dimulai seiring dengan terapi awal pecahnya aneurisma, dan pada kebanyakan kasus termasuk mempertahankan sirkulasi normal volume darah dan pencegahan hipovolemia. Nimodipine oral diindikasikan untuk menurunkan luaran yang buruk terkait perdarahan subaraknoid karena pecahnya aneurisma. Penggunaan antagonis kalsium lainnya yang diberikan oral ataupun intravena hasilnya masih belum jelas. 127

d. Antikonvulsan : pemberian antikonvulsan profilaksis dapat dipertimbangkan pada periode pasca perdarahan, namun penggunaan rutin jangka panjang dari

antikonvulsan

tidak

direkomendasikan

namun

masih

dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan faktor resiko misalnya riwayat kejang sebelumnya, hematoma parenkimal, infark atau aneurisma pada arteri otak tengah. e. Fludrokortisone acetat dan cairan salin hipertonik : digunakan untuk koreksi hiponatremia(Bederson & Conolly, 2009).

128

F. PROFIL OBAT PASIEN STROKE PERDARAHAN

1. Antihipertensi Hipertensi merupakan faktor resiko baik pada perdarahan intrakranial maupun perdarahan subaraknoid. Peningkatan tekanan darah sering terjadi pada saat serangan akut stroke perdarahan. Bila peningkatan tekanan darah ini tidak segera ditangani, maka dikhawatirkan akan terjadi perburukan kondisi pada pasien stroke. Prinsip terapi penurunan tekanan darah dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan dosis agen – agen yang dapat digunakan untuk kontrol tekanan darah pada pasien stroke perdarahan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Dosis obat intravena yang dapat digunakan untuk mengontrol peningkatan tekanan darah pada pasien stroke perdarahan intarserebral Obat Dosis Bolus Intravena Kecepatan Infus Kontinu 5 sampai 20 mg setiap 15 2 mg/menit (maksimal 300

Labetalol

mg/hari)

menit Nicardipine

-

Esmolol

250 µg/kg IVP loading dose

Enalapril

1,25 sampai 5 mg IVP setiap

5 sampai 15 mg/jam 25 sampai 300 µg/kg menit -

6 jam* Hydralazine

5 sampai 20 mg IVP setiap 30

1,5 sampai 5 µg/kg menit

menit Nipride

-

0,1 sampai 10 µg/kg menit

Nitroglycerin

-

20 sampai 400 µg/menit

Keterangan : IVP indicates intravenous push * Karena resiko presipitasi penurunan tekanan darah, tes dosis pertama enalapril harus dimulai dari 0,625 mg a. Labetalol dan esmolol Labetalol dan esmolol merupakan antihipertensi yang masuk dalam golongan beta bloker. Labetalol bekerja memblok pada reseptor beta 1, alfa dan beta 2 adrenergik sehingga menurunkan tekanan darah. Sedangkan esmolol 129

merupakan obat dengan aksi singkat yang secara selektif memblok reseptor beta 1 dengan efek yang sangat kecil atau tidak berefek pada reseptor beta 2. Esmolol berkhasiat khususnya pada pasien dengan peningkatan tekanan arteri, utamanya bila ada rencana untuk operasi. Esmolol menunjukan penurunan episode nyeri dada dan kejadian klinis kardiak dibandingkan dengan plasebo. Dapat dihentikan secara tiba – tiba bila dibutuhkan. Berguna untuk pasien yang kemungkinan mengalami komplikasi dari beta bloker, utamanya mereka yang memiliki penyakit saluran nafas yang reaktif, disfungsi ventrikel kiri ringan – sedang, dan/atau penyakit pembuluh darah perifer (Nassisi, 2010). b. Enalapril Enalapril termasuk dalam golongan angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) yang menghambat konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACEI. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium (Katzung, 2003). Enalapril intravena merupakan pilihan yang baik karena tidak memiliki efek yang tidak diinginkan pada tekanan intrakranial maupun autoregulasi aliran darah lokal otak (Broderick, 1996). c. Nicardipine Nicardipine termasuk kelompok antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium yang menghambat influks kalsium pada sel otot pembuluh darah dan miokard (Katzung, 2003). Penelitian Deryke dan kawan – kawan tahun 2008 mengenai perbandingan antara nicardipine dan labetalol untuk managemen hipertensi akut yang mengikuti stroke memberikan kesimpulan bahwa nicardipine memberikan alternatif terhadap penggunaan labetalol dengan tingkat toleransi yang sama dan memberikan kontrol tekanan darah yang lebih seragam dibandingkan labetalol. 130

