bahasa, sastra, dan pengajarannya dalam perspektif ideologi

kolonial lewat Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Karya Eka Kurniawan” oleh Winda Candra Hantari, “Mo- ralitas...

9 downloads 518 Views 2MB Size
BAHASA, SASTRA, DAN PENGAJARANNYA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI, EKOLOGI, DAN MULTIKULTURALISME

PUSAT BAHASA UNIVERSITAS TIDAR BALAI BAHASA JAWA TENGAH HISKI KOMISARIAT KEDU

i

Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya dalam Perspektif Ideologi, Ekologi, dan Multikulturalisme Copyrights © Dr. Farikah, M.Pd. , Imam Baihaqi, M.A.

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau isi seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Editor : Dr. Farikah, M.Pd. , Imam Baihaqi, M.A. Cetakan 1, Agustus 2016 Diterbitkan oleh Pusat Bahasa Universitas Tidar Balai Bahasa Jateng HISKI Komisariat Kedu bekerjasama dengan Graha Cendekia Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya dalam Perspektif Ideologi, Ekologi, dan Multikulturalisme/ Dr. Farikah, M.Pd., Imam Baihaqi, M.A. Cetakan I-Yogyakarta: Graha Cendekia 14 X 20.5 cm ISBN 978-602-8938-38-1 I. Bahasa II. Judul

ii

III. Dr. Farikah, M.Pd. & Imam Baihaqi, M.A.

Kata Pengantar

Bahasa, sastra, dan pengajarannya merupakan bidang ilmu yang berkesinambungan dan tak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, ketiga bidang ilmu tersebut mendapatkan perhatian yang kian besar. Terbukti dengan adanya organisasi profesi serupa Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI), Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI), dan The Asociation of Teaching English As a Foreign Language in Indonesia (TEFLIN) yang bergerak dalam bidang bahasa dan sastra. Organisasi profesi tersebut senantiasa menggeliat dan membuat sebuah terobosan baru di bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya. Ilmu-ilmu bahasa, sastra, dan pengajarannya dalam perkembangannya sudah menelurkan beberapa perspektif kajian baru berdasarkan fenomena kebahasaan dan kesastraan yang berkembang di masyarakat. Fenomena-fenomena tersebut dapat dilihat dari perspektif ideo-logi, yaitu bagaimana bahasa dan sastra yang di dalamnya memuat cara berpikir seseorang atau golongan terkait dengan sebuah kehidupan; ekologi, yaitu bagaimana bahasa dan sastra memiliki korelasi dengan lingkungan hidup; dan multikulturalisme, yaitu bagaimana bahasa dan sastra menjadi sebuah refleksi dari beberapa iii

kebudayaan yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa perspektif tersebut muncul beberapa makalah yang mengkaji tentang sastra dan ideologi, yaitu “Nash-Nash Ideologis dalam Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto: Perkenalan Marxisme Sastra” oleh Juanda, “Memotret Peta Konflik Ideologis Masyarakat Poskolonial lewat Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan” oleh Winda Candra Hantari, “Moralitas dan Ideologi Sastra dalam Gaya dan Bahasa yang Tidak Vulgar: Pergerakan dari Sastra Wangi Menuju Sastra Islam, dari Saman dan Nayla Menuju Ayat-Ayat Cinta 2” oleh Ali Imron, “Metafora Teks Seksual dalam Serat Centhini sebagai Cerminan Ideologi Masyarakat Jawa” oleh Nurnaningsih, “Representasi Ideologi dalam Ungkapan Tradisional Bahasa Kaili” oleh Gazali, dan “Islamisme dalam Teks Drama Absurd Indonesia” oleh Turahmat. Beberapa kajian sastra dan multikulturalisme, di antaranya “Pertarungan Budaya dalam Proses Penerjemahan Novel” oleh Puji Laksono, “Aspek Psikologis Tokoh dalam Cerita Rakyat Putri Cempa di Kabupaten Rembang Jawa Tengah” oleh Evi Chamalah, Meilan Arsanti, dan Luk Luk Oktavia, dan “Manifestasi Kearifan Lokal dalam Cerpen Mbok Jah sebagai Aset Budaya Bangsa” oleh Imam Baihaqi. Makalah dengan perspektif kajian bahasa dan multikulturalisme di antaranya “Bahasa Sebagai Cermin Multikulturalisme: Membina Watak Melalui Budaya Literasi Kearifan Lokal” oleh H.R. Utami, “Peranan Bahasa dalam iv

Multikulturalisme Sosial Budaya, Penyamaan Perspektif dan Ideologi” oleh Retma Sari, “Kajian Morfologis Bahasa-Bahasa Nusantara dengan Stimulan Lagu-Lagu Daerahnya” oleh Yulia Esti Katrini. Ada pula kajian bahasa dan ekologi yaitu “The Ecological Perspectives on Oral Proficiency: How Ideas Reach A Target Language” oleh Didik Rinan Sumekto. Kajian bahasa dan sastra dari perspektif pengajaran serta sudut pandang lain juga tampak dalam buku ini, di antaranya “Implementasi Scientific Approach dalam Pembelajaran Writing untuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar” oleh Farikah, “Authentic Assessment for Productive Skills” oleh Prima Ferri Karma, "Media Picture And Picture dan Pengaruhnya pada Hasil Pembelajaran Sastra" oleh Amar Ma’ruf, “Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Perspektif Ideologi, Ekologi, dan Multikulturalisme di Indonesia Timur” oleh Anisatul Fuadiyah, “The Importance Of Understanding Speech Act Of English Teacher’s Utterances In Teaching Learning Process Of The Eleventh Grade In Sma Syubbanul Wathon” oleh Himmatul Ngaliyah, “Nilai Edukasi dalam Wayang “Semar Mbangun Kahyangan” Versi Ki Hadi Sugito dan Relevansinya dalam Pendidikan Karakter Modern” oleh Molas Warsi Nugraheni, “Developing Students’ Speaking Competence Through Storytelling at the Second Grade Students of SMK Negeri 1 Magelang in Academic Year 2013 / 2014” oleh Rina Dewi Septanti, Imam Ghozali, dan Hasti Robiasih. Beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para Dosen, Peneliti, Guru, dan Masyarakat pecinta bahasa, v

sastra, dan pengajarannya yang terangkum dalam buku ini dapat memberikan warna dan perspektif baru terutama dalam sudut pandang ideologi, ekologi, dan multikulturalisme. Harapannya buku ini dapat dipakai sebagai salah satu referensi bagi para Dosen, Peneliti, Guru, dan Mahasiswa dalam melakukan kajian ilmu pengetahuan di bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya.

Magelang, 8 Agustus 2016 Editor

vi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................iii

MAKALAH UTAMA IDEOLOGI, CINTA, ANDRAGOGI, DAN EKOLOGI SASTRA Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. .............................3 PENELITIAN BAHASA UNTUK PENGAJARAN BAHASA Prof. Dr. Cahyo Yusuf, M.Pd. ..............................................27

MAKALAH PENDAMPING PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA AUTHENTIC ASSESSMENT FOR PRODUCTIVE SKILLS Prima Ferri Karma, M.Pd. ....................................................69 DEVELOPING STUDENTS’ SPEAKING COMPETENCE THROUGH STORYTELLING AT THE SECOND GRADE STUDENTS OF SMK NEGERI 1 MAGELANG IN ACADEMIC YEAR 2013 / 2014 Rina Dewi Septanti, Imam Ghozali, dan Hasti Robiasih.................................................................92

vii

THE IMPORTANCE OF UNDERSTANDING SPEECH ACT OF ENGLISH TEACHER’S UTTERANCES IN TEACHING LEARNING PROCESS OF THE ELEVENTH GRADE IN SMA SYUBBANUL WATHON Himmatul Ngaliyah, S.Pd. .................................................109 IMPLEMENTASI SCIENTIFIC APPROACH DALAM PEMBELAJARAN WRITING UNTUK MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS UNIVERSITAS TIDAR Dr. Farikah, M.Pd. ...............................................................123 MEDIA PICTURE AND PICTURE DAN PENGARUHNYA PADA HASIL PEMBELAJARAN SASTRA Amar Ma’ruf, S.Pd...............................................................133 PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI, EKOLOGI, DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA TIMUR Anisatul Fuadiyah ...............................................................150 PELATIHAN DAN PENDAMPINGAN PENYUSUNAN KARYA ILMIAH BERBASIS PENELITIAN TINDAKAN KELAS UNTUK MAHASISWA SEMESTER 4 DAN 6 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TIDAR Moch. Malik Al Firdaus......................................................160

viii

NILAI EDUKASI DALAM WAYANG “SEMAR MBANGUN KAHYANGAN” VERSI KI HADI SUGITO DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER MODERN Molas Warsi Nugraheni, M.Pd. ........................................186

MAKALAH PENDAMPING BAHASA THE ECOLOGICAL PERSPECTIVES ON ORAL PROFICIENCY: HOW IDEAS REACH A TARGET LANGUAGE Didik Rinan Sumekto..........................................................209 BAHASA SEBAGAI CERMIN MULTIKULTURALISME: MEMBINA WATAK MELALUI BUDAYA LITERASI KEARIFAN LOKAL H.R. Utami ...........................................................................229 PERANAN BAHASA INDONESIA DALAM PENYAMAAN PERSPEKTIF PADA MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI ERA GLOBAL Retma Sari, M.Pd. ................................................................240 KAJIAN MORFOLOGIS BAHASA-BAHASA NUSANTARA DENGAN STIMULAN LAGU-LAGU DAERAHNYA Dr. Yulia Esti Katrini, M.S. .................................................255

ix

MAKALAH PENDAMPING SASTRA MORALITAS DAN IDEOLOGI SASTRA DALAM GAYA DAN BAHASA YANG TIDAK VULGAR: PERGERAKAN DARI SASTRA WANGI MENUJU SASTRA ISLAM, DARI SAMAN DAN NAYLA MENUJU AYAT-AYAT CINTA 2 Ali Imron, M.Hum. .............................................................269 ASPEK PSIKOLOGIS TOKOH DALAM CERITA RAKYAT PUTRI CEMPA DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH Evi Chamalah, Meilan Arsanti, Luk Luk Oktavia...........285 REPRESENTASI IDEOLOGI DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA KAILI Gazali.....................................................................................310 MANIFESTASI KEARIFAN LOKAL DALAM CERPEN MBOK JAH SEBAGAI ASET BUDAYA BANGSA Imam Baihaqi, M.A..............................................................330 NASH-NASH IDEOLOGIS DALAM NOVEL WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO: PERKENALAN MARXISME SASTRA Juanda....................................................................................346

x

METAFORA TEKS SEKSUAL DALAM SERAT CENTHINI SEBAGAI CERMINAN IDEOLOGI MASYARAKAT JAWA Dr. Nurnaningsih, S.S., M.Hum. .......................................370 PERTARUNGAN BUDAYA DALAM PROSES PENERJEMAHAN NOVEL Puji Laksono .........................................................................391 ISLAMISME DALAM TEKS DRAMA ABSURD INDONESIA Turahmat, M.Pd ..................................................................405 MEMOTRET PETA KONTESTASI IDEOLOGI MASYARAKAT POSKOLONIAL MELALUI SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARYA EKA KURNIAWAN Winda Candra Hantari, M.A. ............................................428

xi

xii

MAKALAH UTAMA

i

2

IDEOLOGI, CINTA, ANDRAGOGI, DAN EKOLOGI SASTRA Oleh: Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Ketua Hiski Pusat

IDEOLOGI DAN POLITIK SASTRA Ideologi itu paham yang abstrak dalam sastra. Ideologi memang dekat dengan politik dan kekuasaan. Sebagai paham, ideologi masih perlu ditafsirkan. Sastrawan sering menyembunyikan ideologi. Sastra sering dibungkus dengan kertas kado yang warna-warni. Akibatnya, ada dua hal yaitu: (1) ideologi sastra semakin kabur, karena kurang jelas ditangkap pembaca dan (2) ideologi sastra dapat menggiring pembaca harus takhluk. Kalau demikian, pembelajaran sastra harus mampu menerobos ideologi keduanya, agar tidak dipermainkan oleh ‚bungkus‛ dan ‚isi‛ (meaning). Ideologi itu ilmu ide, yang mirip dengan kekuasaan. Sastra jelas kaya ide. Maka sastra yang bagus memang berideologi. Dalam ilmu sastra terdapat disiplin ilmu lain, dan istilah non-sastra yang dibagi atas beberapa bagian dari sastra, salah satunya adalah ideologi serta wacana yang berputar dengan persoalan itu, khususnya 3

dalam kerangka teori dan kritik sastra. Dalam konteks disiplin ilmu, ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra. Wacana ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan kekuasaan. Mengenai relasi sastra dan ideologi tidak merujuk pada ilmu sastra maka sastra akan tereduksi menjadi sekedar karya sastra saja dengan tiga genrenya, cerpen, puisi, dan drama. Ideologi yang dipegang teguh dalam satsra, akan menjadi politik sastra. Politik sastra, adalah strategi halus dan idealis untuk mengkoyak orang lain. Politik sastra dapat disemaikan lewat ideologi sastra. Secara etimologis sastra berasal dari bahasa sansekerta, kata Sas- dan –Tra yang berarti alat mengarahkan. Proses mengarahkan itu seringkali bermuatan politik sastra. Jika politik sastra itu amat halus, abstraktif, penuh bujukan jelas ideologi sastra. Karya sastra dapat di artikan sebagai alat yang mengarahkan perusakan atau sebaliknya membangkitkan kejayaan. Karya sastra mampu menghancurkan tatanan kekuasaan negara, sehingga sikap-sikap intimidasi individu dan karya sastra pun dimunculkan oleh pemerintah. Sebagai pencipta karya sastra, terdapat ideologi yang terdapat mengalir dalam karya sastranya. Sastra juga dapat menggugah orang bangkit dari tidur atau membuat orang tertidur. Di era masa lalu ada dongeng sebelum tidur, nina bobok, yang biasa memanfaatkan sastra lisan. Dongeng Kancil (Sato Kewan), karya Prijono Windiwinoto misalnya, dapat dipakai untuk 4

menidurkan orang. Seorang ibu, sambil menyusui bayi atau anaknya yang rewel di bus atau di rumah, dapat didendangkan dongeng atau lagu sastra. Maka menciptakan karya sastra seolah-olah mengarahkan atau memberikan pandangan keberadaan sekitarnya melalui ideologi yang digunakan, terlepas dari ideologi. Saat ini pandangan masyarakat terhadap ideologi selalu dikaitkaitkan dalam dunia politik kekuasaan, dan tidak selamanya ideologi merupakan sesuatu yang harus berada pada politik kekuasaan. Sastra yang berideologi tersebut memang seolaholah berkaitan kepada agama dan religi. Padahal, ideologi itu lebih politis dan kultural. Membahas tentang ideologi secara kategorikal menjelajahi wilayah keyakinan, nilainilai dan konsep ideal. Ideologi sastra juga memuat pemahaman cara kerja dunia dan seorang manusia merespon orang lain dan lingkungannya. Ideologi sastra semacam ini, lahirlah ekologi sastra. Jika ideologi berupaya meng-otak-atik soal pedagogi dalam sastra, jadilah pedagogi sastra. Sastra dapat dipahami secara terintegrasi yakni karya sastra itu sendiri (termasuk didalamnya semesta pembaca dan penulis), sejarah sastra, teori sastra dan kritik sastra. Ideologi mengacu pada cara berpikir orang dan kelompok tertentu, sehingga seorang sastrawan yang mengekspresikan semestanya dalam sebuah karya sastra, maka dalam teks ialah apa yang diingin katakan termasuk didalamnya ideologi yang dianut, dengan

5

sendirinya karya sastra itu sendiri sudah berideologi, setidaknya ideologi pengarang. Ideologi pengarang sering berbau politis. Itulah politik sastra. Politik sastra dapat dikemudikan (1) pengarang, (2) kritikus, (3) pengajar, dan sebagainya. Jika hal yang terjadi pada sastrawan menulis dengan tujuan propaganda ideologi yang dianutnya, maka inti atau hakekat sastra akan hilang. Namun ideologi propaganda sah juga salam sastra. Karya sastra adalah sebuah ruang lingkup untuk pada bagian realitas kemanusiaan penulis atas keberadaannya. Ruang bukanlah alat dan akan berubah menjadi alat ketika terjadi pemaknaan, pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan penulis melainkan pembaca, pada pembaca secara individu, kelompok maupun penguasa. Sebagai sebuah gagasan-gagasan yang harus dikomunikasikan dan dibagikan pada manusia yang lain, ideologi membutuhkan sebuah media dalam melakukan proses komunikasi ini, termasuk sastra didalamnya dari sinilah kemudian ruang berubah menjadi alat karena sastra dipahami sebagai praksis dan bukan ontologis. Kebiasaan Marxis, ideologi terdapat mengenai kebudayaan yang tersusun hingga mampu membawa kelompok tertentu memiliki kontrol yang maksimal dengan potensi konflik minimal. Ideologi sendiri tidak bermaksud untuk menekan kelompok lain tetapi lebih kepada permasalahan pada institusi yang dominan dalam masyarakat mampu bekerja melalui nilai-nilai, konsepsi dunia dan sistem simbol dalam rangka melegitimasi 6

kekuasaan. Pada gagasan Marx ideologi adalah superstructure sedangkan sistem sosio-ekonomi yang berjalan pararel adalah base dan sastra merupakan bagian dari superstructure. Dalam kesusastraan di Indonesia, ideologi dalam sastra memiliki makna bagi kepentingan tertentu. Selain itu, ideologi juga berperan dalam kekuasaan sastra. Pengalaman dan kesejarahan sosial, politik dan sastra bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lain, sehingga pengajaran sastra juga harus berbeda kepada relasi sastra dan ideologi. Dalam karya sastra mempengaruhi pola pandang, ideologi, pemahaman, dan keyakinan yang dianut. Dari beberapa unsur tersebut bisa dirampingkan menjadi dua unsur yakni unsur ekstrinsik sastra dan unsur intrinsik sastra. Ideologi sastra sebagai sebuah representasi dari hubungan imajinasi individu dengan kondisi yang baik dan mempunyai eksistensi. Ideologi sastra memang memuat tekanan-tekanan tertentu. Kadang-kadang ideologi sastra menekan pemerintah. Jika pemerintah bengkok, lahirlah sastra ideologi pelurus. PSIKODINAMIK CINTA, CEMBURU, DAN RAYUAN DALAM SASTRA Ideologi itu gagasan atau paham yang memberikan ruh sastra. Ideologi itu abstrak, meresap dalam sendi-sendi sastra. Kehalusan ideologi sering tidak tampak dalam teks. Sastra sering memuat ideologi cinta pula, sebab cinta adalah kebutuhan dasar manusia. Tanpa 7

cinta, hidup akan hambar. Cinta yang memiliki ideologi jelas, tentu membahagiakan berbagai pihak. Sastra sering mengekspresikan ideologi cinta yang romantic. Ada juga sastra yang menampilkan kekerasan cinta. Cinta dalam sastra sering dinamik. Riak gelombang cinta, banyak mewarnai sastra di negeri ini. Psikodinamik sering dijadikan bahan ekspresi sastrawa. Cinta dalam sastra pun memuat ideologi tertentu. Cinta lama, berideologi ‚paksaan‛ dan cinta baru berideologi bebas. Sastra jelas wahana mengekspresikan ideologi cinta. Cinta tanpa ideologi, akan kabur. Sastrawan membaca suasana cinta di masyarakat, akan menjadi hiasan estetis sekaligus romantic dalam karya sastra. Bahkan Zornado (2001:1-2) menyatakan bahwa sastra kadang-kadang menampilkan ideologi tertentu, terutama cinta sejati dan cinta palsu. Cinta sejati berideologi butuh pengorbanan. Cinta palsu berideologi penuh sandiwara. Ideologi dalam sastra adalah pesan abstraksi pengarang, sehingga penuh psikodinamik. Apalagi masalah cinta, psikodinamik selalu hadir. Cinta tidak selamanya tenang, penuh riang gelombang. Pengarang kaya ideologi, tergantung yang mengitari hidupnya. Kadang-kadang, pengarang menampilkan ideologi yang memuat perasaan yang tidak tertekan, bebas, dan egaliter dalam hal cinta. Sadar atau tidak, karya sastra sering mengekspresikan pembunuhan akibat putus cinta. Gara-gara cinta palsu, yang dialami teman saya, akibatnya lahir kekerasan. Dia seorang 8

wanita yang bersuami,namun suaminya serong pada wanita lain (WIL). Anehnya, wanita muda yang diselingkuhi suami itu mengirim gambar lewat watshap ke isteri sang suami itu. Isteri itu lalu menunjukkan gambar itu ke suaminya. Tiba-tiba suami itu menampar gambar di HP itu, langsung jatuh di jubin, remuklah HP itu. Akibatnya hubungan keduanya retak, namun isteri itu selalu menutupi kekerasan suaminya di depan anak-anak dan keluarganya. Bahkan seringkali sastra juga mengungkapkan masalah teror dan pembungkaman budaya. Cinta adalah muatan sastra yang paling banyak. Dengan cinta, sastra menjadi rimbun seperti daun. Oleh karena cinta itu bagian hidup manusia. Dalam bukunya Aspect of the Novel, E.M. Forster (2003) menegaskan bahwa cinta itu kebutuhan dasar manusia. Tanpa cinta hidup hambar. Sastra sering menggemakan cinta, hingga lahir ideologi cinta dalam sastra. Cinta dalam sastra itu dinamis dan psikologis. Realitas ideologis cinta dan sastra ini disebut psikodinamik. Artinya, keadaan kejiwaan yang menggerakan roda cinta dalam sastra. Sastra sering membuat pembaca terkesiap, terperanjat, ngeri dan ingin tahu bagaimana kekerasan eksplosif seperti cinta setengah mati, cinta buta, pembunuhan, narkoba, terror, dan pelecehan seksual. Psikodinamik cinta dalam sastra, bisa terjadi di kalangan anak-anak, remaja, dan dewasa. Selain cinta, sastra juga memuat pembantaian. Karya semacam ini biasanya mengajak budaya kekerasan. Dalam cinta, sering ada kekerasan, jalin-menjalin dalam 9

rona sastra. Keindahan sastra, dibangun dari kekerasan cinta, hingga muncul konflik tidak terduga. Ideologi yang ditanam kadang-kadang bertolak belakang dengan naluri ketimuran yang lebih halus. Tipe budaya kekerasan, baik kekerasan fisik maupun simbolik para selebriti, orang tua, saudara, dan teman-teman sering menjadi hiasan cinta dalam sastra. Yang unik, di Littleton, Colorado, pada bulan April 1999, pernah melukiskan tentang kisah Columbine dan dijual kepada anak-anak setiap hari. Hubungan antara orang dewasa dan anak jika disuguhi dengan kemarahan, dominasi, penaklukan, kekerasan, bahkan menuju kehancuran, tentu membahayakan eksistensi anak. Jika setiap hari anak-anak bergelut pada kekerasan yang ada dalam sastra, tentu akan membentuk karakter. Sastra merupakan investasi peradaban yang berkarakter. Oleh karena itu, budaya yang mengejutkan seperti kekerasan dalam cinta juga berdampak pada pribadi anak. Dalam kaitan itu, Zornado (2001:1-2) menyatakan bahwa ideologi sastra sering mengejutkan. Ideologi cinta dalam sastra kadang-kadang unik, sulit dinalar. Kehebatan pengarang memang pantas diacungi jempol dalam mengolah cinta. Apalagi cinta yang mengalami ketragisan, sering menjadi polesan sastra. Dia membangun ornament ideologi yang estetis dan sensasional.dalam kisah Columbine di Amerika, bahkan anak-anak sudah disuguhi pembunuhan. Cinta yang bergayut dengan pembunuhan akan mengesan bagi pembaca. Terlebih lagi 10

karya yang memuat pemotongan-pemotongan tubuh, sering memunculkan histeris. Ini tentu ideologi yang tidak tepat di Indonesia. Sastra yang memuat pembunuhan tergolong sastra keras, sebab para pembunuh yang terluka dan tewas adalah anak-anak yang dapat menciptakan suasana tragis. Ekspresi kekerasan dalam karya sastra sebagai gejala psikodinamik jelas berdampak pada anak. Dari budaya orang dewasa sering muncul kekerasan cinta, sehingga memunculkan ketegangan emosional pada anak. Buku cerita dari masa kanak-kanak, sejarah, dan keluarga menceritakan kisah budaya dan cinta yang penuh perjuangan. Narasi cerita dari masa kanak-kanak yang terus bermain melalui budaya yang dominan, melalui cerita budaya tentang dirinya sendiri, dan melalui hubungan antara orang dewasa dan anak. Untuk latar cerita laten masa kecil saya telah berhasil menggunakan istilah-istilah seperti ideologi, budaya, dan alam bawah sadar bersama dengan berbagai strategi interpretif yang mencoba deskripsi tebal sejarah, budaya, ideologi, dan produksi sastra. Kadang-kadang, metode interpretasi tidak mampu membuat perbedaan antara

sejarah, cerita anak-anak, dan ekspresi sastra.

Semua karya sastra yang menyuarakan cinta adalah teks.Teks sastra adalah manifestasi budaya yang lebih dari apa pun. Teks sastra cinta, biasanya menceritakan kisah yang secara langsung dan tidak langsung berbicara kepada alam. Alam aalah ekologis manusia yang menjadi wahana cinta. Oleh sebab itu banyak manifestasi ekologis 11

yang membina hubungan antara manusia dengan dalam produksi sastra. Dengan kata lain, belajar dari ketidaksadaran, ideologi orang dewasa, dan hubungan anak dipaksa untuk berpartisipasi secara emosional dalam teks sastra. Sastra memantulkan alam sebagai emosi cinta. Emosi cinta itu yang memberikan ruh psikodinamik cinta dalam sastra. Tanpa emosi, cinta kurang bergairah. Itulah sebabnya karya-karya sastra yang bernuansa cinta, mampu menggerakkan emosi. Emosi sering melahirkan dugaan-dugaan. Dugaan yang berlebihan akan melahirkan gosip cinta. Gosip akan menjadi pemanis pembicaraan dalam sastra. Keleluasaan sastrawan sering digerakkan oleh gossip-gosip. Dengan demikian, sastra menjadi semakin hidup karena psikodinamik cinta yang dikerumuni gossip. Gosip akan memunculkan buah bibir dalam sastra, sehingga hubungan cultural dalam sastra pun semakin asyik. Zonardo (2001:33-36) menyatakan bahwa Shakespeare dan Hamlet sebagai sastra anak cenderung untuk orang dewasa. Pada tahun 1896 Sigmund Freud menerbitkan karya tentang etiologi dan histeria, yang melukiskan trauma seksual masa kecil. Karya ini, juga menggambarkan "teori rayuan."aka cinta tanpaa rayuan, biarpun sering ada yang menyebut ‚rayuan gombal‛, tetap penting. Menurut teori rayuan, pengalaman seksual sejak dini amat penting. Belum lama saya mereview salah satu penelitian Dikti untuk tahun 2017, ada dosen yang meneliti model pendidikan seks bagi anak usia dini. Bila teori 12

rayuan cinta gagal, menurut Freud (1896) akan terjadi: (1) pelecehan seksual, atau disebut "shock seksual dini" yaitu ketika anak menjadi kesenangan orang dewasa, (2) penderitaan gejala histeris, termasuk patah hati, murung, neurosis cinta,pobi, dan sebagainya, (3)muncul resistensi cinta, respon emosional, termasuk teror, horor, kebingungan, kemarahan, ketidakberdayaan, dan kesedihan yang mendalam. Menurut teori rayuan, represi cinta pada anak muncul kembali dalam kehidupan orang dewasa sebagai histeris. Dalam kisah wayang jelas sekali bagaimana hubungan cinta antara dewi Amba dengan Bisma, cinta Sukasrana pada Raden Sumantri, cinta dewi Banowati pada Arjuna, dan sejumlah sastra wayang lain. Cinta itu memang mesin kehidupan. Gejala termasuk penyakit bervariasi fisik, gangguan identitas, dan depresi emosional dapat muncul karena gagalnya rayuan cinta. Sastra, biasanya melukiskan renik-renik cinta yang spektakuler. Freud diam-diam mendokumentasikan teori rayuan dengan delapan belas pasien, terdiri dari enam pria dan dua belas wanita, semuanya dalam pengobatan karena mengalami pelecehan seksual. Pada bulan Oktober tahun 1897, Freud (Zonardo, 2001:37) menyatakan bahwa selain teori rayuan dalam hidup dikenal teori kecemburuan. Cemburu itu motor cinta,, yang mampu menggerakkan mesin-mesin sastra. Karya sastra yang dikobarkan rasa cemburu, banyak menarik perhatian pembaca. Cemburu pun ada yang bu13

ta. Akibat cemburu, cinta bisa semakin tertancap dan atau sebaliknya akan hancur. Sastra amat jeli memanfaatkan teori cemburu. Kecemburuan tokoh dalam novel dan cerpen, banyak digarap sebagai pemanis sastra. Cemburu dan rayuan sering berjalan seiring sebagai sebuah psikodinamik cinta dalam sastra. Dari sudut pandang teori rayuan, kecemburuan dapat dipahami bukan sebagai kondisi bawaan, tetapi sebagai hasil kebutuhan emosional anak dan dunia orang dewasa. Cemburu adalah bumbu cinta. Cinta adalah sebuah fenomena ideologi psikodinamik yang memproyeksikan pikiran dan emosi. Proyeksi sadar orang dewasa melalui pedagogi relasional merupakan psikodinamik cinta. Orang dewasa menciptakan cerita tentang proses produksi sastra, tentu terkait dengan budaya, ideologi dan psikodinamik. Ini adalah proses pribadi dan politik. Hakikat cinta selalu mengalami psikodinamik, terkait dengan pikiran, rasa, budaya, dan politik. Kekuasaan politik, sering menjadi magnit cinta. IDEOLOGI STATUS QUO DAN BUDAYA DOMINAN DALAM SASTRA Ideologi dominan adalah ditransmisikan secara umum melalui praktik membesarkan anak. Ideologi semacam ini mewarnai karya sastra, terutama untuk penyemaian kepribadian. Cerita masa kecil, cerita hubungan manusia, dan cerita kekuasaan menjadi sulit untuk dibedakan satu dari yang lain, kecuali sebagai bu14

daya dominan. Karya-karya orang dewasa biasanya memiliki budaya dominan, cenderung menakhlukan anak. Buku, gambar, atau film adalah karya sastra yang memuat proses budaya dominan. Di dalamya sering menginformasikan budaya dominan untuk anak-anak. Ekspresi dari reproduksi sastra sering menggunakan dominasi orang dewasa pada anak. Budaya dominan ada bergai hal, antara lain (1) dominasi orang dewasa pada anak dalam sastra, (2) dominasi penguasa dalam sastra, (3) dominasi laki-laki pada perempuan, (4) dominasi rasa terhadap pikiran, (5) dominasi keluarga pada masyarakat, dan sebagainya. Jika budaya dominan ini dikaitkan dengan membaca teks Hamlet sebagai psikodrama keluarga adalah sejenis sastra anak-anak. Pada tataran ini, ada budaya dominansi orang dewasa pada anak-anak. Masa kanak-kanak di jaman Shakespeare Inggris, disuguhi hubungan kekuasaan dan kekerasan antara dewasa dan anak. Hamlet dan kisah The Lion King itu adalah karya yang melukiskan kesadaran penulis mengajak penonton memahami dunia sekelilingnya. Begitu juga kisah Shakespeare menyajikan ideologi status quo dalam karyanya sebagai sikap reaksioner. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa apa yang disebut sastra dewasa selalu mengundang kesadaran pembaca. Demikian juga, untuk sebagian besar cerita anak-anak mengajak anak untuk mengidentifikasi diri apa yang dimaui orang dewasa. Ideologi status quo juga dibumbui budaya dominanyang sering dikenal dengan hegemoni. 15

