BADAN KEBIJAKAN FISKAL

Download terwujudnya rumusan kebijakan fiskal yang applicable dan bermanfaat dengan memperhitungkan beban risiko fiskal...

0 downloads 216 Views 40MB Size
1

2012 LAPORAN TAHUNAN

ANNUAL REPORT

BADAN KEBIJAKAN FISKAL

2

VISI

MENJADI UNIT TERPERCAYA DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL YANG ANTISIPATIF DAN RESPONSIF MISI 1. Menyajikan informasi dan pemantauan ekonomi dan sektor keuangan yang terkini 2. Mewujudkan rumusan kebijakan pendapatan Negara, APBN, serta ekonomi makro yang dipercaya dengan didukung hasil kajian (research based policy) 3. Mewujudkan pengelolaan risiko fiskal yang prudent 4. Mewujudkan pelaksanaan kerja sama ekonomi dan keuangan internasional yang memberikan manfaat optimal 5. Mewujudkan sumber daya manusia yang profesional melalui peningkatan kompetensi dan disiplin pegawai 6. Memutakhirkan instrumen kebijakan

3

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI

SAMBUTAN

KEPALA BKF Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas perkenan-Nya, penulisan Buku Laporan Tahunan Badan Kebijakan Fiskal 2012 dapat diselesaikan. Buku ini merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban dari Badan Kebijakan Fiskal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya selaku unit pengelola kebijakan fiskal di lingkungan Kementerian Keuangan. Seluruh kinerja yang dicapai BKF dalam tahun 2012 tentunya tidak dapat dicapai tanpa kerja keras dan kerjasama seluruh pegawai BKF yang senantiasa waspada, antisipatif dan responsif dalam menjalankan tugas.

e r u t a n g i S

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

4

PROFIL ORGANISASI

SEJARAH Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN sejak awal orde baru, yaitu Repelita I tahun anggaran 1969/1970, Dikoordinasikan oleh Staf Pribadi Menteri Keuangan, dan sejak tahun 1975 dilakukan oleh Biro Perencanaan dan Penelitian, Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Untuk mendukung perkembangan pembangunan yang semakin pesat, pada tahun 1985 dibentuk suatu unit organisasi setingkat eselon II yang khusus menangani penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, yaitu Pusat Penyusunan dan Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PPA-APBN), yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan.

Sesuai dengan perkembangan keadaan. Penyusunan Nota Keuangan danRAPBN tidak hanya membahas mengenai perkembangan keuangan negara, namun juga erat kaitannya dengan perkembangan perkreditan dan neraca pembayaran, sehingga pada tahun 1987 dibentuk unit setingkat eselon I, yaitu Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP&NP) yang merupakan penggabungan tugas pokok dan fungsi PPA-APBN dengan sebagian tugas fungsi Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri dan Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri, yang dituangkan dalam

“Sejak berlakunya UU paket reformasi keuangan negara, BKF telah melakukan penataan organisasi meliputi pemisahan, penggabungan, penajaman fungsi”

5

Keppres Nomor 36 Tahun 1987, tentang Susunan dan Organisasi Departemen, dan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/ KMK.01/1988 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran. Dalam tahun 1993, susunan dan uraian tugas BAKNP&NP dikembangkan dengan memasukkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan dan Moneter. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 32/KMK.01/1993, tanggal 6 Januari 1993, nama BAKNP&NP diubah menjadi Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM). BAKM mempunyai empat biro, yaitu Biro Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Biro Analisa Moneter, Biro Analisa Keuangan Daerah, dan Biro Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, serta Sekretariat Badan. Selanjutnya, dengan Keputusan Presiden Nomor 177 tahun 2000, tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan tanggal 3 Januari 2001, BAKM disempurnakan dan namanya diganti menjadi Badan Analisa Fiskal (BAF), dengan memisahkan Biro Analisa Keuangan Daerah dan mengembangkan Pusat Analisa APBN, menjadi dua Pusat, yaitu Pusat Analisa Pendapatan Negara dan Pembiayaan Anggaran dan Pusat Analisa Belanja Negara.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi di Departemen Keuangan, pada tanggal 23 Juni 2004 dilaksanakan reorganisasi dengan membentuk Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 2004 dan merupakan penggabungan dari beberapa unit eselon II yang berasal dari Badan Analisa Fiskal (BAF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Pendapatan Daerah (Dirjen PKPD) serta Biro Kerjasama Luar Negeri dari Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Adapun Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan (Puspeku), Pusat Pengkajian Perpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Puspakep), Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Puspekda), Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah (Puseparda), Pusat Kerjasama Internasional (Puskerin), serta Sekretariat Badan. Dengan adanya reorganisasi di Departemen Keuangan, pada tahun 2006 sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 nama Bapekki berubah menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kerjasama Internasional serta Sekretariat Badan. Kemudian seiring dengan berlakunya reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan dan penyesuaian tugas pokok dan fungsi BKF sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan maka struktur organisasi di lingkungan Badan Kebijakan Fiskal menjadi Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional, dan Sekretariat Badan Kebijakan Fiskal. Dalam perkembangannya, BKF telah menjalankan proses organization reinventing dalam bentuk penataan organisasi. Sejak berlakunya UU paket reformasi keuangan negara, BKF telah melakukan penataan organisasi meliputi pemisahan, penggabungan, penajaman fungsi. Seiring dengan berlakunya reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan, BKF telah mengalami perubahan struktur organisasi dan tata kerja sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 dan PMK 184/PMK.01/2011.

6

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO KEPALA BKF

Bambang brodjonegoro Lahir di Jakarta pada tanggal 13 Oktber 1966 , menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1990. Meraih gelar Master of Arts (MA) dari University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika tahun 1995. Selanjutnya gelar Doctor of Philosopy (Ph.D) dari universitas yang sama diperoleh pada tahun 1997. Perjalanan Karirnya pernah menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dari tahun 2005-2009. Pada tahun 2009-2010 pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Islamic Research and Training Institute (IRTI) di Islamic Development Bank (IDB) Jeddah. Pada awaltahun 2011 kembali ke tanah air untuk mengabdi sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal.

7

PROFIL ORGANISASI

PEJABAT

ANDIN HADIYANTO

ASTERA PRIMA

LUKY ALFIRMAN

Andin Hadiyanto lahir pada tanggal 9 Juni 1965 di Wonosobo , menempuh pendidikan Sarjana Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Universitas Gajah Mada tahun 1989. Meraih gelar Master dan Ph.D in Economics dari Nagoya University, Jepang, pada tahun 2000.

Lahir di Jakarta 20 Januari 1968, Lulus dari Institut Teknologi Bandung pada tahun 1994 sebagai Sarjana Teknik Kimia. Memperoleh gelar Master of Arts in Economics pada tahun 2000, dilanjutkan dengan gelar Ph.D pada tahun 2004 dari University of Colorado, Amerika.

Lahir pada tanggal 27 Maret 1970 di Bandung, Lulus dari Institut Teknologi Bandung pada tahun 1994 sebagai Sarjana Teknik Kimia. Memperoleh gelar Master of Arts in Economics pada tahun 2000, dilanjutkan dengan gelar Ph.D pada tahun 2004 dari University of Colorado, Amerika.

SEKRETARIS BKF

KEPALA PKPN

KEPALA PKAPBN

8

ROFYANTO K.

FREDDY R.SARAGIH

DECY ARIFINSJAH

Lahir di Tegal 9 Januari 1970 , menempuh pendidikan sarjana teknik sipil di Intitut Teknologi Bandung tahun 1995 dan mendapatkan gelar Master of Business Administration di Nanzan University pada tahun 2003

Lahir pada tanggal 23 Mei 1959, Menyelesaikan studinya pada tahun 1984 di Fakultas Ekonomi, jurusan Akuntansi, Universitas Gajah Mada. Meraih gelar Master in Professional Accounting (M.P.Acc) dari University of Texas at Austin, Amerika, pada tahun 1992.

Lhir di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1962 , menempuh pendidikan sarjana kehutanan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan mendapatkan gelar Master of Arts Economic di University of Colorado at Devnver tahun 1997

KEPALA PKEM

KEPALA PPRF

KEPALA PKRB

9

IRFA AMPRI

KEPALA PKPPIM

Lahir di Binjai 12 Desember 1965, menempuh pendidikan Master of Arts in Acounting and Finance di University of Lancaster pada tahun 1998 dan mendapat gelar Doctor of Philosophy in Business Administration di University of Japan januari 2003.

10

ANDIN HADIYANTO SEKRETARIS BADAN KEBIJAKAN FISKAL

11

AB “Bersama -sama mewujudkan Badan Kebijakan Fiskal sebagai unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsif”

AB - ANDIN -

12

BAGAN ORGANISASI BADAN KEBIJAKAN FISKAL BADAN KEBIJAKAN FISKAL SEKRETARIAT BADAN

BAGIAN ORGANISASI DAN KEPEGAWAIAN

PUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA

BIDANG KEBIJAKAN ANGGRAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO

BIDANG KEBIJAKAN PENERIMAAN PERPAJAKAN

BIDANG PEMANTAUAN DINI DAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO

BIDANG KEBIJAKAN PAJAK DAN PNPB II

BIDANG KEBIJAKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

ANALISIS SEKTOR RIIL

BIDANG KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI I

BIDANG KEBIJAKAN BELANJA PUSAT

BIDANG KEBIJAKAN PAJAK DAN PNPB I

BIDANG KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI II

BIDANG KEBIJAKAN SUBSIDI

BIDANG EVALUASI KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA

BIDANG KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

BIDANG

BIDANG ANALISIS FISKAL

BIDANG

ANALISIS MONETER

DAN LEMBAGA KEUANGAN BIDANG DATA EKONOMI MAKRO DAN ADMINISTRASI PENGKAJIAN

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

BAGIAN PERENCANAAN DAN KEUANGAN

PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL

BIDANG REKOMENDASI PENGELOLAAN RISIKO FISKALO

BAGIAN DATA DAN INFORMASI

BAGIAN UMUM

PUSAT KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PERUBAHAN IKLIM DAN MULTILATERAL

PUSAT KEBIJAKAN REGIONAL DAN BILATERAL

BIDANG PERUBAHAN IKLIM I

BIDANG ASEAN

BIDANG ANALISIS RISIKO EKONOMI KEUANGAN SOSIAL

BIDANG PERUBAHAN IKLIM II

BIDANG INTERREGIONAL

BIDANG ANALISIS RISIKO BUMN

BIDANG FORUM G 20

BIDANG BILATERAL

BIDANG ANALISIS RISIKO DUKUNGAN PEMERINTAH

BIDANG FORUM MULTILATERAL

BIDANG EVALUASI KEBIJAKAN REGIONAL DAN BILATERAL

BIDANG PERATURAN PENGELOLAAN RISIKO FISKAL

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

13

Visi “Menjadi unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsif”

Misi 1. Menyajikan informasi dan pemantauan ekonomi dan keuangan yang terkini 2. Mewujudkan rumusan kebijakan pendapatan negara, APBN, serta ekonomi makro yang dipercaya dengan didukung hasil kajian (research based policy) 3. Mewujudkan pengelolaan risiko fiskal yang pasti dan terukur 4. Mewujudkan pelaksanaan kerjasama ekonomi dan keuangan internasional yang memberikan manfaat optimal bagi kebijakan fiskal dan perekonomian 5. Mewujudkan sumber daya manusia yang profesional melalui peningkatan kompetensi dan disiplin pegawai 6. Memutakhirkan instrumen kebijakan yang terkini dan aplikatif.

Tujuan strategis Tujuan strategis BKF yang ingin dicapai adalah terwujudnya rumusan kebijakan fiskal yang applicable dan bermanfaat dengan memperhitungkan beban risiko fiskal yang terukur.

Sasaran strategis Untuk mencapai tujuan strategis tersebut, sasaran strategisnya adalah: a. Rekomendasi kebijakan fiskal yang kredibel b. Proyeksi indikator ekonomi makro dan APBN yang akurat c. Risiko fiskal yang terukur d. Kerja sama ekonomi dan keuangan internasional yang optimal e. Informasi kebijakan fiskal dan kajian BKF yang mudah diakses f. Database informasi yang terintegrasi dan terkini g. Analisis dan kajian dengan pendekatan ilmiah h. Perumusan rekomendasi kebijakan yang efisien dan tepat waktu i. Pembentukan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi j. Pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien k. Pembangunan sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi yang terintegrasi l. Pengelolaan anggaran yang optimal.

14

Capaian Kinerja BKF 2012 No.

1.

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja Utama

Target

Realisasi

Indeks Capaian

Rekomendasi Kebijakan Fiskal yang Kredibel

Persentase rekomendasi kebijakan yang ditetapkan/diterima Menkeu

70%

84,67%

1210%

4

4

100%

5%%

2,52%

198120%

Deviasi proyeksi APBN

5%

4,84%

103%

90%

90%

100%

Jumlah kebijakan dalam rangka peningkatan penerimaan negara 2.

Proyeksi Indikator Ekonomi Makro dan APBN yang Akurat

Deviasi proyeksi indikator ekonomi makro

3.

Risiko Fiskal yang Terukur

Persentase cadangan anggaran risiko fiskal yang digunakan

4.

Kerja sama Keuangan Internasional yang Optimal

Jumlah usulan kebijakan Indonesia yang diadopsi dalam kerja sama ekonomi dan keuangan internasional

25

25

100%

5.

Informasi Kebijakan Fiskal dan Kajian BKF yang accessible dan efektif

Tingkat efektivitas edukasi dan komunikasi

75

81,34

110,41%

Jumlah publikasi kajian

55

98

Jumlah rata-rata user access laporan/kajian yang dipublikasikan dalam web BKF

150

176

3

3,14

105%

Persentase jenis data yang dimutakhirkan dalam server database

100%

100%

100%

Persentase rekomendasi yang menggunakan alat analisis ekonomi

80%

83%

103,7%

Jumlah model ekonomi yang dikembangkan

16

21

100%

90%

90%

83,3

104,61%

6.

7.

Database Informas yang Terintegrasi dan Up To Date

Analisis dan Kajian dengan Pendekatan Ilmiah

Tingkat kepuasan pemanfaatan database BKF

Persentase implementasi alat analisis dari hasil kerja sama Perguruan Tinggi Indeks ketepatan waktu penyelesaian tindak lanjut Inpres

80

15

No.

8.

9.

10.

11.

12.

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja Utama

Target

Realisasi

Indeks Capaian

Perumusan Rekomendasi Kebijakan yang Efisien dan Tepat Waktu

Rata-rata waktu penyelesaian quick response policy

4 hari

2,88 hari

13820%

Persentase pelaksanaan kajian yang tepat waktu

100%

99,75%

99,75%

Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya

95%

95,93%

Persentase tingkat disiplin kehadiran pegawai

96%

96,2%

100,3%

Persentase jam pelatihan pegawai BKF terhadap jam kerja

4%

4,48%

112%

Persentase mitigasi risiko yang selesai dijalankan

70%

98,5%

14220%

Indeks kepuasan pegawai

3,5

3,21

91,71%

Persentase Policy Recommendation hasil pengawasan yang ditindaklanjuti

85%

100%

118%

Indeks Reformasi Birokrasi

92

88,64

96,35%

Persentase Integrasi TIK BKF-Kemenkeu

100%

98,75%

98,75%

Tingkat Pemanfaatan IT

3

3,5

116,67%

Persentase Akurasi data SIMPEG

100%

100%

100%

Persentase Penyerapan DIPA

95%

88,39%

93,04%

Pembentukan SDM yang Berkompetensi Tinggi

Pengelolaan Organisasi yang Efektif dan Efisien

Pembangunan Sistem TIK yang Terintegrasi

Pengelolaan anggaran yang optimal

16

ASTERA PRIMANTO BHKATI KEPALA PUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA (PKPN)

17

AB “Arah kebijakan pendapatan negara pada tahun 2012 dirumuskan dalam kerangka kebijakan fiskal terkait dengan pemberian insentif dan/atau disinsentif pada bidang perpajakan ”

AB - ASTERA PRIMA -

18

KEBIJAKAN

PENDAPATAN NEGARA Arah kebijakan pendapatan negara pada tahun 2012 dirumuskan dalam kerangka kebijakan fiskal terkait dengan pemberian insentif dan/atau disinsentif pada bidang perpajakan yang bertujuan untuk : (i) Optimalisasi pendapatan negara. (ii) Melakukan pengendalian harga (iii)

pangan pokok; Meningkatkan investasi dan menggerakan sektor riil;

(iv) Meningkatkan daya saing produk dalam negeri; (v) Memulihkan injury industri dalam negeri karena adanya unfair trade; Kebijakan-kebijakan tersebut dituangkan ke dalam programprogram perumusan kebijakan fiskal yang dilakukan, adalah sebagai

berikut: a. Optimalisasi penerimaan perpajakan dan PNBP, melalui kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kebijakan perpajakan (Pajak, Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai) dan PNBP. b. Stabilisasi harga pangan pokok dilaksanakan melalui kebijakan fiskal dalam kerangka pengendalian harga pangan pokok. Hal ini dilaksanakan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Sebagai contoh adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Berupa Kacang Kedelai. c. Peningkatan investasi dalam rangka lebih menggerakan sektor

riil dilaksanakan dengan menerbitkan kebijakan yang diharapkan dapat mendukung peningkatan investasi yaitu melalui pemberian fasilitas atau keringanan perpajakan bagi wajib pajak yang melakukan investasi baru maupun perluasan usaha. Sebagai contoh, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah untuk sektor industri tertentu, Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday), Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah pada sektor usaha tertentu. d. Peningkatan daya saing produk dalam negeri dilaksanakan melalui perubahan sistem klasifikasi barang dan pembeba-

19

nan tarif bea masuk impor yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. e. Peningkatan perdagangan dilaksanakan dengan cara memperluas akses pasar yaitu melalui skema-skema perjanjian perdagangan internasional yang didalamnya termasuk mencakup kerjasama-kerjasama tarif preferensi. Upaya ini dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan yang terkait dengan perjanjian-perjanjian perdagangan internasional (free trade area). f. Penetapan Tarif Bea Masuk Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan atas sejumlah produk, guna memulihkan injury industri dalam negeri karena adanya unfair trade dan ketidakseimbangan perdagangan yang dilakukan oleh satu/ sejumlah negara, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan dalam rangka pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan. Sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan, output yang dihasilkan oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara pada tahun 2012 sebanyak 45 buah PMK sebagai berikut : a. Optimalisasi penerimaan perpajakan dan PNBP. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tanggal 16 Mei 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.012/2012 tanggal 12 November 2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA “Optimalisasi penerimaan perpajakan dan PNBP, melalui kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kebijakan perpajakan (Pajak, Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai) dan PNBP. ”

PENGENDALIAN HARGA PANGAN POKOK “Stabilisasi harga pangan pokok dilaksanakan melalui kebijakan fiskal dalam kerangka pengendalian harga pangan pokok ”

MENINGKATKAN INVESTASI DAN MENGGERAKAN SEKTOR RIIL “Peningkatan investasi dalam rangka lebih menggerakan sektor riil dilaksanakan dengan menerbitkan kebijakan yang diharapkan dapat mendukung peningkatan investasi yaitu melalui pemberian fasilitas atau keringanan perpajakan bagi wajib pajak yang melakukan investasi baru maupun perluasan usaha.”

MENINGKATKAN DAYA SAING PRODUK DALAM NEGERI “Peningkatan daya saing produk dalam negeri dilaksanakan melalui perubahan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk impor yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri.”

MEMULIHKAN INJURY INDUSTRI DALAM NEGERI “Penetapan Tarif Bea Masuk Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan atas sejumlah produk, guna memulihkan injury industri dalam negeri”

20

-

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012 tanggal 6 agustus 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/ PMK.03/2008 Tentang Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang Dimiliki Dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu.

b. Stabilisasi harga pangan pokok. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.011/2012 tanggal 13 Agustus 2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Berupa Kacang Kedelai. Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan dalam rangka menjaga stabilitas harga kacang kedelai di dalam negeri dengan memperhatikan kepentingan petani dan konsumen. c. Kebijakan Peningkatan investasi dalam rangka lebih menggerakan sektor riil. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.011/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Memproduksi Barang Dan/ Atau Jasa Guna Kepentingan Umum Dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan dalam rangka memenuhi penyediaan barang dan/ atau jasa untuk kepentingan umum, dikonsumsi oleh masyarakat luas, dan/atau melindungi kepentingan konsumen, peningkatan daya

-

-

-

-

saing industri tertentu di dalam negeri, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan meningkatkan pendapatan negara. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Kemasan Plastik, Plastik Lembaran, Biaxially Oriented Polypropylene Film, Cast Polypropylene Film, Barang Dan/ Atau Perabot Rumah Tangga Dari Plastik, Karung Plastik, Benang Dari Plastik, Terpal Plastik, Dan/ Atau Geotekstil Untuk Tahun Anggaran 2012 Peraturan Menteri Keuangan nomor 97/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Peralatan Telekomunikasi Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan nomor 98/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Tinta Khusus (Toner) Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Kemasan Infus Dan/ Atau Produksi Obat Infus Untuk Tahun Anggaran 2012.

-

-

-

-

-

Peraturan Menteri Keuangan nomor 100/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Perbaikan Dan/Atau Pemeliharaan Pesawat Terbang Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan nomor 101/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Resin Berupa Alkyd Resin, Unsaturated Polyester Resin, Amino Resin, Pigment Phthalate, Solution Acrylic/Synthetic Latex, Plasticizer, Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Pupuk Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Kabel Serat Optik Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan nomor 104/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Dan/ Atau Produk Elektronika Untuk Tahun Anggaran 2012.

21

-

-

-

-

-

Peraturan Menteri Keuangan nomor 105/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Dan/Atau Perbaikan Kapal Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Dan/Atau Perbaikan Gerbong Barang, Kereta Penumpang, Kereta Rel Listrik/ Diesel, Bogie, Dan Komponen Kereta Api Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Komponen Kendaraan Bermotor Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 108/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Karpet Dan/ Atau Permadani Guna Pembuatan Karpet Dan/Atau Permadani. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Alat Tulis Berupa Ballpoint Untuk Tahun Anggaran 2012.

-

-

-

-

-

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.011/2012 tanggal 13 Juni 2012 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Dan Bahan Guna Pembuatan Bagian Tertentu Alat Besar Dan/ Atau Perakitan Alat Besar Untuk Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.011/2012 tanggal 13 Januari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Bunga Obligasi. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 tanggal 2 Februari tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/ PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing Dan Satuan Mata Uang Asing Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.011/2012 tanggal 12 Juli tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Dan Penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Untuk Pembangkitan Energi/ Listrik Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.011/2012 tanggal 3 September tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di BidangBidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu.

-

-

-

-

-

Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2007 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan peraturan pemerintahnomor 52 tahun 2011. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.011/2012 tanggal 10 September 2012 tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas Bunga Atau Imbalan Surat Berharga Negara Yang Diterbitkan Di Pasar Internasional Dan Penghasilan Pihak Ketiga Atas Jasa Yang Diberikan Kepada Pemerintah Dalam Penerbitan Surat Berharga Negara Di Pasar Internasional Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.011/2012 tanggal 29 Oktober 2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/ PMK.03/2008 Tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional Dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.011/2012 tanggal 3 Agustus 2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/

22

PMK.03/2007 Tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa Dan Pelajar, Serta Perumahan Lainnya, Yang Atas Penyerahannya Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. d. Peningkatan daya saing produk dalam negeri. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.011/2012 tanggal 21 Mei 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal. - Peraturan Menteri Keuangan 154/ PMK.011/2012 tanggal 16 Oktober 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan Dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum. e. Peningkatan perdagangan dilaksanakan dengan cara memperluas akses pasar yaitu melalui skema-skema perjanjian perdagangan internasional. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.011/2012 tanggal 10 Juli tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEANKorea Free Trade Area (AK-FTA).