d. Hydralazine, nipride (nitroprusside Na) dan nitroglycerin Hydralazine, nitroprusside dan nitroglycerin merupakan golongan vasodilator. Seluruh vasodilator berguna untuk penanganan hipertensi melalui relaksasi otot polos dari arteriola, dengan demikian akan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Hydralazine bekerja dengan mendilatasi arteriola namun tidak pada vena. Nitroprusside Na selain mendilatasi arteriola juga merelaksasi vena (Katzung, 2003). Nitroprusside merupakan agen yang dianjurkan bila peningkatan tekanan darah lebih tinggi (misalnya pada peningkatan tekanan diastolik lebih dari 130 mmHg). Walaupun secara teoritis nitroprusside dapat meningkatkan tekanan intrakranial karena merupakan vasodilator otak, namun efek negatif tersebut belum terbukti dalam penggunaan klinis (Broderick, 1996). Nitroglyserin merelaksasi semua tipe dari otot polos terlepas dari penyebab kondisi otot yang sudah ada sebelumnya. Semua bagian dari sistem vaskular dari arteri besar sampai dengan vena besar akan mengalami relaksasi sebagai respon terhadap nitroglyserin. Vena akan memberikan respon pada konsentrasi terendah, arteri pada konsentrasi yang sedikit lebih tinggi (Katzung, 2003).

2. Antikonvulsan Antiseizure yang digunakan pada penanganan kejang pada stroke perdarahan meliputi golongan benzodiazepam (lorazepam atau diazepam) dan fosfenitoin atau fenitoin. Diazepam sangat berguna untuk mengontrol kejang aktif dan harus ditambahkan dengan antikonvulsan dengan kerja yang lebih panjang, seperti fenitoin atau fenobarbital. Lorazepam juga merupakan golongan benzodiazepam dengan aksi cepat dengan waktu paruh yang agak panjang, dan juga menjadi pilihan pada berbagai tempat untuk menterapi kejang aktif. Mekanisme kerja golongan benzodiazepam adalah dengan memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A, sehingga terjadi peningkatan inhibisi presinaptik. Efeknya muncul pada bagian sistem limbik, thalamus dan hipotalamus, untuk mendorong efek menenangkan. Fenitoin bekerja dengan 131

menstabilisasi membran neuronal dan menurunkan aktivitas kejang. Fenitoin memiliki target aksi pada motor korteks dengan demikian menghambat penyebaran aktivitas kejang. Aktivitasnya pada pusat batang otak yang bertanggung jawab pada fase tonik kejang grand mal juga dihambat oleh fenitoin. Fosfenitoin merupakan garam ester difosfonat dari fenitoin yang merupakan prodrug yang larut air dari fenitoin (Nasissi, 2010). Tabel 3. Dosis antikonvulsan pada penanganan kejang pasien stroke perdarahan Obat

Dosis

Diazepam

5 mg IV q5-10menit; dosis total tidak lebih dari 20 mg

Lorazepam

1-4 mg IV selama 2-10 menit; dapat diulang q10-15min

Fenitoin

Loading dose: 15-20 mg/kg PO/IV dalam dosis tunggal atau dosis bagi diikuti dengan 100-150 mg/dosis setelah interval 30 menit Initial dose: 100 mg (125-mg susp) IV/PO tid Dosis pemeliharaan: 300-400 mg/hari PO/IV dibagi tid, atau qd/bid bila menggunakan sediaan extended release; Tingkatkan menjadi 600 mg/hari (625 mg/hari susp) jika diperlukan; jangan lebih dari 1500 mg/24 jam Kecepatan infus tidak boleh lebih dari 50 mg/menit untuk menghindari hipotensi dan aritmia Loading dose: 15-20 mg PE/kg IV/IM dengan 100-150 mg PE/menit Dosis pemeliharaan: 4-6 mg PE/kg/d IV/IM dengan 150 mg PE/menit untuk meminimalkan resiko hipotensi