Budaya dominan dalam sastra merupakan sebuah otoritas sastra. Dalam konteks ini sering hadir pula otokratik sastra. Otoritas orang dewasa dan anak selalu tersirat dalam teks sastra. Mereka, pada dasarnya, mereproduksi budaya dominan dan ideologi status quo dengan cara ‚menindas‛ orang lain. Saya menemukan ada penindas dan tertindas dalam ideologi sastra. Ketika saya mencari kontak dengan dunia "luar" saya menemukan ada struktur dualistik yang sama antara penindas dan tertindas. Singkatnya, ketika saya menjelajahi alam pikiran teks sastra, ideologis dominan terkadang mengunci pihak lain untuk tunduk. Kepatuhan pihak lain dalam sastra, banyak muncul pada teks-teks fiksi, yang melukiskan tokoh utama mendominasi tokoh lain. Istilah ideologi status quo dan budaya dominan harus dijelaskan. Pemahaman saya, ideologi status adalah pengalaman sadar tentang hubungan individu dengan dirinya sendiri dan orang lain yang hendak memaksa menangnya status quo. Adapun budaya dominan adalah ruhnya. Meskipun ideologi ini dapat menentukan sifat hubungan kultural yang nyata, ideologi dominan mereproduksi struktur spesifik dari hubungan antara anak dan orang dewasa. Saya menggunakan istilah ideologi dominan untuk menandakan bahwa meskipun ideologi adalah luas. Ideologi dominan menunjukkan bahwa ada ideologi tertentu yang mereproduksi dominasi relasional anak dengan orang dewasa. Misalnya, ideologi dominan 16

dari perspektif anak selalu sudah ditentukan oleh sifat dari dunia orang dewasa. Sastra yang diciptakan orang dewasa, memuat dominansi ide yang memaksa anak mengikutinya. Ideologi dominan, adalah cerita khusus tentang hubungan manusia yang tidak sadar dan sebagian besar masih tersedia untuk orang dewasa bahkan seperti menginformasikan pedagogi relasional orang dewasa. Ideologi dominan adalah terkait dengan budaya dominan, dan cara di mana saya memahami dua konsep untuk berinteraksi harus dijelaskan secara singkat. Budaya dominan, adalah dianut oleh orang-orang yang paling kuat dan berpengaruh melalui nilai-nilai dan keyakinan yang direproduksi, misalnya, publik sekolah dan media hiburan. Perlu dicatat bahwa budaya dominan dapat secara sadar menginformasikan resistensi terhadap status quo. Dengan cara ini, orang kaya dan orang miskin, yang lemah dan kuat, dan kuat dan terpinggirkan secara tidak sadar berbagi dan berpartisipasi dalam ideologi dominan. Saya tidak ragu bahwa orang tua mengasihi anakanak mereka. Apa yang menarik perhatian saya adalah cara di mana dominan struktur ideologi ekspresi cinta orang tua pada anak. Itulah sebuah ideologi yang mewarnai setiap karya sastra. Untuk anak yang cinta orang tua pun sering kesepian, melakukan kekerasan, menyakitkan, pengalaman memalukan yang berkaitan dengan belas kasih. Mengapa? Karena cinta orang dewasa untuk anak perlu kontrol. 17

Kisah masa kecil ditemukan dalam sastra anakanak. Sastra anak pun memiliki ideologi. Kisah masa kecil adalah kisah yang melampaui sastra anak-anak. Padahal produksi sastra dewasa dipengaruhi oleh praktek relasional yang dialami anak dan orang dewasa. Ini adalah sebuah premis dalam argumen saya bahwa orang dewasa menciptakan sejarah tidak begitu banyak dari apa yang benar-benar menimpa mereka sebagai anak-anak. Penulis dewasa dan anak-anak sering mempermanis karyanya didasarkan pada kekuasaan. Sebaliknya, dominasi orang dewasa di atas anak itu muncul begitu lengkap dan begitu mulus. Bahkan isu penaklukan anak tampak konyol dalam sebuah ideologi sastra. Menghadapi fenomena demikian,menurut Faruk (2016, Seminar Nasional Kesastraan, 26 Juli di hotel Novita Jambi), sebaiknya dibaca dalam konteks literasi. Bagi dia literasi adalah proses berbudaya, termasuk budaya dominan. Yang terpenting dalam mencermati sastra, tidak meninggalkan teks. Jika pembaca mulai meninggalkan teks berarti sudah memanfaatkan pos literasi. Pos literasi memang boleh melampaui teks. Pos literasi adalah memaknai teks yang lebih longgar, dengan membangun konteks. Penafsir sastra tidak lagi dibelenggu oleh ideologi status quo dan budaya dominan.

18

SASTRA KANON, ANDRAGOGI, DAN GERAKAN EKOLOGIS Menurut Toro (1995:229-232) salah satu cara penting untuk penetrasi sastra di Irlandia dan budaya di Spanyol pemahaman ekologis, geografis, sejarah, dan fakta ideologis. Gerakan ekologis itu dapat ditempuh awalnya pada sastra kanon. Gerakan ekologis pun sebenarnya ideologis. Karya-karya sastra kanon biasanya tidak harus melakukan leveling, sudah layak diajarkan. Sastra kanon adalah karya besar, agung, best seller, dan monumental. Karena itu, sastra Irlandia dipelajari, diterjemahkan dan menjadi model untuk beberapa kritikus. Salah satu alasan untuk pendekatan ini adalah sepenuhnya ideologis dan ekologis. Implikasi dari renaisan sastra di Irlandia adalah sebagai manifestasi budaya. Maksudnya, karya sastra terinspirasi oleh gerakan orang Irlandia tentang lingkungannya. Gerakan ekologis banyak muncul dalam sastra kanon. Sastra kanon dapat diajarkan secara ekologis dengan model andragogi. Model ini dapat menyiasati pembelajaran sastra yang selama ini kering. Hal ini sejalan dengan pernyataan Purves (1991:1-10) bahwa sastra kanon layak diajarkan. Pembelajaran sastra kanon boleh masuk dalam kurikulum. Sebelum pembelajaran dia menyarankan agar dilakukan kajian (penelitian), untuk memperoleh sastra kanon. Istilah sastra kanon, di Indonsia sering disebut sastra nasional. Sastra kanon tergolong sastra serius, bukan sekedar popular. Pemerintah 19

pun sering berani mensponsori kegiatan untuk meningkatkan pengajaran sastra. Terkait dengan proses belajar mengajar, kurikulum, dan penilaian, dan tradisi sosial budaya dalam pengajaran dan pembelajaran sastra. Perhatian khusus diberikan untuk peran sastra dalam pengajaran dan pembelajaran siswa untuk pengembangan keterampilan tingkat tinggi keaksaraan (literasi). Literasi adalah kondisi tanggap sasmita. Pemahaman sastra dan keterampilan berpikir kritis dalam semua siswa amat penting untuk menyemaikan nilai-nilai karakter. Pembelajaran sastra yang bernuansa ekologis, dapat dilakukan dengan model andragogi. Untuk informasi tentang publikasi dan kegiatan saat ini, di Washington bahwa lebih dari dua ratus ribu orang yang rajin membaca karya sastra. Dalam tulisan ini saya akan survei beberapa masalah yang dihadapi orang-orang yang harus merencanakan kurikulum yang memasukkan materi sastra. Sebagai bandingan, bahwa di Amerika Serikat menghormati kelompok-kelompok seperti orang Helenistik yang pertama kali berpikir "dunia" dalam bahasa Yunani. Budaya Yunani telah menemukan bahwa "warisan Barat" adalah sebuah artefak yang terbatas kami perspektif tentang dunia. Situasi ini telah sejajar dengan Cina dan Jepang serta masyarakat lainnya. Saya akan mengeksplorasi gagasan ini melalui pembelajaran sastra andragogi. Lewat pembelajaran sastra andragogi, sastra akan dinikmati sebagai pandangan pedagogis. Torsten Husen 20

(1990)

telah

mencatat,

pendidikan

sifatnya

etnosentris. Dari sekolah pertama yang kita memiliki pengetahuan hingga saat ini, sistem sekolah telah berkecimpung dalam bisnis membawa orang-orang muda ke dalam budaya lokal, regional, maupun nasional. Atas dasar itu, pantas dicari strategi pembelajaran yang tepat, yaitu pembelajaran sastra andragogi. Pembelajaran sastra andragogi sebenarnya cocok untuk pembelajaran ekologi sastra. Pada tahun 1968, Malcolm Knowles Merriam (2001:1-2) mengusulkan "label baru dan teknologi baru" dari pembelajaran orang dewasa untuk membedakannya dari preadult sekolah. Usulan baru ini disebut pembelajaran model andragogi. Tentu model ini cocok juga untuk pembelajaran sastra yang memiliki ideologi, pedagogi, dan ekologi. Pembelajaran sastra andragogi sebagai sebuah seni dan ilmu pembelajaran, akan membantu orang dewasa untuk belajar sastra. Kontras dengan pedagogi, seni dan ilmu ini sesunggunya dapat membantu bagi anak-anak yang hendak belajar sastra. Lima asumsi yang mendasari pembelajaran sastra andragogy yaitu menggambarkan pelajar dewasa sebagai seseorang yang: (1) memiliki konsep diri yang indpenden dan yang dapat mengarahkannya atau pembelajaran diri sendiri, (2) telah mengumpulkan reservoir (simpanan) pengalaman hidup yang kaya untuk belajar, (3) memiliki sumber belajar yang terkait erat dengan perubahan dan peran sosial. (4) memiliki perhatian yang terpusat pada masalah serta ingin mengaplikasikan ilmunya, dan (5) termotivasi untuk belajar dengan internal daripada faktor 21

eksternal. Asumsi pertama bahwa sebagai orang dewasa menjadi lebih mandiri. Knowles menyarankan bahwa iklim kelas harus menjadi salah satu pendewasaan belajar sastra, tidak selalu dituntun atau bahkan diintimidasi, baikbaik secara fisik dan psikologis. Dalam pembelajaran andragogi sastra, orang dewasa "merasa diterima, dihormati, dan didukung ", lebih lanjut, terdapat semangat kebersamaan antara guru dan siswa. Karena orang dewasa mengelola aspek-aspek lain dari kehidupan mereka, mereka mampu mengarahkan, atau setidaknya membantu dalam perencanaan, pembelajaran mereka sendiri. Jika perlu, karya sastra yang dipilih pun bukan atas pilihan guru atau dosen. Subjek didik menjadi amat penting sebagai pusat pembelajaran sastra. Thaun 1970-an dan awal 1980-an dapat disaksikan bahwa banyak debat dan diskusi tentang keabsahan andragogi sebagai teori pembelajaran orang dewasa. Titik utama pertentangan adalah apakah andragogi dapat dianggap ‚teori" belajar bagi orang dewasa. Kronik perdebatan, diketahui bahwa andragogi telah diklasifikasikan sebagai teori pendidikan orang dewasa, teori pembelajaran orang dewasa, teori teknologi pembelajaran orang dewasa, metode pendidikan orang dewasa, teknik pendidikan orang dewasa, dan seperangkat asumsi. Hal yang sama berlaku untuk motivasi; orang dewasa mungkin secara eksternal termotivasi untuk belajar, seperti dalam menghadiri sesi pelatihan untuk mempertahankan pekerjaan mereka, misalnya, sementara anak-anak dapat dimotivasi 22

oleh rasa ingin tahu atau kesenangan internal belajar. Bahkan asumsi yang paling jelas bahwa orang dewasa memiliki lebih banyak dan lebih dalam pengalaman hidup mungkin atau mungkin tidak berfungsi secara positif dalam situasi belajar. Yang menarik, kadang-kadang anak-anak dalam situasi tertentu mungkin memiliki berbagai pengalaman kualitatif lebih kaya daripada beberapa orang dewasa (Hanson, 1996). Asumsi tersebut tidak selalu benar dari semua orang bahwa andragogi hanya untuk orang dewasa dan pedagogi hanya untuk anak-anak. Antara 1970 dan 1980 ia pindah dari sebuah andragogy dibandingkan posisi pedagogi untuk mewakili mereka pada sebuah kontinum pembelajaran sastra. Pendidikan dasarnya sama di mana pun dan kapan pun itu terjadi. Andragogi tetap sebagai yang paling berpusat pada peserta didik. Andragogi dipandang lebih humanis. Andragogi berasal dari bahasa Ibrani, yang dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan belajar dan mengajar yang akan membawa orang dewasa penuh kemanusiaan. Teori Andragogi yakni pendekatan pembelajaran yang memusatkan perhatiannya pada peserta didik (student oriented). Inti teori Andragogi yang dikembangkan oleh Knowles (1986: 15-18) adalah teknologi keterlibatan diri (ego) peserta didik. Artinya, bahwa kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran terletak pada keterlibatan diri mereka dalam proses pembelajaran itu. Teori 23

Andragogi memandang peserta didik sebagai orang dewasa yang mampu berpikir dan bependapat. Peserta didiklah yang aktif belajar dan berpikir, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dinamisator, pembimbing, dan pemandu. Andragogi memandang siswa sebagai ‚orang dewasa‛ yang sudah mampu berpikir kritis, analitis, dan responsif. Strategi andragogi berkebalikan dengan pendekatan yang sering dilaksanakan selama ini yakni pendekatan Paedagogi yang lebih memusatkan pembelajaran pada figure guru (teacher oriented). Dalam strategi pembelajaran konvensional, guru sering memborong pembicaraan, mendominasi kelas dengan menggunakan metode ceramah sedangkan siswa hanya menjadi pendengar setia dan sedikit sekali melibatkan peran siswa. Langkahlangkah dalam pebelajaran andragogi yaitu tahap persiapan, meliputi: (1) Sebelum masuk kelas, guru menyiapkan buku/ karya sastra (puisi, fiksi, teks drama) dalam buku teks atau foto copy untuk dibaca para siswa, (2) Guru membagikan foto copy karya sastra (jika dalam buku teks tidak ada) yang akan dibahas kepada para siswa. Tahap laksanaan meliputi: (1) Sekitar 10-15 menit siswa dihadapkan lamngsung pada karya sastra dan diminta untuk membaca dan menganalisis karya sastra dari segi unsur/struktur dan mengungkapkan gagasan/makna karya sastra tersebut baik dimensi sosiologis, kemanusiaan, politik, moral, keagamaan dan religiositas, jender, dan lain-lain. (2) Siswa lalu diminta mendiskusi24

kan hasil analisis unsur dan gagasan dalam karya sastra dengan kawan-kawan anggota kelompok guna menemukan hasil analisis yangrepresentatif. (3) Tiap kelompok menyampaikan hasil diskusinya tentang analisis unsur dan gagasan dalam karya sastra di kelas. (4) Siswa lain memberikan tanggapan (sanggahan, kritik, masukan, saran) di bawah bimbingan guru. Tahap refleksi (penutup), meliputi: (1) Guru membimbing dan memimpin siswa untuk melakukan refleksi tentang hasil analisis/ pembahasan unsure dan gagasan dalam karya sastra dengan meminta para siswa untuk menyampaikan simpulan (bukan guru yang menyimpulkan). (2) Guru menutup pelajaran dengan memberikan tugas pengayaan dan pendalaman. Sekedar ilustrasi, misalnya siswa dihadapkan pada sebuah puisi pendek yang berjudul ‚Puisi Jalanan‛ karya Emha Ainun Nadjib yang dapat dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sastra di SMA.

DAFTAR PUSTAKA Merriam, Sharan B.2001. Andragogy and Self-Directed Learning: Pillars of Adult Learning Theory. New Direction for Aduilt and Continuing Education, no.89 , A Publishing Unit and John Willey of Inc of 3 John Wiley & Sons, IncJohn Wiley & Sons, Inc.

25

Imron, Ali Ma’ruf. 2011. Pembelajaran Sastra Andragogi Dan Implikasinya Dalam Pengembangan Kompetensi Sastra. http://aliimronalmakruf. blogspot.co.id Purves, Alan C. 1991. The Ideology of Canons and Cultural Concerns in the Literature Curriculum. New York: National Research Center on Literature Teaching and Learning University at Albany State University of New York. Suyatno. 2011. Andragogi: Prinsip Pembelajaran untuk Orang Dewasa. Dalam http://garduguru.blogspot. co.id/2011. Toro, Antonio Raúl de. 1995. Literature and Ideology: The Penetration of Anglo-Irish Literature in Spain. Perancis: Revista Alicantina de Estudios Ingles. Zornado, Joseph L. 2001. Inventing The Child Culture, Ideology, And The Story of Childhood. New York And London: Garland Publishing Garland Publishing.

26

PENELITIAN BAHASA UNTUK PENGAJARAN BAHASA Oleh: Prof. Dr. Cahyo Yusuf, M.Pd. Rektor Universitas Tidar ABSTRAK Fungsi (utama) bahasa ialah alat komunikasi. Dalam fungsinya ini, bahasa berkembang secara alamiah di masyarakat penggunanya. Perkembangan bahasa juga bisa dilakukan secara ilmiah dengan penelitian/ penganalisisan oleh masyarakat akademisi. Tujuan penelitian bahasa mengembangkan teori bahasa, memahami bahasa itu, terutama meneliti satuan-bahasa untuk menemukan karakteristik dan sistemnya. Dalam hal ini, bahasa sebagai ilmu, ilmu bahasa (linguistik), terpenuhi ontologi, epistimologi, aksiologinya. Tujuan belajar bahasa ialah bisa berbahasa dan atau lancar berbahasa. Lancar berbahasa diperoleh melalui kegiatan-kegiatan berbahasa. Tujuan belajar bahasa yang lain ialah tepat berbahasa. Tepat berbahasa ditingkatkan melalui penelitian/penganalisisan satuanbahasa. Peningkatan lancar dan tepat berbahasa, keduanya penting untuk pengajaran bahasa dalam pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Kata kunci: ilmu, induktif, deduktif, segmen, satuan bahasa 27

PENDAHULUAN Tulisan ini membahas penelitian-bahasa secara kebahasan dengan memberi contoh dengan prinsip dari, dalam dan untuk bahasa. Penelitian, alih-alih penganalisisan, bahasa dimulai dari wacana (satuan bahasa terbesar), ke satuan bahasa (segmen-segmen) di bawahnya dan berakhir sampai karakteristik dan atau sistem satuan bahasa yang diteliti. Hasil penganalisisan bahasa bisa digunakan untuk materi-belajar atau pengajaran bahasa: substansi dan caranya, dalam pendidikan formal. Penganalisisan bahasa ini dilakukan secara induktif. Kegiatan belajar secara induktif untuk kekayaan batiniah (bermula memahami dari hasil penggalian/pencarian) yang akan mengalir secara intuitif ketika siswa/ mahasiswa berbahasa. Biasanya, materi-belajar bahasa dimulai dari sistem bahasa (bermula mengetahui) yang ditransformasi ke satuan bahasa. Cara belajar atau pengajaran ini dilakukan secara deduktif. Tentunya, belajar atau pengajaran bahasa dilakukan secara keduanya, yaitu induktifdeduktif. Belajar atau pengajaran bahasa dimulai dari satuan wacana ke satuan bahasa di bawahnya untuk menemukan karakteristik dan sistem bahasa. Atas dasar karakteristik dan sistem bahasa, satuan bahasa dibentuk, satuan bahasa yang lain di atasnya dibentuk sampai dengan satuan wacana yang berbeda, juga dilakukan siswa/mahasiswa.

28

Penulis akan membicarakan wacana dari segi internal dengan mengacu pendapat Baryadi. Baryadi (2002: 3-4, 10-17) menyatakan, bahwa Dari segi internal, wacana dikaji dari jenis, struktur, dan hubungan bagianbagiannya. Wacana itu dihasilkan oleh proses komunikasi verbal yang berkesinambungan, yaitu dari titik mula, tengah berlangsung, sampai titik akhir. Tahap-tahap komunikasi itu menentukan struktur wacana yang dihasilkannya. Untuk menciptakan keutuhan, bagian-bagian wacana harus saling berhubungan: bentuk (kohesi) dan makna (koherensi). Penganalisisan bahasa secara kebahasaan ini diformula untuk belajar atau pengajaran bahasa. Formulanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa/ mahasiswa. Cara belajar atau pengajarannya (pendekatan, metode, dan teknik) mirip atau sama dengan meneliti/ menganalisis satuan-bahasa. Tujuannya memperkaya kognisi. Objek yang dianalisis ialah satuan bahasa yang disesuaikan dengan perkembangan siswa/ mahasiswa. Karena itu, guru/dosen melakukan ‚penjelajahan‛ lebih dulu. HAKIKAT BAHASA Peristiwa, jati diri, kegembiraan, dll dapat dikomunikasikan melalui berbagai cara, misalnya memukul berbagai benda. Peristiwa kegembiraan berikut ini dikomunikasikan melalui foto. Foto ini bisa dilihat secara utuh (holistik) atau segmen-segmen (komprehensif). 29

Kronologis

terjadinya

tentu

dapat

dijelaskan

oleh

fotografernya. Foto sepak bola

Peristiwa yang berada secara nyata maupun abstrak, berada di dekat maupun di tempat jauh, dan 30

lain-lain juga bisa dikomunikasikan melalui lambang bunyi. Lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap menusia yang disebut bahasa. Bahasa itu bersistem dan berkarakteristik. Sistem dan atau karakteristik perlu digali dan diformula untuk pengajaran bahasa. Menurut Sugono, dkk. Pimred (2013, 116), bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Pernyataan ini mirip yang dinyatakan oleh Kridalaksana (2011, 24), bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk berkerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasikan diri.

Wacana Piala Eropa 2016 “Pertemuan Dua Kultur Sepak Bola pada Laga Italia vs Spanyol” Catatan Sepak Bola Piala Eropa 2016 oleh Lothar Matthaeus Gol kemenangan Irlandia pada menitmenit akhir laga melawan Italia, pertengahan pekan lalu, memunculkan atmosfer kemeriahan di tengah pem-batasan di sana-sini, terkait pengetatan keamanan di Perancis, tuan rumah

31

Piala Eropa 2016. Suporter Irlandia menyebarkan kegembiraan, mereka ber-nyanyi, juga minum-minum, tetapi tanpa keke-rasan. Ini hebat. Meski harus dicermati juga, gol oleh pahlawan baru Irlandia, Robbie Brady, itu lahir karena Italia sudah lolos ke 16 besar sebagai juara Grup E. Dengan posisi nyaman tersebut, tim ‚Azzurri‛ memasuki lapangan dengan delapan atau sembilan pemain lapis kedua. Mereka bahkan tidak memainkan kiper veteran Gianluigi Buffon. Baiklah, ini toh tidak dilarang. Tetapi, Anda mungkin akan mengategorikan fenomena tersisihnya Turki dari 16 besar sebagai distorsi. Setelah pada laga terakhir Grup D, mereka menang 2-0 atas Ceko, tim asuhan Fatih Terim bertengger di urutan ketiga di bawah Kroasia dan Spanyol serta bersiap lolos ke 16 besar sebagai salah satu dari empat tim peringkat ketiga terbaik. Faktanya? Turki tersisih. Mencermati 16 besar, laga yang terbanyak dibahas tentu Spanyol melawan Italia. Ini laga ulangan final Piala Eropa Polandia-Ukraina 2012, yang dimenangi Spanyol 4-0. Apa boleh buat, kali ini Spanyol sudah harus bertemu Italia di babak yang tergolong dini setelah mereka melenyapkan kemenangan atas Kroasia yang sudah di depan mata. ‚La Furia Roja‛ unggul 1-

32

0 sejak menit ketujuh berkat gol Alvaro Morata. Namun, tim asuhan Vicente del Bosque membiarkan Kroasia berbalik unggul 2-1 berkat gol Nikola Kalinic dan Ivan Perisic. Spanyol harus puas di urutan kedua Grup D, dan oleh karena itu, bertemu Italia. Bukan kejutan Bagi saya, kemenangan Kroasia atas tim juara bertahan sama sekali bukan kejutan. Sebelum Piala Eropa dimulai, saya sudah memasukkan tim ini sebagai salah satu calon juara, semata karena mereka tangguh. Tim Spanyol akan tampil di 16 besar sebagai favorit dibandingkan dengan yang lain, berkat permainan impresif Andres Iniesta. Mereka kembali mendominasi penguasaan bola di sepanjang laga. Sementara Italia lagi-lagi kental dengan serangan balik. Singkatnya, dua kultur sepak bola akan bertemu. Saya sendiri berharap Spanyol yang lolos karena, dengan demikian, mereka akan berhadapan dengan Jerman, yang diharapkan menyingkirkan Slowakia. Saya yakin Spanyol lawan yang lebih baik bagi Jerman ketimbang Italia, yang sukar ditembus karena pada hakikatnya lini belakang mereka ber-sandar pada bek-bek Juventus. Saya seorang patriot Jerman (yang tidak suka Jerman bertemu Italia).

33

Di atas kertas, partai Jerman versus Slowakia tidak sulit diprediksi. Namun, di Piala Eropa, tidak ada yang bisa dipastikan. Sejauh ini di Perancis 2016, Jerman belum meyakinkan meski lambat laun secara tim mereka menyatu. Satu hal yang membuat mereka, dari sisi kualitas, layak sebagai juara dunia. Gairah dan kualitas para pemain Jerman sungguh terlihat. Memang baru tim Kroasia yang meyakinkan. Mereka satu-satunya yang sudah mendemonstrasikan permainan menawan pada dua laga awal, yakni melawan Turki dan Ceko. Dengan Luka Modric, Ivan Perisic, Ivan Rakitic, dan Mario Mandzukic, mereka tim favorit melawan Portugal. Cristiano Ronaldo mencetak dua gol ke gawang Hongaria, pada laga yang berakhir seri, 3-3, tetapi saya agak kecewa dengan Portugal. Sederhana saja, menunggu gerakan genius dari Ronaldo sama sekali tidak cukup bagi Portugal. Meski tetap saja, hasil akhir dari turnamen kompetitif seperti Piala Eropa 2016, susah diprediksi. Belum rileks Tuan rumah Perancis menjalani laga-laga berat pada dua laga awal, melawan Albania dan Romania. Meladeni Swiss pada laga ketiga, tim Perancis hanya bisa bermain seri. Ini karena tim ‚Les Bleus‛ ini relatif belum berpengalaman,

34

masih menyesuaikan diri dengan tekanan berat di kejuaraan sekelas Piala Eropa. Meski pola kombinasi umpan yang menawan mereka pertontonkan dalam laga-laga uji coba, Perancis masih saja belum bisa tampil rileks. Meski demikian, Irlandia, lawan mereka di 16 besar, tetap saja sulit menembus delapan besar. Sementara pertemuan Hongaria melawan Belgia merupakan pertandingan tim kejutan melawan tim favorit banyak pecandu sepak bola. Benar-benar keajaiban bagaimana Hongaria, negeri tempat saya tinggal kini, tampil begitu bagus. Nyaris tidak ada yang memprediksi mereka lolos ke 16 besar. Tim ini berlatih bersama selama lima pekan dan Anda bisa melihat bagaimana hasilnya. Namun, Belgia memiliki pemain-pemain yang lebih baik. Yang kadang juga bisa saja tidak terlalu signifikan meski di dalamnya ada Kevin de Bruyne dan Eden Hazard. Bagaimana dengan Inggris? Tim ‚Tiga Singa‛ memiliki skuad yang tampil cepat, berusia muda, pemain-pemain haus prestasi yang tak melulu memikirkan gol pribadinya. Mereka tetap favorit di hadapan Eslandia meski tim asuhan Lars Lagerback ini, dengan ketangguhan fisik mereka, melaju ke 16 besar tanpa kalah.

35

Polandia memenangi pertandingan melawan Swiss pada laga Sabtu malam melalui adu penalti dengan skor akhir 5-4 (1-1). Kedua tim juga

dikelola

baik.

Pada

diri

Robert

Lewandowski dan Arkadiusz Milik, Polandia punya dua striker luar biasa. Adapun Swiss bagus dalam mendominasi laga, terbukti mereka lebih banyak menguasai bola saat bertemu Perancis. Terakhir, Wales melawan Irlandia Utara, kedua tim yang seolah belum yakin dengan pencapaian mereka sejauh ini. Tetapi, dalam kasus Wales, mereka punya striker Real Madrid, Gareth Bale, yang sudah mencetak tiga gol, sehingga tim Wales akan lebih difavoritkan. Saya sendiri berharap terjadinya laga yang mengandalkan fisik, khas duel sesama tim Inggris Raya. Saya berharap kita tidak banyak melihat laga-laga, yang dimainkan dengan kekhawatiran menghindari cedera pemain. (Kompas, 26 Juni 2016)

Rangkaian lambang bunyi atau simbol-simbol tulis di atas bisa diteliti/dianalisis atas keutuhan tulisan (wacana) dan segmen-segmennya, baik jenis, bentuk, struktur, maupun maknanya untuk mendapatkan berbagai karakteristik dan atau berbagai sistem (bahasa) atas satuan bahasa yang diteliti. Berdasarkan dua definisi 36

tentang bahasa, sistem lambang bunyi itulah harus digarisbawahi, sistem lambang bunyi ditentukan untuk dipahami melalui penelitian/analisis bahasa. PENELITIAN BAHASA Penelitian bahasa perlu dilakukan mulai dari satuan bahasa tertinggi/terbesar (wacana) ke satuansatuan bahasa yang lebih kecil. Misalnya, wacana ‚Pertemuan Dua Kultur Sepak Bola pada Laga Italia vs Spanyol;

Catatan Sepak Bola‛ dalam Kompas 26 Juni

2016 di atas dan wacana cerpen ‚Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita‛ oleh Supartika dalam Kompas, 3 Juli 2016 (dilampirkan akhir tulisan ini). Wacana ini diteliti sampai dengan segmen atau satuan- satuan bahasa di bawahnya dari aspek-aspek bahasanya. 1. Objek Penelitian Wacana Wacana yang dipilih penulis ialah ‚Pertemuan Dua Kultur Sepak Bola pada Laga Italia vs Spanyol‛ catatan sepak bola Piala Eropa 2016 (di atas). Judul yang cocok dengan isi wacana, misalnya, ‚Pertemuan Kultur Sepak Bola‛. Berdasarkan jenis (1) media, wacana itu termasuk wacana tertulis, (2) keaktifan partisipan, wacana itu termasuk wacana monolog jurnalistik, (3) tujuan, wacana itu termasuk wacana informatif, (4) isi, wacana itu termasuk wacana olah raga.