-

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.011/2012 tanggal 10 Juli tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEANChina Free Trade Area (AC-FTA).

f. Penetapan Tarif Bea Masuk Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan atas sejumlah produk. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.011/2012 tanggal 19 April 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.011/2011 Tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Tali Kawat Baja (Steel Wire Ropes) Dengan Pos Tarif 7312.10.90.00. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.011/2012 tanggal 24 April 2012 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Keramik Berupa Perangkat Makan, Perangkat Dapur, Peralatan Rumah Tangga Lainnya, Dan Peralatan Toilet, Dari Republik Rakyat Tiongkok. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.011/2012 tanggal 1 Oktober 2012 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Canai Lantaian Dari Besi Atau Baja Bukan Paduan Tidak Dalam Gulungan Dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, Dan Ukraina. - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.011/2012 tanggal 20 November 2012 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Barang Yang Berbentuk

-

Kotak Atau Matras Atau Silinder Yang Terbuat Dari Kawat Besi Atau Baja, Dengan Diameter Ketebalan Paling Kecil 2 mm Sampai Dengan Paling Besar 5 mm, Yang Dianyam Dengan Lilitan Ganda Sehingga Membentuk Lingkaran Heksagonal Sebesar Paling Kecil 50 mm Sampai Dengan Paling Besar 120 mm, Yang Disepuh Atau Dilapisi Dengan Seng Atau Plastik/ PVC. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.011/2012 tanggal 5 Desember 2012 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara Terhadap Impor Tepung Gandum.

Kajian dan Kegiatan Dalam mendukung program kerja Badan Kebijakan Fiskal di bidang kebijakan pendapatan, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara pada tahun 2012 melakukan beberapa kajian diantaranya : 1. Kajian Komparasi Kebijakan Insentif Perpajakan di Beberapa Negara. Kajian ini memberikan gambaran tentang perbandingan sistem perpajakan dan insentif pajak beberapa negara dengan yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Kajian ini akan membahasa beberapa permasalahan, diantaranya: (i) Bagaimana kebijakan insentif pajak di Indonesia dibandingkan dengan kebijakan insentif fiskal di beberapa negara; (ii) Berdasarkan perbandingan tersebut di atas, bagaimana memposisikan Indonesia relatif terhadap

23

negara pembanding tersebut dan bagaimana Indonesia menentukan arah kebijakannya di masa mendatang. Berdasarkan hasil kajian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : (i) Secara keseluruhan Indonesia termasuk negara yang selektif dalam memberikan insentif fiskal, sebagian besar merupakan pengembangan insentif pajak penghasilan berdasarkan ketentuan pasal 31 A UU PPh. Fasilitas tax holiday, yang diberikan kembali setelah tidak dikenal sejak reformasi perpajakan tahun 1983, merupakan suatu terobosan yang dipandang cukup menjanjikan dalam mendatangkan investasi. Sementara itu, negara-negara anggota ASEAN cenderung lebih agresif, termasuk membukan fasilitas tax holiday untuk sektor

ekonomi yang sangat luas cakupannya. Jika dibandingkan dengan negara-negara yang termasuk dalam emerging countries,maka insentif fiskal diberikan untuk pengembangan yang bersifat memberikancompetitive advantage, bukan lagi mengarah kepada comparative advantage. Oleh karena itu, bentuk insentif fiskal negara yang termasuk kelompok inimemberikan untuk sektor yang bersifat jangka panjang; (ii)Dengan kombinasifasilitas insentif perpajakan saat ini (belum efektifnya fasilitas Tax Holliday),Indonesia mampu menarik Foreign Direct Investment (FDI) dengan nilai nominalyang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Tetapi, jika nilai nominal FDItersebut disandingkan dengan

PDB dari masing-masing negara, FDI Indonesia(dan Filipina) termasuk yang paling kecil, hanya 2,3% dari PDB nominal . Sementara negara-negara ASEAN lainnya mampu menghasilkan FDI dengan proporsi berkisar 4,3% hingga 63,0%). Sedangkan jika dibandingkan negara negara yang termasuk dalam emerging countries seperti Brazil, India dan Cina, nilai FDI Indonesia termasuk paling kecil; (iii) Hasil simulasi model GTAP dengan memberikan tarif PPh sebesar 0% untuk sektor-sektor tertentu menghasilkan prakiraan dampak dalam jangka pendek akan terjadi perubahan positif terhadap nilai perdagangan di sektor yang bersangkutan, namun berdampak negatif pada trade balance secara

24

keseluruhan terhadap sebagian besar negara yang diuji. Hal ini diduga terjadi karena perubahan yang terjadi pada sektor-sektor tersebut tidak dengan segera diikuti dengan perubahan pada sektorsektor lain yang terkait. Pengecualian terjadi pada negara India dan Thailand, di mana pada kedua negara ini, nilai trade balance secarakeseluruhan bergeraka ke arah positif. Hal ini terjadi karena kedua negara ini memiliki industri mesin yang kuat, sehingga perubahan yang terjadi pada suatu sektor dengan cepat dapat diikuti oleh sektor-sektor lain yang terkait. Rekomendasi Kebijakan : a) Insentif perpajakan bukanlah faktor dominan dalam penentuan investasi. Hal ini ditunjukkan Indonesia, dengan tax holiday yang terbatas, tetap mampu menarik FDI yang lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN lain, yang memberikan tax holiday ke sektorsektor yang lebih luas. Untuk itu direkomendasikan agar pemerintah konsisten dengan kebijakan yang ada, tidak memberikan insentif pajak yang berlebihan, kecuali untuk sektor-sektor yang benarbenar memberikan dampak yang signifikan positif terhadap perekonomian. Perlu dilakukan kajian yang mendalam sebelum mengambil kebijakan pemberian insentif pajak baru. b) Berdasarkan Global Competitiveness Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum diketahui bahwa terdapat dua faktor pendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia

yang dinilai masih rendah yaitu infrastruktur dan kesiapan teknologi. Sebagaimana teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh George Solow (Solow growth model), teknologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara setelah tenaga kerja dan modal. Negara-negara yang termasuk emerging countries pada umumnya memberikan insentif pajak yang besar terhadap kegiatan research and development. Dalam rangka penguasaan teknologi di masa depan, perlu diberikan insentif untuk kegiatan research and development. Selain itu, MP3EI mengarahkan pembangunan ekonomi Indonesia menuju innovation-driven economy, sehingga sangat menuntut penguasaan teknologi dan perlu diberikan suatu bentuk insentif fiskal khusus. c) Pemberian fasilitas tax holiday oleh negara-negara ASEAN lain termasuk sangat terbuka dan dapat mengarah menjadi harmful tax competition. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama ekonomi, khususnya perpajakan, agar dapat menjaga kondisi ASEAN sebagai kawasan yang paling dinamis perekonomiannya di seluruh dunia. 2. Kajian Komparasi Harmonisasi PPN dengan Pajak Daerah di Beberapa Negara. Kajian ini bertujuan untuk: (i) Melakukan analisis permasalahan harmonisasi PPN dengan pajak daerah di Indonesia; (ii) Melakukan analisis perbandingan harmonisasi antara pajak pusat dengan pajak

daerah dengan negara lain; dan (iii) Menganalisis dampak ekonomi dari pengenaan PPN dan Pajak Daerah terhadap perekonomian Indonesia. Setelah dilakukan analisa maka dapat disimpulkan bahwa : a) Persinggungan (disharmoni) PPN dan Pajak Daerah berpotensi dan/atau terjadi pada pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, dan pajak mineral bukan logam dan batuan. b) Sistem pajak daerah di Indonesia termasuk sederhana dalam pengaturan dan penerapannya dibandingkan dengan negara-negara lain yang cukup rumit.Misalnya di India yang cukup rumit dalam sistem pembagian pajak pusat dan pajak negara bagian. c) Hasil simulasi penghitungan atas skenario pengenaan berganda pajak daerah dan PPN (skenario berupa kenaikan sebesar 25% dari tarif saat ini) dengan memanfaatkan model yang telah dikembangkan oleh BKF menunjukkan beberapa dampak ekonomi, sebagai berikut : - Sektor-sektor yang bersangkutan, yaitu sektor jasa restoran serta jasa hiburan, mengalami penurunan output, sehingga berujung terhadap penurunan GDP sebesar -0,98%. - Sektor-sektor yang terdampak adalah sektor yang bersangkutan (jasa restoran, jasa hotel dan jasa hiburan) dan sektor penunjangnya, misalnya penyuplai bahan baku (peternakan dan

25

hasil-hasilnya) dan industri minuman. - Sebagai akibat penurunan output, maka sektor-sektor tersebut pada akhirnya akan melakukan penyesuaian terbesar dengan menurunkan jumlah tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar (lebih dari 10%). - Pengenaan pajak berganda mengakibatkan kenaikan jumlah net saving APBN sebesar 0,023 % dari APBN. Net saving berasal dari tambahan penerimaan pajak bersih dan berkurangnya pengeluaran pemerintah dalam tahun yang bersangkutan. Rekomendasi Kebijakan : a) Apabila terjadi disharmoni yang menimbulkan pajak berganda, Pemerintah Pusat sebaiknya berpedoman pada UU PDRD dan menyerahkan hak pemajakannya kepada Pemerintah Daerah. - Penentuan jenis barang hasil pertambangan yang bukan merupakan objek PPN, khususnya untuk jenis mineral bukan logam dan batuan, sebaiknya mengacu kepada UU PDRD. - Untuk disharmoni PPN dengan Pajak Restoran, perlu pengaturan lebih lanjut mengenai pengertian/batasan restoran, termasuk jasa boga atau katering, yang didasarkan pada izin usahanya. Bab III Akuntabilitas Kinerja dan Akuntabilitas Keuangan LAKIP Badan Kebijakan Fiskal 2012 76

b) Sebelum kebijakan dituangkan dalam bentuk peraturan perundangundangan, sebaiknya dilakukan kajian yang komprehensif terlebih dahulu agar tidak menimbulkan gugatan yang mengakibatkan adanya pembatalan pasal dalam Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi seperti halnya pengenaan Pajak Hiburan atas olah raga golf. 3. Tim Verifikasi dan Penelitian Pemberian Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Dalam rangka lebih meningkatkan iklim investasi, khususnya investasi pada industri pionir, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/ PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurang Pajak Penghasilan. Peraturan Menteri Keuangan ini merupakan bentuk pelaksanaan dari ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut diatur bahwa untuk dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurang Pajak Penghasilan (tax holiday), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan melalui Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM). Penelitian atas

permohonan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari Kementerian atau Badan yang menerima permohonan, kemudian berdasarkan hasil penelitian dan kajian tersebut diajukan usulan kepada Menteri Keuangan untuk kemudian dilakukan verifikasi serta rekomendasi oleh Komite Verifikasi, yang kemudian ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada tahun 2012, terdapat dua Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan pemberian fasilitas tax holiday, melalui Kementrian Perindustrian yang dinilai memenuhi persyaratan dan telah dilakukan verifikasi oleh komite verifikasi. Kedua Wajib Pajak tersebut adalah PT Unilever Oleochemical Indonesia dan PT Petrokimia Butadiene Indonesia. PT Unilever Oleochemical Indonesia bergerak di bidang usaha Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, dengan rencana investasi pada aset tetap sebesar Rp1.233.619.000.000,00. Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi atas kegiatan usaha PT Unilever Oleochemical Indonesia, dengan mempertimbangkan posisi strategis industri dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process, telah diputuskan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 463/ KMK.011/2012 untuk memberikan fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan dengan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak dimulainya produksi komersial dan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan jangka waktu

26

sebesar 50% selama 2 (dua) tahun sejak berakhirnya fasilitas pembebasan Pajak. Wajib Pajak kedua, PT Petrokimia Butadiene Indonesia, bergerak di bidang usaha Industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi, gas alam dan batubara dengan rencana investasi pada aset tetap sebesar Rp1.348.500.000. Telah dilakukan penelitian dan verifikasi sesuai ketentuan yang berlaku, dinilai Wajib Pajak telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai Wajib Pajak yang berhak mendapatkan fasilitas tax holiday, serta mempunyai dampak strategis bagi perekonomian. Dengan pertimbangan besarnya nilai investasi, dampak strategis bagi perekonomian, proyeksi keuangan yang dalam tahun kedua telah menghasilkan laba, dan pertimbangan lainnya, Tim Teknis merekomendasikan untuk mengabulkan permohonan PT PBI dengan memberikan fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan selama 5 tahun dan fasilitas pengurangan sebesar 50% Pajak Penghasilan badan selama 2 tahun. Pemberian fasilitas tersebut telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 462/ KMK.011/2012. Dalam pelaksanaan penelitian dan verifikasi permohonan Wajib Pajak, terdapat beberapa acuan atau metode yang digunakan untuk menentukan kepioniran suatu industri. Pertama adalah dengan mengacu pada pohon industri yang disusun oleh Kementerian Perindustrian dan kedua dengan penggunanaan metode Analytidal Hierarcy Process

(AHP), dengan penentuan kriteria dan sub kriteria serta bobot dan nilai minimal (threshold) dari masing-masing kriteria, untuk menentukan tingkat kepioniran dan nilai stategis dari industri tertentu. Fasilitas tax holiday bukan satusatunya fasilitas di bidang penanaman modal. Bidang-bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas tax holiday, juga merupakan bidang usaha yang dapat diberikan fasilitas di bidang penanaman modal berupa investmen allowance yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011. Dengan adanya dua alternatif fasilitas di bidang penanaman modal ini, maka Wajib Pajak dapat mengukur sendiri fasilitas mana yang lebih memberikan keuntungan sesuai dengan tingkat keekonomian yang diharapkan dari investasi yang dilakukan. Dengan demikian untuk mengukur efektifitas pemberian fasilitas penanaman modal untuk menarik investasi, tidak dapat hanya dilihat dari jumlah Wajib Pajak yang mengajukan permohonan fasilitas tax holiday, melainkan harus secara komprehensif dilakukan terhadap pengajuan fasilitas investment allowance serta dibandingkan juga dengan pertumbuhan penanaman modal yang terjadi. Hal yang perlu disadari bahwa fasilitas perpajakan adalah salah satu instrument untuk menarik investasi, tetapi bukan merupakan faktor utama untuk menarik investasi di suatu negara.

Lebih lanjut, terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pemberian fasilitas tax holiday. Pertama adalah mengenai kepastian cakupan industri pionir. Dalam praktiknya masih terjadi perbedaan pendapat mengenai justifikasi suatu industri berdasarkan KBLI apakah masuk dalam cakupan industri pionir dalam PMK 130/PMK.011/2011. Meskipun Kementrian Perindustrian sudah membuat pohon industri sebagai acuan, akan tetapi belum terinformasikan dan tidak bersifat mengikat. Agar terdapat kepastian hukum baik bagi regulator maupun investor, dinilai perlu adanya suatu produk hukum berupa rincian industri, sesuai KBLI, yang masuk dalam cakupan industri pionir sesuai dengan road map pengembangan klaster industri prioritas di Kementrian Perindustrian. Penentuan klaster industri yang masuk dalam cakupan industri pionir dapat disesuaikan setiap tahunnya, disesuaikan dengan rencana prioritas pengembangan industri dari Kementerian Perindustrian. Selain tujuan verifikasi, kejelasan cakupan industri ini juga diperlukan bagi calon investor untuk dapat memahami dan memberikan kepastian terkait jenis industri yang masuk dalam cakupan industri pionir. Permasalahan teknis kedua adalah terkait proses persetujuan pemberian fasilitas tax holiday, yang berdasarkan PMK 130/ PMK.011/2011 harus terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Menteri Koorditor di Bidang Perekonomian dan Presiden

27

Republik Indonesia. Dalam prakteknya Prosedur berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dinilai tidak efisien mengingat bahwa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Deputi Menteri Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan, merupakan salah satu anggota Komite Verifikasi. Istilah “berkonsultasi” dalam PMK tersebut, bermakna perlu adanya tanggapan balik dari Presiden atau menteri Koordinator Bidang Perekonomian atas permintaan konsultasi dari Menteri Keuangan, sehingga menyebabkan proses penetapan Keputusan Menteri Keuangan menjadi lebih lama. Namun demikian diharapkan kendala ini tidak akan terulang di tahun ke depan, karena sudah ada benchmark pelaksanaan pemberian fasilitas di tahun 2012 ini. Lebih lanjut metode AHP yang udah digunakan perlu lebih disempurnakan dengan membuat standarisasi pemberian skor untuk masing-masing kriteria berdasarkan proyeksi kontribusi bagi perekonomian nasional, untuk digunakan sebagai dasar penentuan tingkat kepioniran dan jangka waktu pemberian fasilitas. Dengan adanya standarisasi pemberian skor tersebut diharapkan dapat membuat proses pemberian fasilitas lebih efektif dan efisien. Terkait dengan hal-hal tersebut diatas, maka diperlukan kajian yang berupaya memberikan gambaran tentang perbandingan sistem perpajakan dan insentif pajak

beberapa negara dengan yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Kajian ini akan membahas beberapa permasalahan, diantaranya : 1. Bagaimana kebijakan insentif pajak di Indonesia dibandingkan dengan kebijakan insentif fiskal di beberapa negara. 2. Berdasarkan perbandingan tersebut di atas, bagaimana memposisikan Indonesia relatif terhadap negara pembanding tersebut dan bagaimana Indonesia menentukan arah kebijakannya. Rekomendasi Kebijakan : a) Insentif perpajakan bukanlah faktor dominan dalam penentuan investasi. Hal ini ditunjukkan Indonesia, dengan tax holiday yang terbatas, tetap mampu menarik FDI yang lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN lain, yang memberikan tax holiday ke sektor-sektor yang lebih luas. Untuk itu direkomendasikan agar pemerintah konsisten dengan kebijakan yang ada, tidak memberikan insentif pajak yang berlebihan, kecuali untuk sektor-sektor yang benar-benar memberikan dampak yang signifikan positif terhadap perekonomian. Perlu dilakukan kajian yang mendalam sebelum mengambil kebijakan pemberian insentif pajak baru. b) Berdasarkan Global Competitiveness Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum diketahui bahwa terdapat dua faktor pendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia

yang dinilai masih rendah yaitu infrastruktur dan kesiapan teknologi. Sebagaimana teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh George Solow (Solow growth model), teknologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara setelah tenaga kerja dan modal. Negara-negara yang termasuk emerging countries pada umumnya memberikan insentif ajak yang besar terhadap kegiatan research and development. Dalam rangka penguasaan teknologi di masa depan, perlu diberikan insentif untuk kegiatan research and development. Selain itu, MP3EI mengarahkan pembangunan ekonomi Indonesia menuju innovation-driven economy, sehingga sangat menuntut penguasaan teknologi dan perlu diberikan suatu bentuk insentif fiskal khusus. c) Pemberian fasilitas tax holiday oleh negara-negara ASEAN lain termasuk sangat terbuka dan dapat mengarah menjadi harmfultaxcompetition. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama ekonomi, khususnya perpajakan, agar dapat menjaga kondisi ASEAN sebagai kawasan yang paling dinamis perekonomiannya di seluruh dunia. 4. Kajian Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Sektor Pertambangan Umum Sampai saat ini, sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menjadi sumber penggerak utama roda perekonomian nasional. Dari sisi penerimaan negara, pajak

28

pertambangan yang antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memiliki potensi besar dalam menyumbang penerimaan negara dalam APBN. Namun demikian, pemerintah masih mengalami sejumlah tantangan dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor ini. Beberapa tujuan yang akan dicapai dari kajian ini adalah menganalisis penentuan hasil bersih galian tambang untuk menetapkan NJOP PBB sektor pertambangan umum khususnya sektor pertambangan batubara, mekanisme penentuan biaya eksploitasi dalam penghitungan PBB batubara, dan skema penghitungan nilai royalti batubara di Indonesia untuk meningkatkan pengawasan dalam pengelolaan otoritas penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Rekomendasi Kebijakan : a) Penentuan NJOP PBB sektor pertambangan untuk areal produktif ditentukan dengan menghitung Hasil bersih galian tambang, sehingga perlu lebih ditingkatkan lagi pengawasan dan kriteria jenis biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam menentukan hasil bersih galian tambang tersebut. b) Perlu dibuat aturan pelaksanaan yang tegas terkait dengan tata cara pengenaan PBB sektor pertambangan untuk pertambangan mineral dan batubara, sehingga basis data untuk meningkatkan potensi penerimaan PBB dari sektor pertambangan dapat lebih dioptimalkan.

c) Penghitungan dan penyetoran hasil royalty batubara sebaiknya menggunakan nilai kalori riil, bukan kalori rata-rata pada saat penjualan atau transaksi di mulut tambang. d) Perlunya penguatan kelembagaan dalam melakukan pengawasan dan evaluasi atas laporan realisasi penghitungan royalty batubara, yang selama ini belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh unit terkait yaitu Direktorat PNBP DJA. 5. Kajian Daya Saing Produk Indonesia, Korea dan ASEAN dalam Kerangka ASEAN Korea Free Trade Area(AK-FTA) Sehubungan dengan diterapkannya ASEAN Korea FTA di Indonesia, maka hendaknya diperoleh gambaran seberapa kompetitif produk-produk Indonesia atas produk-produk Korea dan produkproduk negara ASEAN untuk mengukur keunggulan komparatif Indonesia atas Korea dan ASEAN dalam kaitannya dengan AKFTA. Kajian dilakukan untuk mendapatkan indikator daya saing produk Indonesia, Korea dan ASEAN dalam Kerangka ASEAN – Korea Free Trade Area (AKFTA) dengan menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan analisis Constant Market Share (CMS).Maksud dari kajian ini adalah untuk mengetahui daya saing produk Indonesia, Korea, dan ASEAN dalam kerangka ASEAN – Korea Free Trade Area (AKFTA) untuk bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yang terkait, khususnya kebijakan fiskal. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengukur indikator

daya saing produk Indonesia, Korea dan ASEAN dalam Kerangka ASEAN – Korea Free Trade Area (AKFTA) dengan menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA). Sebagai pelengkap dan dengan tujuan memperdalam analisis, dalam pelaksanaan kajian ini, analisis juga ditambahkan dengan menggunakan analisis Constant Market Share (CMS) dan model ekonometrika Rekomendasi Kebijakan : a) Dengan adanya kelompok produk yang telah menunjukkan keunggulan komparatif setelah AKFTA berdasarkan metode yang digunakan dalam studi ini, maka diperlukan usaha-usaha mendorong peningkatan daya saing produk pada kelompok tersebut. Sebelum peningkatan daya saing ekspor, informasi mengenai sumber keunggulan komparatif tersebut diperlukan sebagai latar belakang kebijakan peningkatan daya saing produk kelompok yang bersangkutan; b) Meskipun tingkat daya saing produk dari kelompok HS85 bukan merupakan kelompok dengan comparative advantage, kelompok ini termasuk dalam kategori 10 produk dengan tingkat daya saing tertinggi dengan jenis produk yang bervariasi dimana Indonesia merupakan pasar utama. Di sisi lain, Indonesia mempunyai comparative advantage di kelompok produk ini. Telaah terhadap kebijakan pengembangan HS85 di Korea dapat menjadi referensi kebijakan bagi Indonesia untuk memperkuat tingkat daya saingproduk HS85;

29

c) HS03 merupakan kelompok yang telah menunjukkan diversifikasi produk setelah AKFTA secara spesifik di Korea dan tingkat daya saing tinggi sepanjang 2001-2011 selain termasuk dalam kelompok dengan comparative advantage Indonesia. Diversifikasi produk ekspor ke Korea namun belum dilakukan ke ASEAN, ASEAN selain Indonesia dan Dunia perlu dilakukan untuk memperkuta daya saing produk yang telah terdiversifikasi tersebut; d) Setelah AKFTA, terjadi peningkatan jenis produk ekspor HS27 yang ditunjukkan dalam kategori 10 produk ekspor Indonesia ke Korea dengan tingkat daya saing tertinggi dan pengelompokkan memiliki comparative advantage setelah AKFTA. Produk dari HS27 juga menunjukkan proporsi nilai ekspor signifikan setelah AKFTA. Bahwa produk ini berbasis pertambangan dan mineral yang merupakan sumber daya tak terbarukan dan memiliki tingkat daya saing tinggi, maka ekspor perlu mempertimbangkan alternatif produk ekspornya menjadi peningkatan nilai tambah; e) Tarif yang berpengaruh negatif terhadap ekspor dan net ekspor Indonesia ke Korea menunjukkan bahwa kerjasama AKFTA ke depan akan menguntungkan bagi Indonesia. Penurunan tarif tersebut diharapkan semakin meningkatkan ekspor Indonesia ke Korea, dalam semua jenis kelompok produk, khususnya kelompok produk yang masuk dalam sensitive list dan highly sensitive list ke depan. Oleh

karena itu, semakin cepat diturunkannya tarif dalam AKFTA, khususnya untuk produk yang masuk dalam kategori kelompok sensitive list dan highly sensitive list maka akan semakin baik untuk eskpor Indonesia ke Korea; f ) Tarif yang menunjukan tidak signifikan berpengaruh terhadap impor Indonesia dari Korea menunjukkan bahwa berapapun tarif yang berlaku, impor Indonesia dari Korea dapat tetap mengalami peningkatan. Hal ini tentunya disebabkan oleh masih besarnya impor Indonesia yang dilakukan dari Korea. Ke depan, untuk menekan defisit neraca perdagangan antara Indonesia dan Korea, selain peningkatan ekspor, juga perlu dilakukan strategi substitusi impor terhadap produkproduk yang selama ini diimpor dari Korea, misalnya dengan menarik investor Korea untuk masuk di Indonesia; dan g) Kajian ini masih menekankan kebijakan AKFTA dalam hal perdagangan barang/produk terkait dengan daya saing produk. Untuk memperdalam analisis terkait dengan kebijakan AKFTA, diperlukan juga tinjauan secara mendalam dari sisi yang lain, misalnya adalah perdagangan jasa, investasi, dan kerjasama ekonomi yang lainnya agar Indonesia dapat lebih mengambil manfaaat dari kerangka kerjasama AKFTA ke depan.

6. Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Tarif Bea Masuk IKD, Bab 98 untuk Mendorong Pengembangan Industri Perakitan Kendaraan Bermotor dan Perakitan Komponen Kendaraan Bermotor; Dalam rangka meningkatkan daya saing industri kendaraan bermotor dan mendorong peningkatan penggunaan kandungan lokal untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah telah menerbitkan banyak insentif fiskal bagi sektor otomotif. Salah satu insentif yang diberikan pemerintah adalah penyusunan Bab 98 dalamBuku Tarif Bea Masuk Indonesia BTBMI) yang diperuntukkan bagi importasi kendaraan bermotor dan komponen kendaraan bermotor dalam keadaan tidak lengkap (Incompletely Knock Down /IKD). Penggunaan Bab 98 bagi industri otomotif telah lama dilakukan karena itu perlu dilakukan evaluasi. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, penggunaan Bab 98 masih diperlukan oleh sektor industri otomotif dalam rangka peningkatan daya saing industri kendaraan bermotor. Namun demikian, pelaksanaan penggunan Bab 98 di lapangan perlu dilakukan perbaikan. 7. Kajian Mengenai Pengenaan Bea Keluar atas Barang Ekspor untuk Produk Pertanian dan Pertambangan Dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah. Ruang lingkup kajian ini khusus membahas peluang pemerintah menerapkan bea keluar terhadap sektor pertambangan. Ekspor sektor pertambangan tumbuh di atas 20%

30

tiap tahunnya, bahkan saat krisis ekonomi tahun 2009 ketika ekspor migas mengalami minus 39%, pertanian minus 5%, industri minus 17%, pertambangan justru tumbuh 32%. Ekspor pertambangan masih didominasi bentuk bijih mineral mentah atau mineral ore. Pertumbuhan ekspor berarti eksplorasi dan eksploitasi pertambangan makin meningkat jumlahnya. Namun karena ekspor pertambangan hanya didominasi bentuk mentah atau bijih (raw material atau ore) maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan untuk mengendalikan hal tersebut. Pasca terbitnya UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,terjadi lonjakan ekspor bijih mineral secara signifikan antara lain bijih nikel meningkat 800%, bijih besi 700%, dan bijih bauksit 500%. Tampaknya pelaku pertambangan menggenjot produksi dan ekspor untuk berpacu dengan waktu mengingat adanya larangan ekspor tahun 2014 serta kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam diperlukan adanya pengendalian ekspor bijih mineral. Indonesia harus belajar dari pengalaman dimana Indonesia hanya mengekspor bauksit (bijih aluminium) yang diolah menjadi alumina di luar negeri, selanjutnya Indonesia mengimpor alumina untuk diolah menjadi aluminium. Lebih merugikan lagi sebab perusahaan

pengolah alumina menjadi aluminium bukan perusahaan Indonesia melainkan milik pemerintah Jepang yakni PT. Inalum. Peningkatan nilai tambah dari bauksit menjadi alumina serta aluminium hampir seluruhnya tidak dinikmati pemerintah dan rakyat Indonesia. Padahal nilainya sangat besar dan strategis bagi pembangunan ekonomi dimana industri logam menjadi penyangga utama menuju negara industri maju.Bentuk kebijakan fiskal ini adalah kebijakan bea keluar yakni membebani pajak kepada pelaku usaha pertambangan yang menjual bahan tambang mentah (bijih mineral) ke luar negeri (ekspor). Pijakan hukum bea keluar tercantum dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 sebagai perubahan Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU No. 17 tahun 2006 Kepabeanan). Tujuan bea keluar (Pasal 2A) adalah : a)menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, b) melindungi kelestarian sumber daya alam, c) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau d) menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.Untuk itu pemerintah perlu menerbitkan kebijakan pengendalian ekspor dengan kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor bijih mineral mentah (raw material atau ore). Kebijakan bea keluar ini diharapkan mampu ‘memaksa’ pelaku pertambangan untuk bergeser menjadi pemain sektor pengolahan dan pemurnian sumber daya tambang. Pada gilirannya nilai

tambah pengolahan sumber daya tambang akan menyumbang penciptaan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Keberhasilan pengembangan industri pengolahan dan pemurnian pertambangan di dalam negeri tidak bisa dibebankan hanya lewat kebijakan bea keluar bijih mineral semata, karena minimnya infrastruktur dan tak pastinya pasokan energi akan menghambat tujuan tersebut. Tujuan pemerintah ini harus didukung oleh kementerian lain sesuai dengan kewenangannya agar sumber daya pertambangan berkontribusi besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. 8. Kajian Perbandingan Skema Fasilitas Kepabeanan pada Bonded Zone Antara Indonesia Dengan Beberapa Negara Asia; Insentif perdagangan dan investasi yang ditawarkan dalam EPZ ini sangat bervariasi di masingmasing negara, misalnya dengan adanya pembebasan bea masuk, pembebasan pajak, subsidi, atau adanya peraturan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. EPZ banyak memiliki dampak positif pada ekonomi, meskipun tidak semua EPZ telah sukses dalam pengembangannya. Beberapa analis telah menekankan bahwa EPZ dapat membantu menarik FDI, mempromosikan perdagangan sehingga dapat meningkatkan tenaga kerja dan penerimaan devisa. FDI dan produksi lokal pada gilirannya dapat menghasilkan hubungan ekonomi kepada industri dalam negeri lain dan efek samping melalui transfer pengetahuan dan

31

teknologi. Di lain pihak, beberapa analis lainnya telah memperingatkan bahwa biaya, termasuk investasi dalam infrastruktur pajak, hilang pendapatan tarif, dan biaya dukungan administrasi, dapat melebihi manfaat. Meskipun terdapat beberapa kisah sukses yang didokumentasikan dengan baik, EPZ banyak yang belum dikelola untuk mencapai tujuan mereka menarik FDI, mempromosikan perdagangan dan menghasilkan lapangan kerja baru. Untuk meningkatkan pencapaian tujuan didirikannya EPZ, diperlukan upaya pemerintah untuk memberikan fasilitas melalui kebijakan fiskal maupun non-fiskal. Mengingat setiap pemberian insentif fiskal dan perlakuan perpajakan lain yang diterapkan di EPZ senantiasa menimbulkan dampak bagi perekonomian maka perlu disusun kajian mengenai skema fasilitas yang telah diberikan oleh beberapa negara di Asia dan faktor-faktor keberhasilannya untuk dijadikan pertimbangan dalam pemberian kebijakan insentif fiskal dalam Bonded Zone yang pada akhirnya digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Rekomendasi Kebijakan: a) Perlu pemetaan kembali mengenai strategi industri di Indonesia bersama-sama dengan Kementerian terkait agar dapat dilihat dan didukung secara komprehensif. Sangat perlu bagi Indonesia untuk mengetahui industri mana yang perlu didukung, industri mana yang sudah independen, serta industri mana yang seharusnya tidak dilakukan di

Indonesia dengan berbagai pertimbangan, sehingga akan terlihat strategi mana yang harus didukung, apakah Strategi Industrialisasi Berorientasi Ekspor atau Strategi Industrialisasi Substitusi Impor atau dengan kombinasi tertentu dalam rangka menuju independensi industri. Tidak hanya terkait dengan Kawasan Berikat saja, namun terkait dengan independensi industri ecara nasional. b) Kegiatan monitoring perlu dilakukan secara periodik dalam rangka dukungan pemetaan industri dari waktu ke waktu. Pada saat tertentu kebijakan industri dapat diubah sesuai dengan hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan, tergantung dengan posisi industri nasional dan arah strategi pada saat itu, agar strategi industrialisasi yang dipilih dapat secara efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi. c) Dalam rangka monitoring perlu melibatkan asosiasi yang dapat menjembatani kebutuhan perusahaan dengan pemerintah. Saat ini hanya sekitar 15% dari jumlah total perusahaan yang tergabung dalam APKB. Hal ini sedikit menyulitkan bagi pemerintah dalam rangka koordinasi dengan sektor tersebut. d) Dari segi ketentuan tata niaga impor, perlu disusun Permendag yang merupakan turunan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2009.

e) Dalam rangka perumusan kebijakan perlu adanya proses pembuatan keputusan yang kohesif dan tersentralisasi seperti yang dilakukan oleh Jepang yang mampu menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang koheren dibawah sistem gyosei shido (birokrasi terpimpin) dimana Ministry of International Trade and Industry (MITI) melakukan peran kepemimpinan dalam proses pembuatan kebijakan perdagangan dan industri yang melibatkan para pejabat teras di Jepang. f ) Perumusan PMK 147 jo 255 jo 44 diperlukan penyelesaian masalah yang tepat, antara lain: - Alternatif-alternatif solusi permasalahan lokasi harus mempertimbangkan faktor: i. Perlakuan kepada Perusahaan baru ii. Eksistensi bangunan atas luas hamparan maupun batasbatas disekitarnya iii. Opsi pemberian kemudahan atau fasilitas dalam rangka relokasi pabrik - Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang tinggi, Pemerintah seharusnya dalam merumuskan kebijakan mengenai Kawasan Berikat dapat menyesuaikan dengan national interest, yaitu mengedepankan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu, disamping memetakan industri nasional. Di lain sisi, perlu kajian lebih lanjut terkait tingginya kebutuhan dalam negeri, khususnya terkait dengan intermediate goods.

32

- pemberian masa transisi yang cukup longgar bagi perusahaan untuk mengatur strategi perusahaannya terkait perubahan kebijakan - pemberian gambaran roadmap tahapan kebijakan secara jelas sehingga mendukung kepastian usaha - lemahnya pengawasan saat ini perlu dilakukan pemetaan permasalahan yang lebih mendalam, sehingga dapat ditangani dengan perbaikan sistem pengawasan dan law enforcement, misalnya dengan usulan joint audit, pelaksanaan sistem PDE pada seluruh kegiatan di KB, serta pengetatan prosedur teknis lainnya g) Perumusan kebijakan seharusnya tidak bersifat parsial yang dapat mengakibatkan permasalahan selanjutnya. h) Perumusan kebijakan dapat dilakukan melalui pemetaan per wilayah dengan masing-masing keunggulan dan kelemahannya. i) Indonesia harus melakukan introspeksi diri serta memetakan letak kelemahan dan keunggulan guna meningkatkan peringkat kemudahan melakukan usaha berdasarkan penilaian World Bank dan International Finance Corporation (IFC) serta meningkatkan Global Competitiveness Index yang dikembangkan oleh World Economic Forum

j) Melakukan manajemen data dalam rangka monitoring serta bahan evaluasi penyusunan kebijakan Kawasan Berikat secara khusus maupun kawasan secara umum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. k) Walaupun belum jelas benar apa keunggulan dengan menyatukan lokasi antar jenis kawasan di China, hal ini dapat menjadi kajian lebih lanjut bagi pengembangan kawasan khusus di Indonesia. Selain itu berdasarkan data yang kami kumpulkan, luas kawasan EPZ secara rata-rata ada di kisaran 3 km2, sedangkan di Indonesia Kawasan Berikat yang hanya berisi satu perusahaan juga dapat dijalankan. Ini juga dapat dikaji lebih jauh, apakah dengan mengumpulkan kawasan khusus pada lokasi yang cukup besar lebih menguntungkan daripada membolehkan ukuran kawasan yang kecil-kecil dan terpisah-pisah. 9. Kajian Evaluasi Kebijakan Fiskal Dalam Rangka Perjanjian Perdagangan Internasional Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan FTA ASEAN dengan beberapa Negara yang sudah berjalan dan menganalisis pemanfaatan SKA oleh pelaku usaha domestik. Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah analisisdeskriptif atas kinerja perdagangan Indonesia dengan mitra dagang terkait FTA. Dengan menganalisis hubungan ekspor dan impor dapat diketahui apakah FTA akan memberikan manfaat kepada anggotanya, antara lain terjadinya pembentukan pasar (tradecreation)

dan pengalihan pasar(trade diversion). Dalam perundingan FTA dengan negara mitra dagang, kepentingan domestik merupakan salah satu faktor yang menjadi prioritas perhatian, sehingga dalam proses pembentukan FTA harus diperhatikan dampak langsung aupun tidak langsung yang akan dialami dengan memperhatikan antara lain daya saing perusahaan didalam negeri, kesempatan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Selama satu dekade (2000-2011) ini neraca perdagangan Indonesia selalu menunjukkan nilai yang positif, dan menunjukkan adanyanya peningkatan nilai ekspor maupun impor. Nilai ekspor indonesia meningkat sangat signifikan dengan pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 12,2%, pertumbuhan ekspor negatif hanya terjadi pada tahun 2001 dan 2009. Untuk melengkapi kajian evaluasi perdagangan internasional ini maka perlu juga kita membuat pemetaan industri mana yang dapat bersaing dipasar terdekat kita yaitu pasar ASEAN. Dengan menggunakan metodologi pemetaan industri berdasarkan pertumbuhan revealed comparative index antara tahun 2000 dengan tahun 2010 yang dipetakan dengan metode RCA Dinamis yang telah digunakan oleh Edwards dan Schoer (2001) untuk menganalisis struktur dan daya saing dari perdagangan Afrika Selatan. Keuntungan menggunakan RCA dinamis adalah: (i) mampu mendeskripsikan RCA seiring waktu; dan (ii) dapat menentukan kedudukan produk dalam negaranegara tujuan ekspor, dimana indikator ini mengelompokkan

33

produk berdasarkan posisi mereka dalam pasar sehingga RCA dinamis lebih bermanfaat dibandingkan RCA tradisional. Terutama bilamana studi ini digunakan untuk mengidentifikasi produk mana yang pasarnya makin luas atau semakin sempit dan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan berdasarkan posisi pasar dari produk ekspor. Berdasarkan pemetaan industri tersebut dapat industri dapat dikategorikan menjadi 6 industri yaituIndustri rising star, falling star, lagging retreat, lost opportunity, leading retreat dan lagging opportunity erdasarkan pergerakan RCA yang diukur dari perspektif negara Indonesia maupun prespektif ASEAN. Berdasarkan kesimpulan diatas, sebagai rekomendasi, dengan meningkatnya persaingan akibat FTA, industri dalam negeri dituntut untuk menyiapkan diri bersaing di pasar global dengan mengedepankan faktor-faktor comparative advantage dan competitive advantage. FTA adalah kesepakatan yang bersifat timbal balik, kedua pihak harus mendapatkan keuntungan. Indonesia harus lebih jeli dalam mengoptimalkan peluang-peluang yang ada antara lain melakukan penetrasi pasar secara agresif dengan melibatkan perwakilan Indonesia di luar negeri (atase perdagangan). Dalam mengevaluasi FTA yang sudah ada dan/ atau melakukan negosiasi untuk FTA baru, hendaknya tim negosiasi benar-benar siap dengan data dan informasi yang akurat tentang ondisi ekonomi dan industri dalam negeri maupun negara patner sehingga keputusan yang diambil dapat menguntungkan Indonesia.

10. Pembentukan Model Pengukuran Dampak Atas Pemberian Fasilitas/ Insentif Perpajakan Pada Sektor Industri Nasional. Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model ekonomi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dengan baik dampak pemberian insentif perpajakan terhadap sektor industri. Model ekonomi ini diharapkan dapat menjadi suatu alat pendukung pengambilan keputusan (decision support system) di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN), salah satu unit di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang bertugas memformulasikan kebijakan-kebijakan fiskal di sisi pendapatan. Mengingat kebijakan insentif perpajakan sudah tipikal dalam bentuk kebijakan PPN, cukai, tariff/bea masuk, PPh, dan bea keluar dan kebutuhan analisis yang cepat maka kajian ini mencoba mengembangkan suatu Aplikasi Web-based Computable General Equilibrium (CGE) Model. Dipilih Model CGE karena kemampuannya untuk melihat keterkaitan suatu dampak kebijakan di dalam perekonomian, tidak hanya dampak terhadap sektor industri yang menjadi objek kebijakan saja, tetapi sektorsektor lainnya di dalam perekonomian. Selain itu juga mampu melihat dampak kebijakannya dari sisi makro ekonomi seperti: pertumbuhan ekonomi, inflasi, ketenagakerjaan, dan konsumsi masyarakat/ pemerintah serta dampak kebijakan dari sisi mikro:

pendapatan rumah tangga. Model CGE yang dikembangkan merupakan modifikasi dari Model INDOFISCAL (Amir, 2011) yang dikembangkan dalam dua jenis model CGE: (1) model yang berbasis data IO, SAM, dan Susenas 2005 untuk mengcover klasifikasi sektor industri yang mencapai 175 sektor, (2) model yang berbasis data IO, SAM, dan Susenas 2008 untuk mendapat data yang lebih update walaupun dari sisi klasifikasi sektor industry lebih sedikit yaitu hanya 66 sektor Inovasi pengembangan Model CGE dalam suatu aplikasi berbasis web dilakukan untuk mendapatkan berbagai keuntungan sekaligus. Tidak hanya membuatnya menjadi sangat user friendly, tetapi juga: • Menghindari ‘rumit’-nya model besar • Cepat - dalam simulasi typical policy • Output yang generic: grafik dan excel • Visualisasi atas dampak kebijakan yang lebih baik • Tetap membutuhkan support metode analisis lain dan diskusi atas hasil analisis. Saat ini sebagai prototype baru CGE model yang berbasis data 2008 yang sudah diinstall dalam aplikasi berbasis web. dapat diakses melalui jaringan kantor di alamat 10.242.149.103.

34

LUKY ALFIRMAN KEPALA PUSAT KEBIJAKAN APBN (PKAPBN)

35

AB “Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Inklusif dan Berkeadilan Dapat Meningkatan Kesejahteraan Rakyat”

AB - LUKY ALFIRMAN -

36

KEBIJAKAN

APBN

Berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Presiden memberi kuasa kepada Menteri Keuangan untuk bertindak selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikian kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagai pengelola fiskal, salah satu tugas yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan adalah menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, rancangan anggaran pendapatan dan belanja

5

negara (RAPBN) dan APBN perubahan (RAPBN-P), serta tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang. Secara substansi, kerangka ekonomi makro dan pokok-pkok kebijakan fiskal (PPKF) disusun dengan berlandaskan pada rencana kerja pemerintah (RKP) yang merupakan perwujudan dari visi, misi, dan program kerja Pemerintah setiap tahun, sebagaimana tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM). PPKF menjabarkan

mengenai arah kebijakan fiskal untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dalam tahun 2012, sesuai dengan tema RKP 2012, yaitu “Percepatan Dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Inklusif Dan Berkeadilan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat”, kebijakan fiskal disusun untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi di daerah melalui pengembagan koridor ekonomi, pembangunan infrastruktur untuk terwujudnya

LANGKAH BESAR KEBIJAKAN FISKAL APBN-P2012 MENJAGA KESINAMBUNGAN FISKAL MELAKUKAN COUNTER CYCLICAL UNTUK MENJAGA MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI TETAP TINGGI

37

MEMANFAATKAN SAL UNTUK KEGIATAN PRODUKTIF DALAM MENSTIMULUS PEREKONOMIAN MENJAGA RASIO ANGGARAN PENDIDIKAN TETAP MINIMAL 20 % MENCARI SUMBER-SUMBER PEMBIAYAAN YANG BERISIKO RENDAH, EFISIEN

38

keterhubungan wilayah, dan memperluas program perlindungan sosial. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan fiskal di tahun 2012 diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara, meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja negara, dan mengoptimalkan pengelolaan pembiayaan secara berhati-hati sekaligus meningkatkan p emanfaatannya untuk kegiatankegiatan yang bersifat produktif. Kebijakan fiskal yang sehat, prudent, dan sustainable, yang tercermin dalam besaran angka-angka kuantitaif APBN, merupakan salah satu kunci utama kekuatan perekonomian nasional. Hal tersebut mengingat 3 (tiga) fungsi utama dari APBN, yaitu mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, dan menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja perekonomian. Salah satu indikator kebijakan fiskal yang digunakan pemerintah untuk mengukur ketahanan fiskal adalah surplus/defisit APBN atau surplus/ defisit anggaran.

Penetapan postur APBN yang ekspansif atau kontraktif menjadi pilihan dalam mempengaruhi perekonomian nasional, khususnya pada saat terjadi kegagalan pasar (market failure). APBN tahun 2012 bukan merupakan APBN biasa karena disusun pada saat perekonomian global masih menghadapi ketidakpastian. Perekonomian dunia, khususnya negara-negara maju, masih dibayangbayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi, yang dikhawatirkan berdampak pada perekonomian regional dan domestik. Disamping itu, terjadinya peningkatan harga minyak, potensi tidak tercapainya lifting minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD juga turut memberikan tekanan terhadap ketahanan fiskal nasional. Untuk merespon dan mengantisipasi tekanan terhadap fiskal tersebut, Pemerintah menempuh kebijakan untuk melakukan percepatan perubahan APBN tahun 2012. Secara umum, latar belakang diajukannya

rancangan APBN-P meliputi 4 (empat) hal pokok, yaitu (i) penyesuaian asumsi ekonomi makro atas perkembangan perekonomian global, regional, dan domestik; (ii) perubahan kebijakan fiskal untuk menjaga fiscal sustainablity dan stabilitas perekonomian; (iii) pergeseran antar jenis belanja dan antar kegiatan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas; dan (iv) penggunaan SAL untuk mendukung kegiatan produktif guna menstimulasi perekonomian. Dalam APBN-P tahun 2012, Pemerintah menerapkan 5 (lima) langkah besar kebijakan fiskal, yaitu: pertama menjaga kesinambungan fiskal melalui pengendalian defisit anggaran dalam batas aman, pengendalian subsidi, dan peningkatan efisiensi belanja kementerian/lembaga dan diarahkan untuk kegiatan yang lebih produktif. Kedua, melakukan counter cyclical untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap tinggi melalui peningkatan pembangunan infrastruktur. Ketiga, memanfaatkan SAL untuk kegiatan produktif dalam

39

menstimulus perekonomian melalui pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, mitigasi bencana, dan kebutuhan mendesak lainnya. Keempat, menjaga rasio anggaran pendidikan tetap minimal 20 persen, dan kelima, mencari sumber-sumber pembiayaan yang berisiko rendah, efisien, dan diarahkan untuk kegiatan yang produktif. Disamping itu, Kementerian Keuangan juga telah mempersiapkan langkah-langkah antisipatif lainnya dalam menghadapi kondisi perekonomian global tahun 2012. Langkah-langkah tersebut antara lain penyusunan crisis management protocol (CMP), pembentukan bond stabilization framework (BSF), dan melakukan kerjasama internasional penanganan krisis. Pemerintah juga memiliki otoritas untuk menangani krisis melalui pasal mitigasi krisis dalam UU APBN tahun 2012, khususnya Pasal 40, 41, dan 43. Dengan berbagai langkah responsif dan antisipatif tersebut, realisasi defisit anggaran tahun 2012 mencapai 1,77 persen terhadap PDB, jauh lebih rendah dari targetnya dalam APBNP 2012 sebesar 2,23 persen terhadap PDB. Namun demikian, untuk pertama kalinya realisasi keseimbangan primer mengalami negatif. Hal ini merupakan sinyal perlunya lebih meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga fiscal sustainability. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah tingginya realisasi subsidi energi akibat kegagalan dalam upaya pengendalian konsumsi BBM dan batalnya kenaikan harga BBM dalam negeri.