Fosfenitoin

Keterangan : PE = phenytoin sodium equivalents

3. Antifibrinolitik Antifibrinolitik merupakan agen yang merupakan inhibitor poten dari proses fibrinolisis dan dapat membalikkan kondisi yang berkaitan dengan proses fibrinolisis yang berlebihan. Asam aminocaproic dan asam tranexamat merupakan analog lisin, menekan fibrinolisis dengan penghambatan zat aktivator plasminogen dan menghambat pengikatan plasmin pada fibrin. Dosis asam 132

aminocaproic adalah 36 g/hari melalui rute peroral atau intravena dalam 6 dosis bagi (Zebian & Kazzi, 2010).

4. Barbiturat dosis tinggi Barbiturat dosis tinggi digunakan untuk penanganan peningkatan tekanan intrakranial bila dengan terapi lain tidak menunjukan adanya perbaikan. Manfaat teoritis barbiturat pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial berasal dari vasokontriksi pada daerah otak yang normal, sehingga darah mengalir ke jaringan otak yang mengalami iskemik, dan penurunan kebutuhan oksigen metabolik seiring dengan pengurangan aliran darah otak. Mekanisme lain dimana barbiturat dapat memberi efek protektif termasuk diantaranya adalah stabilisasi membran lisosom, penurunan konsentrasi kalsium intraselular, modifikasi asam amino dan pelepasan neurotransmitter, pengikatan redikal bebas, perubahan metabolisme asam lemak, penurunan produksi cairan serebrospinal, stabilisasi membran dan penurunan resiko kejang. Koma barbiturat dapat menggunakan fenobarbital dengan loading dose 10 mg/kg selama 30 menit, diikuti 5 mg/kg/jam selama 3 jam berikutnya dan kemudian infus kontinu 1 – 3 mg/kg/jam (Young & Seoung, 2008).

5. Heparin Heparin digunakan untuk pencegahan komplikasi deep vein trombosis pada

pasien

stroke

perdarahan

intrakranial.

Jenis

heparin

yang

direkomendasikan adalah heparin dengan berat molekul rendah dosis rendah secara sub kutan atau heparin tidak terfraksinasi. Kedua jenis antikoagulan tersebut merupakan inhibitor thrombin tidak langsung, dinamakan demikian karena efek antitrombotiknya terjadi karena interaksi kedua agen tersebut dengan antitrombin yang mana kemudian meningkatkan inaktivasi faktor Xa. Kedua agen tersebut juga dapat meningkatkan aksi antitrombin yang menginaktivasi trombin (Katzung, 2003). 133

6. Insulin Insulin berikatan pada reseptor membran spesifik pada jaringan target untuk mengatur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin memudahkan pemasukkan glukosa ke otot, adipose dan jaringan lain melalui transpot hexose, termasuk GLUT4. Dosis insulin ditentukan berdasarkan jenis insulin yang digunakan dan kadar glukosa pada pasien. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan berdasarkan respon pasien terhadap dosis awal insulin yang diberikan (American Pharmacists Association, 2009).

7. Nimodipine Berdasarkan hipotesis bahwa vasospasme paling tidak juga tergantung pada influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah, antagonis kalsium dihidropiridin nimodipine diperkenalkan pada tahun 1980an sebagai agen profilaksis pada pasien yang mengalami perdarahan subaraknoid. Penelitian menunjukan nimodipine menurunkan proporsi pasien yang mengalami defisit neurologik karena iskemia yang tertunda dan luaran yang buruk sebagaimana juga jumlah kejadian infark serebral (Kronvall & PerUndren, 2009). Nimodipine dengan dosis 60 mg setiap 4 jam harus dimulai pada saat diagnosa dan diteruskan sampai dengan 21 hari setelahnya (Fagan & Hess, 2008).

