BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA INTERNASIONAL DAN

mengingat sejarah kelam yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. ... bahasa Inggris seharusnya menjadi bagian dari kur...

14 downloads 769 Views 85KB Size
BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA INTERNASIONAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KURIKULUM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA Oleh: Fahrawaty Widyaiswara LPMP Provinsi Sulawesi Selatan

Kebutuhan masyarakat dunia akan penguasaan bahasa Inggris semakin menunjukkan peningkatan yang pesat. Bahkan di beberapa negara, bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua setelah bahasa nasional. Di bahagian negara lain, bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional mengingat heterogenitas suku dan bangsa penduduknya dan Bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa. Kachru dan Nelson (2011) membagi negara pengguna bahasa Inggris ke dalam tiga kategori. Pertama, negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu seperti Inggris, Canada, Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat (Inner Circle Countries). Selanjutnya adalah negara yang memiliki sejarah institusional Inggris sehingga bahasa ini memegang peranan penting terutama dalam bidang pendidikan, pemerintahan, kesusastraan, dan kebudayaan popular. Negara ini termasuk Nigeria, Singapura, dan India (Outer Circle Countries). Negara berikutnya adalah negara yang menggunakan bahasa Inggris untuk berbagai kepentingan namun tidak menjadikannya sebagai bahasa dominan dalam komunikasi sehari-hari (Expanding Circle Countries). Indonesia, Rusia, dan China adalah negara yang termasuk dalam kategori ini. Dalam tulisannya, McKay (2003) menyatakan bahwa popularitas Bahasa Inggris sesungguhnya bukan semata-mata usaha negara kategori pertama (inner circle countries) untuk menyebarkan bahasa mereka namun lebih kepada kesadaran masayarakat dunia akan pentingnya penguasaan bahasa Inggris. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara global, berbagai informasi dunia tertuang dalam bahasa Inggris sehingga untuk mengaksesnya, masyarakat harus memiliki penguasaan tersendiri akan bahasa tersebut. Penyebaran bahasa Inggris juga turut dipengaruhi oleh perpindahan penduduk dari kategori outer circle countries dan expanding circle countries ke inner circle countries. Perpindahan ini sebagian besar disebabkan oleh kepentingan pekerjaan, pendidikan maupun pencarian suaka politik. Penduduk baru tersebut kemudian

1 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

berusaha semaksimal mungkin untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa setempat sehingga mereka dapat bertahan hidup di tempat mereka yang baru. Bahasa tersebut dapat dikuasai dengan bebagai cara antara lain melalui kursus dan interaksi intensif dengan penduduk setempat sehingga penguasaannya berangsur-angsur meningkat. Idealnya perkembangan suatu bahasa diikuti oleh peningkatan jumlah penutur aslinya. Namun tidak demikian dengan bahasa Inggris. Seiring perkembangannya, bahasa ini telah digunakan secara global dan sebagian besar penuturnya berasal dari kategori outer dan expanding circle countries. Bahkan, Graddol (2011) memprediksikan bahwa 50 tahun ke depan, akan ada sekitar 462 juta orang yang meggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua yang berarti bahwa jumlah penutur asli akan telampaui oleh jumlah penutur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Mengapa Memilih Bahasa Inggris? Pertanyaan ini sering muncul seiring meningkatnya kebutuhan akan penguasaan bahasa Inggris. Mengapa Bahasa Inggris dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di hampir setiap jenjang pendiddikan di Indonesia? Mengapa pemerintah memilih bahasa ini? Mengapa bukan bahasa Belanda tidak sepopuler bahasa Inggris pada bangsa Indonesia pernah menjadi bagian dari daerah jajahan Belanda? Dardjowidjojo (2000) menjelaskan bahwa Bahasa Belanda tidak dicantumkan dalam kurikulum mengingat sejarah kelam yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Bahasa ini juga tidak memiliki status yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahasa internasional. Dilihat dari aspek komunikasi internasional pun, bahasa Belanda belum cukup kuat menancapkan pengaruhnya sehingga semua kalangan merasa membutuhkannya dalam berinteraksi. Keputusan pemerintah menetapkan bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran di berbagai jenjang pendidikan sangat beralasan demi mempersiapkan generasi Indonesia untuk bersaing secara global. Alwasilah (2001) menyatakan bahwa bahasa Inggris seharusnya menjadi bagian dari kurikulum karena bahasa ini merupakan penunjang perkembangan generasi Indonesia. Bagaimana mereka mampu berinteraksi secara luas jika tidak ditunjang dengan kemampuan berbahasa internasional yang baik? Tsui dan Tollefson (2007) menambahkan bahwa jika ingin mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mau tidak mau seseorang harus memiliki pemahaman tentang penggunaan bahasa Inggris. Begitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sehingga seorang 2 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