Selain didasarkan pada perkembangan perekonomian makro, serta prioritas dan sasaran pembangunan, perumusan kebijakan fiskal juga memperhatikan berbagai rekomendasi dari hasil kajian dan analisis di bidang fiskal. Beberapa kajian yang dilaksanakan selama tahun 2012 dalam mendukung perumusan kebijakan fiskal antara lain: kajian teoritis fiscal space dan penyusunan model kebutuhan fiscal space terhadap pembangunan infrastruktur; antisipasi dan mitigasi krisis fiskal melalui pembangunan Crisis Management Protocol (CNP) Fiskal; desain subsidi tepat sasaran; pengaturan batas kumulatif defisit APBD; dan Rekomendasi, Monitoring dan Evaluasi Efektivitas dan Kesesuaian Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU). Kajian dan Kegiatan Dalam mendukung program kerja Badan Kebijakan Fiskal 2012 di bidang kebijakan APBN, Pusat Kebijakan APBN melakukan beberapa kajian diantaranya : Bidang Kebijakan Penerimaan Perpajakan 1. Penyusunan model perhitungan potensi pajak sektoral. Kajian ini dilakukan untuk menghitung potensi pajak (PPh nonmigas) sektoral (9 sektor) dengan menggunakan pendekatan accounting (perhitungan matematis). Kajian ini mengkombinasikan data mikro yang bersumber dari data SPT yang kemudian dianalogikan ke level makro dengan basis data PDB sektoral untuk menghitung potensi penerimaan pajak dari sektor tertentu.

Untuk menghubungkan data mikro dan makro tersebut digunakan angka rasio-rasio yang menggambarkan hubungan antara dua variabel tertentu. Hasil kajian: Dari hasil diketahui bahwa tax coverage dari masing-masing sektor masih tergolong cukup rendah, berkisar antara 5 – 32 persen (sehingga masih terdapat tax gap antara 95 – 68 persen), kecuali untuk sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan dan sektor listrik, gas dan air bersih. 2. Kajian penggalian potensi penerimaan pajak non migas Kajian ini bertujuan untuk menggali potensi dari transfer pricing, khususnya jasa maklon, studi kasus KPP Madya Batam Hasil kajian: Dari hasil penelitian diketahui bahwa Pemeriksaan pajak yang dilakukan KPP Madya Batam dengan memperhatikan kaidah-kaidah transfer prising dapat menambah potensi penerimaaan, walaupun diakui bahwa penerapan perhitungan transfer pricing masih cukup sulit untuk dilakukan. 3. Kajian Evaluasi Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DTP) Kajian ini dilatarbelakangi karena realisasi BM DTP belum efektif, dimana penyerapan kurang dari 20% pagu Hasil kajian: Pemberlakuan BM DTP kurang efektif (PMK keluar terlambat).

40

4. Kajian Pemanfaatan DBH CPO Kajian ini berdasarkan UU 33/2004 dan UU 17/2006, dimana pemanfaatan DBH CPO tidak dimungkinkan Hasil kajian: Diusulkan alternatif share melalui Dekon/TP 5. Kajian Benchmark DBH CPO Kajian ini dilatarbelakangi karena penerapan DBH CPO di Malaysia hanya berlaku untuk SDA kehutanan dan Migas. Hasil kajian: DBH Bea Keluar CPO tidak dimungkinkan karena selain aturan, juga disebabkan fluktuasi penerimaan CPO 6. Kajian ekstensifikasi cukai Kajian ini bertujuan untuk mengkaji kemungkinan ekstensifikasi objek cukai terhadap makanan yang mengandung MSG, minuman berkarkarbonasi dan limbah lingkungan (CO2). Hasil kajian: Dari hasil kajian dietahui bahwa potensi pengenaan cukai MSG Rp237,5 miliar dan minuman berkarbonasi Rp1.186,2 miliar. 7. Peran Kemenkeu dan Kementerian Lainnya dalam Meningkatkan Tax Ratio Kajian ini bertujuan untuk mengetahui peran Kementerian Keuangan dan Kementerian lainnya dalam pencapaian tax ratio

Hasil kajian: - Kemenkeu (DJP) lebih berperan dalam mengoptimalkan pengumpulan pajak - Kementerian lainnya lebih berperan dalam meningkatkan sektor ekonomi untuk mengoptimalkan tax base (dasar pengenaan) pajak sektoral - Pencapaian tax ratio, tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemenkeu tetapi harus didukung oleh Kementerian lainnya 8. Evaluasi Penerimaan PPh nonmigas Tahun 2012 Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi melambatnya tingkat pertumbuhan PPh nonmigas tahun 2012 Hasil kajian: - Pertumbuhan PPh nonmigas melambat karena pertumbuhan beberapa jenis pajak PPh nonmigas yang memiliki kontributor terbesar melambat terutama PPh Pasal 25/29 Badan - Melemahnya pertumbuhan PPh Pasal 25/29 Badan terutama dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan sektor industri pengolahan, sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor pertambangan bukan migas - Melemahnya sektor industri pengolahan dan beberapa sektor lainnya terutama dipengaruhi oleh melemahnya ekspor sebagai dampak perekonomian dunia yang melemah.

Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak 1. Kajian SDA pertambangan umum Kajian ini dilatarbelakangi aturan fiskal di Indonesia yang dapat dikatakan agak sedikit regressive karena tidak ada celah untuk menerapkan mineral resource rent tax/royalty sebagaimana yang diterapkan Australia. Dalam UU nomr 4 tahun 2009 tentang kegiatan mineral dan batubara hanya terdapat celah untuk menerapkan net profits royalty dari kegiatan produksi IUPK sebesar 10 persen dan saat ini belum ada pemegang atas IUPK. Hasil kajian: - Dalam kegiatan usaha pertambangan umum, pengaturan pelaksanaan wewenang pembatasan produksi dan ekspor/penjualan masih belum optimal. Penerapan aturan di India dapat menjadi acuan bahwa ijin pertambangan hanya dapat diberikan kepada usaha yang mengkonsumsi barang tambang tersebut. - Perlu dipertimbangkan mekanisme dalam menstabilkan harga, melalui opsi antara lain: (1) penetapan ceiling price untuk kebutuhan industri dalam negeri, dan (2) pembentukan buffer stock untuk mineral dan batubara.

41

- Dalam jangka pendek, pengenaan atas kewajiban terhadap keuangan negara dari sektor pertambangan umum dilihat dari backward dan forward linkage relatif masih lemah. Pengenaan atas kewajiban keuangan dapat melalui penyesuaian tarif royalti maupun pengenaan pajak lainnya, misalnya pajak ekspor atas batubara. - Apabila dilakukan penyesuaian atas tarif royalti, perlu untuk dipertimbangkan mekanisme tarif royalti ini sebagai insentif untuk mendorong pemrosesan dan pemurnian atas komoditi tambang. Misalkan, hasil tambang yang digali dan diproses serta dimurnikan di dalam negeri akan dikenakan tarif yang lebih rendah dibandingkan apabila hasil tambang tersebut diekspor dalam bentuk raw material. 2. Kajian potensi laba BUMN sektor pertambangan dan perbankan Kajian potensi laba BUMN sektor pertambangan dilatarbelakangi permasalahan law enforcement untuk mengawal BUMN Pertambangan dalam menjalankan kegiatan masih menjadi kendala. Misalnya pada kasus PT Timah, terdapat unreported Tin Production sebesar 52 ribu ton yang diselundupkan ke Malaysia dan Thailand. Sedangkan kajian potensi laba BUMN sektor perbankan dilatarbelakangi oleh penurunan CAR Bank BUMN pada semester I 2012, dari 17.82% pada awal tahun 2012 menjadi sebesar 16.58% pada Juni 2012.

Hal ini merupakan dampak kenaikan penyaluran kredit. Dengan demikian, dalam penyaluran kredit yang terus berkembang, maka akan ada laba yang ditahan dan mengurangi pembayaran deviden. Hasil kajian: - Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penetapan dividen Bank BUMN, diantaranya: rasio kecukupan modal, pertumbuhan kredit bank BUMN, daya saing, persepsi positif investor. - Penetapan tingkat dividend pay-out ratio masih perlu dioptimalkan, sehingga penerimaan APBN dari laba BUMN dapat ditingkatkan. - Perlunya pengkajian terhadap kinerja BUMN dalam menyusun dan merealisasikan RKAP sehingga hasil usahanya dapat meningkat secara memadai dengan tingkat investasi yang dilakukan Pemerintah 3. Kajian potensi PNBP Kemenkumham, dan BPN Kajian ini bertujuan untuk melakukan review peraturanperaturan terkait pengelolaan PNBP pada K/L dan memetakan permasalahan yang dialami K/L dalam mengelola PNBP. Hasil kajian : - PNBP Kemenkumham didominasi oleh jenis PNBP Keimigrasian (sekitar 86 persen) - Tidak ada permasalahan berarti dalam penyusunan target PNBP dan penyetoran ke kas negara

- Belanja K/L penghasil PNBP dibiayai oleh DIPA (rupiah murni) dan PNP (PNBP yang digunakan kembali), cukup menimbulkan ketidakpastian sumber dana belanja dan keterlambatan penyerapan. Pada awal tahun satker menggunakan DIPA yang mencukupi 3-4 bulan kebutuhannya, selanjutnya harus menggunakan PNP. Bila PNBP belum mencapai target tertentu, penggunaannya kembali belum dapat dilakukan. - PNP hanya dapat digunakan untuk kegiatan tertentu, hal ini kurang dapat menjawab kebutuhan satker. Sebagai contoh dalam penggunaan adalah untuk belanja modal, padahal satkr lebih memerlukan renovasi gedung. - Pagu belanja yang dibagikan ke satker-satker belum dapat menjawab kebutuhannya (tidak bottom up). - Adanya dua unit yang mengadministrasikan PNBP Keimigrasian, di lain pihak yang harus menyediakan blangko persuratan (paspor) hanya salah satunya, menimbulkan kesulitan pendanaan dalam pelaksanaan tugas tersebut. - Realisasi PNBP BPN rata-rata sebesar 76,5 persen untuk periode tahun 2007-2011. - Tidak ada permasalahan berarti dalam penyusunan target PNBP, namun dalam hal penyetoran PNBP ke kas negara masih memerlukan perbaikan. - Dalam hal penggunaan PNBP kembali ditemukan permasalahan yang serupa dengan yang dialami oleh Kemenkumham.

42

- Penggunaan kembali PNBP belum tersentralisasi. Masing-masing satker dapat menggunakan sesuai dengan realisasi PNBP yang dipungut. Hal ini menimbulkan over budget pada satker yang pungutan PNBPnya besar di sisi lain terjadi kekurangan pembiayaan untuk satker yang pungutan PNBPnya relatif kecil. - Secara keseluruhan, kompilasi penyerapan penggunaan PNBP dari satker-satker di BPN menunjukkan tingkat yang belum maksimal, yaitu rata-rata penyerapan untuk periode tahun 2007-2011 adalah sebesar 50,6 persen. - Pelayanan BPN banyak yang dilakukan pada akhir tahun sehingga hasil pungutan PNBP nya sulit untuk digunakan kembali karena keterbatasan waktu.

Bidang Kebijakan Belanja Pusat 1. Kajian teoritis fiscal space dan penyusunan model kebutuhan fiskal space terhadap pembangunan infrastruktur Kajian ini bertujuan ini menyusun kebutuhan ruang fiskal yang optimal, upaya memperlebar fiscal space, dan menyusun suatu model yang mampu menghitung impact pelebaran fiscal space terhadap growth, job & por dengan benchmarking analysis.

Hasil kajian: - Strategi untuk memperlebar fiscal space antara lain optimalisasi pendapatan (Pph) dengan perbaikan administrasi & penegakan hukum, efisiensi belanja melalui efisiensi subsidi dan memperlambat pertumbuhan (flat policy) barang dan belanja lembur (belanja pegawai) melalui realokasi dengan meningkatkan sinergi K/L, rasionalisasi dan pembatasan kegiatan; - Berdasarkan perhitungan, kebijakan flat policy belanja barang dengan meningkatkan alokasi belanja barang sebesar perkiraan inflasi, akan terdapat saving sebesar Rp25,8 Triliun pada tahun 2014. - Sementara itu, kebijakan flat policy belanja K/L dengan meningkatkan alokasi belanja K/L hanya sebesar perkiraan inflasi, akan terdapat saving sebesar Rp59,0 Triliun pada tahun 2014. - Pelebaran fiscal space punya korelasi kuat terhadap pertumbuhan & penyerapan tenaga kerja apabila diarahkan untuk infrastruktur, namun akan mempunyai korelasi yang kuat terhadap kemiskinan kalau diarahkan untuk bansos. 2. Kajian antisipasi dan mitigasi krisis fiskal melalui pembangunan Crisis Management Protocol (CNP) Fiskal Kajian ini bertujuan mengantisipasi terjadinya krisis fiscal, merespon dan memitigasi krisis fiskal melalui

kebijakan-kebijakan yang cepat dan tepat, dan menyusun suatu model monitoring ketahanan fiskal, SOP dan crisis binder dengan benchmarking analysis. Hasil kajian: - Model Monitoring Ketahanan Fiskal; - SOP CMP Fiskal; - Crisis Binder - Pilihan alternatif kebijakan dalam pencegahan dan penanganan krisis yang tepat sesuai dengan krisis yang dihadapi. 3. Kajian dan penyusunan model simulasi besaran bantuan langsung tunai Kajian ini bertujuan memodelkan secara teoritis pengukuran perubahan kesejahteraan rumah tangga yang diakibatkan oleh pengurangan subsidi bahan bakar dan listrik, mensimulasikan dampak pengurangan subsidi bahan bakar dan listrik pada kesejahteraan rumah tangga, menghitung besaran BLT yang harus diberikan kepada rumah tangga dengan suatu model simulasi. Metodologi menggunakan Variasi Kompensasi (Compensating Variation, CV) dan Variasi Setara (Equivalent Variation, EV) dengan Sistem Pengeluaran Linier (Linear Expenditure System, LES) sebagai model pengukuran perubahan kesejahteraan. Hasil kajian: Model simulasi besaran BLT

43

4. Kajian penyusunan strategi pencapain sustainable budget Kajian ini bertujuan melakukan evaluasi kondisi dan kesinambungan APBN berdasarkan data historis khususnya terkait perkembangan defisit dan utang pemerintah, merumuskan indikator-indikator fiscal sustainability, melakukan uji formal kondisi sustainabilitas fiskal di Indonesia, merumuskan langkahlangkah untuk untuk menjaga budget sustainability. Hasil kajian: - Hasil evaluasi kesinambungan APBN; - Indikator fiscal sustainability (ISF1,ISF2 &ISF3) - Rekomendasi kebijakan untuk menjaga kesinambungan APBN 5. Kajian minimum Essential Forces Kajian ini bertujuan melakukan evaluasi Evaluasi MEF, dan mengidentifikasi dampak MEF terhadap perekonomian nasional dan lokal dengan metodologi: indepth interview dan analisis InputOtput Antar Daerah (IRIO). Hasil kajian: - Menyimpangnya pengalokasian MEF periode tahun 2010 – 2014 yang direncanakan sebesar Rp57 T menjadi hanya sekitar Rp30 T sampai tahun 2013 menyebabkan adanya potensi peningkatan kebutuhan anggaran untuk pemenuhan MEF dari Rp 57 T menjadi Rp 69,3T dan diperkirakan akan memperpanjang periode pengalokasian sampai dengan tahun 2020.

- Keterlambatan pengalokasian mengakibatkan dampak ekonomi terhadap industri pertahanan dalam negeri menjadi kurang optimal. - Hasil analisis IRIO dengan sample 2 Provinsi (Jatim & Jabar) menunjukkan bahwa industri pertahanan memberikan dampak pengganda output dan dampak pengganda pendapatan yang signifikan terhadap penciptaan output maupun peningkatan pendapatan pekerja 6. Kajian reklasifikasi asumsi makro Kajian ini bertujuan menganalisis konsep penyusunan anggaran pemerintahan Indonesia dengan beberapa model, menganalisis mekanisme pembahasan anggaran di dua negara dengan sistem yang berbeda, menyusun strategi optimal agar proses pembahasan berjalan secara efisien, dan menganalisis mekanisme desain politik anggaran di Indonesia. Hasil kajian: - Rekomendasi kebijakan untuk menekankan prinsip bahwa asumsi makro merupakan variabel dasar perhitungan sebagai input perhitungan anggaran. - Dalam pengajuan asumsi makro, perlu disertakan bagan mekanisme transmisi asumsi makro dengan variabel pendapatan dan belanja. - Perlu adanya input profesional atau lembaga independen yang memiliki pengalaman di kebijakan fiskal dan perhitungan asumsi makroekonomi

7. Kajian implementasi earmarking di Indonesia Kajian ini bertujuan untuk kemungkinan penerapan earmarking di Indonesia yang dilihat dari aspek legalitas hukum dan landasan dasar (seperti asas manfaat), menemukan jenis belanja yang dapat diearmark dengan asumsi-asumsi yang melatar belakanginya . Hasil kajian: - Earmarking dalam jumlah terbatas sangat memungkinkan, misalnya: PPh Minyak Bumi (untuk pembangunan fasilitas infrastruktur energi dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional) serta PPh 21 dan PPh OP (untuk jaminan sosial, penyerapan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan). - Dalam penerapannya, earmarking dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dua prasyarat utama, yaitu prasyarat kompensasi dan efisiensi. - Earmark perlu diberikan target output terukur dan selalu dievaluasi. 8. Kajian evaluasi efektifitas pelaksanaan dana bergulir FLPP Kajian ini bertujuan melakukan analis atas efektivitas penyaluran dana bergulir FLPP pada periode 2010, periode awal berlakunya skema FLPP, sampai dengan semester I tahun 2012 sesuai permintaan DPR RI sebagai pertimbangan pengalokasian dana bergulir FLPP tahun 2013.

44

Hasil kajian: - Perlu dilakukan sosialisasi dan promosi program FLPP yang lebih luas. - Agar mekanisme penempatan dana FLPP pada bank pelaksana disesuaikan dengan kinerja penyaluran. - Mendorong kabupaten/kota agar dapat mendukung program FLPP. terutama dalam hal menyediakan cadangan lahan (land bank) untuk pembangunan perumahan sederhana. - Merekomendasikan agar dana cadangan pembiayaan sebesar Rp2,709 triliun dalam RAPBN 2013 dapat dipertimbangkan untuk direalokasi ke Dana Bergulir FLPP pada APBN 2013.

Bidang Kebijakan Subsidi 1. Kajian desain subsidi tepat sasaran Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan pemberian subsidi pupuk, subsidi benih, dan subsidi pangan (raskin) agar lebih efisien; mengembangkan dan menyempurnakan model pengalokasian subsidi yang tepat sasaran; dan menghasilkan rekomendasi kebijakan atas fungsi dan peran BUMN yang mendapat penugasan dari pemerintah.

Hasil kajian: - Diferensiasi kebijakan subsidi pupuk antara daerah(mekanisme dan jenis pupuk yang diberikan), serta penerapan kombinasi alternatif mekanisme subsidi pupuk di beberapa daerah. - Peningkatan efisiensi dan penguatan peran kelembagaan dari produsen pupuk - Prioritas ketepatan waktu lebih diutamakan dalam menyalurkan subsidi pupuk. 2. Kajian alokasi anggaran pertanian dan kinerja sektor pertanian Kajian ini bertujuan untuk melihat kebijakan alokasi anggaran sektor pertanian apakah telah memenuhi kriteria efisiensi anggaran khususnya ketepatan alokasi baik dari sisi jumlah maupun sektor berdasarkan potensi dan karakteristik daerah. Hasil kajian: - Penyusun kebijakan alokasi anggaran sektor pertanian dan pengembangan programprogram pertanian harus mempertimbangkan potensi dan karakteristik masing-masing daerah sehingga efektifitas alokasi anggaran sektor pertanian dapat dioptimalkan. - Alokasi subsidi pupuk harus lebih mempertimbangkan potensi dan karakteristik ekonomi daerah. 3. Kajian literatur kebijakan PSO di Indonesia Kajian ini bertujuan untuk menentukan dan memetakan kebijakan PSO (Public Service

Obligation) di Indonesia, khususnya yang dilakukan melalui empat BUMN yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pos Indonesia, PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dan LKBN Antara. Ada tiga aspek kajian yang dilakukan, yaitu: (1) Kajian teoritis untuk melihat kembali prinsip dasar PSO, (2) Kajian regulasi untuk melihat bagaimana sebenarnya PSO di Indonesia mestinya dilakukan, dan (3) Kajian teknis pelaksanaan untuk melihat sejauh mana PSO yang dilaksanakan di Indonesia. Hasil kajian: Merekomendasikan agar PSO di Indonesia perlu diletakkan kembali pada filosofi dasarnya, yaitu menyediakan layanan yang diperlukan oleh masyarakat tetapi tidak/belum ada sektor swasta yang tertarik untuk menyediakan layanan tersebut. 4. Kajian implikasi kenaikan harga gas terhadap industri pupuk Kajian ini mengidentifikasi permasalahan mengenai dampak kenaikan harga gas dalam perhitungan HPP pupuk dan merumuskan suatu kebijakan fiskal yang dapat mendorong produksi pabrik pupuk dan melindungi petani, tetapi tidak membebani APBN. Hasil kajian: - Berdasarkan struktur biaya produksi dalam perhitungan HPP pupuk bersubsidi pada tahun 2012, terlihat bahwa rata-rata kontribusi biaya bahan baku

45

terhadap total biaya produksi pada lima BUMN Pupuk mencapai 70,56 persen. - Kenaikan USD 1 per MMBTU gas bumi (gas alam) akan meningkatkan HPP pupuk urea rata-rata sebesar 9-10 persen, HPP Pupuk ZA sebesar 5-6 persen, dan HPP pupuk NPK sebesar 1-2 persen. - Rekomendasi agar pemerintah menjaga kelangsungan produsen pupuk dengan menyediakan gas bumi sesuai dengan kebutuhan pabrik. 5. Kajian peranan kementerian ESDM untuk mengendalikan BBM bersubsidi Kajian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peranan Kementerian ESDM dapat lebih ditingkatkan dalam upaya mengendalikan BBM bersubsidi. Untuk itu, kajian ini mencoba menganalisis secara singkat bahwa peningkatan peranan Kementerian ESDM dalam menyusun kebijakan untuk mengendalikan beban Subsidi BBM dapat dilakukan melalui tiga sisi, yaitu (i) sisi permintaan, yang difokuskan pada aspek pengendalian konsumsi BBM Bersubsidi; (ii) sisi penawaran, khususnya pada perbaikan perhitungan harga pasar BBM Bersubsidi; dan (iii) sisi administrasi, melalui peralihan KPA Subsidi BBM dari DJA (Dit. PNBP) ke Kementerian ESDM.

Hasil kajian: - Kementerian ESDM perlu meninjau ulang penggunaan indeks harga BBM yang selama ini mengacu pada harga MOPS (Mean Oil Platts Singapore). Sebagaimana diketahui pengadaan BBM saat ini diperoleh dari dalam negeri dan impor, dimana semua harganya mengacu pada MOPS. - Idealnya harga untuk kilang dalam negeri tidak menggunakan MOPS. Untuk itu, Kementerian ESDM perlu menetapkan dua indeks dalam penghitungan BBM bersubsdi yaitu MOPS (hanya untuk impor saja) dan indeks dalam negeri. Indeks dalam negeri diperoleh dengan cara mengetahui seluruh komponen biaya (BPP) pengadaan BBM bersubsidi yang diolah di kilang dalam negeri baik dari sisi input maupun outputnya. - Mengusulkan pengalihan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Subsidi BBM dari DJA (Direktorat PNBP) kepada Kementerian ESDM 6. Kajian pinjaman lunak untuk konverter kit kendaraan pribadi Kajian ini untuk melihat kemungkinan diberikannya pinjaman lunak pengadaan konverter kit bagi kendaraan pribadi yang akan menggunakan BBG (khususnya LGV). Hasil kajian: - Subsidi yang dimungkinkan untuk kendaraan pribadi yang akan mendapatkan subsidi bantuan konverter kit dan

peralatan pendukung lainnya adalah subsidi bunga kredit program, yang salah satu tujuannya adalah untuk mendukung program diversifikasi energi. - Alternatif bantuan lain yang dapat dipertimbangkan antara lain insentif fiskal (kebijakan tarif bea masuk dan insentif pajak penghasilan), serta pemberian pinjaman atau bantuan lunak melalui BUMN Perbankan atau Pertambangan (Community Social Responsibility (CSR). Disamping itu, terdapat juga Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) dari Kementerian BUMN. 7. Kajian KSPT 2012: Kajian pengembangan model proyeksi volume BBM bersubsidi berdasarkan konsumen pengguna dan wilayah. Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan model proyeksi volume BBM bersubsidi berdasarkan konsumen pengguna dan wilayah. Hasil kajian: - Hasil analisis menunjukkan variable penting yang berpengaruh terhadap konsumsi premium bersubsidi di setiap wilayah adalah PDRB, jumlah kendaraan penumpang, jumlah sepeda motor, harga premium itu sendiri dan selisih harga pertamax denganharga premium. - Untuk solar bersubsidi, variable berpengaruh adalah PDRB, jumlah truk, dan rasio harga solar nonsubsidi dengan solar bersubsidi.