8. Protamin Sulfat Protamin sulfat merupakan agen yang digunakan untuk menetralisasi efek dari antikoagulan dalam hal ini heparin. Protamin sulfat akan membentuk garam dengan heparin dengan demikian akan menetralkan efek dari heparin. Pemberian dosisnya tergantung pada jarak waktu sejak pemberian heparin yang paling akhir. Dosis sesaat setelah pemberian heparin 1 – 1,5 mg/100 U heparin IV, 30 – 60 menit setelah penghentian terapi heparin 0,5 – 0,75 mg/100 U heparin IV, bila penghentian terapi heparin lebih dari 60 menit berikan 0,250,375 mg/100 U heparin IV. Bila heparin diberikan melalui suntikan sub kutan 134

dalam, berikan 1 – 1,5 mg protamin/100 U heparin IV dan tidak lebih dari 50 mg/dosis (Nasissi, 2010).

9. Recombinant Factor VIIa Penggunaan recombinant factor VIIa (rFVIIa) untuk menghentikan proses perdarahan

dan

meminimalkan

pertumbuhan

hematoma

pada

pasien

perdarahan intrakranial masih terus diteliti. Setelah terjadinya kerusakan pembuluh darah dan inisiasi lokal oleh alur koagulasi, rFVIIa berperan dengan meningkatkan pembangkitan trombin pada permukaan platelet teraktivasi, menyebabkan pembentukan gumpalan yang stabil dan tahan terhadap lisis pada pembuluh darah yang rusak (Mayer & Brun, 2005). Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan rFVIIa harus dilakukan sebelum dibuat suatu rekomendasi pada kelompok mana penggunaan rFVIIa dapat memberikan keuntungan (Morgenstern & Hemphill, 2010).

10. Terapi Osmotik Terapi osmotik merupakan salah satu tatalaksana terapi yang digunakan untuk menangani peningkatan tekanan intrakranial pada pasien stroke perdarahan intracerebral. Jenis terapi osmotik yang direkomendasikan oleh American Heart Association adalah manitol dan salin hipertonik. Algoritme penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial dari AHA 2010 dapat dilihat pada gambar 6.

135

Pasang monitor tekanan intrakranial dan pertahankan tekanan perfusi otak > 60 mmHg (kateter ventrikel lebih dipilih)

YA

ICP > 20 – 25 mmHg?

TIDAK

YA Drainase cairan serebrospinal (bila tersedia)

YA

Pertimbangkan CT scan ulang

ICP > 20 – 25 mmHg?

TIDAK Secara bertahap lakukan penghentian terapi

YA

Bolus Mannitol (0,25-1,0mg/kg) atau saline hipertonik 23,4% 30 mL secara bolus)

YA

ICP > 20 – 25 mmHg?

TIDAK

YA Sedasi, blokade neuromuskular, pertimbangkan hipoventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg)

YA

ICP > 20 – 25 mmHg

TIDAK

YA Terapi lini kedua seperti hipotermia, hernicraniectomy, koma barbiturat

Gambar 6. Algoritme terapi tekanan intrakranial

136

a. Manitol Manitol merupakan diuretik osmotik yang secara luas digunakan untuk terapi edema serebral. Manitol diketahui dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui mekanisme penurunan kandungan air keseluruhan dan volume cairan serebrospinal dan melalui penurunan volume darah karena vasokontriksi. Manitol juga dapat meningkatkan perfusi serebral melalui penurunan viskositas atau dengan mengubah rheologi sel darah merah. Sebagai pengikat radikal bebas, manitol memiliki efek protektif terhadap kerusakan biokimia (Bereczki & Liu, 2000). Dosis yang direkomendasikan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial adalah 0,25-1,0mg/kg melalui intravena bolus (Morgenstern & Hemphill, 2010). b. Salin hipertonik Salin hipertonik mulai digunakan dalam pengobatan peningkatan tekanan intrakranial. Salin hipertonik memiliki keistimewaan dimana natrium klorida yang memiliki koefisien refleksi 1,0 akan lebih baik dikeluarkan secara utuh melewati sawar darah otak dibandingkan dengan manitol yang memiliki koefisien refleksi 0,9. Salin hipertonik dapat berperan dalam penurunan tekanan intrakranial melalui 2 mekanisme yaitu melalui efek langsung pada edema dan melalui perbaikan mikrosirkulasi melalui pergeseran cairan dari sel yang membengkak menuju lumen kapiler. Kedua efek tersebut bergantung pada perbedaan osmogradient antara kompartemen intraselular dan intravaskular (Kempski, 2005). Salin hipertonik diberikan secara bolus dengan konsentrasi 23,4% sebanyak 30 mL (Morgenstern & Hemphill, 2010).