37

Berdasarkan struktur, tubuh/isi wacana terdapat pada paragraf 1-17 dan penutup terdapat pada paragraf 18. Berdasarkan hubungan antarparagraf, wacana ini terdapat kohesi dan koherensi yang berikut: (1) Frasa gol oleh pahlawan baru Irlandia lolos ke 16 besar pada paragraf 2 berkohesi dengan paragraf 1, (2) Frasa tetapi … tersisih dari 16 besar pada paragraf 3 berkohesi dengan paragraf 2, (3) Frasa mencermati 16 besar pada paragraf 4 berkohesi dengan paragraf 3, (4) Frasa kemenangan Kroasia pada paragraf 5 berkohesi dengan paragraf 4, (5) Paragraf 6 dan 5 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, (6) Kata singkatnya dan frasa Spanyol yang lolos pada paragraf 7 berkohesi dengan paragraf 6, (7) Paragraf 8 dan 7 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, (8) Paragraf 9 dan 8 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, (9) Kata Ronaldo pada paragraf 10 identik dengan (tim) Portugal sehingga berkohesi, (10) Paragraf 11 dan 10 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, (11) Paragraf 12 dan 11 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, 38

(12) Kata sementara pada paragraf 13 berkohesi dengan paragraf 12, (13) Kata namun pada paragraf 14 berkohesi dengan paragraf 13, (14) Paragraf 15 dan 14 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, (15) Paragraf 16 dan 15 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi, (16) Kata terakhir pada paragraf 17 berkohesi dengan paragraf 16, (17) Paragraf 18 dan 17 tidak menunjukkan kohesi tetapi berkoherensi. Paragraf 1 sampai dengan paragraf 17 membahas kultur sepak bola, pertemuan tim sepak bola. Judul wacana itu ialah ‚Pertemuan Dua Kultur Sepak Bola pada Laga Italia vs Spanyol‛. Isi wacana dengan judul cocok hanya pada paragraf 4 dan 7. Koherensi pada paragraf-paragraf wacana itu: (a) paragraf 1 berisi kemenangan Irlandia atas Italia, (b) paragraf 2 tetap berisi kemengan Irlandia atas Italia yang sudah lolos ke 16 besar, (c) paragraf 3 berisi Turki tersisih, (d) paragraf 4 berisi Spanyol menang atas Italia, (e) paragraf 5 berisi kemenangan Kroasia atas juara bertahan, (f) paragraf 6 berisi tim spanyol akan tampil di 16 besar sebagai favorit, (g) paragraf 7 berisi dua kultur sepak bola akan bertemu, (h) paragraf 8 berisi partai Jerman versus Slowakia tidak sulit diprediksi karena penampilan 39

Jerman belum meyakinkan, (i) paragraf 9 berisi penunjukan tim Kroasia sudah meyakinkan, (j) paragraf 10 berisi Ronaldo belum meyakinkan gerakan geniusnya, (k) paragraf 11 berisi tuan rumah mengalami dua laga berat, (l) paragraf 12 berisi penampilan Perancis belum rileks, (m) paragraf 13 berisi Hongaria tampil bagus dan lolos ke 16 besar, (n) paragraf 14 berisi Belgia punya pemainpemain yang lebih baik, (o) paragraf 15 berisi Inggris merupakan ‚Tim Singa‛ yang memiliki pemain berusia muda, (p) paragraf 16 berisi Polandia memenangi pertandingan melawan Swiss, (q) paragraf 17 berisi Wales melawan Irlandia Utara, dan (r) paragraf 18 sebagai paragraf penutup berisi harapan penulis ‚Catatan Sepak Bola‛ tidak terjadi pemain cidera. Paragraf 1 sampai dengan paragraf 17 berkoherensi, bahkan paragraf 18 berkoherensi. Paragraf-paragraf itu menunjukkan hubungan makna, yaitu perihal kultur sepak bola dunia. Contoh lain, wacana yang dipilih penulis ialah cerpen ‚Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita‛ (dalam lampiran tulisan ini). Wacana ini berdasarkan jenis (1) media, wacana itu termasuk wacana tertulis, (2) keaktifan partisipan, wacana itu termasuk wacana monolog dan dialog, (3) tujuan, wacana itu termasuk wacana narasi, (4) genre sastra, wacana itu termasuk wacana prosa, (5) isi, wacana itu termasuk wacana nostalgia-imajinatif. 40

Berdasarkan struktur wacana, paragraf satu merupakan bagian awal/pembuka wacana, paragraf dua sampai dengan paragraf dua puluh empat merupakan bagian tubuh/wacana, paragraf dua puluh lima merupakan bagian akhir/penutup/penanda akhir wacana. Berdasarkan hubungan antarparagraf wacana itu terdapat kohesi dan koherensi yang berikut. Kohesi atarparagraf dideskripsikan yang berikut: (1) Kata itu dan frasa pengarang tua pada paragraf 2 berkohesi dengan foto dan pengarang tua pada paragraf 1, (2) Kata kita dan foto paragraf 3 berkohesi dengan kita paragraf 1 dan foto paragraf 2, (3) Frasa pengarang tua dan kita paragraf 4 berkohesi dengan kita paragraf 3, dan pengarang tua paragraf 1 dan 2; paragraf 4 terdapat kata aku kalau dilihat kohesinya ialah mengacu ke kita pada paragraf sebelumnya, (4) Kata kita dan frasa pengarang tua masih terdapat pada paragraf 5 yang berkohesi dengan paragraf sebelumnya. (5) Paragraf 6 menunjukkan bagian narasi (bagian cerita) selanjutnya. Paragraf 6 dimulai dengan frasa pada satu pagi di hari minggu yang cerah. Dalam paragraf 6 tetap mengisahkan pengarang tua yang menunjukkan kohesi dengan paragraf sebelumnya, (6) Paragraf 7 terdapat klitik ku dan kata aku yang mengacu pada frasa pengarang tua, 41

(7) Kata kita (burung dara dipersonifikasikan) paragraf 8 berkohesi dengan ia = pengarang tua, (8) Klitik kau dan mu pada paragraf 9 berkohesi dengan orang tua dan klitik ku dan kata aku berkohesi dengan pengarang tua serta klitik ku dan kata aku berkohesi dengan merpati/ kita, (9) Frasa pengarang tua pada paragraf 10 berkohesi dengan ia/pengarang tua sebelumnya, kata kita dan aku berkohesi dengan kata merpati dan terdapat klitik mu berkohesi dengan pengarang tua, serta klitik ku berkorelasi dengan merpati, (10) Kata ia dan klitik nya pada matanya paragraf 11 berkohesi dengan pengarang tua, (11) Kata koran pada paragraf 12 berkohesi dengan kata koran paragraf 11, dan kata aku = pengarang tua, serta kau berkohesi dengan wanita istrinya, (12) Kata ia dan kitik nya (kepadanya) = pengarang tua serta kata foto pada paragraf 13 mengacu pada paragrafparagraf sebelumnya, (13) Mulai paragraf 14 merupakan babak narasi (bagian cerita) berikut. Frasa satu minggu kemudian, terdapat frasa pengarang tua dan foto istrinya mengacu dengan paragraf sebelumnya, (14) Kata ia pada paragraf 15 mengacu pengarang tua dan kata kita mengacu merpati, (15) Kata ia pada paragraf 16 mengacu pengarang tua dan foto istrinya berkohesi dengan paragraf sebelumnya

42

serta kata kita mengacu pada merpati. Frasa pengarang tua berkohesi dengan paragraf sebelumnya, (16) Frasa esok paginya pada paragraf 17 berkohesi dengan paragraf 16. Kata ia mengacu pengarang tua dan foto (istrinya) berkohesi dengan paragraf sebelumnya. Kata koran berkohesi dengan paragraf 11, (17) Kata kita = merpati/sepasang merpati pada paragraf sebelumnya,

kata

kesedihan

berko-hesi

dengan

paragraf 17 dan frasa badut yang jenaka berkohesi dengan paragraf 5, (18) Paragraf 19 merupakan bagian narasi berikutnya, paragraf ini terdapat kata foto, frasa pengarang tua, sepasang badut dan kata kita yang berkohesi dengan bagian narasi sebelumnya. Pengggunaan penulis tua mengacu pada orang tua, (19) Kata kita dan frasa pengarang tua berkohesi dengan paragraf 19 dan paragraf sebelumnya dan klitik mu pada jantungmu, tubuhmu, menerbangkanmu, lukamu, menyusulmu mengacu pasangan merpati. Kata aku mengacu pada merpati (pasanganya), klitik ku mengacu pada merpati. Kata dia mengacu pengarang tua, (20) Frasa setelah kematianmu pada paragraf 21 berkohesi dengan paragraf 20 dan frasa pengarang tua pada paragraf 21 berkohesi dengan paragraf 20 pula. Dalam paragraf ini terdapat klitik ku (diriku) dan kata aku yang mengacu pada merpati, sedangkan klitik mu (meningggalkanmu dan tubuhmu) mengacu merpati pula, 43

(21) Frasa dan parahnya pada paragraf 22 dan pengarang tua berkohesi dengan paragraf 21. Dalam paragraf ini terdapat klitik ku (tentangku) yang mengacu pada merpati. Kata ia mengacu pada frasa pengarang tua, (22) Frasa hingga akhirnya dalam pengarang tua pada paragraf 23 berkohesi dengan paragraf 22. Dalam paragraf ini terdapat kata fenomenal untuk dianalisis secara kebahasaan pula, yaitu menguar, (23) Frasa sepeninggal pengarang tua pada paragraf 24 dan kata itu berkohesi dengan paragraf 23. Tetap, frasa pengarang tua berkohesi dengan paragraf sebelumnya. Kata aku mengacu pada merpati. Kata anjing berkohesi dengan paragraf 22, (24) Paragraf 25 terdapat perumpamaan sebagai penutup narasi suatu hari dalam keputusasaan. Dalam paragraf ini terdapat klitik ku (pikiranku) mengacu merpati, merpati terbesit dalam pikiranku, bahwa kisah kita adalah kisah hidup pengarang tua yang ditulisnya dengan tokoh sepasang merpati. Koherensi antarparagraf dan antarbagian wacana ‚Sepasang merpati dalam Sebuah Cerita‛ sebagai berikut: (1)

Paragraf 1 bermakna ‘merpati yang ditulis oleh pengarang tua, pengarang tua yang hidupnya selalu sepi dan dilanda kesedihan, mungkin karena foto seorang wanita’,

(2)

Paragraf 2 bermakna ‘pengarang tua setiap pagi (bahkan siang hari sebelum makan, sebelum mulai menulis, malam sebelum tidur) menghampiri dan

44

memeluk foto, ia tersenyum dan selalu meneteskan air mata’, (3)

Paragraf 3 bermakna ‘kita (sepasang merpati) menyimpulkan bahwa foto itu istrinya’,

(4)

Paragraf 4 bermakna ‘kita (sepasang merpati) berniat menghiburnya dengan membayangkan seperti badut dan sirkus yang jenaka.’ Niat ini disampaikan merpati kepada pasangannya sebelum membayangkan bersama,

(5)

Paragraf 5 bermakna ‘kita (sepasang merpati) sadar bahwa mereka masih terkurung dalam cerita yang dibuat oleh pengarang tua itu sehingga tidak bisa membantu, kenapa pengarang itu menciptakan kita sebagai sepasang merpati, bukan sepasang badut yang jenaka atau pemain sirkus’. ***

(6)

Paragraf 6 bermakna ‘Hari minggu yang cerah, kita (sepasang merpati) melihat pengarang tertawa setelah berbicara lewat telepon. Kita berpikir ia melupakan kesedihan’,

(7)

Paragraf 7 bermakna (pengarang tua berkata), ‚Sayang, tulisanku dimuat di media nasional, siang nanti aku akan dikirimi bukti terbitnya, dan seminggu lagi tukang pos membawa honor‛,

(8)

Paragraf 8 bermakna ‘ia mengelus foto istrinya lalu keluar air mata’,

(9)

Paragraf 9 bermakna sepasang merpati berkata, ‚Andai kau bersamaku pasti kau bahagia, meloncat45

loncat, mengajak jalan-jalan dan aku mentraktirmu‛, (10) Paragraf 10 bermakna ‘pengarang tua sedih lagi, kita (merpati) sedih pula’, (11) Paragraf 11 bermakna ‘pengarang tua menemui tukang pos yang membawa koran nasional yang memuat tulisan pengarang tua. Lalu pengarang tua mendekati foto istrinya’, (12) Paragraf 12 bermakna bahwa pengarang tua bermonolog yang ditunjukkan kepada foto, ‚Lihat ini korannya! Aku bahagia, kau juga bahagia di sana melihatku bahagia dan tertawa‛, (13) Paragraf 13 bermakna ‘ia (pengarang tua) terus berkata-kata dan kegirangan. Foto itu tidak mengucapkan selamat kepadanya, ia lelah dan tertidur’, *** (14) Paragraf 14 bermakna ‘satu minggu kemudian, tukang pos menyodorkan amplop yang berisi uang kepada pengarang tua sebagai honorarium’, (15) Paragraf 15 bermakna ‘Ia (pengarang tua) pergi sore hari dan pulang tengah malam’, (16) Paragraf 16 bermakna ‘Ia (pengarang tua) tidak bisa mengendalikan diri (mabuk)’, (17) Paragraf 17 bermakna ‘Esok pagi, ia (pengarang tua) sadar dan mendekati foto istrinya yang tergeletak di lantai, mencabut foto dari bingkainya lalu mendekapnya’,

46

(18) Paragraf 18 bermakna ‘kita (merpati) ikut tenggelam dalam kesedihan’, *** (19) Paragraf 19 bermakna ‘esok hari, pengarang tua menulis lagi dan melanjutkan cerita tentang kita (merpati)’, (20) Paragraf 20 bermakna ‘pengarang tua menceritakan kau (merpati) mati ditembak oleh seorang pemburu’, (21) Paragraf 21 bermakna ‘pengarang tua menceritakan aku (merpati) pergi ke tengah hutan yang tidak bisa dijamah oleh pemburu tetapi aku salah, menyesal meninggalkanmu (merpati pasangannya)’, (22) Paragraf 22 bermakna ‘pengarang tua sakit dan menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur’, (23) Paragraf 23 bermakna ‘pengarang tua mati’, (24) Paragraf 24 bermakna ‘sepeningal pengarang tua tidak ada yang melanjutkan cerita itu dan membebaskan aku (merpati dalam cerita) dari kesedihan’, (25) Paragraf 25 bermakna ‘bahwa kisah kita (merpati) ialah kisah hidup pengarang tua yang ditulisnya dengan tokoh sepasang merpati’. Dengan mendeskripsikan makna setiap paragraf, koherensi dapat ditunjukkan/ditentukan.

47

2. Objek Penelitian Kalimat Kalimat yang dianalisis berikut diambil dari wacana ‚Pertemuan Dua Kultur Sepak Bola pada Laga Italia vs Spanyol‛. (1) Suporter Irlandia menyebarkan kegembiraaan, mereka bernyanyi, juga minum-minum tetapi tanpa kekerasan. (w1, p1, k2) dijadikan data untuk dianalisis yang berikut. Data (1) terdiri atas tiga klausa: (1.1) suporter Irlandia menyebarkan kegembiraan, (1.2) mereka bernyanyi, (1.3) (mereka) juga minum-minum. Inti klausa (1.1) berpola suporter / menyebarkan / kegembiraan N V N Klausa (1.1) berpola N V N. Kalusa (1.2) berpola mereka / bernyanyi N V Klausa (1.2) berpola N V Klausa (1.3) dikonstruksi mereka / minum N V Data (1) terdiri atas tiga klausa. Klausa (1.1) berpola N V N, klausa (1.2) berpola N V, klausa (1.3) berpola N V. (2) Ini hebat. (w1, p1, k3) dijadikan data untuk dianalisis yang berikut. Data (2) terdiri atas satu klausa dan konstituen klausa ini berupa inti, yaitu ini / hebat N

Adj

Pola klausa 2 ialah N Adj. Kalimat berikut diambil dari wacana ‚Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita‛ . 48

(3) Pengarang yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang kita mulai ditulis. (w2, p1, k2) dijadikan data untuk dianalisis yang berikut. Bahwa data (3) terdiri atas satu klausa pengarang yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang kita / mulai ditulis. Inti klausa pada data (3) ialah pengarang / mulai ditulis N V Pola klausa pada data (3) dan pola inti klausanya sama: N V. (4) Mungkin itu foto lama, karena sudah sedikit usang dan bingkainya mulai berdebu. (w2, p1, k6). Data 4 terdiri atas klausa (4.1) mungkin itu foto lama, (4.2) sudah sedikit usang, (4.3) bingkainya mulai berdebu. Klausa (4.1) berpola mungkin itu / foto lama N

N

Klausa (4.2) berpola (mungkin itu) / sudah sedikit usang N Adj Klausa (4.3) berpola bingkainya / mulai berdebu N V Kalimat (w2, p1, k6) berpola N N, NAdj dan N V. Kalimat

itu

termasuk

kalimat

majemuk

dengan

konjungsi dan. Kalimat wacana ilmiah, karya susastra, pidato, obrolan dll yang jumlahnya tidak terhingga jika dilaku49

kan penelitian berdasarkan kategori sintaktis, pola kalimat terdiri atas: NV, NVN, NVNN, NVFT, NN, NAdj, NNum, NFT. Pemahaman adanya pola klausa, alih-alih pola kalimat, ini perlu dilakukan siswa/ mahasiswa (ranah kognisi, tataran: memahami pola klausa, menerapkan teori ke dalam pengkajian, menganalisis satuan bahasa). Cara ini dilakukan secara induktif. Secara deduktif, atas pola klausa, misalnya N Adj (seperti data (2) di atas), siswa/mahasiswa membentuk kalimat inti lain, misalnya Adik sakit. Inti klausa ini dapat (a) diperluas, misalnya kemarin adik sakit, dan (b) disisipi adik saya yang sudah berkeluarga sedang sakit. Kalimat itu digunakan dalam wacana, misalnya Saya datang di rumah sakit. Saya sangat tersentuh melihat kondisi mereka. Keterharuan ini ketika saya mengantarkan adik saya yang sudah berkeluarga sedang sakit. Pentransformasian pola kalimat ini perlu dilakukan siswa/ mahasiswa (ranah kognisi, tataran menerapkan pola kalimat dan mencipta satuan bahasa). 3. Objek Penelitian Kata Kata pengarang pada kalimat pengarang yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang kita mulai ditulis. (w2, p1, k2) dapat dianalisis dengan: (1) pendekatan morfologi: a. model penataan: ● peN- + karang (D) → pengarang 50

● karang berarti ‘susun; rangkai; jalin’ ● pengarang bermakna ‘orang yang (D)’ ● pengarang bersistem peN- +( D) b. model proses: ● peN- dan mengarang (D) ● mengarang bermakna ‘menulis dan menyusun cerita, buku, sajak’ ● pengarang bermakna ‘orang yang (D)’ ● pengarang bersistem peN- dan (D)’ c. model paradigma: ● Dengan model proses dalam paradigma karang – mengarang – pengarang – pengarangan – karangan ● karang bermakna ‘susun; rangkai; jalin’; bentuk karang merupakan pangkal dan sebagai dasar verba mengarang ● mengarang bermakna ‘menulis dan menyusun sebuah cerita, buku, sajak’ (D) ● pengarang bermakna ‘orang yang (D)’, kata bentukan pengarang dari afiks peN- dan (D) ● pengarangan bermakna ‘proses (D)’, kata bentukan pengarangan dari afiks peN—an dan verba mengarang ● karangan bermakna ‘hasil (D)’, kata bentukan karangan dari verba (D) dan –an. (2) Berdasarkan fungsi sintaktis, kata pengarang dalam data (3) di atas menduduki subjek, (3) Berdasarkan kategori sintaktis, kata pengarang dalam data (3) di atas berkategori nomina, 51

(4) Apabila kata pengarang dianalisis dari segi morfofonologi (model penataan/item and arangement): peN + karang → pengarang, terjadi pengubahan nasal (N) pada peN- menjadi /η/, penggeseran nasal /η/, penghilangan fonem /k/ pada awal bentuk dasarnya. (5) Kata pengarang dimasukkan dalam konteks kalimat, misalnya: Saya ingin menjadi pengarang. (6) Kalimat itu dikembangkan menjadi gugus kalimat atau wacana, misalnya: Sejak kecil saya senang mengarang. Saya senang pelajaran mengarang. Saya ingin menjadi pengarang. Contoh lain, kata pemurung pada kalamat Ia berubah menjadi pemurung dan tubuhnya semakin ceking. (w2, p23, k2) (1) Pendekatan morfologi: a. Model penataan: ● peN- + murung (D) → pemurung ● murung berarti ‘sedih; masgul’ ● pemurung bermakna ‘orang yang (D)’ ● pemurung bersitem peN- + (D) b. Model proses: ● peN- dan memurung (D) ● memurung bermakna ‘menjadi murung’ ● pemurung bermakna ‘orang yang (D)’ ● pemurung bersistem peN- dan (D) c. Model paradigma:

52

● Dengan model proses dalam paradigma murung – memurung – pemurung – pemurungan – murungan ● murung bermakna ‘sedih; masgul’, bentuk murung merupakan pangkal sebagai dasar verba memurung ● memurung bermakna ‘menjadi murung’ (D) ● pemurung bermakna ‘orang yang (D)’, kata pemurung dari bentuk peN- dan verba (D) ●

pemurungan

bermakna

‘proses

(D)’,

kata

pemungan (kata bangkitan) dari afiks peN—an dan verba (D) ● murungan bermakna ‘hasil (D)’, kata murungan (kata bangkitan) dari verba (D) dan afiks –an. (2) Berdasarkan fungsi sintaktis, kata pemurung dalam kalimat (3) di atas menduduki pelengkap, (3) Berdasarkan kategori sintaktis, kata pemurung dalam kalimat (3) di atas berkategori nomina, (4) Apabila kata pemurung dianalisis dari segi morfofonologi (model penataan /item and arrangement): peN dan murung → pemurung, terjadi pengubahan nasal (N) pada peN- menjadi /m/, dan penghilangan fonem /m/ pada awal bentuk dasarnya dan penggeseran nasal /m/ pada pem ke bentuk dasarnya. (5) Kata pemurung dimasukkan dalam konteks kalimat, misalnya: Anak itu menjadi pemurung. (6) Kalimat itu dikembangkan menjadi gugus kalimat, misalnya: Anak itu kurang rajin belajar. Ia sering 53

membolos sekolah. Ketika diadakan ulangan, ia mendapat nilai yang rendah dan selalu rendah. Sekarang, anak itu menjadi pemurung. Dalam cerpen ‚Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita‛ yang dilampirkan dalam tulisan ini terdapat katabaru menguar (w2, p23, k1). Kata menguar bermakna ‘mengeluarkan bau’. Kata menguar (dianalis model penataan) berupa meN- + uar. Nasal N pada meN- berujud /mәη-/ atau meng- karena melekat pada bentuk dasar berfonem awal vokal /u/. Berdasarkan model proses dalam paradigma menguar (D) → penguar ‘benda/orang yang (D)’, penguaran ‘proses (D)’, uaran ‘hasil (D)’. SIMPULAN Analisis, alih-alih penelitian, satuan bahasa mulai dari wacana, gugus kalimat atau paragraf, kalimat, dan kata secara induktif, seperti di atas, perlu dilakukan oleh siswa/mahasiswa dalam belajar bahasa untuk menemukan sistem dan atau karakteristik satuan bahasa. Secara deduktif, sistem dan atau karakteristik ditransformasi menjadi satuan bahasa yang lain menjadi satuan bahasa: mulai kata, kalimat, gugus kalimat atau paragraf, dan atau wacana oleh siswa/ mahasiswa. Belajar/pengajaran bahasa dalam kegian analisis ini dilakukan lebih menekankan secara kebahasaan, artinya bahasa dipandang sebagai objek penelitian atau penganalisisan bahasa. Hasil analisis ini menemukan 54

sistem dan atau karakteristik satuan bahasa yang diteliti/dinalisis. Hasil analisis ini diformulasi menjadi materi-belajar atau pengajaran bahasa (secara induktif), selanjutnya formula ini, berupa sistem dan karakteristik, direalisasi menjadi satuan bahasa yang lain (secara deduktif). Cara dan hasil analisis ini indukktif-deduktif ini dapat digunakan untuk materi-belajar/pengajaran bahasa oleh siswa/mahasiswa karena mereka calon ilmuwan-bahasa dan pengguna bahasa. Banyak fenomena-satuan bahasa, lisan atau tulis, perlu diteliti secara kebahasaan. Memang, analisis bahasa bisa dilakukan dengan menonjolkan dari aspek lain, misalnya lebih menekankan pada logika/adat istiadat.

DAFTAR PUSTAKA Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-Dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Lingusitik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sugono, Dendy. dkk. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yusuf, Cahyo. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia. Semarang: Bandungan-Institut.

55

Yusuf, Cahyo. 2009. Pengajaran Kalimat; Tinjauan Fungsi dan Kategori Sintaktis. Semarang: BandunganInstitut.

56

LAMPIRAN

‚Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita” oleh Supartika

Kita adalah sepasang merpati dalam cerita yang ditulis oleh pengarang tua itu. Pengarang yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang kita mulai ditulis. Kita tak tahu pasti apa yang menyebabkan ia kesepian dan selalu merasa sedih dalam hidupnya. Mungkin kesedihannya disebabkan oleh foto yang kini tergeletak di atas meja kerjanya. Foto seorang wanita berambut ombak yang tengah tersenyum, menggunakan gaun putih seperti dalam pesta ulang tahun dan membawa bunga mawar. Mungkin itu foto lama, karena sudah sedikit usang dan bingkainya mulai berdebu. Setiap pagi ketika pengarang tua itu terbangun dari tidurnya, ia menghampiri foto itu. Ia akan memandangi foto itu lekat-lekat dari ujung rambutnya, kemudian akan berhenti pada senyumnya, hingga akhirnya pengarang kita akan tersenyum, atau meneteskan air mata. Sesekali, ia juga akan memeluk foto itu seperti

57

seorang ayah memeluk anaknya, atau lebih tepatnya seorang suami memeluk istrinya. Begitu juga ketika siang hari sebelum ia makan, sebelum mulai menulis, ataupun malam sebelum tidur, ia selalu memandangi foto itu dengan mimik yang hampir sama: tersenyum, selalu meneteskan air mata. Kita tak pernah mengerti benar, bagaimana sebuah foto bisa membuat seseorang merasa kesepian ataupun bersedih. Hingga suatu hari, diam-diam kita menyimpulkan bahwa wanita di foto itu adalah istrinya. Merasa iba dengan nasib pengarang tua itu, kita berniat untuk menghiburnya agar ia tak kesepian ataupun bersedih lagi. Lalu kita membayangkan diri kita sebagai sesosok makhluk yang jenaka seperti badut misalnya, dengan hidung besar berwarna merah, dan muka yang menggemaskan. Lalu di depannya kita akan membuat sebuah pertunjukan sirkus yang tidak terlalu serius tetapi jenaka. Dan kita membayangkannya ketika pengarang tua itu tertidur pulas setelah sebelumnya ia menangis karena foto wanita yang kita simpulkan sebagai istrinya. Aku yang memulai mengatakan ide itu kepadamu sebelum kita membayangkan hal itu bersama-sama. Namun, akhirnya kita sadar bahwa kita masih terkurung dalam cerita yang dibuat oleh

58

pengarang tua itu. Lalu kita mengutuki diri kita sendiri karena tidak bisa membantu pengarang tua itu, dan kenapa pula pengarang itu menciptakan kita sebagai sepasang merpati dan bukan sepasang badut yang jenaka, atau sepasang badut pemain sirkus. Andaikan pengarang itu bisa

secepatnya menyelesaikan

kisah kita,

mungkin ia akan menulis kita dalam tokoh cerita lain, dan kita berharap itu adalah cerita yang jenaka, dengan tokoh kita sebagai sepasang badut. Meskipun peluang ia membuat tokoh ceritanya sebagai badut adalah seperseribu

bahkan

seperjuta

sekian,

tapi

apa

salahnya jika kita berharap bahwa kemustahilan itu tak pernah ada dan yang ada hanyalah kepastian bahwa tokoh cerita yang akan ia buat setelah menyelesaikan cerita kita adalah badut yang lucu. *** Pada satu pagi di hari minggu yang cerah, untuk pertama kalinya kita melihat pengarang tua itu tertawa setelah ia berbicara pada seseorang lewat telepon. Kita berpikir ia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dari seseorang yang menelponnya, dan hal itu membuat ia melupakan kesedihannya. ‚Sayang, hari ini tulisanku dimuat di media nasional yang aku impikan dari sejak

59

awal aku mulai menulis. Dan siang nanti aku akan dikirimi bukti terbitnya, dan seminggu lagi tukang pos akan datang mengetuk pintu rumah kita membawa honor tulisanku. Aku bahagia sekali hari ini sayangku.‛ Kita melihat ia mengelus foto istrinya, tawanya hilang lalu berganti air mata. ‚Andai saja kau ada di sini bersamaku, pasti kau akan ikut bahagia. Kau akan meloncatloncat seperti anak kecil, lalu kau akan mengajakku keluar untuk jalan-jalan dan pasti aku akan

mentraktirmu

makan

di

restoran

impianmu.‛ Pengarang tua itu kembali tenggelam dalam kesedihannya. Kita ikut terseret ke dalam kesedihan, dan aku melihat matamu berkacakaca yang membuat mataku juga ikut berkacakaca. Betapa kesedihan selalu berteman air mata. Jam sebelas limabelas, seseorang mengetuk pintu rumahnya, dan ia cepat-cepat menghapus air matanya dengan lengan bajunya, lalu bergegas mendekati pintu rumahnya. Di depan pintu ia mendapati seorang tukang pos telah berdiri dan menyodorkan sebuah koran nasional yang memuat tulisannya. Setelah menemukan halaman yang memuat tulisannya, dan menghempaskan lembaran koran lainnya