46

- Untuk konsumsi LPG 3 Kg, perilakunya diduga lebih banyak dipengaruhi oleh program konversi minyak tanah ke LPG. 8. Kajian kebijakan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) Kajian ini bertujuan untuk menentukan tarif PBBKB sebagai komponen harga jual eceran BBM bersubsidi setelah diberlakukannya Undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hasil kajian: Rekomendasi bahwa kenaikan tarif PBBKB di atas 5% tidak ditanggung pemerintah adalah pilihan yang terbaik. Pilihan kebijakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebijakan tersebut selaras dengan amanah UU No.28 Tahun 2009, tidak ada tambahan beban subsidi BBM, serta dampak inflasi yang timbul juga tidak terlalu signifikan. Kebijakan tersebut harus diatur melalui Keputusan Menteri ESDM sebagai bagian dari penetepan harga jual BBM bersubsidi.

Bidang Kebijakan Transfer ke Daerah 1. Kajian pengaturan batas kumulatif defisit APBD Kajian ini membahas mengenai tingkat kepatuhan pemerintah daerah terhadap ketentuan batas defisit APBD yang ditetapkan pemerintah dan mengetahui pengaturan defisit APBD yang sebaiknya dilakukan. Untuk mendukung kegiatan tersebut,

dilakukan kunjungan lapangan, focus group discussion (FGD), dan rapat teknis. Hasil kajian: - Masih terdapat pemerintah daerah yang belum mematuhi pengaturan batas defisit APBD. - Ketidakpatuhan ini hanya sebatas besaran defisitnya dan belum menunjukkan kepatuhan yang sepenuhnya karena ada kepatuhan lain yaitu kewajiban meminta ijin pelampauan batas defisit. - Terdapat masukan agar perhitungan defisit berdasarkan produk regional domestik bruto dan pengaturan batas defisit setiap daerahnya berbeda sesuai dengan potensi dan kondisi daerah. - Sumber utama pembiayaan defisit APBD adalah SILPA tahun sebelumnya. 2. Kajian Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2012 Tujuan kajian ini adalah mengetahui tinjauan umum alokasi BOS dalam kaitannya dengan output dan outcome di bidang pendidikan, me-review pengalokasian dana BOS sepanjang periode dekonsentrasi dan mekanisme transfer ke daerah (APBD kab/kota dan APBD prop) termasuk aspek legalitas yang melingkupinya, dan menggali informasi dari daerah penelitian sebagai usulan untuk penyempurnaan kebijakan penyaluran dana BOS agar lebih efektif dan efisien.

Hasil kajian: - Angka partisipasi sekolah SD/ SMP/SMA tahun 2008-2010 meningkat. - Masyarakat kelompok kaya menikmati manfaat dana BOS lebih besar dibandingkan masyarakat miskin. - Pengeluaran pendidikan masyarakat di perkotaan lebih besar dibandingkan di pedesaan. - Mekanisme penyaluran dana BOS tahun 2012 lebih baik dibandingkan dengan mekanisme tahun 2011. 3. Rekomendasi, Monitoring dan Evaluasi Efektivitas dan Kesesuaian Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) Tujuan kajian ini adalah mengetahui kesesuaian alokasi DAU thd kebutuhan daerah, mengetahui efektivitas DAU dalam mengatasi kesenjangan fiskal antar daerah, dan memperkirakan kebutuhan Alokasi DAU tahun 2013. Hasil kajian: - Analisis terhadap distribusi DAU tahun 2012 menunjukkan lebih dari 60% daerah alokasi DAUnya sudah cukup, 38% daerah mendapatkan DAU underallocated, dan 19% daerah overallocated. - Alokasi DAU tahun 2012 sudah cukup efektif menurunkan kesenjangan. - Kebutuhan alokasi DAU minimal untuk tahun 2013 adalah sebesar Rp233,2T.

47

4. Penyusunan Buku Saku Keuangan Daerah Kegiatan ini diperlukan untuk mendukung kajian yang dilakukan oleh bidang Kebijakan Transfer ke Daerah. Buku Saku Keuangan Daerah merupakan kompilasi data dan informasi keuangan daerah yang tersedia pada Bidang Kebijakan Transfer ke Daerah. Buku saku dibuat dua kali dalam setahun, yaitu edisi Maret dan edisi Oktober dan digunakan untuk kalangan sendiri (tidak dipublikasikan). Hasil kajian: Isi buku saku terdiri dari data transfer ke daerah nasional dan distribusinya ke masing-masing daerah, data kompilasi APBD, data pemekaran wilayah, data indikator ekonomi (PDRB, inflasi, pengangguran, kemiskinan, IPM), data indikator kesehatan dan pendidikan terpilih, serta manual dana-dana desentralisasi fiskal. 5. Kajian Pengalihan Dana Dekonsentrasi ke Dana Alokasi Khusus (DAK) Tujuan kajian adalah mengetahui hambatan-hambatan dalam pengalihan dana dekonsentrasi/ tugas pembantuan ke DAK dan untuk memberikan rekomendasi yang relevan terkait pengalihan dekon/tp ke DAK. Hasil kajian: - Pemerintah telah melaksanakan pengalihan dana dekon/tp ke DAK untuk kewenangan yang telah dialihkan ke daerah walaupun belum optimal.

- Penentuan pagu DAK belum mempunyai formula baku dan cenderung ditetapkan sebagai residual dari belanja APBN. - Belum optimalnya pengalihan Dekon/TP ke DAK disebabkan, antara lain: - Definisi DAK yang kurang fleksibel; - Lemahnya ketentuan pembagian urusan pemerintahan oleh K/L; dan - Masih terdapat keraguan K/L atas kesiapan/kemampuan daerah dalam melaksanakan suatu urusan pemerintahan. 6. Dampak Kesitimewaan Propinsi DI Yogyakarta terhadap APBN Tujuan kajian adalah mengetahui dampak penetapan UU No. 13 Tahun 2012 terhadap APBN dan memberikan rekomendasi kebijakan terkait pelaksanaan ketentuan UU dimaksud. Hasil kajian: - Penetapan UU Nomor 13 Tahun 2012 akan menjadi dasar pemberian dana keistimewaan kepada Provinsi DIY. - PERDAIS mengenai penjabaran kewenangan istimewa DIY belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat sehingga Pemberian Dana Keistimewaan dalam tahun 2013 perlu dipertimbangkan kembali. - Sebagian tugas yang menjadi kewenangan istimewa sudah dilaksanakan sejak sebelum berlakunya UU Nomor 13 Tahun 2012.

- Perlu kiranya memperhitungkan dana keistimewaan dalam perhitungan kapasitas fiskal pemerintah DIY dalam formulasi DAU.

48

ROFYANTO K. KEPALA PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO (PKEM)

49

AB “Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Inklusif dan Berkeadilan Dapat Meningkatan Kesejahteraan Rakyat”

AB - ROFYANTO-

50

KEBIJAKAN

MAKRO EKONOMI

51

Pertumbuhan Ekonomi Memasuki tahun 2012 dampak perlambatan ekonomi global diperkirakan mulai memengaruhi kondisi domestik melalui jalur ekspor. Sejak pertengahan tahun 2011 kinerjaekspor menunjukkan kondisi yang mulai menurun. Namun, dengan perkiraan masih kuatnya daya beli masyarakat, tetap tingginya keyakinan konsumen, dan adanya respon kebijakan fiskal dan moneter, permintaan domestik diperkirakan tetap kuat untuk mendukung

pertumbuhan PDB. Dengan perkembangan tersebut, sampai dengan semester I tahun 2012, ekonomi Indonesia tumbuh 6,3 persen (yoy), sedikit melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan semester I tahun 2011 sebesar 6,4 persen (yoy). Pertumbuhan ekonomi selama tahun 2012 terutama didukung oleh kinerja permintaan domestik, yaitu konsumsi dan investasi. Sementara itu, kinerja eksternal (net ekspor)

masih tertekan oleh melambatnya permintaan dunia. Dari sisi produksi, laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3-6,5 persen di tahun 2012 terutama didukung oleh sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor pertanian diperkirakan tumbuh 3,5-3,7 persen (yoy), lebih tinggi bila dengan dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,0 persen (yoy). Nilai Tukar Rupiah Ketika memasuki tahun 2012, nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan, melanjutkan tekanan yang dimulai pada kuartal IV tahun 2011. Tekanan tersebut bersumber dari meningkatnya risiko di kawasan Eropa, mengingat masih belum adanya kejelasan proses pemulihan ekonomi dan penanganan krisis di Yunani, Italia, Portugal, Spanyol, dan Irlandia (GIPSI), serta indikasi perlambatan ekonomi di Cina, India, dan Brazil, yang selama ini menjadi motor penggerak perekonomian internasional. Selain itu, membaiknya indikator perekonomian Amerika Serikat juga telah mendorong terjadinya flight to quality sehingga semakin meningkatkan tekanan terhadap mata uang regional. Beberapa sumber tekanan tersebut mendorong perlambatan aliran dana nonresiden ke instrumen keuangan domestik, sehingga nilai tukar rupiah bergerak melemah, sejalan dengan pelemahan mata uang regional terhadap dolar AS. Selama dua kuartal awal tahun 2012, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan dengan ratarata sebesar Rp9.203 per dolar AS atau

52

terdepresiasi 5,21 persen bila dibandingkan dengan rata-ratanya pada periode yang sama tahun 2011. Kuatnya fundamental ekonomi yang didukung oleh outlook pertumbuhan ekonomi yang positif, laju inflasi yang relatif terkendali, cadangan devisa yang memadai, serta meningkatnya rating Indonesia, diharapkan dapat menjadi faktor pendorong stabilnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2012. Dengan perkembangan tersebut, tukar rupiah pada tahun 2012 diperkirakan rata-rata akan mencapai Rp9.250 per dolar AS.

Inflasi Selama enam bulan pertama tahun 2012, laju inflasi relatif terkendali selaras dengan minimnya kebijakan Pemerintah di bidang harga serta terjaganya pasokan bahan pangan dan energi. Meskipun tidak mengalami deflasi sebagaimana tahun sebelumnya, laju inflasi sepanjang 6 bulan pertama tahun 2012 relatif terkendali. Laju inflasi kumulatif sampai Juni 2012 menjadi sebesar 1,79 persen (ytd), sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 1,06 persen (ytd). Sementara itu, secara tahunan, laju inflasi sampai Juni 2012 sebesar 4,53 persen (yoy), lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,54 persen (yoy).

Relatif rendahnya inflasi komponen ini didorong oleh relatif minimnya perubahan kebijakan pemerintah di bidang harga, khususnya dengan dibatalkannya kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi per 1 April 2012. Tekanan inflasi masih dibayangi oleh faktor eksternal yaitu kekhawatiran terjadinya gejolak harga komoditas bahan pangan dan energi, serta prospek pemulihan ekonomi internasional sebagai dampak lanjutan krisis keuangan di Eropa. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah berupaya untuk mengamankan stok dan pasokan bahan kebutuhan pokok masyarakat, serta menjaga kelancaran arus distribusi bahan pangan guna menahan peningkatan laju inflasi tahun 2012. Suku Bunga SPN 3 Bulan Perkembangan suku bunga SPN 3 bulan berfluktuasi sepanjang 2012. Pada pelelangan pertama di tahun 2012, tingkat suku bunga SPN 3 bulan mencapai 3,87 persen atau lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun 2011 yang mencapai 4,81 persen. Penurunan tingkat suku bunga masih berlanjut sampai awal Februari dengan mencapai titik terendah, yaitu sebesar 1,69 persen. Penurunan yang cukup signifikan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya kepercayaan investor, yang tercermin dalam peningkatan peringkat utang Indonesia ke level investment grade oleh lembaga Fitch di pertengahan Desember 2011 dan lembaga Moody’s pada pertengahan Januari 2012.

Pada bulan selanjutnya, tingkat suku bunga mulai mengalami tekanan hingga mencapai sebesar 3,08 persen pada pelelangan 20 Maret 2012. Peningkatan yang terjadi itu terutama didorong oleh adanya ekspektasi inflasi akibat rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang akan dilaksanakan pada April 2012. Para investor berada dalam kondisi wait and see sehingga penawaran yang masuk pun mengalami penurunan. Tekanan yang muncul pun berlanjut pada bulan April, dengan adanya sentimen negatif yang muncul akibat pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Hingga bulan Juni 2012, Pemerintah telah melakukan pelelangan SPN 3 bulan sebanyak 9 kali dengan rata-rata tingkat suku bunga SPN 3 bulan mencapai 2,87 persen. Tingkat suku SPN 3 bulan dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputi aliran modal masuk (capital inflows), suku bunga global, serta harga komoditas internasional. Tekanan yang muncul pada tingkat suku bunga terutama didorong oleh adanya sentimen yang muncul akibat krisis Eropa yang tidak kunjung selesai. Sementara itu, faktor internal yang memengaruhi terutama bersumber dari ekspektasi terhadap inflasi. Dengan memerhatikan faktor-faktor eksternal dan internal, serta kondisi perekonomian global dan domestik, rata-rata suku bunga SPN 3 bulan tahun 2012 diperkirakan berada pada kisaran 3,9 persen.

53

Harga Minyak Mentah Indonesia Badan Energi Amerika (EIA) memperkirakan konsumsi minyak dunia pada tahun 2012 hanya tumbuh 0,8% sedangkan pasokan minyak dunia tumbuh lebih tinggi yaitu 2,1%. Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada laporan World Economic Outlook (WEO) Juli 2012 telah merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 sebesar 0,1%. Sejalan perlambatan permintaan minyak dunia tersebut, harga minyak mentah dunia Brent pada tahun 2012 diperkirakan akan berada pada level US$106,3 per barel atau sedikit turun dari rata-rata tahun 2011 yang sebesar US$111,3 per barel. Harga minyak mentah Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan masih tinggi. Sampai dengan enam bulan pertama tahun 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ICP sebesar US$117,3 per barel, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2011 yang sebesar US$111,0 per barel. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata harga minyak tahun 2012 diperkirakan mencapai US$110 per barel . Lifting Minyak Mentah Indonesia Realisasi lifting minyak selama semester I 2012 (periode Desember 2011 – Mei 2012) mencapai sebesar 868 ribu barel per hari, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 879 ribu barel per hari. Lifting minyak dalam tahun 2012 (periode Desember 2011-November 2012) diperkirakan mencapai sebesar 900 ribu barel per hari.

Kajian dan Kegiatan Dalam mendukung program kerja pemerintah dalam kebijakan ekonomi makro, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro melakukan beberapa kajian dan kegiatan di tahun 2012 diantaranya : 1. Kajian Pola Krisis Dunia dan Crisis Management Protocol Kajian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan pola krisis yang telah terjadi di Indonesia dan beberapa negara. Pemetaan pola krisis dilakukan dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Minsky. Selain memetakan pola krisis di Indonesia, pola krisis tersebut akan dihubungkan dengan model Early Warning System yang dikembangkan Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal dan Technical Assistance ADB yaitu dengan menjelaskan indikator yang menjadi leading dalam kondisi krisis tertentu.

Kegiatan tim kajian pola krisis dunia dan Crisis Management Protocol antara lain: a. Melakukan pelatihan mengenai penentuan indikator Crisis Management Protocol bersama TIM Early Warning System ADB di Yogyakarta b. Melakukan pembahasan mengenai pengembangan Early Warning System dengan menggunakan metode FSAM bersama tim LP3E Unpad di Bandung c. Melakukan integrasi Early Warning System ke dalam Economic Executive Dashboard

d. Workshop “Crisis Binder” oleh Toronto Centre dan difasilitasi oleh World Bank e. Melakukan penyesuaian threshold dalam Economic Executive Dashboard f. Melakukan pengkinian data yang digunakan sebagai indikator Early Warning System g. Melakukan estimasi xchange Market Pressure Index dengan data terbaru h. Focus Group Discussion dengan topik pola krisis dunia i. Mengidentifikasi pola krisis dunia berdasarkan teori The Ingredients of a Financial Market Crisis yang telah dikembangkan oleh Hyman Minsky j. Melakukan pengembangan Early Warning System menggunakan metode non-gaussian bersama Universitas Indonesia Dari hasil review dan analisis yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Memetakan pola krisis merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi penyebab dan gejala krisis dan memutuskan kebijakan untuk mengantisipasi krisis. b. Berdasarkan pemetaan pola krisis menggunakan teori Minski terhadap krisisyang pernah terjadi di beberapa negara sejak kurun waktu 1930 sampai dengan sekarang, didapatkan bahwa initial shock yang menjadi pemicu awal krisis dapat terjadi dari mana saja mulai dari kondisi perang sampai perubahan teknologi. Satu hal yang dapat dijadikan benang merah adalah initial shock

54

merupakan perubahan kondisi yang cukup besar dari kondisi sebelumnya baik disebabkan kebijakan pemerintah maupun kegiatan yang dilakukan masyarakat. c. Salah satu kelemahan dari teori Minsky dalam pemetaan pola krisis adalah bersifat memetakan pola krisis yang sudah terjadi, sedangkan yang sangat penting dilakukan adalah proyeksi kemungkinan krisis di masa mendatang untuk itu diperlukan program early warning system sebagaimana yang dikembangkan oleh Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal. d. EMPI saat ini masih menggunakan metodologi backcasting dengan probabilitas normal Gaussian. Pada saat ini bidang Pemantauan Dini Ekonomi Makro sedang melakukan studi bersama tim dari FMIPA-UI untuk mengaplikasikan sebaran Bayesian agar dapat lebih mengungkapkan kejadian tail event yang merupakan karakteristik dari kejadian krisis. e. Pemetaan pola krisis untuk krisis yang terjadi di Indonesia menunjukan bahwa dua dari tiga krisis yang dialami Indonesia yaitu krisis tahun 1965 dan tahun 1997/1998, initial shock disebabkan kebijakan pemerintah terkait uang beredar dan deregulasi sektor keuangan. Sedangkan krisis subprime mortgage tahun 2008 lebih disebabkan pengaruh krisis yang terjadi di Amerika Serikat

f. Program EWS yang dikembangkan Pusat Kebijakan Ekonomi Makro dapat menunjukan indicator yang menjadi leading dalam menunjukan gejala krisis, beberapa Indikator yang menjadi leading terbukti menunjukan perubahan yang signifikan pada saat terjadi krisis g. Hasil proyeksi sampai dengan November 2013 berdasarkan model EWS menunjukan adanya tekanan pada nilai tukar dan cadangan devisa namun tidak menunjukan potensi krisis Terkait hasil kajian pola krisis ekonomi, beberapa rekomendasi yang diperoleh adalah sebagai berikut: a. Hasil pemetaan pola krisis dapat menjadi dasar untuk melakukan pengawasan terhadap indikator tertentu yang terbukti dapat menunjukan gejala krisis b. Dengan kondisi perekonomian global yang masih menyimpan potensi krisis, diperlukan kajian lebih lanjut untuk memproyeksikan pola krisis ke depan, sehingga dapat dilakukan langkah antisipatif. 2. Kajian Islamic Public Finance Kajian ini bertujuan untuk melakukan analisis adanya kemungkinan Instrumen Public Finance berbasis Syariah. Sebagaimana dimaklumi bahwa kondisi Ekonomi Syariah di Tanah Air menunjukkan perkembangan yang luar biasa pesat. Dan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, maka diharapkan adanya kontribusi instrumen

berbasis syariah dalam kegiatan Public Finance di Indonesia. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia adalah hal yang sangat wajar bila potensi zakat di Indonesia juga sangat besar. Namun demikian realitasnya adalah pengumpulan dana zakat secara formal masih sangat rendah. Mayoritas Muzakki memilih menyalurkan zakatnya melalui lembaga – lembaga informal seperti masjid atau langsung kepada Mustahik.Masih rendahnya pengelolaan zakat secara formal dipengaruhi oleh rendahnya insentif bagi Muzakki.Dalam kaitan peran negara, isu terbesarnya kini adalah bagaimana mendesain instrumen dan atau insentif fiskal agar wajib pajak tidak menanggung beban ganda, yaitu membayar pajak dan zakat. Pada sisi lain insentif harus didesain sedemikian agar tidak berdampak negatif pada pendapatan fiskal. Untuk menuju ke arah sana, maka diperlukan tahapan kebijakan yang tepat yang dapat meningkatkan trust masyarakat terhadap organisasi pengelola zakat, dan juga membuktikan bahwa zakat bersifat komplemen terhadap pajak. Melihat zakat sebagai insentif pajak secara kasar, tentu akan berdampak pada pertentangan konseptual, yang mungkin tidak akan pernah selesai. Karenanya, perlu kajian mendalam sejauh mana antara zakat dan pajak dapat bersinergi sehingga keduanya mampu menjadi komponen yang kontributif dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

55

Secara umum tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi hubungan antara zakat dan pajak terkait perannya dalam pengentasan kemiskinan; b. Mengetahui sejauh mana peran pemerintah dan OPZ dalam manajemen pengelolaan zakat; c. Mengidentifikasi tahapan dan kemungkinan zakat sebagai instrumen public finance dan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya. 3. Koordinasi Pemantauan dan Perumusan Kebijakan Stabilitas Sektor Keuangan Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai berikut. a. Mengevaluasi sumber-sumber dan potensi yang mengancam stabilitas sektor keuangan. b. Menjelaskan kebijakan stabilisasi sektor keuangan yang telah dilakukan selama ini dan rencana kebijakan dari instansi. c. Melakukan tugas-tugas lain sehubungan dengan upaya stabilisasi sektor keuangan. Kegiatan tim koordinasi pemantauan dan perumusan kebijakan stabilitas sektor keuangan antara lain: a. Penyempurnaan Kerangka CMP Nasional dan alur koordinasinya b. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner LPS tentang Koordinasi Dalam Rangka Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan pada tanggal 7 Juni 2012

c. Penandatanganan Pembaruan Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan Ketua Dewan Komisioner LPS tentang Koordinasi Dalam Rangka Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan pada tanggal 3 Desember 2012 d. Penyusunan Crisis Binder Sekretariat FKSSK e. Penyusunan Draft SOP Pertukaran Data Dan Informasi dan SOP Mekanisme Rapat f. Pelaksanaan Rapat Koordinasi Pemantauan Stabilitas Sistem Keuangan antara Wakil Menteri Keuangan, Deputi Gubernur BI, Wakil ketua DK OJK dan Kepala Eksekutif LPS setiap bulan g. Pelaksanaan Rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan pada 16 April 2012, 7 Juni 2012, 1 Oktober 2012 dan 28 Desember 2012. h. Workshop “International Financial Crisis,” dengan pembicara Dr Martin Pontzen dari Bundes Bank, 17-19 April 2012 di Bank Indonesia i. Workshop “Crisis Binder”oleh Toronto Centre dan difasilitasi oleh World Bank, 4 - 6 Juni 2012 di Hotel Novotel Bogor j. Workshop “Systemic Risk Surveillance And Crisis Management Workshop”tanggal 19-22 November 2012 di Bogor dengan pembicara Dr Martin Pontzen dari Bundes Bank k. Seminar Internasional dengan tema “Financial