pakar bahasa bernama Phillipson (1997) menyebutnya dengan linguistic imperialism atau imperialism linguistik. Phillipson menggambarkan bahwa dimasa setelah pendudukannya

di

berbagai

negara,

Inggris

masih

tetap

giat

menancapkan

pengaruhnya dari aspek kebahasaan. Bahkan bahasa ini menjadi semacam industri yang membuat masyarakat luas merasa membutuhkannya. Sumber-sumber informasi dalam berbagai media tertuang dalam bahasa Inggris, demikian juga hubungan internasional yang dihantarkan dalam bahasa ini. Kachru (1986) mengibaratkannya sebagai lampu Aladdin yang berarti bahwa ketika seseorang telah menguasainya maka saat itu pula dia dapat memasuki gerbang bisnis, teknologi, dan pengetahuan. Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia mempelajari bahasa Inggris karena bahasa ini merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi pelajar sehingga mau tidak mau mereka harus mengikuti pembelajaran tersebut. Seiring pergeseran waktu dan kebutuhan akan informasi, baik pelajar maupun masyarakat luas menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Misalnya, sebahagian instansi pemerintah/perusahaan swasta menjadikan penguasaan bahasa Inggris sebagai salah satu prasyarat dalam perekrutan karyawan/karyawati. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, calon karyawan/karyawati mau tidak mau harus mempersiapkan diri sedini mungkin sehingga dapat menduduki posisi yang dipersyaratkan. Contoh lain adalah penerimaan mahasiswa/mahasiswa pada perguruan tinggi di luar negeri yang tidak memberikan ruang sama sekali kepada calon yang tidak memiliki penguasaan bahasa Inggris yang memadai. Hal ini ditandai dengan prasyarat hasil tes tertentu (TOEFL, ILETS, dan lain-lain) sebagai dasar pertimbangan bagi universitas untuk menerima calon. Selanjutnya disusul dengan persyaratan lain yang tidak terlepas dari penguasaan bahasa Inggris disamping kompetensi lainnya. Trend ini semakin dipersubur dengan menjamurnya lembaga kursus bahasa asing yang kini telah menjangkau daerah pelosok di Indonesia. Keberadaan lembaga ini sangat membantu masyarakat yang ingin memperkuat penguasaan bahasa asing mereka. Sekolah bukan lagi satu-satunya wadah bagi pelajar untuk mengakses bahasa Inggris. Sekolah dianggap belum maksimal dalam mengaktifkan kemampuan berbahasa asing pelajar sehingga untuk mensupport mereka diperlukan wadah lain di luar sekolah yakni lembaga kursus dan sejenisnya. Dengan memperkenalkan bahasa Inggris sedini mungkin, diharapkan generasi masa datang dapat turut memiliki andil dalam persaingan global. Hasil penelitian Dardjowidjojo (2000) menunjukkan bahwa bahasa Inggris 3 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

dipelajari oleh lebih dari 13 juta pelajar di Indonesia. Jumlah ini akan terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahasa ini, bahkan hasil penelitian Crystal (1997) menunjukkan lebih dari 100 negara yang menggunakan bahasa Inggris dalam kurikulum pembelajarannya. Kurikulum Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia Pada tahun 1967, Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa asing yang diajarkan pada tingkat sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas dengan tujuan memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperkuat hubungan internasional bangsa. Namun dalam implementasinya, pembelajaran lebih dititikberatkan pada kemampuan membaca dibanding kemampuan lainnya yakni menyimak, berbicara, dan menulis. (Nur, dalam Kam dan Wong, 2004). Selanjutnya