60

yang ia anggap tidak penting, ia kembali mendekati foto istrinya. ‚Lihat, ini dia korannya! Aku sudah menerimanya. Aku bahagia. Kau juga harus bahagia di sana melihatku bahagia. Kau juga harus ikut tertawa seperti aku hari ini.‛ Ia terus saja berkata dengan nada yang menggebu-gebu dan penuh kegirangan walaupun foto itu tak pernah mengucapkan ‚selamat‛ kepadanya, hingga akhirnya ia kelelahan dan tertidur di atas meja menindih koran yang memuat tulisannya. *** Satu minggu kemudian, ketika pengarang tua itu baru selesai makan dan memandangi foto istrinya, seseorang kembali mengetuk pintu rumahnya yang ternyata adalah tukang pos. Tukang pos itu menyodorkan sebuah amplop padanya dan ketika ia membukanya, amplop itu berisi

sejumlah

uang

dan

sepucuk

surat

pengantar untuk honor tulisannya. Sore harinya, ia pergi meninggalkan cerita tentang kita sepasang merpati dan foto yang biasa ia pandangi dengan membawa isi amplop yang ia terima dari tukang pos, kecuali surat pengantarnya yang ia biarkan tergeletak di lantai. Kita tak pernah tau ke mana pengarang tua itu pergi sore itu. Dan kita hanya tahu ia

61

kembali tengah malam dengan langkah sempoyongan sambil meracau tidak karuan. Ia menendang kursi, kaleng bekas makanan ringan, botol-botol bekas air mineral, dan meja kerjanya, hingga foto istrinya terjatuh dan kacanya pecah setelah menghantam lantai. Lalu ia melemparkan koran yang memuat tulisannya ke lantai dan menginjaknya dan ia memuntahkan isi perutnya di koran itu. Ia tergeletak, lalu berguling-guling di atas muntahannya. Kita begitu

was-was kalau pengarang

tua

itu

melemparkan tulisan tentang kita yang ada di atas meja kerjanya lalu menginjak-injaknya sebagaimana yang ia lakukan pada koran yang memuat tulisannya. Tapi untungnya ia tidak melakukannya, dan kita merasa bersyukur. Esok paginya, setelah ia sadar dan mendapati foto istrinya tergeletak di lantai dengan bingkai yang berantakan, ia mencabut foto itu dari bingkainya lalu mendekapnya erat-erat dengan tanpa henti air matanya terus menetes. Dan kesedihannya semakin menjadi-jadi ketika ia mendapati koran yang memuat tulisannya telah kotor dan rusak oleh muntahannya sendiri. Kita hanya menjadi penonton dan kembali ikut tenggelam dalam kesedihan. Kita mengutuki kesedihan-kesedihan itu sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari kematian. Dan

62

dalam kesedihan itu, kita berharap pengarang tua itu segera menyelesaikan cerita tentang kita, sepasang merpati dan kembali menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut jenaka. *** Kadang-kadang

sesuatu

yang

kita

inginkan bisa saja menjadi kenyataan. Terbukti, di suatu pagi yang mendung setelah sekian lama ia tenggelam dalam kesedihan karena selembar foto, pengarang tua itu kembali menulis dan melanjutkan cerita tentang kita. Harapan kita agar penulis tua itu menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut akan menuju pada kenyataan. Walaupun apa yang kita harapkan belum tentu menjadi kenyataan. Kita selalu berharap sesuatu yang terbaik untuk pengarang tua itu, tetapi kita kita tak pernah berpikir tentang nasib kita dalam cerita yang sedang ditulisnya. Pengarang tua itu menceritakan kau mati ditembak oleh seorang pemburu saat kita sedang asyik bertengger di sebuah pohon kamboja sambil bercakap-cakap tentang masa depan yang bahagia. Jantungmu pecah setelah tertembus isi senapan, dan tubuhmu meluncur ke tanah. Aku terbang menyusul

tubuhmu yang meluncur

tanpa

kendali. Aku tak tahu harus melakukan apa saat itu. Menerbangkanmu ke tempat yang jauh dan

63

mengobati lukamu sambil berharap kau hidup lagi, menyerahkan diri pada pemburu itu agar ditembak dan segera menyusulmu, atau melawan pemburu itu dengan segenap tenagaku? Tetapi cerita berkehendak lain. Isi kepala pengarang itu berbeda dengan isi kepalaku. Dia malah menceritakan aku menangis tersedu-sedu di samping tubuhmu yang tak bernyawa tanpa melakukan

sesuatu

yang

lebih

berharga

daripada sekedar menangis. Saat pemburu itu mendekat, ia malah menceritakan aku terbang menghindari sang pemburu. Betapa bodohnya pengarang

yang

selalu

bersedih

karena

selembar foto itu. Kenapa ia tidak menceritakan aku mati bersamamu ditembak pemburu itu. Setelah kematianmu, pengarang tua itu menceritakan diriku pergi ke tengah hutan yang sepi dan aku tinggal di sebuah pohon yang jauh di tengah hutan yang tak bisa dijamah oleh pemburu. Di sana aku semakin tenggalam dalam kesedihan dan menyesal telah meninggalkanmu dan membiarkan pemburu itu melumat habis tubuhmu menjadi santapan yang enak baginya. Sungguh pengarang yang bodoh. Dan parahnya, pengarang tua itu malah meninggalkan cerita tentangku begitu saja. Ia berubah menjadi pemurung dan tubuhnya semakin ceking. Kemudian disusul dengan ba-

64

tuk yang seirama gonggongan anjing, dan ia menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur. Hingga akhirnya pengarang tua itu tak pernah beranjak lagi dari tempat tidurnya, yang kemudian disusul dengan bau busuk yang menguar di seluruh ruangan. Suatu sore orangorang masuk ke kamar itu setelah bersusah payah mendobrak pintu dan mendapati tubuh ceking pengarang tua itu telah dimakan ulat. Sepeninggal pengarang tua itu, aku benarbenar kesepian dan selalu berharap ada seseorang yang menemukan cerita ini dan membebaskan aku dari kesedihan. Karena setelah kematian pengarang tua itu, tidak ada seorang pun yang datang ke rumah ini, selain seekor anjing borok yang selalu berteduh ketika hujan. Suatu hari dalam keputusasaan, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku bahwa kisah kita adalah kisah hidup pengarang tua itu yang ditulisnya dengan tokoh sepasang merpati. (Kompas, 3 Juli 2016)

65

66

MAKALAH PENDAMPING PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

67

68

AUTHENTIC ASSESSMENT FOR PRODUCTIVE SKILLS Oleh: Prima Ferri Karma, M.Pd. [email protected] Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar

ABSTRACT The term authentic assessment is used to describe the multiple forms of assessment that reflects students learning achievement, motivation, and attitudes on instructionally relevant classroom activities. It includes performance, assessment, portfolios, and student self assessment; it is an alternative to traditional form of assessment in education. Performance assessment consists of any form of assessment in which the students constructs a response orally or in writing. Teachers will elicit the students’ performance in formal or non formal assessment contexts or the teacher may observe them during instructional or non instructional settings. It requires students to accomplish complex and significant tasks, while bringing to bear prior knowledge, recent learning, and relevant skills to solve realistic or authentic problems students may be called on to use materials or perform hands-on activities in reach69

ing solutions to problems. Examples are oral reports, writing samples, individual and group projects, exhibitions and demonstrations. Teachers may facilitate students with resources within school. He must monitor from the pre-activity, whilst, and post-activity. Self-regulated students can do these activities with a little assistance from teachers, they can prepare, monitor and control as well as evaluate their progress themselves INTRODUCTION Authentic assessment is a term that is familiar for teachers. There are many reasons why the term becomes interesting topic in education. The first is it emerges because the rapid expansion of interest in alternative to traditional form of assessment in education (Aschbacher 1991, Herman, Aschbacher, Winter 1992). The second is alternative assessment/ authentic assessment is based on activities that represent classroom and real life settings. The third reason is because the current assessment or procedure does not assess the full range of essential students’ outcomes. The teachers have difficulties in using the information gained from the students. It is said that this kind of tests do not represent recent improvements in understanding of what and how the students learn (Resnick and Klopfer 1989). Multiple choice tests are objective and highly reliable for students, they emphasize on discrete skills but 70

they do not contain the authentic representations of classroom activities. Students’ active participation, interest, attitude and motivation is not easy to measure by using multiple choice test. In classroom, students read interesting literature, write papers, integrate resource information with personal view points, work on their projects cooperatively, share information while summarizing the conclusions, and use information in other content areas. Little of the knowledge and strategic processes needed to accomplish these tasks is captured in multiple choice or single answer test. (O’Malley and Valdez Pierce 1996) The ability to accurately select one of numbers of options to brief questions does not reflect what students will be called on to do in solving complex problems, communicating significant ideas, persuading others on important positions, organizing information, and managing human resources and working cooperatively with others in the workplace. (Wiggins 1989, 1993) Definition of authentic assessment The term authentic assessment is used to describe the multiple forms of assessment that reflects students learning achievement, motivation, and attitudes on instructionally relevant classroom activities. Examples of authentic assessment include performance, assessment, portfolios, and student self assessment.

71

A. Performance assessment Performance assessment consists of any form of assessment in which the students constructs a response orally or in writing (Feuer and Fulton 1993, Herman, Aschbacher, and Winters 1992). The teacher will elicit the students’ performance in formal or non formal assessment contexts or the teacher may observe them during instructional or non instructional settings. Performance assessment requires students to accomplish complex and significant tasks, while bringing to bear prior knowledge, recent learning, and relevant skills to solve realistic or authentic problems (Herman, Aschbacher, and Winters, p. 2). Students may be called on to use materials or perform hands-on activities in reaching solutions to problems. Examples are oral reports, writing samples, individual and group projects, exhibitions and demonstrations. Below are some characteristics of performance assessment (adapted from Ascbacher 1991; Herman, Aschbacher, and Winters 1992) 1. Constructed Response: students construct a response, provide an expanded response, engage in a performance, or create a product. 2.

Higher-order Thinking: the students typically use higher level of thinking in constructing response to open-ended questions.

3. Authenticity: tasks are meaningful, challenging, and engaging activities that mirror good instruc-

72

tion or other real-world context where the student is expected to perform. 4. Integrative: the tasks call for integration of language and skills across content area. 5. Process and Product: procedures and strategies for deriving the correct response or exploring multiple solution to complex tasks are often assessed as well (as or sometimes instead of) the product or the ‚correct‛ answer. 6. Depth Versus Breadth: performance assessment provide information in depth about a student’s skill or mastery as contrasted with breadth of coverage more typical of multiple choice tests. B.

Portfolio assessment Portfolio assessment is a systematic collection of

student work that is analyzes to show progress over tie with regard to instructional objectives (Valencia 1991). Examples of portfolio entries include writing samples, reading logs, drawings, audio or videotapes, and/or teacher and student comments on progress made by the student. One of the defining feature of portfolio assessment is the involvement of the students in selecting samples of their own work to show growth or learning overtime.

73

C. Self assessment Self-assessment is ‚a key element in authentic assessment and in self-regulated learning, the motivated and strategic efforts of students to accomplish specific purposes‛ (Paris and Ayers 1994, p. 26). Self-assessment promotes direct involvement in learning and the integration of cognitive abilities with motivation and attitude toward learning. In becoming self-regulated learners, students make choices, select learning activities, and plan how to use their time and resources. The students are free to choose challenging activities and to set their goal. They are free to choose available resources within or outside class, they also exchanging ideas with their peers and discussing the material. Providing assistance for their friends, share their understanding and collaborating with their friends is also one characteristic of self-regulated learners. Self-regulated learners monitor their own performance and evaluate their progress and accomplishments (Paris and Ayers 1994). Oral assessment Assessing needs preparation and organization. The main point is to include assessment right along a period of time lesson plans in order to document students’ progress systematically.

74

A. Identifying Purpose Oral language of English language learners is typically assessed for one three purposes: 1. For initial identification and placement of students in need of a language-based program 2. For movement form one level to another within a given program (e.g. beginning, intermediate, advanced) 3. For placement out of an ESL/bilingual program into a grade-level classroom. B. Planning for Assessment Planning can be started by identifying instructional activities or task, the next part is deciding when to assess students individually and when to assess them in groups. One important step in planning for assessment is to outline the major instructional goals or learning outcomes. Another important part is deciding how often to collect information. The last is when and how to provide learners with feedback. C. Developing Rubrics and/or Scoring Procedures The criterion levels of oral language proficiency are based on the goals and objectives of classroom interactions before using instructional activities for assessment. Next operationalize these criteria (modify by trial and error) based on actual students performance. The dimension or features of oral language to be assessed depend on 75

the level of proficiency of the class and instructional goals (Gonzales Pino 1988). D. Setting Standards Setting standards involves clearly specifying what students should know and be able to do at different levels of oral language proficiency. For example to specify an ‚advanced‛ level of proficiency on a rubric with a range from 1 to 6, you might require a score of 5 or 6. A ‚basic‛ level of proficiency may require score of 1 or 2. E. Involving Students in Self and Peer Assessment In authentic assessment, involving students in their own assessment is critical. By reflecting on and assessing their own work and that of their peers students get the opportunity to apply criteria to work samples and to set learning goals. 1. Self-Assessment An essential step in preparing for oral language assessment is planning how to engage students in self-assessment. By providing learners with the skill needed to independently monitor the learning, we enable them to take greater responsibility for that learning. Students can be involved in generating criteria for assessment by being given the opportunity to listen to good and poor performance and

76

ask to describe the characteristics of effective performance (Brown and Yule 1983) 2. Peer Assessment In this activity the students are asked to rate each other. In this case the students are required to be informed what criteria should be set and it is also important to teach the students how to do assessment. Underhill (1987) suggests that peer assessment is a n authentic assessment approach because peers are asked to rate the effectiveness of communication by others. F. Selecting Assessment Activities Oral language assessment can take various forms depending on your purpose for assessment, students’ level of language proficiency, and the purposes for which students use oral language in the classroom. Assessment tasks for oral language differ with regard to whether they call for the use of static relationships (such as in describing picture or giving directions), dynamic relationships (telling a story or taking part in a role-play), abstract relationships (giving an opinion). (Brown and Yule 1983) 1. Oral Interviews 2. Picture-cued Descriptions or Stories 3. Radio Broadcasts 4. Video Clips 5. Information Gap 6. Story/ Text Retelling 77

7. Oral Reports 8. Debates G. Recording Teacher Observations It is important for the teacher to make documentation of the students activities during the activity within classroom. The observation can be carried by using rating scales, rubrics, or checklists or by keeping anecdotal records. 1. Teacher Observation During the individual observation, it is good to use checklist or rating scales. Try to do it in as unobstrusive a manner as possible so as not to intimidate students. For assessing a pair you will need an extra careful to match students of similar proficiency levels and compatible personalities so that one does not dominate the other (Hughes 1989; Underhill 1987). When assessing small group of three or four students at a time, you will need to have an opportunity to assess authentic language in action because learners tend to be less inhabited and more spontaneous in their speech when interacting with peers (Underhill 1987). Structured cooperative learning tasks, which provide for positive interdependence and individual accountability, will increase the chance of every student getting a chance to speak (Kagan 1993) 2. Anecdotal Records 78

If teacher prefer to make written notes on the observations he or she can use anecdotal records. Anecdotal records have been most typically used to assess progress in literacy in the elementary school (Rhodes and Nathenson-Mejia 1992). Anecdotal records consists of brief notes made shortly after a student has been observed making progress in a key area. Teachers have told us that the keep anecdotal records on yellow sticky notes or on adhesive labels that they later organize by individual student names. Other ways to organize anecdotal records are by keeping file folders or cards for each student and using computer files (Hill and Raptic 1994) I. Writing assessment There are two important components in the authentic assessment of writing; they are the nature of the task and the scoring criteria A. The Writing Task Writing prompt is the task for students writing assignments. It consists of questions or statements students will address in their writing and the condition under which they will write. When a teacher gives task to students, he must give specific time for the students to write. Other points that should be considered are whether the students can plan, write and revise, also whether they can use paper, pen, pencil or computer. 79

1. Criteria for Writing Prompt Whether you use single or multiple prompts, each prompt used in the writing assessment should meet the following criteria (California Assessment Program 1990): Invite the desired type of writing or genre Engage the thinking, problem solving, composing, and text-making processes central to the type of writing Be challenging for many students to respond Provide equitable opportunities for all students to respond Produce interesting, not just proficient writing Be liked by many students 2. Integrated language Assessment This activity allows the teacher to observe and assess integrated language skills including reading, speaking, and writing. The illustration is as follows: First students were given certain topic, take an example violence. Students were provided with a record or video of violence news. They were also provided with some newspapers and magazine which have news or article about violence behavior in society. B. Types of Scoring The scoring of authentic assessments should always be defined before the exercises and assessment procedures are developed. Three types of rating scales generally used in scoring writing are holistic, primary trait, and 80

analytic scoring (Cohen 1994; Herman, Aschbacher, and Winters 1992; Perkins 1983). Each of these types has a different purpose and focus in instruction and will provide different types of information to teachers and students. 1. Holistic Scoring Holistic scoring uses a variety of criteria to produce a single score. The specific criteria selected depend on the instructional program and language art and objectives, and then finally sum up of its components .e.g. Idea development/organization: focuses on central idea with appropriate elaboration and conclusion. Fluency/structure: appropriate verb tense used with a variety of grammatical and syntactical structures. Word choice: uses varied and precise vocabulary appropriate for purpose. Mechanics: absence of errors in spelling, capitalization, and punctuation. 2. Primary Trait Readers consider the following ‚primary traits‛ in holistically scoring the two portions of the analytical writing section: 1. the strength of focus; 2. Organization; 3. Development; 4. Syntax/diction; 5. Conventions. Recognizing these primary traits, which are implicit in the published ETS (Education Testing Service) scoring criteria, can guide you towards writing stronger essays. Use this handout in conjunction with the separate (and possi81

bly confusing) scoring guides that ETS provides for the ‚Perspective on an Issue‛ and ‚Analyzing an Argument‛ sections, which have a few different terms, but are essentially the same. (http://www.utb.edu/its/olt/Documents/ GRE/English/Primary%20Traits%20of%20Writing.pdf) 3. Analytic Scoring Analytic scales separate the features of a composition into components which are each scored separately. The separate components are sometimes given different weights to reflect their importance in instruction. Two advantages of this type of rubric are in providing feedbacks to students on specific aspects of their writing and in giving teachers diagnostic information for planning instruction (Perkins 1983). Another special advantage of analytic scoring with ELL, students is in providing positive feedbacks on components of writing on which they have progressed most rapidly (Hamp-Lyons 1991). C. Monitoring Students Progress in Process Writing When teacher wants to monitor what the students actually do while writing, direct observation may be a good way to collect the information. The teacher can also what is called by conferencing with students, it is a way where the teacher collect information about student writing processes, progress, and response to instructions. 1. Strategies for Process Writing In prewriting stage students can formulate the topic before writing, consider various approaches 82

to the topic and decide on a way to organize the information. During the writing process students can monitor their writing by rereading and reviewing what they have written while the product is still being developed. The students can also check the spelling, uncertain word, etc. Postwriting strategies include editing, revising, changing the genre, and so on. 2. Writing Conferences The important point in this section is teachers ask the students questions about what and how the students did their writing task. What makes this section necessary is because the questions will be like guidance for the students as they construct their writing and improve it. D. Written Summaries One of important types of writing students use in school is to summarize. Summarizing involves: (1) deleting minor detail and redundant information, (2) combining similar details, and (3) selecting or composing main idea sentences (Casazza 1992). Students can write summaries in both dialogue journals and learning logs or in each content area in which they summarize briefly about their observations about the days class, what they want to remember, what they found difficult, what will they seek assistant on to understand bet83

ter, and what attitudes they have about learning in this subject area. E. Self Assessment in Writing 1. Dialogue Journals In dialogue journals the students make note about the classroom activity, what are liked, what were their interest, what do they think about the class, their attitude in class, etc. Dialogue journals maintain non-threatening context in which students write at their own proficiency level on self- selected topics of interest to them (Hamayan 1989). Journals can be maintained in a notebook or on a computer disk. Students typically write in class for five to ten minutes at the end of a class period or at any convenient time during the day (Peyton and Reed1990) 2. Learning Logs Another form of self-assessment in writing is provided through a learning log (Atwell 1990; Chamot, O’Malley, and Küpper 1992; Jan 1992; Predle and Mayher 1985). In one type of learning log students make entries during the last five minutes of each period, responding to the following types of questions: What did I learn today?

84

What strategies or approaches worked best for me in learning? What was hard to understand? What will I do to understand better? Teachers can review the learning to keep track of students learning need. Questions to answer are as follows: Does the student define and/or use new vocabulary from the lesson? Does the student use content vocabulary appropriately? Does the student illustrate and label drawings correctly? Does the student have reasonable plans for improving her or his learning? 3. Survey of Interest and Awareness To determine students’ attitude towards writing you can assess their interest in and awareness of writing through surveys or rating scales (Hill and Ruptic 1994) 4. Writing Strategies As discussed earlier on Process Writing, strategies may be used before writing, during writing, and after writing. The pre writing strategies emphasize topic review and organization. Strategies used during writing advance the writing toward meeting and original purpose. Students should check, reread, edit and 85

revise their writing to ensure it meets the original purpose 5. Writing Checklist In order for students to make progress in learning, they should understand (1) the activity and what proficiency requires, (2) the steps needed to attain proficiency, and (3) how they are progressing (Hayward 1993).

Here the

students are given checklist consist of questions to ensure they fulfill the purpose of writing like: Purpose/organization I stated my purpose clearly I organized my thoughts My work has a beginning, middle, and end I chose words that helped make my points Word/ sentence use I used new vocabulary I wrote complete sentences I used correct subject-verb agreement I used the past tense correctly Mechanics/ Format I spelled words correctly I used capital to start sentences I used periods and question marks correctly 86

I indented paragraphs Editing I read my paper aloud to a partner I asked a partner to read my paper F. Peer Assessment in Writing Sometimes students are reluctant to assess friends’ writing for fear of hurting the other person’s feelings. One way to overcome this reluctance is to make the student whose paper is being assessed responsible for finding out how the paper can be improved. Another way is to have students pair up and read their papers to each other (Pearce 1983). Each student is encouraged to respond to the other student’s paper by answering three questions: What did you like about the paper? What facts or ideas could be added to the paper? What changes could be made to improve the paper? CONCLUSIONS Assessment

and

Instruction

are

interwoven

Teachers must facilitate students with clear goal instructions and assessment. Authentic assessment is an alternative to the standardized one. By using authentic assessment teachers can see what elements that cannot be or hardly be seen in standard assessment. 87

The teacher is not the only one who can do the assessment. The students may get assessment from their friends/ peer assessment, they may also assess themselves through self-assessment. Of course teachers must provide the students with adequate information and steps to be the guidance. There are many tings special with self-regulated students. They may make choices, select learning activities, and plan how to use their time and resources. They are free to choose challenging activities and to set their goal. They are free to choose available resources within or outside class, exchanging ideas with their peers and discussing the material. Providing assistance for their friends, share their understanding and collaborating with their friends is also one characteristic of self-regulated learners. Self-regulated learners monitor their own performance and evaluate their progress and accomplishments. REFERENCES Ascbacher, P.R. 1991. Performance assessment, State activity, interest, and concerns. Applied Measurement in Eduction 4 (4): 275-288. Atwell, N. ed. 1990. Coming to Know: Writing to learn in the Intermediate Grades. Portsmouth, N. H: Heinemann. Brown, G., and G Yule. 1983. Teaching the Spoken Language: An Approach Based on the Analysis of Conversa88

tional English. Cambridge: Cambridge University Press. California Assessment Program (CAP). 1990. Writing Assessment: Thinking through Writing. Sacramento, California: Author. Chamot, A. U., J.M. O’ Malley, and L Küpper. 1992. Building Bridges Content and Learning Strategies for ESL, Teacher’s manual and Tests. Book 1-3. Boston, Mass: Heinle and Heinle. Cohen A. D.. 1994. Assessing language Ability in the Classroom 2nd ed. Boston, Mass: Heinle and Heinle. Feuer, M. J. and K Fulton. 1993. The many faces of performance assessment. Phi Delta Kappa 74 (6):478. Gonzales, Pino B. 1988. Testing second language speaking: Practical approaches to oral testing in large classes. Paper presented at the Northeast Conference of Teachers of Foreign Languages: New York Hamayan, G. V. 1989. Teaching Writing to Potentially English Proficient Students using Whole

Language Ap-

proaches. Silver Spring. Md: National Clearinghouse for Bilingual Education. Hamp-Lyons, L. 1991. Scoring Procedures for ESL contexts in L. Hamp-Lyons, ed., Assessing Second language Writing in Academic Contexts, 241-276 Norwood, N. J.: Ablex. Hayward, V. 1993. Assessing students’ writing: A handson guide from the Northern Territory. In C. Bouffle,

89

ed. Literacy Evaluation Issues and Practicalities, 63-76. Portsmouth, N.H: Heinemann. Herman, J. L. P. R. Aschbacher, and L Winters. 1992. A Practical Guide to Alternative Assessment. Alexandria , Va: Association for Supervision and Curriculum Development. Kagan , S. 1993. Cooperative Learning. San Juan Capistrano, Calif: Resources for Teachers, Inc. O’ Malley, J. M., and L Valdez Pierce. 1996. Authentic Assessment for English Language Leraners Practical Approaches for Teachers. Addison Wesley Publishing Company. Paris, S. G., and L. R. Ayers. 1994. Becoming Reflective Students and Teachers with Portfolios and Authentic Assessment. Washington, D.C: American Psychological Association. Perkins, K. 1983. On the use of composition on scoring techniques, objective measures, and objective tests to evaluate ESL writing ability. TESOL Quarterly 17:651-671. Resnick, L. B., and L. E. Klopfer. 1989. Toward the thinking curriculum: An overview. In L. B. Resnick and L. E. Klopfer, eds, Toward the Thinking Curriculum: Current Cognitive Research. 1-18. Alexandria, Va: Association for Supervision and Curriculum Department.

90

Rhodes, L. K., and S Nathenson-Mejia. 1992. Anecdotal records: A powerful tool for ongoing literacy assessment. The Reading Teacher 45 (7) 502-509 Underhill, N. 1987. Testing Spoken Language. Cambridge: Cambridge University Press. Valencia, S. W. 1991. Portfolios: Panacea or pandora’s Box? In F.L. Finch, ed., Educational Performance Assessment, 34-46 Chicago, III Riverside Publishing Co. Wiggins, G. 1989. Teaching to the (authentic) tests. Educational Leadership 46 (7):41-47. _________. 1993. Assessing Student Performance: Exploring the Purpose and Limits of Testing. San Fransisco, Calif: Josey-Bass

91

DEVELOPING STUDENTS’ SPEAKING COMPETENCE THROUGH STORYTELLING AT THE SECOND GRADE STUDENTS OF SMK NEGERI 1 MAGELANG IN ACADEMIC YEAR 2013/ 2014 Oleh: Rina Dewi Septanti1 , Imam Ghozali2 dan Hasti Robiasih2 E-mail: [email protected]

ABSTRACT This research is aimed to describe the development of a model of teaching speaking competence called Storytelling, a model of teaching English to enhance the students’ speaking competence. Further, the research also reveals the strengths and limitations of aims at Storytelling activity in SMK Negeri 1 Magelang. This research belongs to an educational research and development (or called R & D). The model was developed adapting Borg and Gall’s Model (1983) simplified

1 Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Magelang 2 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogjakarta2

92

into six steps. The steps are (1) Theories and Studies related to

Storytelling Technique or Product Analysis, (2)

Planning and Preparation for doing Storytelling Technique, (3) Expert Validation and Revision Related to Storytelling Technique , (4) Developing Storytelling Technique in class, (5) Revision of Product , and (6) Final Product . The field tryout was conducted in one class of grade XI students of SMK Negeri 1 Magelang . The instruments used in this research were classroom observation sheet, students’ opened-questionnaire sheet and questions of students’ interview. The collecting data in this research were analyzed by using qualitative and analysis from Miles and Huberman (1994) consisting of four steps of collecting data, reducing data, displaying data, and verifying conclusions. Findings show that Storytelling as a model of teaching speaking shows some strengths; in development stage students’ speaking competence, students’ willingness to voluntary tell their experience in front of the class, the class’ participation in asking questions to the presenters, their willingness to attend the storytelling activity patiently, and also their disappointment due to not being given a chance to perform in front of the class get improvement. Furthermore, Storytelling is a meaningful activity which gives some benefits to the students such as developing feeling of self confidence and braveness and providing more chance to speak that can develop students’ speaking competence. 93

Key words: Storytelling, model of developing, speaking competence, BACKGROUND OF PROBLEM One of the conditions that the students must fulfill is possessing the ability to speak English fluently. This speaking skill will be their advantage in facing the working environment. This phenomenon has been widely spread world-wide in the form of reasons for studying English as a foreign language. One of the four English skills or competences which is not well developed yet is speaking. Most students at school do better in reading and writing than in listening and speaking in learning English. They can read and write, but they can hardly speak. They usually can get good scores in reading and writing because they get sufficient time for those competences but they can hardly express themselves with their own words orally. It is not only caused by the technical problems such as grammatical rules and pronunciation, but also other problems around them. Environment or the people outside the class often do not support the students to speak English. The response that students get makes them loose their selfconfidence to improve their speaking. That makes the students feel that speaking competence is something very hard to be developed. The research is limited on the implementation of Storytelling activity as a weekly routine activity as a 94

model to develop students speaking competence. This Storytelling activity is conducted before starting the lesson and the topic is free.In this activity, the students are offered and provided with opportunities for telling their stories or experiences in front of the class. The researcher observes the class, evaluates, revises the model to get better result, and describes the process in this research. The research took place in SMK Negeri 1 Magelang in the academic year of 2013/2014. The formulation of problems of this research are: How can a model of teaching speaking through storytelling to develop student’s speaking competence be developed, What are the strengths of the model to develop students’ speaking competence,What are the limitations of the model to develop students’ speaking competence. The objectives that will be reached in this research are: describing a model teaching speaking through Storytelling which can develop students’speaking competence at second grade students in SMK Negeri 1 Magelang, revealing the strengths of Storytelling in developing students’ speaking competence in SMK Negeri 1 Magelang, and revealing the limitation of Storytelling in developing students’ speaking competence in SMK Negeri 1 Magelang.

95

LITERATURE REVIEW Teaching English as a Foreign Language Teaching English as a Foreign Language refers to teaching people whose first language is not English, but who

need

to

learn

it

for

work

or

leisure.