Stability Through Effective Crisis Management Protocol and Inter-Agency Coordination”. Waktu pelaksanaan tanggal 6 s.d 7 Desember 2012 bertempat di Hotel Westin Nusa Dua, Bali. Peserta yang hadir sebanyak 261 orang termasuk 60 peserta dari luar negeri. Berdasarkan seminar tersebut lesson learned yang dapat diperoleh antara lain: - Perlu kehati-hatian dalam melaksanakan liberalisasi sektor finansial karena membawa perlambatan pertumbuhan ekonomi. - Berdasarkan pengalaman Jepang, institusi finansial dalam skala kecil juga berpotensi dan bisa menjadi trigger terjadinya systemic risk. - Dalam penanganan krisis finansial, semua dokumen administratif yang terkait harus didokumentasikan dengan rapi, sehingga berbagai kebijakan untuk penanganan krisis tetap bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. l. 8 Desember 2012, sebagai rangkaian acara seminar internasional, telah dilaksanakan workshop untuk Tim Teknis:Macro Financial Indicator and EarlyWarning Exercise for Effective Surveillance. m.Pelaksaan Firedrill/Mini Simulation pada tanggal 10 s.d 13 Desember 2012 bertempat di Hotel Aryaduta Lippo Karawaci. Pelaksanaan

56

simulasi ini difasilitasi oleh World Bank yang dihadiri oleh Krishnamurti Damodaran (Senior Financial Sector Specialist), Aquiles A. Almansi (Lead Financial Sector Specialist), Ji Hoon Jeong (World Bank Consultant) danYejin Carol Lee (World Bank Consultant). Berdasarkan hasil firedrill/mini simulation diperoleh lesson learned sebagai berikut: - Perlunya pemahaman/ penguasaan protokol yang berlaku di masing-masing unit maupun protokol koordinasi. - Indikator-indikator yang digunakan harus lebih nyata dan semua peserta harus mempunyai informasi yang sama. - Proses pertukaran data dan informasi antar CMP sub protokol maupun ke Sekretariat FKSSK perlu ditingkatkan. - Komunikasi ke stakeholder/ masyarakat pada saat ‘krisis’ masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. - Terdapat kemungkinan terjadinya perbedaan status CMP Sub Protokol dan CMP Nasional. 4. Koordinasi Penentuan Asumsi Dasar Penyusunan RAPBN 2013 Tujuan pembentukan Tim Koordinasi ini antara lain: a. Menjalin koordinasi yang semakin mantap diantara instansi, baik yang berada dalam lingkungan Kementerian Keuangan maupun di luar Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan penentuan asumsi dasar penyusunan RAPBN 2013;

b. Menyatukan visi dan persepsi mengenai perkembangan ekonomi makro serta melakukan prakiraan asumsi dasar penyusunan RAPBN 2013 secara realistis dan akurat; c. Melakukan pemantauan dan kajian terhadap perkembangan pelaksanaan asumsi dasar Penyusunan APBN 2013; d. Mengembangkan model-model ekonomi makro yang berfungsi sebagai alat analisa kebijakan ekonomi makro yang berguna dalam mendukung penentuan asumsi dasar dimaksud; e. Menyusun dan mengembangkan budget forecasting tools yang berguna sebagai alat analisa dan sekaligus instrumen pendukung dalam pengambilan kebijakan fiskal. 5. Kajian Integrasi Model Makro Kajian Integrasi Model Makro adalah suatu kajian komprehensif yang melibatkan para ahli model di bidangnya masing masing dari setiap pusat, untuk diintegrasikan dalam suatu model besar BKF. Kajian ini diharakan dapat menghasilkan model induk yang dapat menghubungkan semua kegiatan besar yang ditangani oleh BKF. 6. Hubungan Dedikasi Investor Merupakan suatu kegiatan yang mempersiapkan dan membantu koordinasi dengan unit unit lin, terkait dengan Penilaian Rating Investasi untuk Indonesia. Kegiatan ini bertujuan agar rating investasi di Indonesia terus mengalami peningkatan grade, sehingga menjadikan iklim yang kondusif dan menarik bagi investor untuk masuk ke Indonesia

7. Kerja Sama dan Monitoring Penelitian dengan Perguruan Tinggi Melalui Swakelola Merupakan suatu kegiatan kerjasama Penelitian yang dilakukan secara Swakelola bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia> Disamping hal tersebut, dilakukan juga kegiatan Regional Economist yang merupakan upaya Kementerian Keuangan (BKF) untuk melakukan sosialisasi kebijakan di berbagai daerah. Kegiatan ini selain melibatkan perguruan tinggi setempat, juga melibatkan analis yang berasal dari masing masing daerah. 8. Kajian Kebijakan Industri Manufaktur – Isu Deindustrialisasi Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan analisis dan kajian dampak kebijakan terhadap sektor ekonomi yang memiliki peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, antara lain melalui: a. Mengumpulkan data dan informasi dari akademisi, pengamat ekonomi dan pelaku usaha (melalui FGD). b. Melakukan pengolahan data dan studi lapangan. c. Menyusun kajian dampak kebijakan tarif bea masuk terhadap sektor-sektor ekonomi khususnya industri tekstil dan industri makanan dan minuman. Dalam perkembangannya Industri TPT di Indonesia

57

menghadapi berbagai tantangan baik dari sisi Internal maupun dari sisi eksternal. Tantangan dari sisi Internal meliputi tantangan: teknologi, bahan baku, sumber daya manusia, modal kerja/investasi, dan energi. Sementara dari sisi eksternal, tantangan yang dihadapi industri TPT meliputi: pasar, transportasi, pelabuhan, perpajakan, dan perizinan. Untuk mengatasi tantangan dan masalah baik internal maupun eksternal sebagaimana dijelaskan di atas, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan langkah antisipasi. 8. Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian Dalam tahun 2012, Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian fokus untuk kelapa sawit dan karet. Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menjalin koordinasi yang semakin baik diantara instansi, baik yang berada dalam lingkungan Kementerian Keuangan maupun di luar Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah produk pertanian (khsusunya kelapa sawit dan karet) di Indonesia. b. Menyatukan visi dan persepsi mengenai pengembangan industri pengolahan produk pertanian di Indonesia. c. Melakukan penelitian kendala dan tantangan pengolahan produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet.

d. Melakukan kajian atas aspek pajak dan insentif pajak bagi industri produk pertanian di Indonesia. e. Melakukan kerjas ama teknis dengan instansi terkait. f. Melakukan kajian pengembangan regulasi di sektor pertanian melalui survei lapangan. Hasil kajian, menyimpulkan terdapat beberapa strategi untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa sawit, yaitu: a. peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit. b. Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit. c. Kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu. d. Dukungan penyediaan dana. Sedangkan untuk produk karet, strategi pengembangan industri pengolahan karet dilakukan dengan berupa: a. Penyusunan kajian pengembangan industri pengolahan karet. b. Pendirian pilot project industri pengolahan karet kompon. c. Promosi investasi melalui temu usaha, kemitraan dan publikasi. Kerangka pengembangan industri karet diltetapkan untuk mencapai berbagai sasaran baik yang jangka menengah maupun jangka panjang, sasaran jangka menengah yang ingin dicapai adalah:

a. Meningkatnya daya saing industri barang jadi karet secara berkelanjutan dengan indikator makin besarnya pangsa pasar domestik yang dikuasai oleh industri karet nasional dan meningkatnya ekspor. b. Meningkatnya kemampuan inovasi industri, penerapan standardisasi dan meningkatnya kemampuan teknologi industri barang jadi karet. c. Meningkatnya kemampuan fasilitasi pengembangan klaster industri berbasis karet. d. Meningkatnya kemampuan daerah dalam membangun kompetensi inti sumberdaya lokal, dalam hal ini pengembangan industri berbasis karet. e. Meningkatnya peran dan kemampuan industri kecil dan menengah. f. Meningkatnya kemampuan SDM industri dan aparatur pemerintah sehingga terwujud kinerja kerja sama yang baik dan sejalan. Untuk mewujudkan sasaran pengembangan industri karet nasional, maka disusunlah berbagai strategi yaitu: a. Menyusun peraturan daerah terkait kepentingan sektor industri, antara lain usulan rekomendasi peraturan pemberian insentif impor bahan baku, peraturan mengenai penggunaan bahan kimia, perpajakan, penanaman modal, insentif (fiskal dan/atau non fiskal) rangka meningkatkan daya saing, serta melakukan evaluasi dan efektivitas pemberian insentif.

58

b. Melakukan evaluasi mengenai program harmonisasi tarif dan penetapan tingkat tarif bea masuk bahan pembantu untuk proses pengolahan industri barang jadi karet. c. Menyusun kebijakan daerah sektor industri dalam rangka pelaksanaan berbagai free trade arrangement, terutama ditinjau dari sisi kebijakan tarif dan non tarif, perpajakan (PPN dan PPnBM), fasilitasi perdagangan (penerapan Asean Single Window). d. Melakukan kajian–kajian strategis dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif, seperti kajian dampak penetapan TDL/BBM/Gas, kajian dampak penurunan/ peningkatan tarif bea masuk dan lain-lain. e. Melakukan diseminasi berbagai kebijakan dan teknologi yang terkait dengan sektor industri karet dan stakeholder lain. f. Melakukan kaji ulang peraturan daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. g. Mendorong dan mengkoordinasikan pembangunan kawasan industri terpadu. h. Melakukan berbagai kajian dampak perubahan variabel–variabel ekonomi terhadap industri. 9. Kajian Profil per Sektor Riil Fokus dalam Kajian Profil Sektor Riil tahun 2012 adalah Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. Penelitian ini bertujuan untuk:

a. melakukan analisis dan pemetaan terhadap kinerjadan profil sektor perdagangan, hotel, dan restoran, b. melakukan analisis dan pemetaan terhadap kendala dan tantangan yang dihadapi sektor perdagangan, hotel, dan restoran, c. melakukan analisis sektoral terkait dengan NTB, tenaga kerja, dan sektor kunci, dan d. membangun model proyeksi pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan saran/rekomendasi sebagai berikut: a. Perlu dilakukan pembatasan pendirian minimarket atau toko modern melalui sistem zonasi dengan melihat kebutuhan, lokasi, jumlah, dan harus mempunyai persyaratan AMDAL serta studi kelayakan. b. Perlu ditingkatkan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Daerah, dan Asosiasi terkait untuk menyusun regulasi sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. c. Perbaikan dan peningkatan jalur distribusi untuk memenuhi ketersediaan barang kebutuhan masyarakat. d. Peningkatan kenyamanan pasar tradisional dan sosialisasi bahwa keberadaan toko modern tidak akan menggerus pasar tradisional karena mempunyai segmen pasar yang berbeda.

e. Mendorong lembaga perbankan untuk memberikan bantuan bagi usaha kecil dengan persyaratan yang tidak memberatkan. f. Memperbaiki dan meningkatkan sarana pariwisata sehingga menarik bagi wisatawan. 10. Kajian Core Inflation Tujuan kajian ini adalah sebagai berikut : a. Mengidentifikasi faktorfaktor dan komoditas yang mempengaruhi besaran inflasi inti; b. Melakukan kajian terhadap perkembangan inflasi inti dan sumber-sumber yang mendorong perubahannya; c. Melakukan kajian dan proyeksi inflasi inti serta kebijakan yang telah dan akan diambil guna menjaga laju inflasi tetap rendah dan stabil. 11. Kajian Neraca Pembayaran Tujuan kajian ini adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi berbagai permasalahan terkait dengan neraca pembayaran Indonesia; b. Melakukan kajian terhadap prakiraan atas neraca pembayaran secara realistis; c. Melakukan kajian terhadap konsistensi angka-angka prakiraan atas neraca pembayaran dengan variabelvariabel ekonomi makro serta dengan kebijakan-kebijakan yang telah dan yang akan diambil pemerintah; d. Menyusun rekomendasi kebijakan neraca pembayaran.

59

12. Koordinasi Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Tujuan kegiatan Tim Koordinasi Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) adalah sebagai upaya untuk pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, dengan tugas pokok adalah sebagai berikut: a. Melakukan koordinasi dalam rangka penetapan sasaran inflasi tiga tahun ke depan; b. Melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan yang telah dan akan ditempuh; c. Melakukan koordinasi dalam rangka merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung kepada pencapaian sasaran-sasaran inflasi kepada Menteri Keuangan; d. Melakukan koordinasi dalam rangka penerapan dan pengembangan model-model ekonomi makro untuk digunakan dalam penentuan asumsi dasar penyusunan RAPBN 2012 dan kajian sektor riil terhadap APBN 2012; dan e. Melakukan kajian mikro sektoral dalam rangka mendukung keakurasian proyeksi serta perumusan kebijakan-kebijakan strategis ekonomi makro melalui survei lapangan. 13. Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia Tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut :

a. Menyusun kajian-kajian terkait isu-isu strategis yang menjadi dasar perubahan RUU Perubahan UU BI; b. Menyusun Naskah Akademik dan draft RUU Perubahan UU BI; c. Melakukan legal drafting t erhadap draft RUU Perubahan UU BI; d. Membahas Naskah Akademik dan draft RUU Perubahan UU BI ini ke Panitia Antar Kementerian/ Lembaga; 14.Pengembangan Sistem Teknologi Informasi Ekonomi Makro Terpadu Tujuan kegiatan Pengembangan Aplikasi Mobile Economic Executive Dashboard dan DMC adalah : a. Meningkatkan fungsi dan performa dari penyajian data informasi pada layanan Economic Executive Dashboard Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI. b. Tersedianya informasi yang lebih lengkap, akurat,cepat dan efisien pada layanan mobile dashboard kantor Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI. c. Dengan kegiatan adanya pengembangan mobile dashboard serta pengolahan data dan Document Management Centre ini dapat meningkatkan layanan dan kegiatan di lingkungan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.

60

FREDDY R. SARAGIH KEPALA PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL (PPRF)

61

AB “Persoalan menjaga kesinambungan fiskal dan ketahanan fiskal adalah sebuah manajemen pengendalian dan pengelolaan risiko fiskal”

AB - FREDDY -

62

KEBIJAKAN

PENGELOLAAN RISIKO FISKAL

63

RISIKO FISKAL SENSITIVITAS ASUMSI MAKRO EKONOMI RISIKO UTANG PEMERINTAH PROYEK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR RISIKO BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEKTOR KEUANGAN PROGRAM PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA (THT) PNS DESENTRASLISASI FISKAL TUNTUTAN HUKUM KEPADA PEMERINTAH KEANGGOTAAN PADA ORGANISASI DAN LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL BENCANA ALAM

Suatu negara ketika melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan rakyatnya akan selalu berhubungan dengan pengelolaan fiskal. Dalam banyak hal negara selalu akan menghadapi kerentanan fiskal. Kerentanan fiskal terjadi apabila pemerintah gagal dalam melaksanakan koordinasi kebijakan fiskal secara keseluruhan. Salah satu indikasi kerentanan fiskal akibat kegagalan koordinasi pemerintah adalah adanya risiko ketidak pastian dalam pelaksanaan kebijakan fiskal. Peran penting kebijakan fiskal yaitu : alokasi anggaran, distribusi pendapatan subsidi dan stabilisasi ekonomi. Ke tiganya memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan perekonomian nasional. Peran penting karena hal tersebut merupakan mandat dan sebuah tuntutan kepastian tugas dari Pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya sebagaimana amanat UUD 1945. Saat ini perkembangan perekonomian lokal, regional maupun global sangat cepat berubah. Tekanan baik dari internal maupun eksternal terhadap perekonomian kita, akan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap tekanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena nilai dan peningkatan APBN memiliki keterkaitan langsung antara ketiga unsur tersebut. Yaitu pendapatan yang kita dapatkan. Pengeluaran dan belanja yang akan kita keluarkan. Subisidi yang harus kita kelola dengan cara yang benar. Adalah sebuah kondisi yang harus dikelola dengan cara tepat dan benar dengan mempertimbangkan seluruh risiko yang akan terjadi. Pemerintah harus mengelola kondisi

64

fiskal dimaksud agar tercapai ketahanan fiskal, dimana pemerintah dapat lebih menjaga kesinambungan fiskal. Kesinambungan fiskal akan terbentuk apabila pemerintah dapat menjaga maksimum defisit anggaran sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto ( PDB ) dan maksimum pinjaman pemerintah sebesar 60 % dari PDB. Persoalan menjaga kesinambungan fiskal dan ketahanan fiskal adalah sebuah manajemen pengendalian dan pengelolaan risiko fiskal. Risiko Fiskal dalam beberapa pustaka terdapat perbedaan, akan tetapi ada beberapa kesamaan pendapatan secara garis besar dapat di definisikan antara lain (1) Risiko Fiskal yang pertama, adalah tingginya ketidakpastian kondisi makro ekonomi seperti volatilitas harga minyak internasional dan nilai tukar rupiah. Perubahan ini secara signifikan akan mempengaruhi postur APBN baik pada sisi pendapatan negara, belanja negara maupun pembiyaan atas membengkaknya defisit. (2) Risiko Fiskal yang kedua, adalah meningkatnya kewajiban kontijensi Pemerintah yang antara lain disebabkan oleh perluasan peran pemerintah.Seiring dengan tuntutan perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi yang tejadi pada tahun 1997-1998 dengan cepat, pemerintah melakukan program percepatan pembangunan khususnya di bidang infrastruktur. Keterbatasan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan program ini mengingat program percepatan pembangunan membutuhkan modal yang sangat besar. Salah satu solusi dalam mengatasi

hambatan adalah dengan menjalin kerjasama antara pemerintah dengan swasta (public private partnership). Dalam rangka menjembatani hubungan antara pemerintah dan swasta dan kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara, pada tahun 2005 melalui Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 518/KMK.01/2005 dibentuklah apa yang disebut Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur (KPRPI). Mengingat perkembangan perekonomian disatu sisi begitu cepat dan pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat sangat luas, dengan karakterisitik kebutuhan yang sangat variasi. Sementara di sisi lain APBN kita terbatas untuk dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan masyarakat. Maka diperlukan prioritas tertentu untuk melakukan penyelenggaraan yang tepat. Apabila prioritas tersebut telah dilaksanakan Pemerintah namun APBN yang juga belum memenuhi hajat negara dimaksud maka Pemerintah melakukan perluasan peran yang sangat luas guna kepentingan kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Polackova (1998) mengemukakan pemerintah di berbagai negara sekarang ini menghadapi risiko fiskal dan ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan periode-periode sebelumnya. Alasan utama mengapa ini terjadi adalah diantaranya perubahan peran negara/pemerintah dari sebelumnya sebagai penyedia pembiayaan (financier) menjadi sebagai penjamin ( guarantor ) dalam penyediaan jasa-jasa dan proyek

65

pembangunan baik secara implisit maupun eksplisit. Tugas itu akan semakin luas manakla terdapat kesenjangan dan keterbatasan APBN untuk melakukan penyediaan infrastruktur oleh Pemerintah yang dibutuhkan. Oleh karena itu sejak tahun 2007 dalam Nota Keuangan Tahun 2008 Pemerintah memasukkan subbab risiko fiskal dalam APBN. Hal tersebut agar tercapai hasil kestabilan fiskal yang dapat terukur. Hal mana apabila pada waktu yang akan datang terjadi suatu ketidakpastian atau kejadian tertentu yang mempunyai dampak pada APBN. Artinya APBN dapat menalangi dan melakukan bantalan tertentu apabila terjadi tekanan tekanan tertentu yang dapat mengguncang APBN Tugas tugas dimaksud akan diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan dalam hal ini didelegasikan dan dibentuk unit Pengelolaan Risiko Fiskal di bawah Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan yang disebut dengan Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) pada November 2006, sebuah Unit Eselon II di bawah kontrol kendali BKF. Pembentukan

unit ini berdasarkan PMK Nomor 131/ PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Pengelolaan Risiko Fiskal Berdasarkan PMK Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) merupakan unit eselon II di bawah Badan Kebijakan Fiskal mempunyai tugas melaksanakan analisis, perumusan rekomendasi, dan evaluasi pengelolaan risiko ekonomi, keuangan, sosial, BUMN, dan dukungan pemerintah.Selanjutnya tugas tersebut dilakukan riset, kajian dan rekomendasi terhadap seluruh risiko fiskal. Beberapa hal ketika tugas seperti menentukanr tentang sumber risiko fiskal dan menjalankan mitigasi risiko fiskal agar dapat terjadi keberlangsungan fiskal yang stabil. Kestabilan fiskal akan berdampak terhadap ketenangan negara melakukan pembangunan dengan mengekspansi seluruh sumber sumber negara agar dicapai kemakmuran rakyat yang dikehendaki oleh undang-

undang. Risiko fiskal yang diungkapkan dalam Nota Keuangan Negara dan APBN meliputi (1) sensitivitas asumsi makro ekonomi (2) risiko utang Pemerintah (3) proyek pembangunan infrastruktur (4) risiko Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ; sensitivitas perubahan nilai tukar, suku bunga, dan harga minyak mentah terhadap risiko fiskal BUMN (5) sektor keuangan (6) program pensiun dan tunjangan hari tua (THT) PNS (7) desentraslisasi fiskal (8) tuntutan hukum kepada Pemerintah (9) keanggotaan pada organisasi dan lembaga keuangan internasional (10 ) bencana alam dan (11) risiko fiskal lainnya. Sensitivitas Asumsi Ekonomi Makro Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi. Jika mengacu kepada standar akuntansi internasional (IAS 37.10) Kewajiban kontijensi didefinisikan sebagai kewajiban yang mungkin timbul (possible obligation) yang bergantung kepada suatu event/peritiwa yang

66

tidak pasti pada masa mendatang (uncertain future event). suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP), dan lifting minyak. Risiko Utang Pemerintah Salah satu aspek pengelolaan risiko fiskal adalah pengelolaan risiko utang pemerintah. Risiko yang dihadapi dalam pengelolaan risiko utang pemerintah dapat muncul dari lingkungan eksternal maupun internal organisasi pengelola utang. Risiko dimaksud antara lain (1) risiko keuangan yaitu risikotingkat bunga, risiko nilai tukar, dan risiko refinancing, dan (2) risiko operasional. Proyek Pembangunan Infrastruktur Cadangan anggaran risiko fiskal adalah besaran anggaran belanja yang harus disediakan pemerintah sebagai cadangan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan ekonomi yang terjadi. Tujuan nya adalah mengukur dan memantau penyerapan cadangan risiko fiskal serta mengukur ketepatan proyeksi anggaran risiko fiskal. Cadangan anggaran risiko fiskal yang digunakan terdiri dari dua komponen, yaitu cadangan asumsi makro dan cadangan land capping (jaminan pemerintah atas kenaikan harga tanah).Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan/jaminan yang diberikan oleh pemerintah

terhadapbeberapa proyek, yaitu proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 mega watt (MW), proyek pembangunan jalan tol trans Jawa, proyek pembangunan jalan tol Jakarta outer ring road II (JORR II), dan proyek pembangunan monorail Jakarta, SJKU dan SJPP untuk proyek KPS. Dapat dikatakan bahwa ketika ada penjaminan dari Pemerintah terhadap penugasan proyek infrastruktur yang dilaksanakan oleh PT PII, PT SMI, IIF dan PIP. Maka pemantauan penugasan dilakukan oleh PPRF untuk melakukan kajian terhadap sumber risiko fiskal. Risiko Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Sensitivitas Perubahan Harga Minyak, Nilai Tukar, dan Suku Bunga terhadap Risiko Fiskal BUMN Perubahan nilai tukar, tingkat suku bunga, dan harga minyak mentah akan menimbulkan dampak pada kinerja keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat memengaruhi kontribusi BUMN terhadap APBN. Penurunan kontribusi ini merupakan bagian dari risiko fiskal yang bersumber dari BUMN. Untukmengetahui sampai seberapa jauh perubahan tersebut pemerintah telah melakukan pengujian sensitivitas atau macro stress test dengan menggunakan beberapa indikator risiko fiskal yang meliputi (1) kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, (2)

utang bersih BUMN, dan (3) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Simulasi ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat mengidentifikasi secara dini risiko fiskal yang bersumber dari BUMN, sehingga kesinambungan APBN dapat lebih terjaga. Macro stress test merupakan simulasi yang dilakukan dengan asumsi rupiah akan terdepresiasi terhadap US$, harga minyak melonjak dan suku bunga naik. Selanjutnya perubahan ini akan mengubah parameter kinerja keuangan BUMN dan indikator risiko fiskal BUMN. Pengujian macro stress test dilakukan atas proyeksi risiko fiskal BUMN secara parsial maupun keseluruhan. Sampel pengujian meliputi beberapa BUMN nonkeuangan yang mempunyai hubungan paling signifikan dengan APBN yang mewakili sektor energi, pertambangan, telekomunikasi, pupuk dan transportasi. Sementara itu agar terjadi subsidi listrik yang lebih tepat sasaran dan untuk mengurangi besaran subsidi listrik PPRF melakukan kajian tentang Service Level Agreement ( SLA ) PLN. Hasilnya telah dilakukan penandatangan kesepakatan kontrak dihadapan Wakil Presiden dengan beberapa Kementerian seperti ; UPKP4, Menko Perekonomian, Kementerian Keuangan,

67

Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian BUMN, BPH Migas, SKK Migas, Kepala BPN dsbnya. Hasil kesepakatan tersebut akan menentukan suatu besaran subsidi listrik dan diharapkan terjadi penurun subsidi listrik sebesar 20 T per tahun karena akan terjadi effisiensi yang cukup siginifikan. Sektor Keuangan Risiko fiskal yang terkait dengan sektor keuangan diantaranya bersumber dari Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan dijadikan satu group karena sumber risikonya sama yaitu kewajiban pemerintah menyuntikkan dana jika terjadi kekurangan modal awal sebagaimana yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan Bank Indonesia. Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sumber risiko fiskal yang berasal dari Program Pensiun PNS diantaranya berasal dari sharing pembayaran pensiun antara APBN dan PT. Taspen yang jumlahnya secara signifikan meningkat dari tahun ke tahun. Dengan terus meningkatnya beban APBN untuk pembayaran pensiun dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, pemerintah perlu membentuk suatu dana pensiun dan menerapkan sistem fully funded

dalam program pensiun PNS, yaitu pemerintah sebagai pemberi kerja bersama-sama PNS memupuk dana untuk dikelola oleh suatu Dana Pensiun sehingga pembayaran pensiun di kemudian hari tidak akan membebani APBN.Terkait dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) PPRF telah melakukan kajian dan rekomendasi terhadap penyelenggaran BPJS dimaksud. Telah disusun peraturan pelaksanaan Amanah UU SJSN dan UU BPJS yang diantaranya RPerpres tentang Jaminan Kesehatan dan RPP tentang Penerima Bantuan Iuran Jamkes; Desentralisasi Fiskal Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa sumber risiko fiskal yang terkait dengan desentralisasi fiskal diantaranya: (a) pemekaran daerah, (b) hold harmless, dan (c) alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. i. Pemekaran Daerah Penambahan daerah otonom baru memiliki dampak terhadap APBN yaitu pada (i) Dana Alokasi Umum (DAU); (ii) Dana Alokasi Khusus (DAK); dan (iii) kebutuhan pada instansi vertikal. ii. Hold Harmless Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pemberian DAU ke daerah dilakukan berdasarkan suatu formula tertentu. Apabila perhitungan realisasi DBH suatu daerah lebih tinggi daripada alokasi, Pemerintah harus mentransfer selisih dana tersebut ke daerah yang bersangkutan. Tuntutan Hukum kepada Pemerintah Tuntutan hukum kepada Pemerintah akan terjadi jika kasus dimaksud telah diputuskan pengadilan dan mempunyai kekuatan landasan hukum yang kuat dan tetap. Pihak ketiga mengajukan tuntutan hukum kepada pemerintah melalui pengadilan. pada kasus yang diperkarakan, secara final mempunyai kekuatan hukum. Pemerintah akan membayarkan tuntutan hukum tersebut melalui kewajiban kontijen yang harus disediakan dalam APBN. PPRF melakukan suatu rekomendasi, bahwa akibat kekuatan hukum dimana Pemerintah harus membayarkan kasus dimaksud akan dilaksanakan melalui anggaran DIPA Kementerian K/L yang diperkarakan. Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat menimbulkan risiko fiskal terkait dengan adanya komitmen Pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasiorganisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut.