pada

tahun

1984,

pendekatan

komunikatif

(communicative

approach) diperkenalkan dengan mengadopsi pendekatan pada Communicative Language Teaching (CLT). Materi membaca masih tetap menjadi fokus pembelajaran ditunjang dengan kemampuan tata bahasa Inggris. Beberapa pakar memandangnya kurang efektif karena kedua unsur tersebut tidak cukup kuat dalam memaksimalkan kemampuan komunikasi verbal peserta didik. Masalah lain muncul karena masih ada diantara para guru yang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang CLT sehingga mereka

mengalami

diperbaharui

kesulitan

dalam

menerapkannya.

dengan mengenalkan kurikulum

Kurikulum

ini

kemudian

berbasis makna (meaning-based

curriculum) pada tahun 1994. Jazadi (1994) mempermasalahkan ketidaksesuaian antara materi pembelajaran, harapan peserta didik, dan pemahaman guru akan kurikulum yang diterapkan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya materi terkait pengalaman dan pengetahuan awal peserta didik sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan ide-ide mereka. Pemerintah kemudian memutuskan untuk kembali merevisi kurikulum ini sebagaimana kurikulum sebelumnya. Sebagai bagian dari proses pembaharuan pendidikan, pemerintah mengenalkan kurikulum berbasis kompetensi (Competence-Based Curriculum) atau biasa disebut kurikulum 2004. Kurikulum ini memuat berbagai materi pembelajaran autentik yang diadopsi dari kebudayaan bahasa target (bahasa Inggris) dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan yang cukup tentang negara dan kebudayaan penutur 4 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

bahasa Inggris asli. Hal ini cukup menyulitkan guru dan peserta didik dalam memahami materi karena kurangnya pemahaman akan negara target dan kebudayaannya. Dalam rangka memperbaharui kurikulum 2004, kurikulum berbasis sekolah (school-based curriculum) selanjutnya diperkenalkan pada tahun 2006 dengan kebijakan bahwa masing-masing satuan pendidikan untuk mendesain materi pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi nyata satuan pendidikan. Namun tidak semua satuan pendidikan memiliki kesiapan yang sama sehingga kurikulum ini tidak terlaksana secara serentak. Sebagai pilihan, satuan pendidikan yang belum siap dapat memanfaatkan materi pembelajaran sebelumnya sambil menyiapkan materi pembelajaran yang termutakhir. Kurikulum ini menganut pembelajaran berbasis kontekstual (Contextual Teaching-Learning) yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan sendiri sesuai dengan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Materi yang disajikan pun sesuai dengan konteks nyata kehidupan peserta didik yang turut memudahkan guru dalam membawakannya. Namun masih terdapat beberapa permasalahan antara lain kepadatan konten kurikulum yang memuat

berbagai

materi

dengan tingkat kesukaran

yang

melampaui

tingkat

perkembangan usia peserta didik, pembelajaran masih berpusat pada guru, dan kurikulum belum sepenuhnya menekankan pada kompetensi yang mencakup domain sikap keterampilan, dan pengetahuan. (Pedoman Diklat Kurikulum 2013. Untuk menyempurnakan kurikulum tersebut di atas, pemerintah kembali melakukan perubahan dengan mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kurikulum ini lebih menekankan pada pendekatan ilmiah (Scientific Learning) dengan model pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning), dan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Secara garis besar, materi pembelajaran bahasa Inggris ditekankan pada kompetensi berbahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan dan pengetahuan, siswa dibiasakan membaca dan memahami makna teks serta meringkas dan menyajikan ulang dengan bahasa sendiri, siswa dibiasakan menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif melalui latihan-latihan penyusunan teks, siswa dikenalkan dengan aturan-aturan teks yang sesuai sehingga tidak rancu dalam proses penyusunan teks (sesuai dengan situasi dan kondisi: siapa, apa, dimana), dan siswa dibiasakan untuk dapat mengekspresikan dirinya dan pengetahuannya dengan bahasa yang meyakinkan secara spontan. (Pedoman Diklat Kurikulum 2013, 2013). 5 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