(www.collegeofteachers.ac.uk/courses/some-basicdefinitions-english-language-teaching ). Related to English teaching and learning material in Indonesia, stated in the Government Regulation No. 22/2006 on the Subject Content Standard English that the ability to communicate in terms of the whole discourse is the ability, or the ability to understand and produce spoken or written text that is realized in the four language skills, namely listening, speaking, reading and writing. The four skills are used to respond to or create discourse in public life. A. Teaching English in Vocational High School English subjects at the vocational school (SMK) is an adaptive subjects that aims to equip students to be able to communicate in English in the context of communication materials needed for the program skills, both oral and written. Vocational schools (SMK) is one level of education to prepare students to become skill and ready to use graduates in the workforce. The final goal of teaching and learning English in vocational high school as stated in the standard content is that the students can achieve 96

communicative competence both in written and spoken and use four skills of communication within daily life at the end of their study (BNSP, 2006). According to Hetrakul (1995), there are two ways to encourage

students to overcome their problem in

speaking English. The first one is a way for the teacher to force the students only to speak English during the class. Teachers must be able to convince their students to speak English bravely, their very bad grammar will not be a big problem for them and making errors is a normal thing in learning process. Teachers should give correction and explanation or clarification toward student’s errors after they finish their chance to speak. It will raise students’ confidence and motivation to try to speak English.

The

next solution is for the students themselves. They can have an activity like English conversation or English Community that consists of their own classmates where they can share and talk about anything in English during that time and also learn together. Students can correct each other without feeling embarrassed and this will become students’ routine activity. There are many things that could be done by the teachers to encourage the students speaking ability related to the teachers strategies or techniques in their class. Brown ( 2001: 275-276 ) stated the principles for designing speaking techniques : a) use techniques that cover the spectrum of learner needs, from language-based focus on accuracy to message focus on interaction, meaning, and 97

fluency; b) provide intrinsically motivating techniques; c) encourage the use of authentic language in meaningful contexts; d) provide appropriate feedback and correction; e) capitalize on the natural link between speaking and listening; f) give students opportunities to initiate oral communication; and g) encourage the development of speaking strategies. B. Storytelling In this opportunity, the researcher thinks that storytelling is a teaching model that can be used for developing students’ speaking competence.

Storytelling is a

model of speaking activities and typically the only time during the day in which children have the opportunity to create their own oral texts during classroom time. In other words, this is the only time that students are allowed and encouraged to talk freely about a personal experience. As stated by Alida Gersie (1992): ‚Storytelling is currently experiencing a considerable revival of interest. This has led many educators to think about ways in which storytelling can be used to explore important shared themes and visions. The current concern about environmental issues is connected with this revival, since folktales about the relationship between the Earth and its human inhabitants have been at the heart of storytelling since earliest times. Not only do such stories offer a source of inspiration, they also contain a potential for understanding the many ways in which we value and devalue our beautiful green and blue planet. Sto98

ries provide us with practical insight into approaches to our most persistent environmental difficulties”. The most important thing in Storytelling are letting the children to participate comfortably and appropriately in classroom conversation, letting children’s voices through, and making this activity as something routine or habitual action for them. These conversations are built on routines which have topic selection, turn taking, and the form of questions and answers. There were some examples of studies done by Miller E, (1996): There are 12 principles of Storytelling, they are A Storyteller is Fully Present, Storytelling is Multitrack, Visual Accompaniment is never essential, A Storyteller Has a Unique Relationship with Each Listener , A Storyteller is always listening, A Storyteller Instantaneously Incorporates Everything including Interruptions-into the Ongoing Event, Storytelling is a Reciprocal, Shared Event, Storytelling is Interactive Largely Through Listeners' Empathy and Enactment, At a Storytelling Event, the Human Bonding, the Relationships, are

In-

separable from the Imparting of Information , Storytelling Events Feature the Possibility of Spillover into Real Life , Storytelling Supports the Individual's Struggle , A Storyteller is Both a Keeper and Presenter of the Community's Culture, and a Bridge to Realms Beyond the Community .

99

RESEARCH METHOD This research belongs to Educational Research and Development or R&D for short. This research is focused on the development of a model of teaching through implementing so called ‘storytelling activity in teaching learning English as a model in enhancing the students’ speaking competence at school. The researcher used Borg and Gall’s (1813) model of R & D which was more simply implemented using six simple steps, they are theory and studies related to storytelling, planning and preparation, expert validation and revision, developing storytelling technique in class and revision product, and final product. The type of data of this research was qualitative data and the data collecting techniques were six times observations to the students, opened-questionnaire to the students and four times in-depth interviews to the students, and documentation in the form of records and transcriptions. In analysing the data, the researcher used the theory of qualitative data analysis stated by Miles and Huberman (1994) which consists of four processes, the processes are collecting data, reducing data, displaying data, and verifying conclusions.

100

FINDINGS OF DEVELOPMENT While trying out Storytelling in the class, the researcher collected the data by doing observation, openedquestionnaire for students, and in-depth interview to the students. All the data collected of classroom observation were displayed in the form of matrices. A matrix is a crossing of two lists, set up as a series of rows and columns which is based on the codes of the data collected (Miles and Huberman, 1994). The matrix of the classroom observation is shown below:

101

Students’ Classroom Observation of Storytelling Students’ Act

O1

O2

O3

O4

O5

O6

G

G

VG

VG

VG

G

(4)

(5)

(7)

(7)

(8)

(3)

Participation

E

G

VG

VG

VG

VG

Attention

G

G

VG

VG

VG

VG

Self Confidence

E

E

G

VG

VG

VG

Enthusiasm to

E

G

VG

VG

VG

VG

Braveness

E

E

G

VG

VG

G

Fluency

E

E

G

G

G

G

Accuracy

E

E

E

G

G

E

Spirit

G

G

VG

VG

VG

VG

Time Allocation

E

E

E

I

I

I

formance

3

3

3

6

8

3

Questioning

_

G

VG

VG

VG

VG

Questioner

_

2

3

11

15

13

No Interest 1. 2. 3. 4. 5.

take turn

6. 7. 8. 9. 10. Students’ Per11.

12. 13.

102

Note: I = insufficient E = enough G = good VG = very good O = observation Based on the result of classroom observation above, it can be said that the students, both performers and listeners, enjoyed storytelling activity. They got more chance to speak that made them more self confidence, brave, and fluency in speaking English eventhough sometimes they were lack of accuracy. The listeners or questioners were also very anthusiastic in this activity eventhough sometimes their questions were not qualified or out of context but they enjoyed in expressing their ideas. The result of students’ opened-questionnaire on the last try out of storytelling activity showed that most students thought that storytelling activity was very fun and they enjoyed that activity.

Most students also

thought that storytelling should be done in every meeting or at least once a week because it gave them more knowledge, more self confidence, and more chance to speak English. Some suggestions from the students on the implementation of storytelling in the class were storytelling activity should provide more performers, other students’ attention, qualified questions from other students, 103

and the teller must bring their stories with more expressive.They also suggested that storytelling should not only be done before the main lesson but also as an outdoor activity for refreshing. The researcher tried out storytelling in the class for 6 times during 6 weeks and transcribed the students conversations.

After transcribing them, the researcher

tried to analyse and describe the students’ speaking competence in detail based on three aspects in an informal discussion task such as pronunciation, grammar, and vocabulary, fluency and diction. Based on the explanation of each transcription, it can be concluded that the students mostly got some problems with structure and vocabulary in Storytelling activity. Eventhough those are their main problems, the students still enjoyed this activity and wanted to have chance to speak English. They were anthusiastic to be active in speaking English. The researcher also think that Storytelling should be done as a routine activity to develop better students’ speaking competence. The scenario of Storytelling activity as a final product which is modified in the syllabus and lesson plan as a pre-activity step are as follows: a) storytelling activity is conducted in the class and out of main lesson for about 15 minutes for 3 to 4 students in pre-activity step as a weekly routine, b) the teacher prepares the material and make a deal with the students about the topic will be presented in front of the class, c) the students tell their stories or past experiences one by one in front of the class for 104

about three to five minutes and other students listen to the stories and give their respect, as the rules in doing storytelling activity, d) the teacher asks one or two simple questions related to their stories or experiences that must be answered by the students only to create a communication sphere between the teacher and student, not to judge the students’ speaking performance in front of the class, e) other students as listeners are allowed to ask some questions to the performers to give the chance for the students to speak up in English and provide an interaction among the students, f) the questions from other students as listeners should be qualified and related with the stories from the presenters to have a clear story and g) the tellers must bring their story more expressive. The limitations pertaining to this research are: a) The implementation of storytelling was conducted by the researcher who was also an English teacher b) The researcher tried to modify the scenario of storytelling activity by Alida Gersie, as stated on the previous studies, in the teaching learning process as a model of teaching to develop students’ speaking competence especially in preactivity step, c) The process of product validation only involved lecturers as consultants, d) The topic of storytelling was focused only about Recount Text, since the students have already got it in that semester, e) Not all of students’ answering open-questionnaire can be used as the principles in revising the scenario of storytelling activity because of some real condition on the field, such as the 105

only 15 minutes of storytelling activity , number of students and class situation. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS Based on the result of this research and explanation, the researcher draws some conclusions below: 1)Storytelling as a model of developing speaking skill shows some strengths in developing students’ speaking competence. There are some indicators for this such as students’ willingness to tell their experience in front of class, the class participation in asking questions to the presenters, their willingness to attend the Storytelling activity patiently, and also their disappointment due to not being given a chance to perform in front of the class. 2)The Storytelling model was effective to enhance students’ speaking competence, to support English teaching and learning process for students, because many students involved in this activity. Besides that the students can learn English easier because in speaking activity through Storytelling, the students were also listening and writing. It also enhances the interaction between students and teacher in English teaching learning process. 3)The development of Storytelling model in this research was limited for the second grade of the students in SMK Negeri 1 Magelang . There are some suggestions for the teachers in implementing storytelling activity in the class, those suggestions are: 1)Storytelling activity can be used as a model of 106

teaching English and its implementation will not disturb the main lesson. It is done before the main lesson for about 15 minutes as a weekly routine. 2)Storytelling can be implemented outside the classroom as one of English club or outdoor activity. 3)The topic of storytelling activity in this research was initially on recount text but actually teacher can vary the topic so that the students will not get bored. 4)Storytelling activity should be focused on encouraging students to speak English and give them more self confidence, braveness to speak fluently and accurately. 5)Storytelling should be done as a routine activity or habitual action to develop students’ speaking competence to get better grammar, pronunciation, vocabulary and other aspects in speaking skill. After completing this research, the researcher will inform and share this product of storytelling to other classes and teachers in other schools so that they can implement storytelling activity as a model of teaching English especially in developing students’ speaking competence.

REFERENCES Brown, H.D. (2004). Language assessment, principles and Classroom Practice. San Francisco University. Borg, W.R., & Gall, M.D. (1983). Educational Research an Introduction. New York, NY: Longman.

107

BSNP (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun

2006 tentang Standar Isi Untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Davies Alison (2007). Storytelling in the classroom, Paul Chapman Publishing, London. Gersie, A. (1992) Earth tales: Storytelling in Times of Change, Green Print, London. Hornby . A.S. 1995. Oxford Advantaged Learner’s Dictionary .Oxford : Oxford University Press Jeremy Harmer, 2001. The practice of English Language Teaching. England. Pearson education limited. Luoma , Sari . 2004. Assessing Speaking. Cambridge University Press. Miller E.(1996 .12 principles of physically-present storytelling. http://www.storytellingandvideoconferencing.com/i ndex.html Miles, M.B And A.M Huberman . 1994. Qualitative Data Analysis. Region of Waterloo Public Health . ( accessed from internet on Dec 10 th 2013 at 21.45 ) Richards, J.C. and Rodgers, T.S. (2001). Approaches and Methods in Language Teaching. Second Edition. Cambridge University Press.

108

THE IMPORTANCE OF UNDERSTANDING SPEECH ACT OF ENGLISH TEACHER’S UTTERANCES IN TEACHING LEARNING PROCESS OF THE ELEVENTH GRADE IN SMA SYUBBANUL WATHON Oleh : Himmatul Ngaliyah, S.Pd. Guru Bahasa Inggris SMA Syubbanul Wathon

ABSTRAK Berbicara merupakan suatu keterampilan dalam menyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Kegiatan berbicara yang di dalamnya terdapat interaksi antara penutur dan petutur dapat dikatakan sebagai percakapan. Dalam kegiatan bertutur, penutur tidak sekedar menyampaikan pesan, tetapi ia juga membangun interaksi dengan mitra tutur. Penutur perlu memilih strategi bertutur yang dapat mengungkapkan pesan secara tepat dan tuturan itu dapat membangun interaksi. Memahami ujaran bukanlah hal yang mudah. Di saat memahami ujaran seseorang sering melakukan kesalahan sehingga terbukti bahwa pemahaman terhadap ujaran adalah persoalan yang sulit. 109

Guru selalu menggunakan bahasa untuk memperlancar proses interaksi dalam interaksi kelas. Guru sebagai orang yang mempunyai peranan penting dalam proses belajar-mengajar selalu menggunakan tuturan sebagai media untuk menyampaikan ide kepada siswa. Dalam makalah ini, penulis akan membahas tindak tutur guru bahasa Inggris SMA Syubbanul Wathon terhadap siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Siswa harus memahami dahulu urutan-urutan kata-kata yang mereka dengar dan melihat bahwa katakata itu membuat suatu kelompok untuk memahami sebuah ujaran. Konteks juga merupakan hal yang penting dalam memahami dan menafsirkan ujaran. Konteks tidak bisa diabaikan begitu saja ketika orang berusaha memperoleh makna yang sesungguhnya dari informasi yang didengar atau dibacanya. Untuk membuat terjemahan terhadap kalimat atau ujaran-ujaran, harus memperhatikan konteks. Dalam melakukan analisis wacana tentu saja melibatkan sintaksis dan semantic, tetapi yang terutama adalah pragmatic. Tindak tutur (speech act) adalah salah satu analisis pragmatik yang mengkaji bahasa dengan aspek pemakaian aktualnya.

110

INTRODUCTION A. Background of the Study Language is device communication therefore language is very important in human life. The students are successful in learning English if they can use English as a means of communication. But, the fact shows there are many problems in the eleventh grade students of SMA Syubbanul Wathon. The first problem is lack of mastering key elements such as form, meaning, and use created by the students. The teacher also uses the words of instruction that are not understood by the students. The students also have difficulties in understanding the teacher’s utterances. Beside the problems above, while the teacher was explaining the material, the students were talking to their friends and did not listen to the teacher. The students rarely respond the feedback given by the teacher. Based on the explanation above, this study took the speech acts, expecially performative verbs. The study took ‚ The Importance of Understanding Speech Act of English Teacher’s Utterances in Teaching Learning Process of the Eleventh Grade in SMA Syubbanul Wathon. B. Formulation of The Problem Based on the limitation of the problems, the writer formulated the problems under the premise of the following questions : 1. How many kinds of speech act? 111

2. How does the importance of understanding speech act of

English teacher’s utterances in teaching learning

process of the eleventh grade in SMA Syubbanul Wathon in the school year 2016/2017? 3. What are the dominant kinds of the speech act of English teacher’s utterances in teaching learning process of the eleventh grade in SMA Syubbanul Wathon in the school year 2016/2017? REVIEW OF RELATED LITERATURE A. Communication Adler and Rodman (2009 : 4) states that communication refers to the process of human beings responding to the symbolic behavior of other person. While Cruse (2006 : 5) cocisely says that communication is the transfer of information between human beings. From those definitions, the understanding of communication in the process of transferring information between human beings through responding the symbolic behavior of each other. B. Pragmatics Communication is always containing meaning and its occurrence. Basically, the core of communication is transferring a meaning from as speaker to hearer. But sometimes hearer gets confusion in catching speker’s meaning when the meaning is implied in an utterance. The phenomena of that confusion may occur when stu112

dents of Senior High School in the class make a noisy during a lesson, and then their teacher says ‚Can I speak now?‛ to them. The teacher’s question perhaps won’t be answered by the students and they just keep silent or even say sorry. In that case, the students must observe the situation around them when the utterance exists to catch what the teacher means by his utterance. The recognition of the hearer to the speaker’s meaning which is based on the context is coming within pragmatics scope. Griffiths (2006 : 2) says that pragmatics is concerned with choices among semantics possibilities, and how language users taking account of context and using their general knowledge, build interpretation on the semantics foundation. Griffiths explains that in pragmatics, the hearer is ordered to get speaker’s meaning. And the speker has to make sure that the hearer recognizes what he intends to. Leech (1983 : 1) states that pragmatics is how language is used in communication. In other hand, Yule (1985 : 97) says that when people hear a piece of language, people normally try to understand not only what the words mean but what the speaker of those words intended to convey. The study of speaker’s intended meaning is called pragmatics. From those studies above, pragmatics is a branch linguistic study of meaning based on its function in communication.

113

C. Speech Acts Speech act theory attempts to explain how speakers use language to accomplish intended actions and how hearers infer intended meaning form what is said. Speech acts have been claimed by some to operate by universal pragmatic principles ; Austin (1962), Searle (1969), and Jennifer Hornsby (2000). Austin (1962) pointed out that we use language to do things as well as to assert things, and that the utterance of a statement like "I promise to do so-and-so" is best understood as doing something making a promise rather than making an assertion about anything. Hence the name of one of his best known works How to do Things with Words. Searle (1969) develops and extends the speech act theory that Austin introduced. Searle focuses on the illocutionary acts performed by the speaker. D. Utterances Teacher’s utterance is the most important one in English teaching-learning process. Teacher produces utterance for asking question, giving direction, giving explanation, etc. We need to know about what utterance is. An utterance can hardly be expected to be relevant to the hearer merely by virtue of confirming belief assumption which is already held at maximal strength (Zegarac, 1998:353). Another writer, Brown and Levinson (1987) assumes about polite utterance that are not necessarily communicating real feeling about another social person, 114

but expressing contextually-expected concern for face. Kreidler (1998) concludes that what is said that the utterance, can be called the locution. What the speaker intends to communicate to the addressee is the illocution. Utterance is divided into two categories (Austin, 1962 : 132). They are constantive and performative. E. Kinds of Speech Act According to Austin's theory (1962), what we say has three kinds of meaning: 1. propositional act It is the literal meaning of what is said. A propositional act is a speech act that a speaker performs when referring or predicating in an utterance. Example : It's hot in here. 2. illocutionary act It is the social function of what is said. Example : 'It's hot in here. This sentence could be as an indirect request for someone to open the window and also could be as an indirect refusal to close the window because someone is cold. It is also as a complaint implying that someone should know better than to keep the windows closed (expressed emphatically). John Searle (1979) a student of Austin classified types of illocutionary meaning.

115

John Searle's Classification of Speech Acts If an utterance is: a directive,

the speaker wants the listener to do something.

a commissive,

she indicates that she herself will do something in future.

an expressive,

she expresses her feelings or emotional response.

a representative,

she expresses her belief about the truth of a proposition.

a declaration,

her utterance results in a change in the external non-linguistic situation.

3. perlocutionary act It is the effect of what is said . A perlocutionary act is a speech act that produces an effect, intended or not, achieved in an addressee by a speaker’s utterance. Here are some examples of perlocutionary acts ; persuading, convincing, scaring, insulting, and getting the addressee to do something. Example : 'It's hot in here' could result in someone opening the windows.

116

DISCUSSION AND RESULT A. The Importance of Understanding Speech Act of English Teacher’s Utterances An utterance is any stretch of talk by one person, before and after which there is silence in the part of that person. According to James R. Hurford (2006 :15) an utterance is used by particular speaker, on a particular occasion, of a piece of language, such as a sequence of a sentence, or a single phrase, or even a single. People communicate with others via utterance. An utterance is any stretch of talk by one person, before and after which there is silence in the part of that person. Specch act is needed in the communication especially by the teacher in English classroom. One of kinds of utterances that make students difficult in catch the teacher’s utterance is using speech act to make the communication run well. The teacher has to use simple speech act. By saying the speech act correctly, the meaning of the utterances is performed. Speech act are carried out simply by means of uttering them aloud. Speech act is one which, when used in a simple positive present tense sentence, with a 1st person singular subject, can make the utterance of that sentence clearly and can be understood. In the class, the teacher use speech act in her/his utterance to make the sentence meaningfully so the students can understand that what the teacher’s says is what the teacher’s mean. By saying

117

this, the students also can see that the teacher’s utterance not only words, but performs an action. The goal of teaching-learning process will be reached well, if they have good communication in the classroom. The teacher should give more attentions by giving requests, prohibitions, and instruction by speech act in his performative utterances. The students also must know about the importance of learning kinds of speech act so the teacher’s utterance should be understood well by the students. Therefore, it can decreased misunderstanding. B. Kinds of Speech Acts Used by the English Teacher Based on the formulation of the problem, there are three questions that we have gotten the answer in this result. The first question is what the kinds of speech act in the utterances used by the English teacher of the eleventh grade in SMA Syubbanul Wathon in the school year 2016/2017 are. The writer found that the teacher used four kinds of speech acts. They are assertives, directives, commisives, expressives, and declarations. Based on the collecting the data, the teacher used those four kinds of speech act because sometimes the teacher repeated her utterance with same words to make the student understand what she said.

118

C. Dominant Kind of Speech act Used by the English Teacher Directives is the dominant kind of speech act used by English teacher in SMA Syubbanul Wathon in the school year 2016/2017. Based on the percentage in the table, the teacher used excercitives as the dominant speech acts. We have seen that the teacher used 44.73% of excercitives during the data collection.

NO.

Kinds of Speech acts

Total of Speech acts 2

Percentage

1.

Assertives

2.

Directives

27

75%

3.

Expressives

0

0%

4.

Commisives

7

19.44%

5.

Declarations

0

0%

36

100%

TOTAL

5.55%

Directives is the dominant kind of speech act because the teacher uttered to order something to his students. The teacher expects that the students to be active. The teacher very cared about what are around in the classroom atmosphere. Hence, the teacher repeats her utterance with same words to make the student understand what she says. Although there are four other kinds of

119

speech act that we can call them ; assertives, commisives, expressives, and declarations. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS A.

Conclusions After following the detail analysis of the data, the

writer concluded: 1. The students also must know about the importance of learning kinds of speech act so the teacher’s utterance should be understood well by the students. 2. During the teaching process, the teacher has applied in majority the three of five kinds of Speech Act as detailed by Austin (1962) and Searle (1979). The three kinds of Speech Act that the Teacher used in his compositions are assertives, directives, and comisives. 3. The most dominant kind of Speech Acts used in Eleventh Grade English Teacher’s utterances in SMA yubbanul Wathon is directives which consists of seventeen verbs and the frequency of occurrence is 75% B.

Suggestions 1. Suggestion for the Teacher Teachers would become example for their students’ learners. As a result it is more likely that the students would focus more on how better to

120

speak in good English and speak fluently. The main required aim of teaching English is to improve the students’ ability of mastering English and this ability can best be presented first by the teachers by mastering the key form, meaning, use and utterance skills. 2. Suggestions for the students The students should also realize their weaknesses more creatively through joining different language classroom and teaching learning activities. Students should possess a sound understanding of the basic grammar elements. The level of students’ response and attention should remain more active towards the teacher questioning session.

BIBLIOGRAPHY Adler, Ronald B. and Rodman, George. 2009. Understanding Human Communication. New York : Oxford University Press. Alan, Evision. 1983. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York : Oxford University Press. Amstrong, Sinnot. 1994. Cengage Advantage Books: Understanding Arguments, Concise Edition. New York : Oxford University Press. Austin, J. L. 1962. How to do Things with Word. New York : Oxford University Press. 121

Benjamins, Johns. 2002. Essay in Speech Act Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Brown, Penelope and Levinson, Stephen. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Carston, R. 2002. Thoughts and Utterances: The Pragmatics of Explicit Communication. Oxford: Blackwell. Cresswell, John W. Research Design : Qualitative and Quantitative Approach. California : Sage Publication. 1994 Cruse, Alan. 2006. A Glossary of Semantics and Pragmatics. Edinburgh : Edinburgh University Press. Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. New York: Cambridge University Press. BIODATA PENULIS Nama : Himmatul Ngaliyah Jenis Kelamin : Perempuan Tempat, Tanggal Lahir : Purworejo, 01 Desember 1992 Alamat : Caren Lor RT 01 RW 02 Kaliurip Bener, Purworejo Agama : Islam Pekerjaan : Guru Bahasa Inggris SMA Syubbanul Wathon Tegalrejo

122

IMPLEMENTASI SCIENTIFIC APPROACH DALAM PEMBELAJARAN WRITING UNTUK MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS UNIVERSITAS TIDAR Oleh: Dr. Farikah, M.Pd. [email protected] Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar ABSTRAK This qualitative study aims at analyzing the implementation of scientific approach in teaching writing to the sixth semester students of English Department of Tidar University in 2015/2016 academic year. It is

to

know the effectiveness of scientific approach in learning writing. To collect the data, the writer used an observation. To analyze the data, the writer applied Miles dan Huberman’s theory (1994) which consists of data reduction, data display, conclusion and verification. The results show that implementing scientific approach is effective for learning writing to the sixth semester students of Tidar University. Key Words: Scientific Approach, and Writing. 123

PENDAHULUAN Keterampilan menulis (writing skill) dalam bahasa Inggris merupakan suatu keterampilan berbahasa yang perlu dikuasai dengan baik oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar karena keterampilan ini merupakan suatu indikator terpenting bagi keberhasilan mahasiswa dalam belajar bahasa. Keterampilan menulis didapat dari pelatihan-pelatihan yang intensif bukan karena kemampuan yang dimiliki sejak lahir. Pembelajaran menulis sudah diterapkan pada pendidikan jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menulis merupakan suatu kegiatan kreatif dalam menuangkan gagasan, ide, dan perasaan. Menurut Tarigan (1994: 3), menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Dengan penguasaan keterampilan menulis yang baik, mahasiswa dapat mengomunikasikan ide-ide mereka. Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar, mata kuliah writing ini termasuk mata kuliah wajib dan diajarkan dalam 10 SKS (sistem kredit semester). Disamping itu, writing ini merupakan mata kuliah keilmuan dan keterampilan (MKK) yang membekali mahasiswa dengan keilmuan dan keterampilan dasar menlis. Dengan pemberlakuan KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) memberikan peluang yang sangat besar kepada perguruan tinggi untuk mengembangkan kreativitasnya dalam pembelajaran writing. 124

KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia. Terkait dengan KKNI, Pemerintah hanya menentukan tingkat capaian pembelajaran saja, yakni hanya menentukan standar kelulusan pada level 6. Sebagaimana disebutkan dalam Standar Isi Pendidikan Tinggi (2010), semua program studi wajib merumuskan kompetensi atau learning outcomes lulusannya dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Selain hal tersebut, Standar proses maupun standar isi dalam mata kuliah termasuk matakuliah writing masih perlu penjabaran dari dosen di masing-masing Satuan Pendidikan Tinggi. Penjabaran ini tidak hanya sebatas penentuan indikator, tetapi juga berkenaan dengan materi, metode, media pembelajaran, urut-urutan penyampaian materi, juga sepenuhnya diserahkan kepada dosen. Menulis merupakan matakuliah skill atau keterampilan. Terdapat beberapa definisi writing. Diantaranya adalah seperti yang dinyatakan oleh Bram (1995:7), menulis adalah mencoba memproduksi atau mereproduksi berita/pesan secara tertulis. Selaras dengan Bram, Oshima 125

and Hogue (1997: 2) menyatakan writing atau menulis adalah suatu kegiatan progresif. Artinya, sebelum kita menulis sesuatu, kita sudah harus memikirkan tentang sesuatu yang akan kita katakan dan bagaimana kita akan mengatakannya. Lalu setelah kita selesai menulis, kita akan membaca kembali apa yang kita tulis, membuat perubahan

dan

perbaikan.

Dengan

kata

lain,

writ-

ing/menulis merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa langkah. Mendukung pendapat Oshima dan Hogue, Rumisek and Zemach (2003: 3) menyatakan bahwa writing/menulis merupakan proses yang terdiri dari beberapa tahap/step.

Tahapan tersebut adalah pre-

writing, drafting, reviewing and revising and rewriting. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa writing/menulis adalah memproduksi pesan tertulis yang memerlukan beberapa tahapan. Untuk bisa menulis dengan baik, diperlukan beberapa tahapan yang harus diikuti. Tahapan tersebut adalah pre-writing, drafting, reviewing and revising and rewriting. Berdasarkan pernyataan di atas, penulis akan memaparkan implementasi Scientific

Approach dalam

Pembelajaran Writing untuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar. Pembelajaran dengan scientific approach adalah pembelajaran dilakukan melalui pendekatan saintifik, yaitu pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya, mencoba/mengumpulkan data, 126

mengasosiasi/menalar, dan mengomunikasikan. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah.Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya ‚sense of inquiry‛ dan kemampuan berpikir kreatif siswa (Alfred De Vito, 1989). Model pembelajaran yang dibutuhkan adalah yang mampu menghasilkan kemampuan untuk belajar (Joice & Marshaweil: 1996), bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu diperoleh peserta didik (Semiawan, 1998). Pembelajaran saintifik tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, namum proses pembelajaran dipandang sangat penting. Oleh karena itu pembelajaran saintifik menekankan pada keterampilan proses. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui 1) Pelaksanaan pembelajaran writing dengan menggunakan scientific approach 2) Keefektifan scientific approach untuk pembelajaran writing untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar. Dalam pengumpulan datanya, penulis menggunakan metode observasi partisipan, wawancara mendalam dan doku127

mentasi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar tahun akademik 2015/2016. Metode observasi partisipan, dan interview digunakan untuk mengamati dan mengumpulkan data terkait pelaksanaan scientific approach dalam pembelajaran writing untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar. Observasi digunakan untuk mengamati secara langsung terhadap subjek penelitian agar memperoleh gambaran yang jelas tentang pelaksanaan scientific approach dalam pembelajaran writing untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar. Adapun wawancara digunakan untuk memperoleh informasi faktual terkait pelaksanaan scientific approach untuk pembelajaran writing untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar. Untuk menganalisis data, penulis menerapkan teori Miles dan Huberman ( 1994), yang meliputi reduksi data, penyajian data dan verifikasi. Penelitian ini juga melakukan pengecekan keabsahan data dengan menggunakan teknik Triangulasi. Triangulasi teknik digunakan untuk mengecek keabsahan data. Peneliti menggunakan observasi partisipan, wawancara yang mendalam dan dokumentasi untuk sumber data yang sama. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembelajaran writing dengan scientific approach dilaksanakan melalui tahap-tahap sebagai berikut. 128

1. Mengamati Mahasiswa membaca, mendengar, menyimak dan melihat objek di sekitar baik dengan alat maupun tanpa alat. 2. Menanya Mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak difahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang sifatnya hipotetik). 3. Mengumpulkan Informasi/eksperimen Mahasiswa melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/ kejadian/aktivitas wawancara dengan nara sumber. 4. Mengasosiasikan Mahasiswa mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. 5. Mengkomunikasikan 129

Menyampaikan hasil pengamatan kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Berdasarkan temuan data dapat dikatakan bahwa scientific approach merupakan model pembelajaran yang efektif untuk

pembelajaran writing untuk mahasiswa

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Tidar. Hal ini nampak dari indikator-indikator di bawah ini: a. Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan guru b. Keaktifan siswa dalam mengajukan pertanyaan c. Sikap siswa dalam mengikuti proses belajarmengajar d. Sikap siswa dalam diskusi kelompok e. Sikap siswa dalam pembelajaran di kelas f.