137

11. Vitamin K Vitamin K merupakan vitamin larut lemak yang digunakan untuk mendukung pembentukan faktor pembekuan darah. Fitonadione dapat memblok secara kompetitif efek dari warfarin dan antikoagulan terkait. Efek klinis akan tertunda beberapa jam karena hati harus lebih dahulu mensintesis faktor – faktor pembekuan dan kadar plasma faktor – faktor pembekuan seperti faktor II, VII, IX dan X secara bertahap akan kembali. Penghitungan dosis bervariasi berdasarkan pada situasi klinis, termasuk dosis antikoagulan yang digunakan dan jenis dari antikoagulan apakah aksi pendek atau aksi panjang. Dosis untuk dewasa biasanya 10 mg secara intravena (Nasissi, 2010).

138

G. PENUTUP

Tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan secara berkala dievaluasi. Penelitian – penelitian baru membawa masukan – masukan bagi tatalaksana terapi baru baik dalam bidang farmakologi maupun nonfarmakologi. Tatalaksana terapi baru akan dimasukkan ke dalam guidelines agar menjadi bahan masukan bagi para tenaga kesehatan yang menangani pasien stroke perdarahan. Dengan mengetahui tatalaksana terapi terutama terapi obat, para farmasis diharapkan dapat menilai luaran klinik pada penderita stroke peradarahan beserta monitoring kemungkinan terjadinya masalah yang terkait dengan penggunaan obat. Farmasis juga diharapkan dapat mengetahui pada tingkat mana penggunaan obat tersebut direkomendasikan digunakan untuk pasien. Dengan demikian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya demi mendapatkan hasil yang optimal untuk pasien.

139

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, K.K., Olsen, T.J., Dehlendorff, C., Peter, L. (2009) Hemorrhagic and Ischemic Strokes Compared. Stroke Severity, Mortality, and Risk Factors. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] 1 – 6. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 29 September 2010]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.108.540112. American Heart Association. (2009) Heart Disease and Stroke : Statistics. [Online]. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. American Stroke Association (2010) Hemorrhagic (Bleeds) [Online] Sumber : http://www.strokeassociation.org/ [Akses 22 September 2010]. American Pharmacists Association.(2009) Drug Information Handbook. LexiComp. USA. Bederson, J.B., Connolly, E.S., Batjer, H.H., Dacey, R.G., Dion, J.E., Diringer, M.N., et all. (2009) Guidelines for Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] 1 – 32. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 07 September 2009]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.108.191395. Bereczki, D., Liu, M., do Prado, G.F., Fekete, I. (2000) Cochrane Report : A Systematic Review of Mannitol Therapy for Acute Ischemic Stroke and Cerebral Parenchymal Hemorrhage. Stroke 2000; 31; 2719-2711. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 28 Oktober 2010]. Broderick, J. (1996) Guidelines for Medical Care and Treatment of Blood Pressure in Patients with Acute Stroke. [Online] Sumber : http://www.ninds.nih.gov/ [Akses 31 Oktober 2010]. Broderick, J., Sander, C., Feldmann, E., Hanley, D., Kase, C., Krieger, D., et all. (2007) Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adults : 2007 Update. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.107.183689. Deryke,L., Janisse, J., Coplin, W.M., Parker, D., Norris, G., Rhoney, D.H., (2008) A Comparison of Nicardipine and Labetalol for Acute Hypertension Management Following Stroke. Neurocritical Care. 2008;9(2):167-76 [Online] Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ [Akses 31 Oktober 2010]. Fagan, S.C., Hess, D.C. (2008) Stroke. Dalam : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds.) Pharmacotherapy. Seventh edition. New York. McGraw-Hill. p. 380. Giraldo, E.A. (2007) Hemorrhagic Stroke. [Online]. Sumber : http://merck.html/ [Akses 08 September 2009].