Implikasi Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Internasional Terhadap Kurikulum Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris tidak lagi dimiliki sepenuhya oleh penutur asli (inner circle countries), tapi telah dimiliki oleh komunitas yang lebih luar mencakup penutur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau sebagai bahasa asing. Smith (dalam McKay,2003) memaparkan tiga konsep mendasar bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dalam pembelajaran, yakni pebelajar tidak berkewajiban untuk mengadopsi kebudayaan penutur asli bahas Inggris, bahasa Inggris telah dimiliki oleh semua kalangan dan tidak terbatas pada penutur asli bahasa Inggris, dan tujuan pembelajaran bahasa Inggris adalah memampukan pebelajar mengomunikasikan ideide dan kebudayaan mereka kepada orang lain. Konsep tersebut diatas kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi para pemangku

kepentingan

dalam

memformulasikan

pembelajaran

sesuai

dengan

kebutuhan pebelajar termasuk di Indonesia. Jazadi (2000). Kurikulum 2006 merupakan langkah

awal

dalam

mengimplementasikan

bahasa

Inggris

sebagai

bahasa

internasional. Hal ini dapat dilihat pada penyajian materi pembelajaran kontekstual sesuai dengan pengalaman nyata peserta didik dan tidak lagi sepenuhnya mengadopsi materi dan budaya dari negara bahasa target. Kirkpatrick (20020 menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak membutuhkan kurikulum yang menuntut mereka memahami kebudayaan penutur asli tapi lebih kepada pemahaman akan kebudayaan mereka sendiri sehingga nantinya mereka dapat mempromosikan budayanya secara global. Melihat materi pembelajaran bahasa Inggris pada kurikulum 2013, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sudah tercantum didalamnya dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengekspresikan gagasan mereka secara spontan sesuai dengan pengalaman nyata mereka sehari-hari, tingkat kesulitan materi sudah disesuaikan dengan perkembangan peserta didik, pembelajaran berpusat pada peserta didik dan guru bertindak sebagai fasilitator, serta materi pembelajaran memuat budaya lokal Indonesia yang beraneka ragam. Perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah berkontribusi dalam

pengembangan

kurikulum

pembelajaran

bahasa

Inggris

dengan

tidak

mengorientasikan pembelajaran pada budaya bahasa target semata akan tetapi turut memberikan keleluasaan bagi pebelajar untuk memahami budayanya sendiri serta 6 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

menggunakan bahasa Inggris tidak hanya untuk berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris (inner circle coutries) akan tetapi dapat pula berinteraksi dengan nonpenutur bahasa Inggris asli (outer circle countries dan expanding circle countries).

Daftar Pustaka Alwasilah, A. C. (2001). Language, culture, and education: A portrait of contemporary Indonesia. Bandung, Indonesia: CV. Andira.

7 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203

Crystal, D. (1997). English as a global language. New York: Cambridge University Press. Dardjowidjojo, S. (2000). English teaching in Indonesia. EA Journal, 18 (1), 22-30. Jazadi, I. (2000). Constraints and resources for applying communicative approaches in Indonesia. EA Journal, 18 (1), 31-40. Kirkpatrick, A. (2002). ASEAN and Asian cultures and models: Implications for the ELT curriculum and for teacher selection. In Kirkpatrick, A (Ed.), Englishes in Asia: Communication, identity, power and education. Melbourne, Australia: Language Australia Ltd. McKay, S. L. (2003). EIL curriculum development. RELC Journal, 34 (31), 31-47. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Pedoman Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: BPSDMPK-PMP.

8 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=266:bahasa-inggris&catid=42:widyaiswara&Itemid=203