Kegiatan kelas efektif

g. Pembelajaran dengan grouping h. Interaksi yang baik antara guru dan siswa i.

Adanya penghargaan untuk siswa

j.

Atmosfer kelas kondusif dan nyaman Berdasarkan temuan di atas dapat dikatakan bah-

wa model saintifik merupakan model pembelajaran yang efektif. Dalam proses kegiatan belajar mengajar writing, siswa merasa senang mengikuti pelajaran, mereka tidak merasa takut, cemas dan was-was, mereka menjadi lebih aktif dan kreatif serta tidak merasa rendah diri karena bersaing dengan siswa lain. Terjadinya proses belajar 130

yang efektif yang dihasilkan oleh penerapan scientific approach dalam pembelajaran writing. Misalnya belajar tidak harus di kelas, dosen sebagai fasilitator proses belajar menggunakan alat bantu untuk meningkatkan ketertarikan dan kesenangan dalam pembelajaran guna meningkatkan kompetensi. SIMPULAN Berdasarakan analisis temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa scientific approach

merupakan

model pembelajaran yang efektif untuk pembelajaran writing.

REFERENSI De Vito, Alfred. 1989. Creative Wellsprings for Science Teaching. West Lafayette Indiana: Creative Venture. Bram, B. 1995. Write Well. Yogyakarta: Kanisius Joice, Bruce and Marshaweil. 1996. Model of Teaching Miles, M., B, and Huberman, A., M. 1994. Qualitative Data Analysis. Thousand Oaks: Sage Publication. Oshima, A and A. Hogue. 1997. Introduction to Academic Writing, Second Edition. New York: Longman. Semiawan, Conny P. 1998. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. 131

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa II. Bandung: Angkasa. Zemach, D.E and Rumisek, L.A. 2003. Academic Writing from paragraph to essay. Macmillan Publisher.

132

MEDIA PICTURE AND PICTURE DAN PENGARUHNYA PADA HASIL PEMBELAJARAN SASTRA Amar Ma’ruf, S.Pd. Aktivis SM3T

ABSTRAK

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak akan terlepas dari pembelajaran sastra sebagai salah satu bagian materi yang harus dikuasai oleh siswa. Bukan hanya pemahaman dan penguasaan teori saja, siswa juga harus mampu menerapkan teori pembelajaran sastra dalam bentuk karya yang nyata. Hal itu berkaitan dengan kompetensi keterampilan yang juga harus dikuasai oleh siswa sebagai bentuk dan pembuktian hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Penggunaan media ceramah, atau sebatas diskusi menjadi hal yang selalu ditemukan oleh siswa dan dilakukan oleh guru. Meski beberapa guru sudah mulai menerapkan beberapa model pembelajaran yang berbeda dan kreatif. Hal itu tentu menjadi bukti perkembangan pembelajaran, mengingat kondisi dan keadaan saat ini memang menuntut guru untuk meninggalkan cara konvensional dan beralih ke model pembelajaran yang lebih modern dan cara yang praktis dan benar-benar meng133

hasilkan hasil pembelajaran bukan sekadar nilai dan kecerdasaan dalam bentuk angka-angka. Kata kunci: bahasa indonesia, picture and picture, pembelajaran sastra PENDAHULUAN Berbicara model pembelajaran tentu sudah tersedia dalam bentuk yang beragam. Tidak perlu dijelaskan satu per satu ataupun disampaikan, karena guru harus sudah mampu dan memahami model pembelajaran yang dibutuhkan. Hal itu dilakukan agar apa yang dilakukan di dalam kelas tidak hanya sebatas ceramah. Keberhasilan pembelajaran bukan hanya terletak pada penggunaan model pembelajaran saja, namun media juga sangat berpengaruh. Model dan media yang akan menentukan hasil belajar. Penerapan model dan media pembelajaran sastra tentu harus dilakukan dengan mempertimbangkan kompetensi yang akan diajarkan, salah satunya pembelajaran pada kompetensi menyusun atau keterampilan menulis teks. Beragam teks yang bisa ditulis, namun diambil salah satu contohnya saja cerpen sebagai salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. Hasil belajar siswa yang berasal dari tugas sering kali akan mentah jika sudah mendapat nilai dari guru atau sudah dievaluasi oleh guru, dan akan hilang jika materi itu berganti dengan materi lain. Kejadian itu terus saja terjadi dan menjadi hal biasa, jika tugas yang sudah 134

dikerjakan semalam suntuk, kemudian dikumpulkan, dan dinilai, setelah itu hilang. Manfaatkan media yang ada saat ini, share dan publikasikan karya anak ke bentuk e-book, atau blog dan you tube. Dari hal yang sederhana seperti itu, akan muncul daya saing siswa agar karyanya muncul di buku, blog atau you tube. Cara ini, sudah mulai dilakukan di beberapa sekolah oleh guru. Salah satu media

yang bisa digunakan dalam

pembelajaran picture and picture. Media ini hanya menjadi contoh dari sekian banyak media pembelajaran yang ada saat ini. Media picture and picture tentu saja akan memudahkan siswa alam berimajinasi dan pada akhirnya siswa mudah menemukan ide dan juga menyusunnya menjadi cerita yang utuh. Bagaimana meningkatkan keterampilan menulis teks cerpen melalui media pembelajaran Picture and Picture pada siswa? Apakah media pembelajaran Picture and Picture dapat meningkatkan pembelajaran menulis cerpen? Pada prinsipnya, pembelajaran sastra harus dikemas dengan pembelajaran yang menarik, kreatif, dan juga memunculkan sesuatu yang yang bersifat inovatif. Pembelaraan seperti itu, tentu saja bukan hal yang sulit untuk dilakukan oleh guru di era saat ini yang semuanya serba digital. Namun demikian, tidak semua guru mampu melakukan hal serupa.

135

LANDASAN TEORI Sastra merupakan hasil cipta karsa dan pemikiran dari seseorang sastrawan. Sastrawan memiliki kepekaan dalam melihat sebuah kesempatan dan peristiwa yang dapat dirangkai dengan kata-kata sehingga membentuk suatu karya sastra, dengan menggunakan alat bahasa. Hasil karya imajinatif inilah, yang dapat menjadikan siswa berpikir kritis, kreatif, dan mendapat pengetahuan baru. Hal tersebut erat hubungannya dengan latar belakang penciptaan karya sastra, yang berdasarkan kehidupan nyata. Menurut pendapat Sumardjo (1994: 3), sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa Sastra menurut Rahmat (2007:2-3), bersifat dulce et utile yaitu ‚berguna dan menyenangkan‛. Berguna, dalam hal ini sastra adalah satu bentuk karya yang berlatar belakang kehidupan dan lingkungan. Karena hal itulah sastra berguna bagi siswa ataupun bagi penikmat sastra itu sendiri. Lebih dalam lagi, kegunaan belajar sastra menurut Brahmanto (1988: 16-24) yaitu, (1). membantu siswa dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, (2). meningkatkan pengetahuan siswa terkait dengan budaya, (3). mengembangkan cipta dan rasa siswa dalam mencerna sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dan ilmu pengetahuan, (4). sastra juga dapat menunjang dalam pembangunan watak siswa. 136

Berdasarkan kalimat tersebut di atas, karya sastra memiliki nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pengetahuan baru bagi siswa, seperti pendidikan moralitas, budaya, dan pengetahuan baru. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP pada Kurikulum

2013

yaitu

menggunakan

pembelajaran

dengan berbasis teks. Kompetensi yang harus dicapai oleh siswa bukan sekadar memahami teks saja, namun harus mampu menyusun teks. Kegiatan menyusun akan berkaitan dengan kompetensi inti yaitu keterampilan menulis teks cerita pendek. Menulis merupakan kegiatan menuangkan ide, gagasan, pendapat dalam bentuk tulisan. Menulis menurut Rahardi dalam Kusumaningsih (2013:65) adalah kegiatan menyampaikan sesuatu dengan menggunakan bahasa melalui tulisan yang dikehendaki. Selain itu, pendapat tentang menulis juga diungkapkan oleh Fachrudin dalam Kusumaningsih (2013:65) menulis merupakan suatu bentuk berpikir, tetapi ia adalah berpikir untuk penanggap tertentu dan untuk situasi tertentu pula. Tarigan (2003:3) berpendapat bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. PEMBAHASAN Pembelajaran keterampilan terbagi menjadi beberapa jenis, keterampilan membaca, berbicara, menyimak 137

dan keterampilan menulis. Adpun keterampilan menulis merupakan keterampilan yang menekankan pada kemampuan siswa dalam menuangkan ide dan gagasan tertentu dalam bentuk tulis. Selain itu, keterampilan menulis juga memiliki beberapa tujuan seperti: 1. Membekali siswa dengan kemampuan menulis teks dengan baik. 2. Mengajarkan siswa untuk memahami potensi dalam diri siswa dalam bidang keterampilan menulis. 3. Mengembangkan ide dan gagasan siswa pada keterampilan menulis. 4. Mengasah

kemampuan

siswa

dalam bidang

menulis. Untuk dapat mencapai tujuan menulis tersebut maka, diperlukan pemahaman tentang teori dan juga tujuan menulis. Hal itu dimaksudkan agar tulisan siswa bisa terarah dengan baik. Manfaat menulis yaitu sebagai berikut; 1. Menimbulkan rasa ingin tahu (curiocity) dan melatih kepekaan dalam melihat. 2. Menambah wawasan dan pengetahauan tentang apa yang akan ditulis. 3. Berlatih untuk menyusun pemikiran dan argumen secara runtut, sistematis, dan logis. 4. Mengurangi tingkat ketegangan dan stress. Karangan cerpen merupakan karangan yang betujuan untuk memberikan suatu pendapat tertentu. 138

Jauhari karangan cerpen berarti karangan yang menyampaikan pendapat atau argument yang memaksa pembacanya untuk percaya. Jenis karangan cerpen terbagi menjadi dua bentuk, pertama bentuk deduktif, dan kedua bentuk induktif. Jauhari (2013: 58) istilah karangan cerpen adalah sebuah karangan yang bertujuan untuk memberitahukan, menerangkan, mengupas, dan menguraikan sesuatu. Untuk dapat menulis karangan cerpen seseorang harus mampu menuangkan gagasan dari umum ke khusus atau sebaliknya. Tarigan (2008: 170-171) mengatakan bahwa panjang cerita pendek kurang lebih sepuluh ribu kata, tiga puluh halaman folio, dibaca dalam 10-30 menit, mempunyai impresi tunggal, seleksi sangat ketat dan kelanjutan cerita sangat cepat. Pendapat dari Tarigan tersebut menggambarkan bahwa cerpen memiliki jumlah halaman yang terbatas dengan jumlah tertentu dengan tingkat kerumitan cerita yang mudah dipahami sehingga pembaca hanya membutuhkan waktu 10-30 menit untuk membaca cerita tersebut. Pendapat berkaitan dengan cerpen juga disampaikan oleh Nurgiyantoro (2007:11) menyatakan dengan bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detail-detail khusus yang ‛kurang penting‛ yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Pendapat lain tentang cerpen juga disampaikan oleh Indriyana (2015:184) yang menyatakan bahwa cerita pendek adalah sebuah karangan fiksi ber139

bentuk prosa yang menggambarkan kehidupan secara ringkas. Dalam pembelajaran, media dikatakan sebagai alat yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Soeparno (1988: 56) menjelaskan bahwa media adalah suatu alat yang dipakai sebagai saluran (channel) untuk menyampaikan suatu pesan (message) atau informasi dari suatu sumber (resource) kepada penerimanya (receiver). Sesuai dengan pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa pesan yang akan disampaikan adala materi yang akan dijelaskan oleh guru, sedangkan penerima pesan dalam hal ini adalah siswa. Lebih mendalam, fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu (1) fungsi atensi, (2) fungsi afektif, (3) fungsi kognitif, dan (4) fungsi kompensatoris. Fungsi atensi media visual yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa pada materi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan. Fungsi afektif media visual berfungsi yaitu membangkitkan emosi dan sikap siswa dalam pembelajaran di kelas.Fungsi kognitif media visual yaitu bertujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar, sedangkan fungsi kompensatoris media visual yaitu membantu siswa mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali melalui tampilan visual gambar. Picture and Picture merupakan metode yang dapat digunakan dalam model pembelajaran inovatif yang 140

berpusat pada peserta didik. Picture and picture adalah model pembelajaran dengan bantuan gambar-gambar yang sesusi dengan materi pokok pembelajaran yang berlangsung pada saat itu. Adapun langkah-langkah dalam metode pembelajaran inovatif model picture and picture adalah: 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. 2. Menyajikan materi sebagai pengantar. 3. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambargambar kegiatan berkaitan dengan materi. 4. Guru menunjuk/memanggil peserta didik secara bergantian memasang/ mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis. 5. Guru

menanyakan

dasar/alasan

pemikiran

urutan gambar tersebut. 6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru mulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. 7. Kesimpulan/rangkuman. Pada pembelajaran penggunaan media, metode dan teknik menjadi salah satu aspek keberhasilan atau pencapaian pembelajaran. Namun demikian, penggunaan media, metode, dan teknik pembelajaran juga harus memperhatikan kelebihan dan kekurangan. Selain itu, aspek lain seperti keterkaitan dengan materi pembelajaran juga harus diperhatikan.

141

Kelebihan penggunaan media dan metode pembelajaran akan membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan prosesproses kognitif. Adapun kelebihannya sebagai berikut: 1. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer. 2. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil. 3. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri. 4. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri. 5. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya. 6. Berpusat pada siswa dan guru berperan samasama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi. 7. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik. 8. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar baru. 142

yang

9. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri. 10. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri. 11. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang. 12. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya. 13. Meningkatkan

tingkat

penghargaan

pada

siswa. 14. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. Tanpa mengesampingkan kelebihan penggunaan metode atau media dalam pembelajaran, sebuah metode juga memiliki kelemahan yang harus diperhatikan. Selain itu, kelemahan dalam metode juga menjadi hal yang harus diantisipasi dikarenakan berkaitan dengan pembelajaran dan juga hasil pembelajaran. adapun kelemahan penggunaan metode picture and picture, sebagai berikut. 1. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi. 2. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan wak143

tu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya. 3. Harapan-harapan

yang

terkandung

dalam

metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama. 4. Pengajaran

discovery

mengembangkan

lebih

cocok

pemahaman,

untuk

sedangkan

mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian. 5. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa 6. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru. Penutup Sebuah zaman, era, dan peradaban akan mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra. Angkatan 20 yang disebut sebagai angkatan Balai Pustaka, misalnya, pada penciptaannya, angkatan ini, berbicara tentang apa yang sedang terjadi di era tersebut. Adanya unsur kawin paksa, adat, pertentangan, politik pada era 20an dan sampai pada pemerintahan yang masih bersifat kedaerahan menjadi warna angkatan 20an. 144

Pujangga Baru hadir mewarnai belantika sastra Indonesia dan perkembangannya mulai muncul karyakarya yang romantis, adanya unsur sentuhan dan variasi penggunaan bahasa pada penciptaannya. Begitu juga dengan angkatan-angkatan setelah dua angkatan tersebut, yang memiliki ciri dan karakter yang berbeda antara angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angakatan 1950-1960, Angkatan 1966-1970, Angkatan 1980-1990, sampai pada Angkatan reformasi yang ada saat ini. Dari berbagai angkatan tersebut, pembaca sastra tidak hanya membaca sebuah karya dalam bentuk sastra roman atau puisi saja, melainkan ada kisah dan cerita sejarah yang masuk ke dalam karya sastra dan penciptaannya. Jelas, hal itu bukan sekadar bumbu pemanis saja, melainkan ada hal yang melatarbelakangi masuknya unsur sejarah dalam karya sastra, seperti era dan zaman di mana sastrawan itu hidup, gejolak politik pada masanya, suasana masyarakat, pola berpikir dan perkembangan zaman dan tekhnologi, juga ikut berpengaruh dan mempengaruhi penciptaan sastra dan melatarbelakangi masuknya sejarah dalam karya sastra tertentu. Jadi, belajar sastra juga akan mempelajari sejarah sebuah bangsa dan peradabannya. Karena dalam sastra akan ada cerita dan kisah sejarah yang tertuang di dalamnya. Bukan hanya cerita cinta dan kesulitan mendapatkan jodoh yang sesuai idaman saja, akan tetapi ada kisah dan 145

cerita yang pernah hidup pada masanya dan bisa dinikmati dalam bentuk sastra. Pembelajaran

Bahasa

Indonesia

tidak

hanya

mencakup kebahasaan saja melainkan ada unsur sastra yang juga harus dipahami oleh siswa. Pada prosesnya, pembelajaran yang dilakukan selalu fokus pada kata, kalimat, dan wacana saja, dan pembelajaran sastra sering kali hanya menjadi bagian kecil dari pembelajaran bahasa itu sendiri. Bukan hanya itu, pada realita di lapangan, pembelajaran sering kali hanya menyampaikan materi dan melupakan praktik dari materi yang disampaikan. Terutama pembelajaran sastra di sekolah. Jika dipahami, sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia baik di tingkat menengah pertama, ataupun tingkat atas, bahkan tingkat perguruan tinggi menjadi pembelajaran yang mencakup banyak aspek, seperti aspek kebahasaan, kesusastraan, dan aspek keterampilan. Ditinjau dari aspek kebahasaan, penulisan karya sastra dalam pemebelajaran Bahasa Indonesia menjadi ajang penerapan materi kebahasaan yang telah diajarkan. Artinya, pembelajaran seperti cerpen, novel, puisi, dan karya sastra lainnya bisa menjadi media penerapan bahasa Indonesia itu sendiri. Aspek kesusastraan, mencakup banyak hal bukan hanya penerapan bahasa Indonesia saja melainkan banyak aspek yang ada dan dipelajari seperti sifat karya sastra itu sendiri. Dulce et utile, bermanfaat dan berguna. Manfaat bukan hanya pada isi cerita bagi pembaca saja, 146

melainkan manfaat pada penulis jika mampu menerapkan bahasa Indonesia dalam bentuk karya sastra. Selain itu, dalam karya sastra jelas ada unsur sosial dalam penulisannya. Aspek kreatifitas, sangat jelas bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya sebatas teori dan materi saja, melainkan harus ada praktik yang bisa menghasilkan produk nyata dari pembelajaran yang dilakukan. Meski untuk saat ini, pembelajaran bahasa dan utamanya sastra sebatas mempelajari teorinya dan contoh karya sastra dari penciptanya, bukan bagaimana menghasilkan karya sastra dari pembelajaran sastra. Pembelajaran Bahasa Indonesia dapat menghasilkan banyak hal, seperti cerpen, novel, dan karya sastra lainnya sebagai bentuk aplikasi penggunaan bahasa Indonesia ataupun teori kebahasaan yang telah dipelajari. Terpenting, produk tersebut menjadi karya nyata sebuah pembelajaran baik dari guru, dosen, dan juga siswa. Berbicara pembelajaran sastra, sangat jelas akan ada banyak perbedaan antara pembelajaran saat ini dan era yang telah dilewatinya. Hal itu, sangat jelas dari materi yang diajarkan, media, dan metode yang diterapkan, juga memiliki perbedaan, meski pada dasarnya teori dari materi yang diajarkan masih sama dan menggunakan teori lama. Pembelajaran Bahasa Indonesia dan sastra untuk saat ini jangan hanya berbicara tentang teori dan materi saja, melainkan harus menerapkan teorinya dalam bentuk 147

yang nyata dan bukan sekadar pembahasan pengertian, dan unsurnya saja, melainkan bagaimana menerapkan teori itu dalam bentuk karya sastra dan bisa dibaca oleh banyak pihak sebagai hasil dari pembelajaran. Pada aspek inilah, keterkaitan antara pembelajaran sastra sebagai catatan sejarah. Keterkaitannya jelas, jika pembelajaran sastra saat ini mampu menarik minat siswa untuk menulis dan menghasilkan

karya

sastra dalam bentuk buku, maka akan ada catatan sejarah di dalam karya sastra tersebut. Meski pada inti ceritanya sama dengan sastra pada angkatan sebelumnya, tapi era dan peradaban saat ini akan mempengaruhi siswa dan karya yang ditulisnya. Dengan demikian, Pembelajaran Sastra Sebagai Catatan Sejarah menjadi satu kesatuan yang bisa menghasilkan banyak hal. Bukan hanya ilmu yang berbentuk teori, bukan hanya nilai sebagai hasil dari pembelajaran dan belajar siswa, dan bukan hanya buku dan karya sastra yang menjadi prestasi pembelajaran, melainkan ada catatan dan dokumentasi yang kelak akan ada dan dikenang sebagai catatan sejarah sebuah peradaban. Seperti peradaban yang terdokumentasi pada karyakarya pada sastrawan angkatan lama. DAFTAR PUSTAKA Djoko Pradopo, Rachmat. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode

Kritik,

Pustaka Pelajar. 148

dan Penerapannya. Yogyakarta:

Guntur Tarian, Henry. 2008. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Jauhari, Heri. 2013. Terampil Mengarang. Bandung: Nuansa Cendekia. Kusumaningsih, Dewi dkk. 2013. Terampil Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi. Nurgiyantoro,

Burhan.1995.

Teori

Pengkajian

Fiksi.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Rahmat, B. 1988.Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisus Sumardjo,

Jakob

dan

K.M.,

Saini.

1994.

Apresiasi

Kesusatraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

149

PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI, EKOLOGI, DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA TIMUR Oleh: Anisatul Fuadiyah Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 01 Ilaga Puncak-Papua

ABSTRAK

Bangsa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di seluruh dunia. Oleh karena letak geografis tersebut, sangat mempengaruhi bagaimana kehidupan serta budaya masyarakatnya, salah satunya dalam bentuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolahan. Konkretnya ada di Indonesia bagian Timur, tepatnya di wilayah Papua. Papua pun dibagi menjadi dua menurut wilayahnya, Papua dan Papua Barat, lebih spesifiknya berada di Papua. Di salah satu distrik yang terletak di wilayah Papua, yakni Distrik Ilaga Kabupaten Puncak-Papua pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia masih sangat dipengaruhi 150

oleh budaya lokal setempat. Salah satunya Budaya berbahasa. Tulisan yang pertama kali mereka kenal ialah pada Alkitab agama Kristen, berjarak puluhan tahun sebelum sekolah dan pemerintahan berjalan di sana. Di dalam Alkitab tersebut tulisan Yetus mereka baca Yesus. Bermula dari itulah maka pengajaran bahasa masih sangat jauh dari standar. Siswa sering kali keliru menyebut huruf s menjadi t. Kata sakit dibilang takis, sekolah dibilang tekolah, bahkan di salah satu kalimat yang diucapkan kepala KPU setempat ‚kami telah selesai melakuan protes pemilu‛. Kata proses disebut protes. Struktur bahasa MD (menerangkan diterangkan) yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari sangat mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolahan. Kalimat seperti: ‚Kau punya nama siapa?‛, ‚Kau punya rumah dimana?‛ susah sekali dirubah. Belum lagi singkatan yang digunakan. Berdasarkan kemampuan berbahasa tersebutlah, maka pembelajaran sastra di sana masih sangat tertinggal. Bakan melatih mereka membaca puisi saja harus melewati lebih dari sepuluh kali pertemuan, karena masih harus dilatih membaca biasa.

151

PENDAHULUAN Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangatlah penting kedudukannya dalam dunia pembelajaran. Selain karena bahasa Indonesia merupakan identitas Negara Republik Indonesia, para siswa dan siswi juga merupakan ahli waris Bahasa Indonesia yang paling sah. Kalau bukan mereka siapa lagi yang akan mewarisi Bahasa Nasional ini. Oleh sebab itu, sangatlah penting guru menyampaikan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Agar pewaris bahasa pemersatu ini paham, cinta juga bangga berbahasa Indonesia. Pada pulau jawa dan Sumatra, bisa jadi tidak banyak mengalami kesulitan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di lingkungan sekolah, walaupaun bahasa Ibunya masih bahasa daerah. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan banyak akses mereka untuk mendengarkan tuturan bahhasa Indonesia, seperti di televisi, sekolahan, bahkan tetangga yang menikah dengan lain daerah. Sementara pada daerah Indonesia bagian Timur, terutama di wilayah Papua sangatlah jauh dari standar, terlebih lagi jika wilayahnya masih di pedalaman, seperti di Distrik Ilaga Kabupaten Puncak-Papua. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sana masih jauh dari standar. Bahkan untuk pembelajaran pada tingkat SMA masih seputar membuat kalimat, mengenal kata sifat, dan membaca dengan benar. Berangkat dari hal ini, maka dibutuhkan dukungan dari semua pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut. 152

PEMBAHASAN A. Ideologi, Ekologi, dan Multikultualisme Ideologi adalah suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis dengan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. B. Fungsi Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi khusus, yaitu: 1. Bahasa resmi kenegaraan 2. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan 3. Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah

153

4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi C. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mempunyai fungsi: 1. Bahasa resmi kenegaraan 2. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan 3. Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah 4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi D. Relevansi Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia terhadap Pembelajarannya di Sekolah Menilik dari fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia di atas, maka sangatlah penting untuk para generasi muda Bangsa Indonesia mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia dengan penuh rasa cinta dan sungguhsungguh. Walau bagaimanapun generasi mudalah yang akan mewarisi salah satu maha karya bangsa ini. Dan yang paling memegang fungsi strategis adalah guru. Gurulah yang berada di gardan terdepan untuk menyampaikan materi, sehingga membuat siswa merasa senang belajar bahasa Indonesia dan menimbulkan rasa ingin mempelajarinya lebi dalam.