140

Internet Stroke Center-Department of Neurology Washington University School of Medicine (2002) Subarachnoid Hemorrhage. [Online]. Sumber : http://www.strokecenter.org/ [Akses 22 Agustus 2010] Internet Stroke Center-Department of Neurology Washington University School of Medicine (2010) Intracerebral Hemorrhage [Online] sumber : http://www.strokecenter.org/ [Akses 22 September 2010]. Katzung, B.G. [ed.] (2003) Basic And Clinical Pharmacology, 9th Edition. [ebook]. McGraw Hill. New York. Kempski, O. (2005) Hypertonic Saline and Stroke. Critical Care Medicine 2005; 33; 1. Lippincott Williams & Wilkins. DOI: 10.1097/01.CCM.0000151046.70094.4C Kirkpatrick,P.J. (2002) Subarachnoid Haemorrhage and Intracranial Aneurysms : What Neurologists Need to Know. J Neurol Neurosurg Phychiatry. [Online] 73 : 28 – 33. Sumber : http://jnnp.bmj.com/ [Akses 24 Agustus 2010]. Kronvall,E., PerUndren, Rommer,B., Saveland,H., Cronqvist,M., Nilsson,O.G. (2009). Nimodipine in Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage : a Randomized Study of Intravenous or Peroral Administration. Journal of Neurosurgery 2009; 110. [Online] http://thejns.org/ Liebeskind, D.S. (2010) Intracranial Hemorrhage. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 03 Oktober 2010]. Mayer, S.A., Brun, N.C., Broderick, J., Davis, S., Diringer, M.N., Skolnick, B.E., Steiner,T. (2005) Safety and Feasibility of Recombinant Factor VIIa for Acute Intracerebral Hemorrhage. Stroke 2005;36;74-79. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournals.org/ [Akses 03 November 2010]. Morgenstern,L.B., Hemphill,J.C., Anderson,C., Becker,K., Broderick,J.P., Connolly,E.S., et all (2010) Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses tanggal 30 Juli 2010] DOI : 10.1161/STR.0b013e3181ec611b Nassisi, D. (2010) Stroke Hemorrhagic : Treatment and Medication. [Online]. Sumber http://emedicine.medscape.com/ [Akses 27 Oktober 2010]. Oman, J.A., Lavine, S.D. (2010) Subarachnoid Hemorrhage. [Online]. Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 20 Agustus 2010]. Qureshi, A.I., Tuhrim, S., Broderick, J.P., Batjer, H.H., Hondo, H., Hanley, D.F. (2001) Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. The New England Journal of Medicine. [Online] N Engl J Med 2001; 344:1450-1460 Sumber : http://www.nejm.org/ [Akses 06 September 2009]. Suarez, J.I., Tarr, R.W., Selman, W.R. (2006) Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. The New England Journal of Medicine. [Online] 354, 387 – 396. Sumber : http://nejm.org/ [Akses 06 September 2009]. Sahni, R., Weinberger, J. (2007) Management of Intracerebral Hemorrhage. Vascular Health and Risk Management. [Online] 2007:3(5) 701 – 709 Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [Akses 03 Oktober 2010]. 141

The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group. (n.d.) Brain Aneurysms. [Online] Sumber : http://brainavm.oci.utoronto.ca/ [Akses 22 Agustus 2010] van Gijn, J., Rinkel, G.J. (2001) Subarachnoid Haemorrhage : Diagnosis, Cause and Management. Brain. [Online] 124, 249 – 278. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. Young-I.K., Seung-W.P., Taek-K.N., Yong-S. P., Byung-K.M., Sung-N.H., (2008). The Effect of Barbiturate Coma Therapy for the Patients with Severe Intracranial Hypertension : A 10-Year Experience. J Korean Neurosurg Soc 44 : 141-145, 2008. [Online] Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [Akses 02 November 2010]. Zebian,R.C., Kazzi, A.A. (2010) Subarachnoid Hemorrhage. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 01 November 2010]

142