68

Bencana Alam Indonesia merupakan negara yang wilayahnya memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan maupun kerugian harta benda. Dasar hukum penanggulangan bencana mengacu kepada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan undang-undang tersebut tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggaran tersebut diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan tahap prabencana, saat tanggap darurat bencana, dan pascabencana. Mengingat Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, probabilitas kejadian bencana yang meningkat, dan nilai kerugian akibat bencana yang besar, maka PPRF telah menyusun kajian tentang Skema Alternatif Pembiayaan Bencana Alam dengan Menggunakan Skema Asuransi; dan juga menyusun draf RPMK Ketahanan Fiskal dalam Menghadapi Bencana. Pembahasan tentang RPMK ini akan terus dilakukan melalui rapat koordinasi dengan DJA, Bapepam LK, DJPB, Itjen, dan Sekjen.

Kajian dan Kegiatan Kegiatan/kajian di tahun 2012 yang dilakukan Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal terkait pengelolaan risiko fiskal 1. Pengelolaan Mitigasi Risiko Ekonomi, Keuangan dan Sosial. Pengelolaan Mitigasi Risiko Fiskal yang dilakukan PPRF melalui Risiko Ekonomi, Keuangan dan Sosial adalah antara lain: a. Penyusunan subbab risiko fiskal pada Nota Keuangan tahun 2013. b. Rancangan Peraturan Presiden tentang pertanggungjawaban kerugian nuklir. c. Kajian penerapan hedging. PPRF telah menysusun kajian penerapan hedging minyak dan Nota Dinas Bersama dengan Pusat Kebijakan APBN tentang Hasil Kajian dan Rekomendasi Hedging Minyak Kepala BKF kepada Menteri Keuangan. Tindak lanjut yang dilakukan dalam kajian tersebut, yaitu: 1) Menyusun Nota Dinas Kepala BKF kepada Menteri Keuangan terkait disposisi Bapak Menteri atas Nota Dinas Kepala BKF tentang Hasil Kajian dan Rekomendasi Hedging Minyak; 2) Melakukan koordinasi dengan unit terkait meliputi DJPU, DJPB, Biro Hukum Setjen, dan DJA;

3) Menyusun aspek legal implementasi hedging minyak; dan 4) Menyusun petunjuk teknis implementasi hedging minyak yang termasuk didalamnya penentuan KP d. Asuransi Bencana Alam. PPRF telah menyusun kajian tentang Skema Alternatif Pembiayaan Bencana Alam dengan Menggunakan Skema Asuransi; dan juga menyusun draf RPMK Ketahanan Fiskal dalam Menghadapi Bencana. Pembahasan tentang RPMK ini akan terus dilakukan melalui rapat koordinasi dengan DJA, Bapepam LK, DJPB, Itjen, dan Sekjen. e. Optimalisasi Peran LP3EI sebagai Fiscal Tools untuk mendukung Program Ekspor Nasional. PPRF telah menyusun naskah kebijakan penguatan peran fiskal LPEI dengan memasukkan indikator kinerja fiskal ke dalam draf RKAT 2013 dan Kontrak Manajemen antara Kementerian Keuangan dan LPEI. Langkah yang akan dilakukan oleh PPRF dalam kajian ini adalah Monitoring pelaksanaan indikator fiskal LPEI Penyusunan model perhitungan indikator fiskal Penyusunan RPMK tentang National Interest Account (NIA). Kajian dimaksud masih akan dilanjutkan sampai tahun anggaran 2013.

69

f. Sistem Jaminan Sosial Nasioanl (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berikut ini adalah kegiatan yang telah dilakukan oleh PPRF terkait Sistem Jaminan Sosial Nasioanl (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS): 1) Telah disusun peraturan pelaksanaan Amanah UU SJSN dan UU BPJS yang diantaranya RPerpres tentang Jaminan Kesehatan dan RPP tentang Penerima Bantuan Iuran Jamkes; 2) RPerpres dan RPP dimaksud sudah mengakomodir usulan draft RPerpres dan RPP tim internal Kementerian Keuangan yang terdiri dari Biro Hukum Setjen, Biro Perasuransian Bapepam-LK, Dit. Harmonisasi Peraturan Penganggaran DJA, dan PPRF BKF; 3) Telah disusun Model Perhitungan Beban Fiskal Program Jamkes SJSN; 4) Melakukan survei kesiapan dan kemauan sektor informal dalam program jaminan sosial nasional dan tabulasi data hasil survei; 5) Menyusun bahan untuk Menteri Keuangan dalam rangka pertemuan dengan Kementerian Kesehatan membahas tentang Besaran Iuran PBI Jamkes; 6) Hasil kegiatan dimaksud telah menyusun Laporan Tim Kajian Kesinambungan Fiskal atas Program Jaminan Sosial Nasional;

7) Pembahasan Iuran PBI Jamkes dengan tim internal Kementerian Keuangan (Setjen, Bapepam LK, DJA) dan Kementerian Kesehatan, TNP2K, dan DJSN; 8) Analisis hasil survei kesiapan dan kemauan sektor informal dalam program jaminan sosial nasional. 2. Pengelolaan Mitigasi Risiko Fiskal BUMN Pengelolaan Mitigasi Risiko Fiskal yang dilakukan oleh PPRF dalam Risiko Fiskal BUMN adalah melakukan kajian dan rekomendasi, antara lain: a. Perumusan SLA ( Service Level Agreement ) PT PLN (Persero). b. Rekomendasi Persetujuan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) PT Wampu Electric, PT Pertamina, PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, PT Feni Haltim, PT PT Pelindo III. c. Kajian awal Proyek PT Inalum. Adapun terkait tugas BKF telah sesuai dengan usulan Kepala BKF kepada Menteri Keuangan melalui ND nomor 468/KF2012, yaitu: 1) Melakukan Kajian/ Rekomendasi yang dapat menggambarkan kepentingan strategis baik dari sisi keuangan, ekonomi maupun politik perdagangan dari pengambilalihan aset PT Inalum; 2) Melakukan kajian pengambilalihan dari aspek risiko fiskal;

3) Melakukan kajian pengelolaan aset PT Inalum pasca pengambilalihan. d. Rekomendasi Direct Lending untuk BUMN dengan Government Guarantee. e. Kajian Risiko Fiskal atas Kesinambungan Fiskal Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terkait Crisis Management Protocol (CMP) yang telah dipersiapkan oleh Kementerian Keuangan (sisi fiskal), Bank Indonesia (sisi pengawasan makro dan likuiditas), dan Lembaga Penjamin Simpanan (sisi penjaminan dan penyelamatan bank) dan Otoritas Jasa Keuangan (sisi penjaminan dan penyelamatan bank) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis ekonomi, Kepala Badan Kebijakan Fiskal telah menugaskan PPRF melalui Surat Keputusan nomor 44/KF.1/2012 untuk melakukan kajian singkat kebijakan antisipasi krisis tahun 2012 melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dimana kegiatan ini merupakan kelanjutan dari penyusunan kajian risiko fiskal atas kesinambungan program KUR tahun 2011. Tujuan dari kegiatan ini adalah: 1) Memetakan UMKM yang rentan terhadap krisis ekonomi menurut sektor ekonomi, besaran dampak (penurunan pendapatan UMKM), dan tingkat NPL kredit UMKM (KUR);

70

2) Mengindentifikasi langkahlangkah dalam kebijakan antisipasi krisis terkait program KUR (menentukan besaran risiko fiskal yang dapat ditoleransi program KUR, pengendalian tingkat NPL KUR, serta usulan penambahan PMN). 5. Pengelolaan Mitigasi Risiko Fiskal pada Dukungan Pemerintah Pengelolaan Mitigasi Risiko Fiskal yang dilakukan oleh PPRF dalam Risiko Fiskal terkait dengan Dukungan Pemerintah/Kewajiban Kontijensi melakukan kajian dan rekomendasi beberapa hal, antara lain: a. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla. Terkait dengan jaminan pemerintah pada PLTP Sarulla ada beberapa masalah yang dikelompokkan pada jenis obyek yang dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Isue yang terkait pada SJKU. 2) Isu Transfer Aset. 3) Isu Perpajakan: b. Penerbitan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU). 1) PLTA Rajamandala Permohonan penerbitan SJKU untuk Proyek PLTA Rajamandala tidak dapat diberikan karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam PMK 139/2011. Pengembalian dokumen permohonan SJKU telah dilakukan melalui surat Kepala BKF atas nama Menteri Keuangan Nomor S-04/MK.11/2013 tanggal 31 januari 2013.

2) PLTU Kaltim 2 Hasil pemeriksaan BPK atas Sektor Hulu Listrik Nomor 30/ Auditama VII/PDTT/09/2011 tanggal 16 September 2011 merekomendasikan bahwa Kontraktor Utama PLTU Indramayu (FTP I) direkomendasikan untuk mengerjakan proyek listrik PT PLN (Persero) untuk 5 tahun ke depan, sedangkan CNEEC yang merupakan salah satu PLS dalam konsorsium pengembang PLTU Indramayu juga merupakan kontraktor utama dalam PLTU Kaltim. Saat ini sedang menunggu arahan Menteri Keuangan untuk memproses penerbitan SJKU PLTU Kaltim 2. 3) PLTU Madura Hasil Pemeriksaan BPK merekomendasikan bahwa Kontraktor Utama PLTU Rembang (FTP I) direkomendasikan untuk mengerjakan proyek listrik PT PLN (Persero) untuk 5 tahun ke depan, sedangkan salah satu Pengembang Listrik Swasta (PLS) untuk PLTU Madura ialah PT Priamanaya yang merupakan salah satu PLS dalam konsorsium yang mengembangkan PLTU Madura. Menunggu presedent PLTU Kaltim 2. c. Surat Pemberian Jaminan Pemerintah (SPJP) untuk PDAM. 1) PDAM Kab. Bogor ; 2) PDAM Kab. Ciamis; 3) PDAM Kab. Lombok Timur; 4) PDAM Kota Malang; 5) Pembahasan permohonan

penerbitan SJPP untuk PDAM Kota Banjarmasin, Kota Pekalongan, Kota Denpasar, Kabupaten Passer Kalimantan Timur dan Kabupaten Intan Banjar. Banjar Baru. d. Penyusunan RPMK Dana Dukungan Kelayakan/ Viability Gap Fund (VGF). Telah diterbitkan PMK tentang dengan PMK 223/2012 yaitu tentang Pemberian Dukungan Kelayakan atas sebagian biaya konstruksi pada Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaaan Infrastruktur. e. Penugasan PT Sarana Multi Infrastruktur Indonesia (PT. SMI) Kelanjutan KMK 126 tahun 2011). KMK 126 Tahun 2011 menugaskan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT.SMI) untuk melakukan penyiapan proyek Kereta Api Trayek Manggarai Bandara dan Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan Jawa Timur. Penugasan KMK 126/2011 ini mempunyai tenggang waktu tugas selama 2 (dua) tahun dan akan berkahir pada bulan Mei 2013. Pada bulan Oktober 2012 PT SMI telah mengajukan tagihan penugasan dimaksud pihak BKF/PPRF telah melakukan verifikasi tagihan dimaksud. Tagihan tersebut tidak semuanya dapat dibayarkan karena ketidaklengakapan persyaratan administratif.

71

f. Penyusunan PPP unit Kementerian Keuangan. Dalam rangka mendukung percepatan realisasi proyek infrastruktur KPS di Indonesia, Kementerian Keuangan menggagas pembentukan PPP unit di bawah Kementerian Keuangan. g. Rekomendasi skema Project Development Facility (PDF) yang terkait dengan implementasi Valubility Gap Fund (VGF). h. Asean Infrastructure Fund (AIF). Kajian ini adalah dipicu dari suatu yang terasakan bahwa salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh ASEAN adalah kebutuhan dalam penyediaan infrastruktur untuk menopang pertumbuhan perekonomian. Terutama di kawasan ASEAN. Keberadaan infrastruktur di kawasan ASEAN juga masih lebih rendah bila dibandingkan dengan beberapa kawasan lain di dunia lain. i. Monitoring implementasi penggunaan Fasilitas Dana Gheothermal (FDG ) oleh PIP. j. Kelanjutan fasilitasi Proyek Umbulan. k. Fasilitisasi Proyek KA Bandara. Fasilitisasi Proyek KA Bandara adalah penugasan dari

Kementerian Keuangan kepada PT SMI ( KMK 126/2011). Hasil kajian menunjukkan bahwa fasilitas proyek ini pada akhir tahun adalah PT.SMI telah menyampaikan laporan kajian trase yang terdiri dari 5 alternatif dan 1 rekomendasi jalur trase berubah dari Manggarai – Soekarno Hatta menjadi dari Halim – Soekarno Hatta. Kementerian Perhubungan selaku PJPK belum mengeluarkan ketetapan Menteri terkait trase. Hal ini mengganggu lanjutan proses fasilitasi oleh SMI. PPRF akan menyusun opsi untuk mengatasi persoalan/masalah penetapan jalur yang dihadapi oleh PJPK dengan kemungkinan kebutuhan perubahan/ amandemen perjanjian antara SMI dengan Kementerian Perhubungan yang berimplikasi pada perjanjian pelaksanaan penugasan antara SMI dengan Kementerian Keuangan.

72

DECY ARIFINSJAH KEPALA PUSAT KERJASAMA REGIONAL BILATERAL (PKRB)

73

AB “Persoalan menjaga kesinambungan fiskal dan ketahanan fiskal adalah sebuah manajemen pengendalian dan pengelolaan risiko fiskal”

AB - FREDDY -

74

KERJASAMA

REGIONAL & BILATERAL ISU DALAM KERJASAMA BILATERAL 1. DEFFERED DRAWDOWN OPTION (DDO) 2. BILATERAL SWAP ARRANGEMENT (BSA) 3. BILATERAL CURRENCY SWAP ARRANGEMENT (BCSA) 4. FREE TRADE AGREEMENT (FTA) 5. ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (EPA) / COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (CEPA

75

6. BORDER TRADE AGREEMENT (BTA) 7. TAX TREATY / PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) 8. P4M (PERJANJIAN PROMOSI DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL)/FOREIGN INVESTMENT PROMOTION AND PROTECTION AGREEMENT (FIPPA) 9. DEBT SWAP AGREEMENT 10. FORUM BILATERAL

76

Bidang Kerjasama Regional dan Bilateral Berdasarkan Pasal 8 huruf (d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan. Dalam rangka mendukung tugas Menteri Keuangan tersebut, berdasarkan Pasal 1927 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Pusat Kerja Sama Bilateral dan Regional-Bidang Bilateral diberikan tugas untuk melaksanakan perumusan rekomendasi kebijakan, analisis, evaluasi, koordinasi, pelaksanaan, dan kerja sama ekonomi dan keuangan bilateral dengan pemerintah dan lembaga perwakilan/kuasi pemerintah seluruh negara-negara sahabat, dan lembaga/organisasi internasional non-pemerintah. Berbagai isu dalam kerja sama bilateral, antara lain: 1. Deffered Drawdown Option (DDO) DDO adalah fasilitas stand-by loan (pinjaman siaga) yang ditujukan untuk memberikan cushion atas APBN. DDO disediakan oleh beberapa lender (development partner) dengan jumlah yang berbeda yaitu Bank Dunia (US$ 1 milyar), ADB (US$500 juta), Pemerintah Jepang (US$ 1 milyar), dan Pemerintah Australia (US$ 1 milyar).

2.Bilateral Swap Arrangement (BSA) BSA merupakan fasilitas untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek dan kesulitan neraca pembayaran serta untuk melengkapi fasilitas pembiayaan internasional yang sudah ada. Saat ini, Indonesia menjalin BSA dengan Jepang. Nilai swap yang disediakan oleh Jepang berjumlah USD 12 milyar. BSA tersebut akan berakhir pada tanggal 31 agustus 2013. Jepang dan Indonesia telah melakukan pembicaraan awal bagi perpanjangan BSA tersebut. 3. Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) BCSA adalah fasilitas pembiayaan yang disediakan untuk mendukung kelancaran transaksi perdagangan dan investasi antar kedua negara. Saat ini, Indonesia mempunyai perjanjian BCSA dengan China dengan nilai swap sebesar setara dengan US$ 15 milyar. 4. Free Trade Agreement (FTA) Perjanjian Perdagangan Bebas atau FTA adalah perjanjian diantara dua negara atau lebih untuk membentuk wilayah perdagangan bebas dimana perdagangan barang atau jasa diantara mereka dapat melewati perbatasan negara masingmasing tanpa dikenakan hambatan tarif atau hambatan non tarif. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki FTA secara bilateral, namun sebagai anggota ASEAN, Indonesia telah memiliki FTA dengan China, Korea, dan Australia-Selandia Baru.

5. Economic Partnership Agreement (EPA) / Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) EPA/CEPA hampir serupa dengan FTA. Namun dalam EPA/CEPA tidak hanya menekankan pada upaya pembentukan wilayah perdagangan bebas melalui pembebasan tarif tetapi juga memasukkan unsur investasi serta kerja sama dan kemitraan. Indonesia telah mempunyai EPA dengan Jepang (IJ-EPA). Saat ini, sedang dilakukan negosiasi bagi pembentukan Indonesia-Korea CEPA, Indonesia-EFTA (Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechsteintein) CEPA, Indonesia-Australia CEPA, dan Indonesia – Uni Eropa CEPA. 6. Border Trade Agreement (BTA) BTA merupakan perjanjian bilateral dua negara mengenai pengaturan perdagangan di wilayah perbatasan. Saat ini Indonesia sedang dalam proses re-negosiasi BTA dengan Malaysia. Menurut rencana, tahun ini akan dilanjutkan perundingan tersebut dan review terhadap Border Crossing Agreement Indonesia – Malaysia tahun 2006. Selain dengan Malaysia, persetujuan mengenai kerja sama perbatasan dengan Papua New Guinea juga dilakukan review. Basic Agreement dan Special Arrangement antara Indonesia dan PNG sudah berumur lebih dari 20 tahun, sehingga sudah perlu dilakaukan penyesuaian.

77

7. Tax Treaty / Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) P3B adalah perjanjian yang ditujukan untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan dan investasi antar dua negara melalui penghindaran pengenaan pajak berganda bagi para pelaku ekonomi di kedua negara. Aspek penting lain dalam P3B adalah pertukaran informasi mengenai perpajakan. Indonesia telah memilki P3B dengan kurang lebih 62 negara di dunia, termasuk P3B dengan Hongkong dan Maroko yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2013. Perundingan pembentukan P3B antara Indonesia dengan beberapa negara mitra juga sedang berlangsung, seperti dengan dengan Ekuador dan Belarus. Beberapa diantara P3B tersebut sedang dalam proses re-negosiasi untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman dan perubahan-perubahan regulasi di masing-masing negara. Beberapa P3B yang sedang dalam proses re-negosiasi antara lain dengan Korea, Jepang, dan Jerman. 8. P4M (Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal)/ Foreign Investment Promotion and Protection Agreement (FIPPA) FIPPA adalah perjanjian kerja sama bilateral yang bertujuan untuk perlindungan dan promosi penanaman modal asing melalui kesepakatan resmi yang mengikat kedua belah pihak. Saat ini, Indonesia sedang melakukan negosiasi pembentukan FIPPA dengan Kanada. Namun saat ini sedang dilakukan

proses review terhadap semua kesepakatan P4M yanag sudah ditandatangani oleh Indonesia. Efektivitas dan manfaat P4M terhadap promosi investasi asing masih perlu dipertanyakan. Ada beberapa usulan P4M yang diajukan kepada pihak Indonesia, antara lain dari Uni Emirat Arab dan Taiwan. 9. Debt Swap Agreement Debt Swap Agreement merupakan perjanjian antara negara pemberi pinjaman (kreditor) dengan negara penerima pinjaman (debitor) dimana negara kreditor setuju untuk menghapuskan utang negara debitor dengan syarat negara debitor memberikan dan melaksanakan komitmen di bidang tertentu seperti perlindungan/pelestarian lingkungan dan pendidikan. Saat ini terdapat beberapa program debt swap yang dilaksanakan Indonesia dengan beberapa negara mitra seperti Amerika Serikat dan Jerman. Program debt swap dengan Amerika Serikat dijalankan melalui Tropical Forest Conservation Act (TFCA) yang terdiri dari TFCA I dan II, saat ini pelaksanaan program sudah memasuki TFCA II di wilayah Kalimantan. Sementara program debt swap dengan Jerman yang sudah dan sedang berjalan ada 7 (tujuh), yakni debt swap I s.d VII, yang mencakup berbagai bidang yaitu lingkungan hidup, kesehatan, dan pendidikan. 10.Forum Bilateral High Level Policy Dilaogue (HLPD), Financial Policy Dialogue Forum (FPDF), Bilateral Economic Policy Dialogue (BEPD) pada dasarnya

adalah sebuah forum yang ditujukan untuk memperkuat hubungan dan kerja sama antara Pemerintah RI dan mitra berdasarkan prinsip kemitraan dan rasa saling percaya (mutual trust). Indonesia telah mempunyai forum pertemuan rutin dengan beberapa negara mitra bilateral antara lain Jepang, Korea, dan Australia. Kerja sama bilateral juga diwujudkan dalam bentuk Kerjasama Teknik Luar Negeri yaitu kerja sama antar Pemerintah RI dengan negara dan badan/ lembaga asing dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia melalui pelatihan, alih teknologi, dan pertukaran tenaga ahli, guna mendukung pelaksanaan pembangunan daerah, khususnya peningkatan kesejahteraan dan upaya pengentasan kemiskinan. Beberapa badan/lembaga asing yang merupakan donor antara lain AusAID, USAID, JICA, KOICA, dan Colombo Plan. Terkait dengan pembangunan kapasitas, selama tahun 2012, telah diproses keberangkatan 535 pegawai Kementerian Keuangan untuk mengikuti program di luar negeri yang terdiri atas 74 peserta program degree (67 program S2 dan 7 program S3) dan 461 peserta program non-degree. Beberapa badan/lembaga asing yang merupakan donor antara lain AusAID, USAID, JICA, KOICA, dan Colombo Plan.