154

E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Distrik Ilaga Kabupaten Puncak-Papua. Ilaga merupakan Ibu Kota dari Kabupaten Puncak-Papua, dan kabupaten tersebut merupakan pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya sejak 2008. Secara geografis Ilaga terletak di cekungan bawah sebuah mangkok dan dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit yang mendulang hijau. Jadi sejauh mata memandang disuguhkan oleh hijaunya pepohonan dan kokohnya gununggungung. Udaranya sangat sejuk, bahkan suhu bisa sampai 100C. Mayoritas bangunan rumah masyarakatnya berbentuk honai, dan berkelompok berdasarkan kesamaan suku, yang mayoritas suku Dani dan Damal. Distrik Ilaga memiliki tetangga distrik, yakni Gome dan sungai sebagi pembatasnya. Lima bulan yang lalu terjadi perang suku antara Suku Dani dengan Suku Damal, dan belum selesai sampai sekarang. Biasanya bentuk penyelesaiannya dengan bakar babi dan uang denda, dan yang menyediakannya Bupati. Sebelum proses penyelesaian tersebut dilakukan, maka orang yang bersuku Damal tidak berani pergi ke Gome, dikarenakan saat perang Distrik, Ilaga diduki oleh masyarakat besuku Dani. Kabar buruknya tidak ada guru dan pejabat yang berani ke Distrik Gome, alhasil SD-SD yang ada di Gome tidak ada yang mengajar, hal ini berakibat anak-anak yang masih seusia SD tidak mengenyam pendidikan. Tidak memperoleh hak yang seharusnya mereka dapatkan. 155

Saat perang berlangsung, anak-anak sekolah, terutama yang SMA dan SMK dipindahkan ke Nabire dan Timika, dan selebihnya tidak sekolah. Jadi, saat mulai mengajar pada 6 November 2014 di SMK N 1 Ilaga kabupaten Puncak untuk kelas X dan XI hanya tiga siswa, kelas XII sekitar dua puluhan. Sebagian besar anak-anak di sini sudah kawin, dan mereka juga tidak melalui tangga pendidikan dengan baik, dalam artian ada beberapa siswa yang sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan tidak sekolah, dan belum masuk kelas X atau kelas XI langsung saja duduk di kelas XII. Hal ini menjadi salah satu penyebab sulitnya mereka menangkap materi. Tulisan yang pertama kali mereka kenal ialah yang terdapat pada Alkitab agama Kristen, berjarak puluhan tahun sebelum sekolah dan pemerintahan berjalan di sana. Di dalam Alkitab tersebut tulisan Yetus mereka baca Yesus. Bermula dari itulah maka pengajaran bahasa masih sangat jauh dari standar. Siswa sering kali keliru menyebut huruf s menjadi t. Kata sakit mereka bilang takis, sekolah dibilang tekolah, bahkan di salah satu kalimat yang dicapkan kepala KPU setempat ‚kami telah selesai melakuan protes pemilu‛. Kata proses disebut proses. Selain huruf t yang kebalik dengan huruf s, huruf y juga terbalik dengan huruf j, kata yang ditulis jang. Ketika murid diminta melantagkan cita-citanya di depan kelas, masih banyak yang keliru, disebutnya; samat (camat), tuster (suster), doser (dokter), peyabat (pejabat). Bahkan pesan yang diinginkan ‚Pak guru memukul murid‛, ada 156

yang menulisnya ‚Pak guru dipukul murid‛. Penggunaan awalan di- dan me- masih susuah dibedakan. Struktur bahasa MD (menerangkan diterangkan) yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sangat mempengaruhi proses pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolahan. Kalimat seperti: ‚Kau punya nama siapa?‛, ‚Kau punya rumah dimana?‛ susah sekali dirubah. Belum lagi singkatan yang mereka gunakan, seperti su (sudah), bama (bahan makanan), sa (saya). Berdasarkan kemampuan berbahasa tersebutlah, maka pembelajaran sastra di sana masih sangat tertinggal. Bakan melatih mereka membaca puisi saja harus melewati lebih dari sepuluh kali pertemuan, karena mereka masih harus dilatih membaca biasa. SIMPULAN Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di seluruh dunia, dan pulau Jawa yang menjadi pusat pemerintahannya. Hal tersebut menjadikan pulau Jawa menjadi paling maju, sehingga sering dijadikan tolak ukur dalam segala kebijakan pemerintah, termasuk bidang pendidikan. Padahal di Indonesia bagian timur sana masih sangat tertinggal. Dibutuhkan kerjasama dari semua pihhak untuk mewujudkan pendidikan yang merata untuk negeri kepulauan ini. Dan pemerintahlah yang seharusnya berada di barisan terdepan. Dan tentunya di dukung oleh semua pihak, agar pemerataan pendidikan khususnya merata di Indonesia. 157

DAFTAR PUSTAKA Anita Lie. 2006. ‚Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural,‛

dalam Kompas, 1 September.

http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ message/20920 Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas. _______. 2003b. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas. _______. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA/MA. Jakarta: BSNP. Hidayat Ma’ruf. 2009.‚Pendidikan Multikultural: Usaha Menumbuhkan Kemampuan untuk Menghormati Keragaman‛ http://hidayah-ilayya.blogspot.com/2009/08/pendidikanmultikultural-usaha_31.html Mendelsohn, Jere and Fredrick J Baker. 2002. ‚The Interdiciplinary Project Model: A Workable Response to the Challenges of Multicultural Education In Our

Nation’s

Secondary

Schools‛.

http://www.newhorizons.org/strategies/multicultu ral/mendelsohn.htm

158

BIODATA PENULIS Nama : Anisatul Fuadiyah Tempat, tanggal lahir : Batang, 13 April 1990 Rumah : Desa Boja, Kecamatan Tersono, Kabupaten Batang. Tempat tinggal : Desa Kimak, Distril: Ilaga, Puncak – Papua Pendidikan : Universitas Tidar Magelang 2012 Pekerjaan

: Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 01 Ilaga Puncak-Papua 2013 – sekarang

Email

: anisatulfuadiyah@gmail. com

159

PELATIHAN DAN PENDAMPINGAN PENYUSUNAN KARYA ILMIAH BERBASIS PENELITIAN TINDAKAN KELAS UNTUK MAHASISWA SEMESTER 4 DAN 6 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TIDAR Oleh: Moch. Malik Al Firdaus NIDN. 0602128501 Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Tidar

ABSTRAK Pengabdian ini memaparkan kegiatan IbM untuk pelatihan, pembinaan dan pendampingan pada kelompok mahasiswa pendidikan bahasa Inggris di Perguruan Tinggi Universitas Tidar. Kegiatan ini bertujuan untuk : 1) memberikan gambaran umum tentang hasil-hasil penelitian PTK Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Untidar periode sebelumnya. 2) menganalisis ketepatan prosedur PTK yang telah dilakukan oleh Ma160

hasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris periode sebelumnya. 3) menganalisis sejauhmana PTK Mahasiswa tersebut telah menimbulkan peningkatan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris. 4) memberikan pelatihan dan pendampingan secara terjadwal kepada mahasiswa program studi pendidikan bahasa Inggris semester 4 dan semester 6 untuk dapat menyusun skripsi berbasis PTK sesuai dengan prosedur PTK supaya dapat menjadi hasil akhir (skripsi) karya mahasiswa. Sedangkan luaran

dari

kegiatan

pengabdian

ini

adalah:

1)

menghasilkan produk/karya hasil akhir, yaitu skripsi sebagai bukti berakhirnya jumlah SKS yang diambil dan merupakan salah satu syarat kelulusan. 2) melaksanakan proses ketepatan prosedur penyusunan PTK secara komprehensif. 3) mentransformasikan ilmu pengetahuan yang didapat dari hasil pelatihan kepada seluruh mahasiswa tingkat awal yang ingin menyelesaikan studi S1 dengan menyusun karya ilmiah berbasis PTK. Kata Kunci: IbM, Pelatihan, Pendampingan, Berbasis PTK. I. Pendahuluan a. Analisis Situasi Seiring dengan berlakunya kurikulum di negara kita, yaitu kurikulum 2013 dan beralih kembali ke kurikulum 2006 yang operasionalnya disebut KTSP, maka setiap komponen yang terlibat di dalam 161

sistem pendidikan umumnya dan pembelajaran khususnya ikut berbenah dalam rangka melaksanakan semua yang dianjurkan dalam kurikulum baru tersebut. Tidak terkecuali calon guru (mahasiswa)/guru sebagai pemegang peran utama dalam proses pembelajaran. Meskipun telah terjadi perubahan paradigma dari teacher centered ke student centered, namun bukan berarti guru tugasnya menjadi ringan, tetapi justru guru sebagai motivator dan ‛perancang‛

proses

pembelajaran

mendapatkan

beban yang lebih berat. Mahasiswa sebagai calon guru senantiasa dituntut untuk mengembangkan diri dalam segala bidang termasuk pendidikan. Apalagi dengan adanya program sertifikasi yang mengharapkan setiap guru menjadi lebih profesional. Salah satu aktivitas yang harus dapat dilakukan guru untuk menunjukkan keprofesionalannya adalah dengan melakukan penelitian. Banyak jenis penelitian yang dapat dilakukan, tetapi yang paling tepat dilakukan seorang guru adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Melalui PTK ini diharapkan guru mampu memberikan sumbangsih terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas yang bermuara pada peningkatan prestasi belajar peserta didiknya.

162

b. Permasalahan Mitra Berdasarkan uraian dalam fenomena yang dialami terkait dengan implementasi pembelajaran Bahasa Inggris, maka dari itu yang mungkin timbul pertanyaan di benak mahasiswa dan guru, mengapa PTK merupakan penelitian yang paling tepat untuk seorang guru/calon guru? Apakah dengan melakukan PTK proses pembelajaran tidak terganggu, padahal alokasi waktu belajar demikian sempitnya? Rumitkah melakukan PTK itu? Apa manfaatnya kita melakukan PTK? Hal inilah yang menggelitik mahasiswa sebagai calon guru dab bahkan guruguru di wilayah Magelang melakukan workshop PTK, dengan tujuan untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. II. Target dan Luaran a. Target Sehubungan dengan hal di atas, pengabdian ini bertujuan mencapai tiga target dalam jangka pendek dan jangka panjang, yaitu: 1. Untuk memberikan gambaran umum tentang hasil-hasil penelitian PTK Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Untidar periode sebelumnya. 2. Untuk menganalisis ketepatan prosedur PTK yang telah dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris dalam rangka mening-

163

katkan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris periode sebelumnya. 3. Untuk menganalisis sejauhmana PTK Mahasiswa tersebut telah menimbulkan peningkatan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris. 4. Untuk memberikan pelatihan dan pendampingan secara terjadwal kepada mahasiswa program studi pendidikan bahasa Inggris semester 4 dan semester 6 untuk dapat menyusun skripsi berbasis PTK sesuai dengan prosedur PTK supaya dapat menjadi hasil akhir (skripsi) karya mahasiswa. b. Luaran Hasil Pengabdian Setelah mengikuti kegiatan ini para mahasiswa mampu menulis proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) serta mampu menuliskan laporan penelitiannya. Berikut adalah luaran dari pengabdian ini yang berupa laporan: NO 1

NAMA

NIM

JUDUL PTK

Miftakhurrohman

1210302104

Using Kamishibai Media to Improve The Narrative Text Speaking Skill of The Eleventh Graders of SMA N 2 Grabag in the School Year

164

2015/2016 2

Erni

1210302025

Widyaningsih

Using Beyond Center and Circle Time (BCCT) Technique to Improve The Descriptive Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA Muhammadiyah Wonosobo in the School Year 2015/2016

3

Benedikta Pratiwi

1210302109

Shinta Dewi

Using Scene Technique to Improve The Students’ Narrative Text Reading Skill of The Eleventh Graders of SMA N 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

4

Lukman Khakim

1210302108

Using Collaborative Strategic Reading 165

(CSR) Technique to Improve The Reading Skill of The Eleventh Graders of SMA Muhammadiyah 2 Magelang in the School Year 2015/2016 5

Muhammad

1210302090

Using Decks of

Irsyad Al

Vocabulary

Mubarokh

Media to Improve The Descriptive Text Writing Skill of The Eleventh Graders of SMA N 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

6

Hesti Lestari

1210302089

Using Draw Label Caption to Improve The Descriptive Writing Skill of The Eight Graders of SMP N 1 Ngluwar in

166

the School Year 2015/2016 7

Antonius Gita

1210302078

Wardana

Using Town Map Game to Improve the Descriptive Text Speaking Skill of The Tenth Graders of SMA Tarakanita Magelang in the School Year 2015/2016

8

Ria Cahya Sari

1210302072

Using The Challange Envelope Game to Improve The Narrative Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA N 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

9

Risty Anisah

1210302070

Using Trivial Pursuit Game to Improve The Descriptive Text Writing Skill of 167

The Tenth Graders of SMA Muhammadiyah 1 Magelang in the School Year 2015/2016 10

Muhammad

1210302023

Mizan A.

Using Drawing Object Technique to Improve The Descriptive Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA N 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

11

Trifena Tika Ardina

1210302019

Using Self Assessment Technique to Improve The Narrative Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA Tarakanita Magelang in the School Year 2015/2016

168

12

Aisyah Nurul

1210302017

Fajriyan Fitriyani

Using Pow + CSpace Technique to Improve The Narrative Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA Muhammadiyah 1 Kota Magelang in the School Year 2015/2016

13

Rizky

1210302016

Nurrasyiiddyah

Using Wholesome Scattering Game to Improve The Descrptive Text Writing Skill of The Eleventh Graders of SMK N 3 Magelang in the School Year 2015/2016

14

Wahyu Joko Mulyono

1210302008

Using Picture Surround Area Technique to Improve The Descrptive Text Writing Skill of 169

The Tenth Graders of SMA N 1 Candimulyo in the School Year 2015/2016 15

Erest

1210302007

Mandarevina

Using Paper Craft Patterned Media to Improve The Procedure Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA N 5 Magelang in the School Year 2015/2016

16

Rizki Tirtawati

1210302005

Using Context Pizza Technique to Improve The Narrative Text Reading Skill of The Tenth Graders of MAN Parakan Temanggung in the School Year 2015/2016

17 170

Suci Nur Cahyani

1210302004

Using Facebook

Notes to Improve The Recount Text Writing Skill of The Eight Graders of SMP N 11 Magelang in the School Year 2015/2016 18

Syafira Andika

1210302003

Damayanti

Using PORPE (Predict, Organize, Rehearse, ractice, Evaluate) technique to Improve The Narrative Text Reading Skill of The Tenth Graders of SMA N 1 Kota Mungkid agelang in the School Year 2015/2016

19

Erna Setyawati

1210302002

Using Stop + Dare Technique to Improve The Analytical Exposition Text 171

Writing Skill of The Eleventh Graders of SMA N 1 Candimulyo in the School Year 2015/2016 20

Eka Restu Adi

1210302093

Using Classroom Blog Game to Improve The Descriptive Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA n 1 Mertoyudan Magelang in the School Year 2015/2016

21

Aninda Dian Kartika

1210302042

Using Attribute Webs Technique to Improve The Narrative Text Writing Skill of The tenth Graders of SMA Muhammadiyah 1 Magelang in the School Year 2015/2016

172

22

Kusnita Mawarni

1210302092

Using Intra Act Technique to Improve The Students’ Hortatory Exposition Text Reading Skill of The Eleventh Graders of SMA N 1 Bandongan in the School Year 2015/2016

23

Rhama Adityar

1210302011

Atminda

Using Bamboo Dancing Technique to Improve The Recount Text Speaking Skill of The Tenth Graders of SMA N 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

24

Nindia Figurini

1220302105

Using Intoduce, Practice, Plan, Assess (IPPA) Technique to Improve The 173

Descriptive Text Reading Skill of The Seventh Graders of SMP N 4 Magelang in the Scool Year 2015/2016 25

Luh Mahesa

1220302030

Janggi

Using REFLECTIVE (Describe, Interpret, Evaluation, and Plan) DIEP Technique to Improve The Recaount Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA Muhammadiyah Borobudur in the School Year 2015/2016

26

Shofiyana Izil Muna

1220302112

Using FALL (Formulate, Articulate, Listen, and Lengthen) Technique to

174

Improve The Narrative Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA N 4 Magelang in the School Year 2015/2016 27

Ari Setyo

1220302106

Prawesti

Using List Examine Select Sentence Expand and Read (LESSER) Technique to Improve The Descriptive Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA N 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

28

Umi Chanifatul Zaro

1220302006

Using FRESH (Fact, Reason, Elaboration, Shift) Technique to Increase The Descriptive Text 175

Writing Skill of The Tenth Graders of SMK YPKK 2 Sleman in the School Year 2015/2016 29

Yulia Anggi

1220302079

Riyanti

Using Sgow and Tell technique to Increase The Descriptive Text Writing Skill of The Tenth Graders of MAN 1 Magelang in the School Year 2015/2016

30

Muhammad Abdul Rozaq

1220302039

Using Mean, Use, and Form (MUF) Technique to Improve The Recount Text Writing Skill of The Tenth Graders of SMA Sholihin Bandongan in the School Year 2015/2016

176

31

Santoso

1220302375

Using PENS (Preview Ideas, Explore Words, Note Words, See) Technique to Improve Recount Text Writing Skill of The Eight Graders of SMP N 1 Pakis in the School Year 2015/2016

32

Kartika

1220302116

Using The Diamante Technique to Improve The Narrative Text Reading Skill of The Tenth Graders of SMA N 2 Grabag in the School Year 2015/2016

33

Yulia Sugiarto

1220302097

Using Guided Imagery Technique ti Improve The Descriptive Text 177

Writing Skill of The Tenth Graders of SMK N 1 Magelang in the School Year 2015/2016 34

Eka Nurliya

1110302161

Fatmawati

Using CORI (ConceptOriented Reading Instruction) Technique to Improve The Narrative Text Reading Skill of The Eleventh Graders of SMA Muhammadiyah 1 Kota Magelang in the School Year 2015/2016

35

Ubaydillah Falakhi

1110302133

Using Multiple Inteligence-Based Technique to Improve The Writing Skill of The Seventh Graders of SMP N 2 Bantul in the

178

School Year 2015/2016 36

Danang Satria

1340302733

Gunawan

Using (Stucture Sentence, Tenses, Organization, Punctuation and Spelling) STOPS Strategy to Improve Recount Text Writing Skill of The Eight Graders of SMP N 4 Magelang in the School Year 2015/2016

37

Nurlatifatul

1010302042

Hidayah

Using Stop Dare Strategy to Improve The Hortatory Exposition Text Writing Skill of The Eleventh Graders of SMK N 1 Cawang Kota Magelang in the School Year 2015/2016

38

Kamalia Mardini

1230302060

Using RAPQ 179

Read, Ask, Put, and Question) Technique to Improve The Narrative Text Reading Skill of The Tenth Graders of MA Al Iman Magelang in the School Year 2015/2016 39

Wahyudianto

0910302018

Using Advanture Cards Game to Improve The Narrative Text Writing Skill of The tenth Graders of SMA N 1 Pringsurat in the School Year 2015/2016

40

Rochma Clarasari

1110302016

Using Preview, Question, Read, Self-Recite, and Test (PQRST) Technique to Improve The Descriptive Text

180

Reading Skill of The tenth Graders od MA Al Iman Magelang in the School Year 2015/2016 41

Astika Kurnia

1110302096

Fatmawati

Using RSQC2 Technique to Improve The Analytical Exposition Text reading Skill of The Eleventh Graders of SMA Muhammadiyah Magelang in the School Year 2015/2016

42

Yohanes Krisostomus Arya

1110302970

Skype Bring Expert To Your Classroom To Improve The Recount Text Speaking Skill Of The Eleventh Graders Of SMA Shekinah Temanggung 181

43

Wahyu Tri

1230302082

Handayani

Using DesideEstimate-FigureExpress-Note Drive-Search (Defends) Technique to Improve Analytical Exposition Text Writing Skil of The Eleventh Graders of SMA 1 Mertoyudan in the School Year 2015/2016

III. Metode Pelaksanaan a. Setting Penelitian Dalam melakukan CAR kegiatan mengajar standar (biasa) berlangsung secara alami; tetapi ada bagian-bagian tertentu yang diberi perlakuan secara khusus dan diamati dampaknya secara seksama. Langkah-langkah seperti pembuatan satuan pelajaran, rencana pelajaran, lembaran kerja, dan alat bantu pembelajaran lainnya adalah langkah pembelajaran standar, bukan CAR. Asumsinya CAR dilaksanakan oleh guru yang sudah melaksanakan pembelajaran standar secara lengkap tetapi belum 182

berhasil. Ia akan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari pembelajaran standar itu. Bagian yang dimodifikasi itulah fokus dari CAR Anda. IV. Kelayakan Perguruan Tinggi a. Kelayakan Tim Pengusul Ketua dan anggota tim pengusul kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini telah berpengalaman dalam kegiatan bermasyarakat terkait dengan pelatihan pembelajaran bahasa Inggris untuk mahasiswa, guru-guru tingkat SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/MA. Dengan pertimbangan tersebut, pelaksanaan kegiatan pengabdian ini tidak akan banyak mengalami kendala teknis karena sudah pernah menangani kegiatan serupa. Dengan pengalaman yang dimilik tim pengusul pengabdian, maka pelaksanaan kegiatan ini akan bisa berjalan dengan lancar dan mendapat sambutan yang baik dari mitra.Adapun bidang keahlian dan tugas masing-masing dosen dalam pengabdian masyarakat ini tertuang dalam tabel berikut ini: No 1. 2.

Nama

Keahlian

Tugas

Moch. Malik

Pend. Bhs.

Ketua, Pemateri,

Al Firdaus,

Inggris

Pendamping

M.Pd.

Sekretaris,

C. Prima Feri

Pend. Bhs.

Pemateri,

Karma,

Inggris

Pendamping

M.Pd. 183

b. Kelayakan LPPM Universitas Tidar Komitmen Universitas Tidar khususnya LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)

Untidar

dalam memgembangkan

potensi

masyarakat baik dalam dunia pendidikan maupun bidang lainnya sangatlah tinggi.Hal ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang telah dilaksanakan oleh LPPM Untidar. Semua layanan kegiatan ini didukung oleh sumber daya manusia dan dana yang sangat memadai. Hal ini menunjukkan Untidar sangat responsif terhadap isuisu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. c. Kelayakan Mitra Mitra kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah mahasiswa program studi pendidikan bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar karena mitra internal ini dianggap masih perlu adanya pembinaan yang lebih komprehensif dalam bentuk pelatihan dan pendampingan penyusunan Skripsi berbasis PTK untuk dapat menghasilkan produk akhir karya ilmiah yang lebih inovatif dan sesuai dengan ketepatan prosedur dari penyusunan Skripsi berbasis PTK (Penelitian Tindakan Kelas).

184

DAFTAR PUSTAKA DP2M Dikti (2013).Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi IX Tahun 2013. Jakarta : Ditjen Dikti Depdiknas. Lampiran

Peraturan

Menteri

Pendidikan

dan

Ke-

budayaan Nomor 67 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum. Lampiran

Peraturan

Menteri

Pendidikan

dan

Ke-

budayaan Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pembelajaran Integratif.

185

NILAI EDUKASI DALAM WAYANG “SEMAR MBANGUN KAHYANGAN” VERSI KI HADI SUGITO DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER MODERN Molas Warsi Nugraheni, M.Pd. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tidar [email protected]

ABSTRAK

Wayang merupakan kesenian tradisional Jawa yang mengandung banyak nilai filosofi kehidupan. Kesenian wayang kulit saat ini semakin meredup, terutama bagi anak muda modern sehingga banyak nilai karakter yang tidak mereka dapatkan. Semar Mbangun Kayangan merupakan cerita wayang yang dikembangkan salah satunya oleh dalang ternama Ki Hadi Sugito (alm). Lakon wayang ‚Semar Mbangun Kayangan‛ berkisah tentang Semar sebagai tokoh utama. Sesuai mitologi masyarakat Jawa, tokoh Semar digambarkan sebagai sosok dewa yang menjelma menjadi titah arcapada yang sangat bijaksana, sakti, dan banyak memberikan wejangan kepada raja-raja di kahyangan dan di bumi. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nilai edukasi dalam lakon ini dimunculkan dan apakah nilai186

nilai edukasi yang muncul relevan dengan pendidikan karakter di kehidupan modern? Nilai edukasi dalam cerita lakon ‚Semar Mbangun Kahyangan‛ adalah nilai-nilai pendidikan karakter yang terbangun dari lakon-lakon wayang yang terlibat dalam cerita. Penelitian ini berjenis penelitian kepustakaan (libary research) pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Objektif dan Pragmatis. Sedangkan dalam pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis isi (content analysis) yang menguraikan adegan dan percakapan yang muncul dalam cerita serta dikaji berdasarkan teori yang relevan. Penelitian ini menghasilkan teori tentang pendidikan karakter dari wayang kulit yang dapat diaplikasikan sebagai media pembelajaran di sekolah-sekolah saat ini. Kata kunci: wayang, nilai edukasi, dan pendidikan karakter. PENDAHULUAN Indonesia memiliki beragam budaya dan adat istiadat, oleh sebab itu muncul banyak sastra lokal baik yang berbentuk tulis maupun lisan. Jenis-jenis sastra lisan di Indonesia antara lain pantun, peribahasa, legenda, wayang, cerita rakyat, dongeng, nyanyian rakyat, gurindam, lagu dolanan, dsb. Sementara itu, sastra lisan di Jawa Tengah antara lain; wayang, lagu dolanan, macapat, geguritan, dongeng, legenda, dan lagu pengantar tidur (nina

bobo).

Masyarakat

sampai

sekarang

masih

mengkonsumsi sastra tersebut meskipun telah diformulasikan dalam berbagai versi. Seperti halnya wayang ku187

lit. Kesenian wayang kulit sejak zaman dahulu telah digunakan masyarakat jawa untuk memberikan informasi, memberikan wejangan, petunjuk, sopan santun, hingga menyebarkan agama oleh Sunan Kalijaga kala itu. Pada awalnya, wayang merupakan kesenian yang dibawa oleh masyarakat sansekerta ke Asia dengan memuat ajaran hindu. Wayang dianggap telah hadir semenjak 1500 tahun sebelum Masehi. Wayang dimainkan dalam ritual pemujaan roh nenek moyang dan dalam upacara-upacara adat Jawa. Hingga saat ini, wayang telah mengalami berbagai perubahan dan versi. Sebagian besar wayang saat ini dibuat menggunakan kulit binatang, baik itu kerbau, sapi, atau kambing. Namun adapula wayang yang dibuat dengan kayu dengan bentuk lazimnya boneka dan dihias dengan pakaian sesuai tokoh, wayang jenis ini disebut wayang golek (Sukirno 2013). Selain menggunakan kulit dengan bentuk yang lebih artistik, perunjukan wayang kini diiringi oleh alat musik yang lebih modern. Sutarman (2015) menambahkan bahwa saat ini telah dikembangkan berbagai jenis wayang antara lain wayang golek, wayang orang, wayang kulit, wayang kayu, wayang rumput, dan wayang motekar. Lakonlakon dalam wayang yang hingga saat ini masih digemari dan bersifat ‚wajib‛ dikuasai oleh dalang antara lain lakon wayang Mahabarata atau Ramayana, tokoh wayang purwa yang diperankan dengan tokoh-tokoh dalam cerita Mahabarata disebut lakon carangan. Selanjutnya cerita 188

tersebut berkembang sesuai dengan tema tanggapan sehingga muncul subtema-subtema Dewi Sri, Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat, Petruk Mencari Jati Diri 1-5, Wahyu Makuta Rama, Semar Mbangun Kahyangan, dan Wahyu Cakraningrat. Namun cerita wayang tersebut biasanya diolah kembali oleh dalang sehingga tiap dalang memiliki versi yang berbeda. Dalang kondang yang populer di Jawa Tengah, diantaranya adalah Timbul Hadiprayitno, Wiji Prayitno, Ki Hadi Sugito, Kasmono, Ki Gondho Margono, Ki Nartasabda, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Dharsono, Ki Purbo Asmoro, Ki Entus Susmono, Ki Warsino Guno Sukasno (alm), Ki Warseno Slenk, Ki Joko Hadiwijoso, Nyi Suharni Samdowati, dsb. Adian (2011) menguraikan nilai-nilai dalam karya sastra meliputi nilai sosial, nilai psikologis, nilai religius, nilai filosofis, nilai historis, nilai moral, nilai pendidikan, nilai hukum, nilai budaya, nilai ekonomi, dan nilai perjuangan. Adapun dalam cerita wayang, nilai-nilai yang sangat menonjol adalah nilai filosofis, nilai etika, nilai pendidikan, dan nilai estetika. Penelitian ini akan fokus membahas unsur edukatif (pendidikan) dalam wayang. Nilai-nilai tersebut akan dianalisis dari tema wayang ‚Semar Mbangun Kahyangan‛ versi

dalang Ki Hadi

Sugito (alm). Adegan-adegan dalam cerita ini dilukiskan dengan atraktif dan sarat edukatif. Atas dasar itulah peneliti memilih tema Semar Mbangun Kayangan sebagai topik penelitian. Unsur edukatif dipilih karena wayang 189

memiliki daya tarik yang layak dilestarikan. Mengingat saat ini anak muda khususnya kurang menyukai pertunjukan wayang. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‚Apakah wayang dengan tema Semar Mbangun Kayangan memiliki unsur edukatif dan bagaimanakah relevansi unsur edukatif tersebut dalam pendidikan karakter modern? Tujuan penelitian ini adalah untuk menegaskan bahwa seni pertunjukan wayang, khususnya dengan judul Semar Mbangun Kahyangan memiliki unsur yang dominan, yaitu unsur edukatif, serta memberikan informasi kepada pembaca mengenai relevansi unsur edukatif yang dimunculkan dengan pendidikan karakter modern. Manfaat dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan pembaca tentang daya tarik wayang, dan meningkatkan motivasi masyarakat tentang seni pertunjukan wayang kulit yang saat ini mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, peneliti fokus memilih judul penelitian ‚Nilai

Edukasi

dalam

Wayang

‚Semar

Mbangun

Kahyangan‛ Versi Ki Hadi Sugito dan Relevansinya dalam Pendidikan Karakter Modern. PEMBAHASAN 1) Wayang Semar Bangun Kahyangan Cerita wayang dengan tema Semar Mbangun Kayangan versi dalang Ki Hadi Sugito adalah cerita pengembangan dari alur Mahabarata. Adegan-adegan dalam cerita ini dilukiskan dengan atraktif dan sarat 190

edukatif. Lebih detail, sinopsis cerita lakon Semar Mbangun Kayangan adalah sebagai berikut. Alkisah dinegara Amarta Prabu Yudistira ya Prabu Puntadewa,bersama saudara saudaranya sedang membahas sebab kegagalannya dalam membangun negaranya yang selalu longsor dan ditimpa bencana,tiba tiba datanglah Radja Dwarawati yaitu Betara Kresna yang menanyakan ketidak hadiran Semar dalam keraton Amarta dan menyatakan bahwa itulah yang menjadi sebab kegagalan tersebut. Untuk itu diperintahkanlah Arjuna untuk memanggil Semar dari Karangkabujutan untuk menghadap ke Amarta. Namun belum sempat Arjuna berdiri datanglah Petruk menghadap dalam pertemuan tersebut yang memberitahukan bahwa dia diperintahkan Semar untuk mengundang kelima Pendawa untuk menuju Karangkabuyutan dengan membawa tiga pusaka kerajaan

untuk

membantu

Semar

membangun

kahyangan. Mendengar hal ini Kresna melarang Para Pandawa untuk berangkat ke Karang kabuyutan, sehingga terjadilah perdebatan dengan Petruk yang hanya sebagai pembawa perintah menolak untuk kembali ke Karangkabuyutan oleh Kresna,dia hanya mau kembali apabila mendapat titah dari Pandawa sehingga Keluar kata kata yang tidak etis oleh Kresna.Akhirnya Petruk disuruh menunggu diluar paseban guna menanti keputusan rapat para Pandawa. Diluar Paseban Petruk bertemu dengan Antasena putra Bima yang ketiga,dan menceritakan se191

luruh kejadian dalam paseban tadi,Antasena yang bijaksana berjanji akan membantu Petruk dalam menghadapi tindakan Kresna. Kresna yang mendengar kalau Semar akan membangun kahyangan mengajak Arjuna ke Suralaya untuk melapor kepada Betara Guru namun juga memerintahkan Gatotkaca, Antareja dan Setyaki untuk mengusir Petruk kembali ke Karang Kabuyutan. Adapun Prabu Yudistira bersama Bima Nakula dan Sadewa,merasa bimbang tidak mengabulkan permintaan Semar segera menuju Keetempat Pusaka Kraton atas usul dari Sadewa untuk mencari petunjuk.Mendadak

ketiga

Pusaka

Kraton

Amarta

melesat hilang menuju Karangkabuyutan. Melihat kejadian tersebut Keempat saudara ini segera menyadari dan secara diam diam berangkat ke Karangkabuyutan lewat pintu belakang istana. Adapun Setyaki, Antareja dan Gatotkaca yang diperintahkan Kresna

mengusir

Petruk

ternyata

tidak

mampu

menghadapi Petruk yang telah bersatu dengan Antasena didalam tubuhnya,baru ketika menerima titah dari Arjuna Petruk mau mematuhinya pulang terbang ke Karangkabuyutan dibantu Antasena.bersama Gatotkaca, Antareja dan Abimanyu. Setiba di Suralaya, Kresna menghadap Betara Guru melaporkan rencana Semar membangun Kahyangan menyaingi Suralaya,mendengar laporan ini Betara Guru memerintahkan Betari Durga dan Betara Kresna untuk menghalangi rencana Semar tersebut. 192

Di Karangkabuyutan Semar menerima kedatangan Prabu Yudistira,Bima Nakula dan Sadewa bersama ketiga Pusaka Kraton Amarta yang telah tiba terlebih dahulu bersama Petruk dan putra putra Pandawa. Semar agak kecewa karena kedatangan Pandawa hanya Empat orang namun segera melakukan upacara ritual dengan memasukkan keempat bersaudara tersebut menjadi satu kedalam tubuh Semar. Ternyata di dalam tubuh Semar tersebut bersemayam Sanghyang Wenang yang memberikan petunjuk wejangan hidup dan ilmu yang sangat berarti bagi para Pandawa,dan memerintahkan untuk bertapa selama sepuluh hari kepada keempat saudara tersebut. Adapun Putra Pandawa bersama Petruk dan Bagong dan Gareng yang menjaga, diganggu makhluk halus Maling sukma menjadi saling bunuh, namun segera diatasi oleh Semar dan diberikan mantra untuk menghadapi segala kejahatan yang datang. Kresna yang menyamar menjadi Raksasa sebesar bukit ternyata tidak mampu menghadapi mantra tersebut demikian pula Arjuna yang menyamar menjadi harimau yang sangat besar menjadi lemas dan tertangkap oleh para Putra Pandawa serta meminta ampun kepada Semar. Kresnapun mendapat marah dari Semar karena sebagai raja tidak waspada dan melakukan tindakan tanpa memeriksa terlebih dahulu duduk perkaranya. Bahkan Semar marah kepada Betara Guru sehingga berangkat ke Suralaya,serta mengobrak abrik Suralaya 193

tidak ada satupun senjata yang mampu melumpuhkan Semar sehingga Betara Guru melarikan diri ke Karangkabuyutan,namun kemarahan Semar tidak dapat dihindari dimanapun Batara Guru bersembunyi selalu ditemukan oleh Semar,hingga Betara Guru meminta Perlindungan para Pandawa dan meminta ampun kepada Semar atas segala kesalahannya. Setelah kemarahan Semar mereda dan mengampuni Betara Guru maka kembalilah Betara Guru ke Suralaya. Ki Hadi Sugito (Vidio Wayang Semalam Suntuk_Semar Mbangun Kayangan 2003) 2) Nilai-nilai dalam Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Adian (2011) menguraikan nilai-nilai dalam karya sastra meliputi nilai sosial, nilai psikologis, nilai religius, nilai filosofis, nilai historis, nilai moral, nilai pendidikan, nilai hukum, nilai budaya, nilai ekonomi, dan nilai perjuangan. Sementara itu Sinung (2013) menggolongkan nilai dalam wayang; nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai agama, dan nilai pendidikan. Adapun dalam cerita wayang, nilai-nilai yang sangat menonjol adalah nilai filosofis, nilai etika, nilai pendidikan, dan nilai estetika. Adi (2012) mendefinisikan nilai pendidikan dalam karya sastra adalah suatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk berbuat positif di dalam kehidupannya sendiri atau bermasyarakat. Nilai pendidikan dalam wayang menguraikan solusi-solusi permasalahan 194

dalam kehidupan, ilmu dan taktik peperangan, etika dalam bertutur, keadilan, dsb. METODE PENELITIAN Penelitian ini berjenis penelitian kepustakaan (libary research) pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Objektif dan Pragmatis. Sedangkan dalam pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis isi (content analysis) yang menguraikan adegan dan percakapan yang muncul dalam cerita serta dikaji berdasarkan teori yang relevan. HASIL PENELITIAN Analisis adegan yang bernilai edukatif Lakon Semar Mbangun Kayangan memiliki nilai-nilai yang dominan antara lain; nilai nilai filosofis, nilai etika, nilai pendidikan, dan nilai estetika, namun pada penelitian ini memfokuskan pembahasan terhadap nilai pendidikan dalam cerita ini. Nilai edukatif yang muncul adalah: 1. Adegan datangnya Petruk ke Amarta. Datangnya Petruk ke Amarta adalah utusan dari ayahanda Petruk yaitu Ki Semar. Dalam adegan tersebut digambarkan etika ‚kulo nuwun‛ atau mengucapkan salam kepada Pandhawa dan Raja Dwarawati, serta adegan Petruk ketika menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya yaitu permintaan ayahnya untuk menyam195

paikan pesan. Dalam adegan tersebut ditemukan dua unsur pendidikan yaitu, etika mengucapkan salam ketika memasuki ruang dan bertemu dengan orang lain. Nilai pendidikan kedua adalah amanah terhadap titipan dan pesan orang tua. Hal ini sesuai dengan teori Adi (2012) bahwa nilai pendidikan adalah suatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk berbuat positif di dalam kehidupannya sendiri atau bermasyarakat. Sehingga nilai pendidikan dalam karya sastra disini yang dimaksud adalah nilai-nilai yang bertujuan mendidik seseorang atau individu agar menjadi manusia yang baik dalam arti berpendidikan. Nilai pendidikan dalam karya sastra dibedakan atas empat macam yaitu: nilai moral, nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai religius. Adegan tersebut masuk dalam nilai moral dan etika. 2. Adegan pertimbangan Betara Guru untuk pergi ke Karangkabuyutan.

Dalam

adegan

tersebut

mencul

percakapan bahwa Betara Guru tidak biasa menolak permintaan kakaknya yaitu Semar. Hal ini menujukkan adanya nilai etika menghormati orang yang lebih tua, khusunya keluarga/ kakak. 3. Adegan bimbangnya Prabu Yudhistira, Bima, Nakula, dan Sadewa atas saran Kresna. Pandawa yang hanya empat orang tersebut merasa ragu dengan keputusan Kresna yang melarang pasukannya membantu Semar. Oleh sebab itu Sadewa menyarankan agar saudarasaudaranya meminta petunjuk dan mencari kebenaran 196

pihak mana yang benar. Dalam adegan tersebut tercermin kekompakan dan kerukunan antarsaudara. Adegan tersebut mengindikasikan adanya nilai moral yang menonjol. Selain itu dalam adegan tersebut menunjukkan bagaimana caranya manusia tidak terpengaruh dengan orang lain, dan lebih teliti dalam menerima perintah. 4. Adegan masuknya para pandawa beserta putra-putra Semar ke dalam tubuh Semar. Dalam adegan tersebut dikisahkan bahwa Semar yang di dalamnya telah dimasuki Sang Hyang Wenang yang selalu bijaksana.dalam memberikan wejangan. Maka bertemulan keempat putra Pandawa dan purta Semar dalam tubuh Semar. Nilai yang terkandung dalam adegan tersebut adalah nilai moral, toleransi, dan bijaksana. 5. Adegan Kresna menjelma menjadi raksasa. Kresna menjadi raksasa guna menghalangi misi Semar dan putra Pandawa dalam membangun kahyangan. Saat itu Pandawa dan Sang Hyang Wenang beserta putra Semar sedang bermusyawarah menghadapi serangan Kresna dan pendukungnya. Dalam kejadian itu, Kresna kalah karena ilmu yang kurang sepadan dengan Semar. Adegan itu menunjukkan bahwa hal-hal yang kurang cermat dapat mengakibatkan kecerobohan yang berakibat buruk pada diri sendiri. Selain itu, dalam cerita ini digambarkan bahwa kejahatan, slalu kalah dengan kebaikan. Nilai yang mewakili adegan tersebut adalah nilai moral dan etika. 197

6. Kemarahan Semar di Suralaya. Kresna yang menjelma menjadi raksasa diketahui oleh Semar sehingga Semar marah besar. Kemarahan Semar tidak terbendung sehingga ia pergi ke Suralaya menemui Betara Guru adiknya. Semar menganggap adiknya tidak teliti menanggapi perintahnya dan salah faham terhadap maksud Semar. Nilai yang muncul dari adegan itu adalah ketelitian terhadap titah/perintah, menghargai kakaknya, dan meluruskan setiap permasalahan. 7. Adegan Betara Guru memohon ampunan kepada Semar. Setelah kemarahan Semar mereda, dan keributan berakhir, Betara Guru yang baru mengetahui maksud dan tujuan sebenarnya dari misi Semar, meminta maaf kepada Semar. Selain itu, Betara Guru juga mengakui kesalahannya kepada Semar. Nilai pendidikan yang muncul pada adegan tersebut adalah adanya sifat lapang dada yang dimiliki oleh raja (Betara Guru). b) Analisis Percakapan/Dialog yang Bernilai Edukasi dalam Lakon Petikan adegan pertama Petruk

: ‚Sembah Gusti Dewo ....‛

Kresno

: ‚pancene Petruk ora keno dirasani...pada basuki petruk?‛

Petruk

: ‚Pangestunipun Gusti..‛

Janaka

: ‚Apa sebabe siro ora tau sowan mrene?‛

Werkudara : ‚Petruk pada slamet?‛ Petruk

198

: ‚injih gusti wilujeng..‛

Werkudara: ‚mbok menawa ana wigati, petruk mrene amergo utusan kakang Semar apa mbok menawa tuing nalarmu pribadi..?‛ Petruk

: ‚sowan kulo sepindah sungkem bekti kulo sakluargo, anak bojo kulo Gusti.., ingkang nomer kalih, kulo diutus bapak kulo ngaturaken sungkem, menawi Longgaring penggalih ...kanti ngampil pusaka ketiga kawulo diutus Bapak anggenipun mbangun kayangan.‛

Kresno

: ‚ Sing dibangun kayangan endi Truk?‛...

Petruk

: ‚ kulo mboten ngertos menawi babakan niku..wong nyatane boten enten hubungane kalih dewo niku..‛

Kresno

: ‚ iki ngene truk...sing dijaga ki nembe tembe wurine...,poro kakang bakal sesiku kang abot. mulo dino iki koe balio, matur karo kakang Semar Bodronoyo...yen biso ndakno, aja dibancutake gone mbangun kahyangan..

Petruk

: ‚ ngenten Gusti, janepun anggen kulo wonten mriki dipun utus dene Bapak supados sowan wonten Duorowati, boten enten bentenipun anggen kulo matur kalih sinuwun wonten ing Amarto. Kantun kersa rawuh napa boten, nek kerso geh matur nuwun kulo dugekne, ning nek boten kerso geh boten dados nopo. Yen kepak sane 199

ting mriki kados ngenten, kulo kepekso boten saget nampi. Jalaran kulo mriki meniko bade sowan dateng sinuwun prabu Puntodewo, boten wonten Duorowati. Yen wonten Dworowati nganten anggen kulo mangkat-bali. Ning gandeng ting mriki kulo dereng pikantuk dawuh, kepekso kulo dereng nampi ngendikan piwuluh. Kresno

: ‚suaramu kok nyangklak temen, aku ki Kresno..! lagek iki aku disepelekke karo Petruk.

Petruk

: ‚ Lha geh,...Boten nyepelekake, kulo namung matur,,,‛

Kresno

: ‚ Aku ki pengayom Amarto e..‛

Petruk

: ‚ Kulo geh panitia Amarto... podo dene panitia mawon kok, gaweane kulo luih abot, mlebu- metu Amarto...‛

Kresno

: ‚ Lha kok Petruk dadi wani karo aku lha gek iki aku diwaneni karo Petruk.,‛

Sadewo

: ‚Koko Prabu, ..

Kresno

: ‚Opo Sedewo...

Sadewo :

‚Nyuwun

sewu

keparengo

Petruk,

..Kedahono dalke ingkang Njawi mawon, kersane dirembag sae sae, yen ngantos kedangon tundonipun bade ngucemaken asmo dalem Prabu wonten Amarto. Petruk

200

: ‚ wonten dawuh...,‛

Kresno

:

‚dene

siro

metuo

jobo

disik,

sak

pungkurmu bakal tak rembug, kang dadi ngendikane kakang Semar Bodronoyo.‛ Petruk

: ‚O yen mekanten kepareng nyuwun pareng medal njawi sinuwun,‛

Kresno

: ‚sing playono ngati-ngati‛

Petruk

: ‚Ndoro Sedewo nyuwung pareng‛

Sadewo

: ‚Iyo Petruk..‛

Petruk

:

‚Ndoro

Janoko,

Ndoro

Werkudoro

sekecaaken‛ Janoko

: ‚Iyo Petruk‛

Werkudoro: ‚Iyo Petruk‛ Petruk

: ‚Ndoro Patih nderek langkung‛

Patih

: ‚Iyo Petruk ‚

............... Dialog dalam lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan menggunakan bahasa Jawa ragam kromo inggil. Hal ini dikarenakan bahasa Kromo inggil memiliki makna filososif yang dalam bagi masyarakat Jawa. Bahasa jawa pada masyarakat penggunanya memiliki beberapa tingkatan bergantung ragam yang digunakan yaitu basa ngoko, basa madya, basa krama, basa kedaton/ bagingan, basa kamar (Demang 2014). Konten dari cerita wayang Semar Mbangun Kayangan babak pertama adalah kentalnya nilai pendidikan moral, yang terinci pada etika (kesopanan), kebijaksanaan, pengendalian diri, percaya diri dsb. 1) nilai 201

etika muncu; dalam dialog semar yang mengucapkan salam ketika masuk Istana Amarta, disamping itu, 2) nilai saling menghargai muncul dalam dialog Kresna dan penghuni Amarta ketika menanyakan kabar Petruk, 3) nilai berbakti pada orang tua muncul ketika Petruk menyatakan maksud kedatangannya yaitu menyampaikan amanah Bapaknya (Semar), 4) nilai kesopanan muncul ketika Petruk pulang dan mohon pamit kepada Pandawa, Krisna, dan penghuni lain. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa wayang lakon Semar Mbangun Kayangan memiliki nilai pendidikan baik pada adegan / perilaku yang digambarkan dalang dan dialog/percakapan yang dinarasikan oleh dalang. c) Relevansi antara Nilai Pendidikan dalam lakon wayang Semar Mbangun Kayangan dengan Pendidikan Karakter Modern. Pendidikan karakter sering disuarakan pada pendidikan formal. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang terdapat pada Semar Mbangun Kayangan dapat diterapkan pada pendidikan karakter modern. Nilai pendidikan, yang terbagi atas empat macam yaitu: nilai moral, nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai religius. Hasil analisis nilai pendidikan pada percakapan /dialog dan adegan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan dalam wayang Semar Mbangun Kayangan dapat diimplementasikan dalam pendidikan formal 202

maupun informal dengan memformulasikan metode, teknik, dan media pembelajaran yang tepat sehingga siswa kembali termotivasi menyaksikan wayang kulit. Dalam penelitian ini peneliti berhasil memotivasi siswa dengan memutarkan vidio wayang dan menjelaskan maknanya kepada siswa. Siswa terbukti antusias dan menjadikan wayang sebagai tokoh karakter idola. Dengan megidolakan tokoh wayang khususnya dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, siswa mendalami karakter tooh dalam setiap adegan dan dialognya. Jadi, dalam penelitian ini nilai pendidikan dalam wayang terbukti relevan dengan pendidikan karakter modern.

SIMPULAN Penelitian dengan judul

Nilai Edukasi dalam

Wayang ‚Semar Mbangun Kahyangan‛ Versi Ki Hadi Sugito dan Relevansinya dalam Pendidikan Karakter Modern menghasilkan data sebagai berikut: 1) Wayang dengan tema Semar Mbangun Kayangan memiliki unsur edukatif (pendidikan) yaitu: nilai moral, nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai religius. Nilai moral meliputi kegiatan tolong menolong, keteguhan hati, kerjasama, kepedulian dan empati, humor, dan tanggung jawab, yang dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan secara umum, dan pembelajaran bahasa dan sastra secara khusus.

203

2) Wayang Semar Mbangun Kahyangan mengandung nilai edukatif (pendidikan) yaitu: nilai moral, nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai religius. Cerita ini menggambarkan kisah para Pandawa dan keluarga Semar yang akan membangun kembali kayangan dengan karakter yang lebih baikcerita ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan terbukti efektif menjadikan masyarakat termotivasi dengan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.

Nilai

edukatif (pendidikan) yaitu: nilai moral, nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai religius terserap dengan baik, dan relevan dengan kehidupan modern dan pendidikan karakter masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Damayanti, Purnaningrum Lestari. 2013. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang Susilo, Joko.2012. ilai-nilai Pendidikan Dalam Wayang Kulit Purwa Lakon Karna Tanding (Analisis Perspektif Pendidikan Agama Islam). Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012.

204

Koswara, Iwa.2007. Nilai-nilai Pendidikan dalam Serat Dewa Ruci dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam. Skripsi:Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. http://www.hadisukirno.co.id/artikeldetail.html?id=Macam-Macam_Wayang https://mapbms.wikipedia.org/wiki/Daftar_dalang_kondang https://jagadwayang.wordpress.com/ http://wayangindonesia.web.id/carangan-lakon.wayang http://kumpulan-beritaunik.blogspot.co.id/2014/04/Dalang-WayangPaling-Terkenal-Di-Indonesia.html http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/asal-usulwayang-dan-sejarah.html Sumber:http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/asalusul-wayang-dan-sejarah.html Disalin dari Blog Kisah Asal Usul. http://adivancha.blogspot.co.id/2012/05/nilai-pendidikansastra.html Diposkan oleh Adi Subagio di 22.35 Zarkasi, Effendi.2007.Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung: Al Maarif.

205

206

MAKALAH PENDAMPING BAHASA

207

208

THE ECOLOGICAL PERSPECTIVES ON ORAL PROFICIENCY: HOW IDEAS REACH A TARGET LANGUAGE1 Didik Rinan Sumekto Widya Dharma University, Klaten [email protected] ABSTRAK Artikel ini membahas perspektif ekologi kemahiran berbicara dengan merefleksikan pengalaman mahasiswa di jenjang pendidikan tinggi. Artikel ini membahas bagaimana kemampuan berbicara masih menjadi masalah kemampuan produktif dalam konteks pembelajaran bahasa

Inggris

sebagai

bahasa

asing.

Sejauh

ini,

kemampuan berbicara dikonseptualisasikan, dilaksanakan, dan diadvokasikan secara bertahap melalui silabus pembelajaran berbasis pengalaman mahasiswa. Hal lain berkaitan dengan interaksi antar bahasa lainnya, termasuk domain psikologis dan sosial di mana pengajaran This paper is presented to the Annual National Conference: ‚Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya dalam Perspektif Ideologi, Ekologi, dan Multikulturalisme‛, 27 August 2016 at Auditorium of Tidar University, Magelang, Central Java. 1

Note: All errors or omissions upon this paper remain my sole responsibility. Thus, anyone who intends to cite this paper is advised to follow either national or international standard conventions.

209

bahasa dilaksanakan. Makalah ini menyimpulkan bahwa eksplorasi dan implikasi menjadi tujuan dalam meraih kemahiran berbicara. Kata kunci: Ekologi kemahiran berbicara, pengalaman mahasiswa, praktek mengajar. ABSTRACT This article addresses the ecology of oral proficiency perspectives by reflecting on the experience among higher education students. It reviews how oral proficiency ability is still viewed as the problem of balance maintenance of productive course in the EFL teaching context. So far, oral proficiency course is conceptualized, implemented, and advocated gradually through the experiential syllabuses. Another thing relates to the interaction between a specific language and its surroundings, including psychological and social domains in which ecological language teaching works with. This paper concludes with an exploration on the possible implications of the purpose and reaching a target language in oral proficiency. Key words: Ecology of oral proficiency, student experience, teaching practice.

210

INTRODUCTION English language teaching discussions have been publicly concerned among educators and students, especially how the oral proficiency course enhances the quality of students’ competence in colleges. Experientially, most people consider that this course has played a vitally substantial role in achieving a remarkable qualification, harmony, and appropriateness in learning. Shen (2015) regards that the teaching ecology provides a new perspective for education in a discipline integrating natural, social sciences, and the humanities. In the interrelation of a person as an individual and/or a social system with the multidimensional environment, the sphere development, process and result of human activities, the content of interrelation, human and environment qualities or characteristics contribute to the relations between education and the environment. Facts on language ecology prove that the lecturers expand the constraints of the system and lead the students to realize the multiple constraints and a wide range of possible patterns will involve in the process in their engaged study (Gill, 2003). An ecological perspective on language teaching focuses attention on the subjective reality which various aspects of the teaching and learning process assume for students, and on the dynamic interaction between methodology and context (Tudor, 2003; Mahmoodzadeh, 2012). It also focuses on interrelations between languages and on cognizance, not merely of the 211

structural nature of language, but also of the contextual, psychological and social dynamic in which communication, and the learning itself (Gill, 2003). Thus, academic ecology could be treated as a part of ecology in teaching and learning (Kaĉerauskas & Zavadskas, 2015). Martin and Hornberger (2008) emphasize that an ecological approach does more than describe the relationships between situated users of different languages. Rather, it is proactive in pulling apart perceived natural language orders. According to Gill (2003) the ecological language teaching takes students beyond the specifics of terminology of content and context of a given field. In a more holistic approach, the lecturers may guide students through an exploration of the meta-context of a specialized field. For instance, work systems may vary from one milieu to another and often. The criteria and expectations are based on assumptions that have not been articulated by the users. Students must learn to ask broad questions about the communicative objective of a given oral proficiency course. The lecturers guide the students in an exploration of assumptions, like terminological consistency, technological efficiency, absoluteness of knowledge engineering categories and of definitions in terminology sources, as well as issues such as the social ramifications of homogenization of specialized texts across cultures. Considered as the importance point of oral proficiency in the English as a foreign language (EFL) teaching, this article attempts to examine the ecological nature of 212

EFL practices in the light of what it entails, advocates, and discourages. Richards (2005; Zhang, 2006) highlights ten core assumptions underlying current EFL practices today: (1) as foreign or second language learning, English is facilitated when students are engaged in interaction and meaningful communication; (2) effective classroom learning tasks and exercises provide opportunities for students to negotiate meaning, expand their language resources, notice how language is used, and take part in meaningful intrapersonal exchange; (3) meaningful communication results from students processing content that is relevant, purposeful, interesting and engaging; (4) communication is a holistic process that often calls upon the use of foreign or second

language skills and purposes; (5) language

learning is facilitated both by activities that involve inductive or discovery learning of underlying rules of language use and organization, as well as by those involving language analysis and reflection; (6) language learning is a gradual process that involves creative use of language and trial and error. Although errors are a normal product of learning, the ultimate goal of learning is to be able to use the new language both accurately and fluently; (7) students develop their own routes to language learning, process at different rates, and have different needs and motivations for language learning; (8) successful language learning involves the use of effective and communication strategies; (9) the role of the lecturer in the language classroom functions as a facilitator, who creates a classroom 213

climate conducive to language learning and provides opportunities for students to use and practice the language and to reflect on language use and language learning; and (10) the classroom is a community where students learn through collaboration and sharing. Meanwhile, Blommaert (2005; Kramsch, 2007) identifies five major aspects of an ecological theory of language acquisition and use. First, it relates to relativity of self and other. In complex system on human relation, these aspects are intrinsically pluralistic and possibly in conflict with themselves and with one another. For instance, students rarely speak to transmit and exchange new information with others. Second, it counts with the timescales. An ecological model of language use shows that the meanings expressed through language operate on multiple timescales, with unpredictable, often unintended, outcomes and multiple levels of reality and fiction. Third, it deals with the emergentism. It takes a much longer and more differentiated view of teaching and learning effectiveness. The meaning of a new piece of knowledge will emerge not from the syllabus, but from the connections the students will make with their own prior knowledge and experience. Fourth, it concerns with the unfinalizability. It counts under students, not only the flesh and blood interlocutors in verbal exchanges, but also the remembered and imagined, the stylized and the projected. Ecologically oriented sociolinguists have been on problem upon the notion of bounded speech communities and focused our attention on deterri214

torialized communicative practices rather than on the territorial boundedness posited by one language; one culture assumption. Fifth, it goes to fractals. Ecological theory is concerned with the pattern of activities and events which are self-similar at different scales. It may be illustrated by how the individuals get named, how they greet and take leave from one another and in which language, how the speech act index larger social relationships between them and other native and non-native speakers. For instance, they way speakers use language in one context can be a fractal of the way they are made to relate to others in the larger context of a global issue. Definition and Purpose Yang (2014) defines the language ecology as a scientific study of the interaction between a specific language and its surroundings, including psychological and social domains. The psychological domain refers to a domain of interaction between a certain language and other languages, while the social domain refers to a domain of interaction between a certain language and its social environment, and the interaction between these two domains constitute the ecological environment of language. According to Martin & Hornberger (2008), language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment. The true environment of a language is the society that uses it as one of its codes. Part of its ecology is therefore psychological: its 215

interaction with other languages in the minds of bi- and multilingual speakers. Another part of its ecology is sociological: its interaction with the society in which it functions as a medium of communication. Meanwhile, Liu (2002, 2009) agrees all tangible environmental variables contextually organized in and outside of classrooms, which are closely connected to curriculum and instruction and can affect teaching effectiveness as well as cognitive, social and psychological development of students‛. Further, Yang (2004) highlights the purposes of the language ecology into three criteria. First, it analyzes and records language ecology and the correlation between language ecology and surroundings; second, it preserves and develops language ecology as well as the correlation between language ecology and surroundings; and third, it figures out the close correlation between language ecology and human ecology and finally develops it into human ecology. Thus, the language ecology seeks the method to preserve and develop language ecology by describing and analyzing the association between language and environment, as it was, the language ecology is a part of human ecology. Reaching a Target Language in Oral Proficiency A good English speaker can coordinate elements like intonation, pronunciation, and body gestures. If she or he mistakenly conveys the wrong message to others, she or he will adjust some of the elements. So the com216

prehensiveness of oral proficiency follows the dynamic balance in ecology. Oral proficiency is just like a mini ecological system, and it follows the rules in ecology. This proves that the study of oral proficiency teaching based on education ecology is feasible. In the following part, this article analyzes the problems in oral proficiency teaching from the perspective of teaching ecology (Shen, 2015). Thus, this article illustrates the problems from these three aspects, namely: students’ lack of interest, lack of English environment (this relates to disharmony of lecturerstudent relation and lecturer’s domination in teaching), and lack of oral proficiency practice. Shen continues that in education ecological system, the lecturers and students can be seen as ecological subjects, and teaching environment and teaching methods can be regarded as ecological objects. From the perspectives of subjects and objects, this article focuses on the building of balanced ecosystem for oral proficiency teaching. The process consists of three parts: providing limiting factors for students, switching emphasis to oral proficiency practice and student-centered learning aspects. Create limiting factors for students in oral proficiency teaching Limiting factors are vital to the survival and development of the subjects. Therefore, by providing students with the limiting factors, they can achieve a better

217

performance, which is conducive to the balance of ecological system. Arousing students’ interest in English speaking In an English class, we can often find that most students are silent throughout the whole class, or some students are hesitating about whether they should speak or not. Anxious psychology, which is the anxiety and fear one expresses when they speak in English, can destroy students’ confidence. Therefore, lecturers need to take some measures to avoid anxious psychology. First, lecturers need to create a relaxed atmosphere in English classes. This requires lecturers to abandon the traditional concept of ‚lecturers are the absolute authorities‛. Lecturers should not expect students’ servile obedience, instead, and lecturers need to be good friends of students. Harmonious lecturer-student relation will put students at ease in the class. In addition, the choice of speaking topic should be carefully considered. Generally, students will not feel anxious about familiar and life-related topics, such as movies, novels, music, basketball, social affairs, etc. Second, learn how to ask questions and appreciate students. Usually, lecturers still like appointing some students to answer questions. This behavior will put students in intense anxiety. Changing the way of raising questions will achieve much better effect. For example, the class can be divided into groups, and for every question raised by the lecturer, students in the group will dis218

cuss the question together and then the representative of this group can answer the question. This can not only greatly avoid students’ anxiety but also increase the interaction among students. In addition, lecturers avoid criticizing on students’ wrong answers. The learning of a language is the process of practicing and making mistakes. Lecturers need to encourage students to speak without worrying making mistakes. It is what they learn from these mistakes that lead to have the oral proficiency ability of English. More importantly, for any progress students make, lecturers give a positive response to them by using the expressions like outstanding; it is a good try; wonderful; well done; and good job. In oral proficiency teaching, lecturers need to help students release psychological burdens and keep them motivated in speaking subject. In this way, students will form an interest in speaking, which will make English learning more enjoyable. Providing language environment for students By communicating with classmates on a regular basis, their oral proficiency can be greatly improved. Multimedia classroom should also be open to students, so that students can watch English movies or listen to English songs. In this kind of environment, English learning are turned into a natural process. In the long-term, the efficiency of oral English teaching can be greatly increased. For example, on some special occasions such as the vacation and the family gathering, lecturers can take this op219

portunity to organize all kinds of activities to give a culture orientation to students which provide them with more favorable environment to maximize oral proficiency course. Switch the emphasis to oral proficiency practice The objects like teaching environment and teaching methods also play an important role in education ecology. These objects can provide subjects with favorable conditions to develop. We can provide students with these favorable conditions by switching the teaching emphasis to oral proficiency practice. Teachers can only provide students with a few opportunities to speak English in the class. But this is far from adequate. Students need more time to practice oral proficiency. This requires the establishment of the second class. A second class refers to a public stage for English communication. There are some different forms of second class. A good English speech requires a lot including intonation, pronunciation, stress, body language, eye contact as well as a clear idea that a student wants to convey to the audience. Therefore, English speaking competition provides students with a wonderful opportunity to practice oral proficiency. Teachers can select some hotly debated topics from the newspaper or Internet. Students then prepare speech draft on their own. In the process of speech writing, students are highly motivated to learn the pronunciation of words, how to express an idea in a more precise way and how to behave 220

while giving a speech to others. By competing with each other, students can learn from each other. For example, student A has a good pronunciation, but the body language of student B is more natural. In addition, lecturers encourage shy students to take part in the competition, which can efficiently build up their confidence. So English speaking competition cannot only improve students’ oral proficiency but also build their confidence in English speaking, which make English speaking competition a great opportunity to practice English. Role-play. The class can be divided into several groups, three to five students for each group. Every day when the class is over, the lecturer can assign a task to one of the groups, that is to give a short scene play in English before the start of next English class. The topic should be interesting and easy for role playing. Maximizing to student-centered learning In a balanced ecological system, students need to be in the dominated position of learning. However, lecturers usually occupy this position, which directly causes the disharmony of lecturer-student relation. So we need to establish harmonious lecturer-student relation and adjust teaching methods to realize student-centered teaching (teach less, learn more).

221

Characteristics of Oral Proficiency Course Oral language, as a face to face verbal language, is an important tool to communicate with others. Oral proficiency is a term relative to written English, which includes the active oral speech and passive oral speech. Active oral speech refers to speaking and the passive oral speech refers to listening. As for the language learning, human learned to speak first, then was writing. So the same will go for the study of English. There are three basic elements for the learning of oral English. The first element is vocabulary, which is the foundation of oral English. As the old saying goes ‚One can’t make bricks without straw‛, vocabulary can be a barrier for many English learners. It’s a common phenomenon that many students get stuck while speaking English because they cannot find one proper English word. The second element is grammar. If we compare oral English as a pearl necklace, the vocabulary can be seen as the pearls, and grammar would be the thread that strings the pearls. Along with the structure of sentences, grammar plays a vital part in the learning of oral English. The third element is pronunciation. Without the help of non-language tools, you can understand what others say only when you can recognize their pronunciation.

222

ynchronicity When one speaks English, he or she cannot prepare every sentence and then speak it out. As a matter of fact, speaking and linguistic thinking should proceed in synchrony. Interactivity Like other languages, oral proficiency requires active communication between listeners and speakers. Take one famous television program friends, for example, many people found that the daily talks interesting, and that should give credit to the interactivity of oral proficiency. Situationality As for the same contents and topics, the way we express them varies with different situations. For example, in a face to face situation, one might say, hi