78

Berkenaan dengan bantuan teknik, saat ini terdapat 50 orang tenaga ahli asing diKementerian Keuangan yang mana 27 orang diantaranya ditempatkan di Ditjen Perbendaharaan dalam rangka pembentukan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) serta membantu meningkatkan kemampuan SDM di Ditjen Perbendaharaan dalam mengelola SPAN. Sejalan dengan meningkatnya peran Kementerian Keuangan di forum internasional maka saat ini juga dilakukan eksplorasi untuk meningkatkan keterwakilan Kementerian Keuangan di luar negeri. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menambah wakil Kementerian Keuangan di perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Saat ini telah ditempatkan 4 (empat) orang atase keuangan, masing-masing di Jepang, Singapura, Belgia dan Hong Kong. Pada sisi lain, seiring dengan meningkatnya predikat Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengah (middle income country), Indonesia diminta komitmennya untuk turut membantu negara-negara berkembang lainnya. Bantuan tersebut dikemas dalam program Kerja sama Selatan-Selatan (KSS).

Bidang ASEAN (Association of South East Asian Nations) Sesuai dengan PMK nomor : 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, bidang ASEAN mempunyai tugas melaksanakan perumusan rekomendasi kebijakan, analisis, evaluasi, koordinasi, pelaksanaan, dan kerja sama ekonomi dan keuangan dengan

pemerintah dan lembaga perwakilan/ kuasi pemerintah di kawasan ASEAN mencakup Forum Keuangan ASEAN, Forum Jasa Keuangan ASEAN, Kelembagaan ASEAN dan Mitra ASEANSejalan dengan Tupoksi yang ada, Bidang ASEAN telah melaksanakan beberapa hal selama tahun 2012 yaitu terkait

antara lain : Implementasi ASEAN Economic Community Blueprint, ASEAN Infrastructure Fund, ASEAN Capital Market Forum, ASEAN Integration Monitoring Office, Kerja sama asuransi ASEAN, Financial Inclusion, serta ikut dalam kegiatan dalam rangka kerjasama ASEAN +3.

I. IMPLEMENTASI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BLUEPRINT 2. ASEAN INFRASTRUCTURE FUND 3. ASEAN CAPITAL MARKET FORUM 4. ASEAN INTEGRATION MONITORING OFFICE 5. KERJASAMA ASURANSI ASEAN 6. KERJA SAMA KEPABEANAN 7. FINANCIAL INCLUSION (STRATEGI NASIONAL KEUANGAN INKLUSIF) 8. KERJASAMA ASEAN +3

79

I. Implementasi ASEAN Economic Community Blueprint: AEC merupakan salah satu pilar dalam membentuk komunitas ASEAN selain pilar politik dan kemanan, dan sosial budaya. Berdasarkan AEC, integrasi ekonomi ASEAN ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2015. Tahapan-tahapan dalam mencapai integrasi ekonomi tersebut disusun dalam strategic schedule yang mana implementasinya dipantau melalui suatu Scorecard. Saat ini sedang dilakukan Mid-term Review oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) atas implementasi AEC dengan tujuan untuk menilai efektifitas tujuantujuan dalam AEC dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, daya saing, dan kesejahteraan sosial. Dalam rangka mendukung pasar tunggal dan basis produksi, para Menteri Keuangan ASEAN menetapkan RIA-Fin, yakni suatu roadmap yang berisikan tahapantahapan dan strategi menuju pada integrasi keuangan dan moneter di ASEAN. Target pencapaian RIAfin disesuaikan dengan timeline dalam AEC yaitu tahun 2015. RIAFin terdiri atas beberapa elemen yaitu:

a. Capital Market Development (CMD) Dalam pembahasan CMD terdapat Working Committee yang bertujuan mengembangkan pasar modal yang efektif dan liquid di kawasan ASEAN. Tujuan pembahasan CMD adalah untuk menjadikan pasar modal ASEAN menjadi lebih deep dan likuid. Saat ini sedang dikembangkan suatu ASEAN Bond Market Development Scorecard yang ditujukan untuk menilai perkembangan, tingkat keterbukaan, dan likuiditas pasar obligasi di ASEAN. b. Capital Account Liberalization (CAL) Dalam pembahasan CAL terdapat working committee yang bertugas untuk membahas liberalisasi transaksi modal di ASEAN. Tujuan pembahasan CAL Tujuannya adalah untuk meliberalisasikan neraca modal ASEAN, yang meliputi liberalisasi atas transfer of foreign direct investment, portfolio investment, dan current account transaction. Pada dasarnya, hampir semua negara ASEAN telah melonggarkan kebijakan aliran modal dalam rangka FDI, investasi portofolio, dan transaksi neraca berjalan. Beberapa kebijakan lain seperti pelaporan masih diterapkan untuk tujuan pemantauan (monitoring). c. Financial Services Liberaliza-

tion (FSL) Dalam pembahasan FSL terdapat working committee yang menegosiasikan liberalisasi jasa keuangan ASEAN. Tujuan pembahasan FSL adalah untuk meliberalisasikan sektor jasa keuangan di ASEAN dengan memberikan fleksibilitas dan mempertimbangkan tingkat perkembangan masingmasing negara anggota. Proses liberalisasi jasa keuangan dilakukan dalam tahapan-tahapan negosiasi yang berlangsung selama tiga tahun untuk masing-masing putaran. Negosiasi perundingan putaran kelima telah selesai dilakukan dengan menghasilkan paket komitmen kelima jasa keuangan ASEAN dan protokol untuk mengimplementasikan paket komitmen kelima dimaksud. Paket komitmen kelima jasa keuangan berisi kumpulan komitmen-komitmen Negara anggota ASEAN atas sektor jasa keuangan yang akan dijadwalkan untuk diliberalisasi pada putaran tersebut. Saat ini sedang dilakukan negosiasi perundingan putaran keenam jasa keuangan yang akan menghasilkan paket komitmen keenam jasa keuangan dan diharapkan perundingan ini akan selesai dilakukan pada tahun 2014.

80

II. ASEAN Infrastructure Fund AIF merupakan suatu fasilitas pembiayaan bagi pengembangan proyek-proyek infrastruktur di ASEAN; AIFdidirikan melalui penandatangan Shareholders Agreement oleh para Menteri Keuangan ASEAN pada tahun 2011; Modal awal AIF diharapkan sebesar USD700 juta; Penyertaan modal dilakukan dengan equal sharing untuk ASEAN 5 namun didorong untuk melakukan penambahan (top-up); Malaysia menyertakan modal USD150 juta, Indonesia USD120 juta, Viet Nam USD 10 juta, Kamboja dan Laos masingmasing USD100 ribu, dan ADB USD150 juta; Penyertaan modal dibayarkan dalam tiga tahapan yang dimulai pada tahun 2012 sampai dengan 2014. Indonesia berkomitmen menyertakan modal sebesar USD120 juta dengan pertimbangan (i) AIF merupakan inisiatif yang nyata dan attainable, (ii) Indonesia berpotensi sebagai Negara terbesar kedua setelah Viet Nam sebagai Negara pengguna dana AIF, (iii) AIF diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan alternative yang kompetitif bagi pengembangan proyek-proyek infrastruktur. Penyertaan modal tahap pertama sebesar USD40 juta dialokasikan dari APBN-P 2012 dan dilanjutkan dengan APBN 2013 dan 2014 masing-masing sebesar USD40 juta. Indonesia memiliki beberapa kepentingan atas AIF, yaitu :

a. Posisi Direktur Eksekutif pada Dewan Direktur AIF; Indonesia menjabat Co Chair Board of Director 2012-2013, dan Chair BoD tahun 2013-2015. b. Perolehan projects Indonesia yang optimal pada AIF Project Pipeline; c. Indonesia akan selalu mencermati perkembangan yang terjadi di AIF, khususnya mengenai proyekproyek dengan skema PPP. III. ASEAN Capital Market Forum ASEAN berupaya untuk mengharmonisasikan regulasi pasar modal di Negara-negara anggota; Telah disepakati suatu ASEAN and Plus Standard yang merupakan wujud harmonisasi tersebut; ACMF telah memformulasikan suatu implementation plan menuju integrasi ekonomi ASEAN 2015. Implementation Plan tersebut bersinggungan dengan program kerja komite kerja ASEAN yang lain dalam hal pra-kondisi dan timeline. Negara anggota diminta untuk: (i) Melakukan stocktaking atas pra kondisi dalam ACMF implementation plan yang masih memerlukan kajian lebih lanjut; (ii) Mengidentifikasi isu-isu yang bersinggungan dengan komite kerja yang lain; (iii) Memperkuat koordinasi dengan komite kerja sektor keuangan yang lain di ASEAN dalam upaya memenuhi pra kondisi dan timeline dalam ACMF implementation plan.

Indonesia mendukung penerapan ASEAN and Plus Standard. Indonesia masih mempelajari pra kondisi dan timeline yang diformulasikan dalam ACMF Implementation Plan seperti penerapan ASEAN Exchange Linkage dan ASEAN Single Passport Regime. Hingga saat ini Bursa Efek Indonesia (BEI) belum memutuskan untuk bergabung dalam ASEAN Linkage sebelum memiliki infrastruktur yang mendukung dalam trading link. Sedangkan peran BEI dalam ASEAN Exchanges hanya sebatas mempromosikan ASEAN Stars yang didalamnya juga terdapat 30 saham unggulan BEI. IV. ASEAN Integration Monitoring Office Dalam upaya mengembangkan kapasitas ASEAN Secretariat dalam menangani masalah surveillance, telah disepakati pembentukan Macroeconomic and Finance Surveillance Office (MFSO) di ASEC; Mengingat MFSO berpotensi untuk overlap dengan ASEAN +3 Macroeconomic Research Office (AMRO) yang mempunyai fungsi serupa, maka MFSO telah dirubah menjadi ASEAN Integration Monitoring Office yang fungsi khususnya menjadi lembaga yang melakukan monitoring perkembangan dan capaian kemajuan dari integrasi ekonomi ASEAN. Indonesia Mendukung pengembangan MFSO menjadi AIMO dengan fungsi monitoring integrasi ekonomi ASEAN; Berkomitmen terhadap kewajiban kontribusi Indonesia ke AIMO. Saat ini sedang dibahas bahwa AIMO juga akan memonitor proses integrasi di ber-

81

bagai bidang, termasuk di trade, yang akan bekerja sama dengan World Bank. V. Kerjasama Asuransi ASEAN Kerja sama sektor asuransi di antara Negara-negara ASEAN diwadahi dalam forum yang disebut ASEAN Insurance Regulators meeting (AIRM). Tujuan kerja sama asuransi ASEAN adalah untuk : (i) Harmonisasi regulasi asuransi di ASEAN; dan (ii) Capacity building guna mendorong perkembangan asuransi di ASEAN. Negara anggota diminta untuk: (i) Memperkuat mekanisme pertukaan informasi mengenai asuransi diantara negara-negara anggota; (ii) meningkatkan kesadaran berasuransi yang didukung dengan peningkatan performa perusahan-perusahaan asuransi yang ada; (iii) melakukan monitoring dan supervisi kepada perusahaanperusahaan asuransi. Indonesia mendorong pertukaran informasi asuransi diantara Negara-negara ASEAN dan menyampaikan besarnya potensi pengguna asuransi di ASEAN yang belum tergarap. Dalam rangka menghadapi AEC 2015, Indonesia menyampaikan perlunya suatu roadmap asuransi ASEAN dalam menghadapi AEC 2015, dan menyusun daftar pre agreed flexibilities untuk sektor Asuransi mengingat Indonesia telah berkomitmen untuk meliberalisasikan sektor asuransi pada tahun 2015, serta mendukung pelaksanaan program monitoring dan supervisi kepada perusahaanperusahaan asuransi.

VI. Kerja Sama Kepabeanan Tujuan kerja sama kepabeanan, antara lain untuk: (i) Memfasilitasi arus perdagangan intra dan inter ASEAN; (ii) mengharmonisasikan regulasi kepabeanan di ASEAN; dan (iii) menyederhanakan prosedur kepabeanan melalui program ASEAN Single Window. Negara-negara anggota diminta untuk: (i) menjalankan program ASEAN Single Window sesuai dengan timeline yang telah ditentukan dalam AEC 2015; dan (ii) Memperkuat mekanisme pertukaran informasi mengenai kepabeanan diantara negaranegara anggota. Indonesia Mendorong simplifikasi prosedur kepabeanan di ASEAN melalui penerapan Indonesian National Single Window (INSW), serta mendorong harmonisasi regulasi kepabeanan di ASEAN. VII. Financial Inclusion (Strategi Nasional Keuangan Inklusif) Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan TNP2K berhasil merumuskan kebijakan tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yaitu suatu strategi yang terpusat pada masyarakat dan bertujuan untuk memperluas akses jasa keuangan bagi semua segmen populasi serta mampu membuka peluang keuangan dan usaha kecil. Visi SNKI adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan stabilitas sistem keuangan di Indonesia dengan menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan

masyarakat. Strategi yang menjadikan masyarakat sebagai titik pusat tersebut perlu menyasar kelompok-kelompok yang selama ini mengalami hambatan untuk mengakses layanan keuangan. Karena itu, dalam pelaksanaannya, strategi ini memberi perhatian khusus pada kelompok yang selama ini memiliki akses terbatas ke layanan keuangan yakni penduduk miskin dan mereka yang mempunyai kebutuhan khusus, seperti pekerja migran domestik dan internasional, serta mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Meski demikian, strategi ini juga tetap memperhatikan dan mencakup kelompok masyarakat yang sudah tergolong bukan miskin dan kelas sosial lebih tinggi dari masyarakat, termasuk kebutuhan jasa keuangan yang melekat pada kelompok tersebut. Sedangkan misi SNKI adalah sebagai berikut: 1. Memberikan dukungan fiskal dalam bentuk Bantuan Sosial melalui keuangan publik, dalam rangka: a. Meningkatkan ketersediaan dan mengurangi beban kebutuhan dasar bagi masyarakat. b. Meningkatkan kemampuan aksesibilitas keuangan masyarakat.

82

2. Memberdayakan Masyarakat Miskin, melalui : a. Penyediaan skema penjaminan kredit mikro b. Penyediaan dana bergulir untuk kegiatan usaha mikro 3. Memberikan kesempatan partisipasi masyarakat miskin. 4. Menjadikan strategi keuangan inklusif sebagai bagian dari strategi besar pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. 5. Menyediakan jasa dan produk keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. 6. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan layanan jasa keuangan. 7. Meningkatkan akses masyarakat akan layanan jasa keuangan. 8. Memperkuat sinergi antara bank, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan non-bank. 9. Mengoptimalkan peran teknologi informasi dan komunikasi untuk memperluas cakupan layanan jasa keuangan. SNKI menonjolkan konsep penyediaan layanan keuangan berdasarkan kebutuhan yang berbeda dari tiap kategori penduduk tertentu dengan tetap mencakup semua segmen penduduk. Secara eksplisit SNKI memberikan fokus sasaran pada kelompok dengan kebutuhan terbesar atau belum terpenuhi oleh layanan keuangan. Karena itu, sangat penting untuk

memahami segmen penduduk yang berbeda sambil memastikan semua segmen utama telah diperhitungkan. Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) Untuk Kelompok Sasaran SNKI yang dibentuk didasarkan pada 6 (enam) pilar dapat diringkas seperti dalam Gambar 1 di bawah. Gambar ini memetakan keterkaitan antara pilar strategi yang akan digunakan untuk (kolom paling kiri) mengatasi permasalahan aksesibilitas layanan jasa keuangan kelompok sasaran kunci (baris paling atas). Gambar tersebut memberikan ilustrasi umum mengenai jenis inisiatif yang dilakukan untuk setiap kategori penduduk. Sementara berbagai inisiatif yang ada akan dibahas secara rinci dalam paragraf berikutnya. Strategi nasional ini sendiri akan dilengkapi dengan sebuah dokumen peta jalan yang hidup dan akan selalu diperbaharui setiap tahunnya. VIII. Economic review and policy dialogue Merupakan forum deputies Finance Ministry dan Central Bank ASEAN+3 untuk exchange view terhadap perkembangan perekonomian global, regional dan nasional. Forum ini diadakan dalam Informal Meeting, yang dilakukan secara bersama dengan pertemuan informal Deputies ASEAN+3. IX. Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) CMIM adalah suatu bentuk inisiatif kerjasama dalam kawasan ASEAN+3 (ASEAN, China, Jepang, Korea) dalam bentuk fasilitas pengamanan keuangan secara

multilateral untuk dukungan likuiditas neraca pembayaran. CMIM bertujuan untuk: (i) mengatasi kesulitan likuiditas dan neraca pembayaran jangka pendek pada saat terjadi krisis, dan (ii) melengkapi fasilitas internasional serupa (IMF). Terdapat dua puluh tujuh (27) pihak yang terlibat dalam CMIM terdiri dari Kementerian Keuangan dan Bank Sentral dari seluruh Negara anggota ASEAN+3 serta Otoritas Moneter Hongkong, China. CMIM Agreement mulai berlaku efektif pada tanggal 24 Maret 2010, dan memiliki total nilai sebesar USD120 miliar. Indonesia berkontribusi sebesar USD4.77 miliar (3.97 persen) dan berhak untuk memperoleh fasilitas sekitar USD 12 miliar. Pada bulan Mei 2012, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 sepakat untuk meningkatkan kapasitas CMIM menjadi USD240 Milliar, memperpanjang jangka maturity, dan meningkatkan IMF-delink portion. Untuk melaksanakan ketentuan CMIM Agreement secara kredibel, dibentuk ASEAN Plus 3 Macroeconomic Research Office (AMRO), suatu lembaga yang independen dengan tugas utamanya adalah untuk melakukan surveillance dan assessment terhadap perekonomian nergara-negara ASEAN+3, serta meningkatkan

83



koordinasi ekonomi makro dan keuangan di kawasan. AMRO berkedudukan di Singapura. Isu Saat Ini • Pada kesempatan The 15th ASEAN+3 Finance Ministers and Central Bank Governors’ Meeting (AFMGM+3) di Manila, Filipina, tanggal 3 Mei 2012, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 telah menyetujui pengembangan dan penguatan CMIM, yaitu melalui: (i) peningkatan jumlah komitmen sebanyak dua kali lipat (doubling the size) menjadi USD240 juta dengan komposisi prosentase komitmen yang



tidak berubah, (ii) peningkatan jumlah IMF de-link portion menjadi 30%, (iii) perpanjangan masa jatuh tempo dan periode dukungan, dan (iv) perluasan fungsi CMIM menjadi fasilitas pencegahan dan penanggulangan krisis, s erta kemudian menugaskan para deputi untuk memimpin kelompok kerja dalam proses penyusunan perubahan Articles of Agreement CMIM guna menyesuaikan perubahan perubahan dimaksud. Perubahan-perubahan pada CMIM AoA terkait dengan fungsinya sebagai fasilitas penanggulangan krisis (Cri-

sis Resolution Mechanism - CRM), secara umum hanya terkait dengan 4 hal penguatan CMIM sesuai kesepakatan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 pada AFMGM+3 di Manila. Selain itu, disepakati pula bahwa untuk CRM ini diberi nama CMIM-SF (CMIM Stabilization Fund), dan diterapkan interest rate secara tetap sebesar 150bp untuk aktivasi awal hingga renewal ke-3. Beberapa usulan perubahan pada CMIM AoA terkait dengan pengembangan fungsi CMIM sebagai crisis prevention, antara lain: o Tiga prinsip dasar yang akan digunakan dalam mekanisme CMIM adalah simplicity, accessibility (universality) dan perlunya pembedaan dari fasilitas pinjaman IMF (IMF lending facilities). o Pengaturan untuk fasilitas pencegahan krisis (Crisis Prevention Function atau CPF) antara lain adalah sebagai berikut: o Disebut sebagai CMIMPL (CMIM Precautionary Line) o Penerapan 5 kriteria kualifikasi sebagai syarat bagi suatu negara yang akan melakukan aktivasi CMIM-PL, yaitu: (i) external position and market access, (ii) fiscal policy, (iii) monetary policy, (iv) financial

84

sector soundness and supervision, dan (v) data adequacy o Penerapan Commitment fee sebesar 0.15% untuk menghindari permasalahan moral hazard. Selanjutnya, atas usulan agar commitment fee dimaksud dapat dikembalikan sekiranya terjadi penarikan (drawing), terdapat satu negara anggota (Jepang) yang tidak dapat menyetujui usulan dimaksud mengingat undangundang yang berlaku di negaranya tidak memungkinkan mekanisme re-fund dimaksud. Atas hal ini CMIM-TF setuju untuk mengusulkan agar perhitungan commitment fee dapat digabungkan dengan perhitungan bunga yang harus dibayarkan (netted against interest to be paid). o Penentuan jangka waktu maturity dan supporting period yang lebih pendek dari CRM o Akses hanya untuk satu fasilitas (tidak dapat mengakses CRM dan CPF sekaligus)



Beberapa usulan perubahan pada CMIM AoA secara lebih umum (diterapkan baik untuk CMIM-SF maupun CMIM-PL), antara lain: o Penerapan escape clause untuk dua kondisi, yaitu kondisi umum dan kondisi khusus, o Terkait dengan metode komunikasi tanpa pertemuan dalam proses persetujuan aktivasi CMIM, members setuju agar selain dengan menggunakan tested fax dapat ditambahkan metode lain yang memungkinkan (tested fax or any other methods).

Posisi Indonesia 1. Pengembangan CMIM sebagai crisis prevention harus tetap mengedepankan regional ownership, sehingga fungsi CMIM sebagai salah satu line of defense dapat berfungsi sebelum memanfaatkan fasilitas global (IMF). 2. Mendukung keterlibatan penuh Gubernur Bank Sentral dalam MLDMB. 3. Indonesia berpandangan bahwa regional financial arrangement (CMIM) dan global financial arrangement (IMF) harus berkolaborasi dalam berupaya untuk dapat mengatasi stigma IMF yang masih Kuat di beberapa Negara anggota ASEAN+3.

4. Pengembangan CMIM sebagai crisis prevention harus tetap mengedepankan regional ownership, sehingga fungsi CMIM sebagai salah satu line of defense dapat berfungsi sebelum memanfaatkan fasilitas global (IMF). 5. Mendukung pengaturanpengaturan terkait CMIM-PL (CPF), antara lain: a. Penentuan 5 kriteria kualifikasi, dan penerapannya hanya untuk CMIM-PL b. Penerapan tiga prinsip dasar (accessibility, flexibility, dan distinction from IMF facility). Flexibility diperlukan agar dapat menyesuaikan dengan kondisi Negara-negara ASEAN+3 sehingga seluruh negara anggota (terutama negara-negara ASEAN) dapat mengakses CMIM. c. Penekanan pada prinsip-prinsip ex ante conditionality, terutama kepada Negara yang memiliki track record kebijakan yang baik dan

85

kuat, agar negara-negara tersebut dapat memiliki kemudahan (automaticity) dalam mengakses CMIM. Bahkan sekiranya diperlukan negara-negara yang memiliki track record kebijakan yang baik hendaknya dapat diberikan akses CPF secara penuh tanpa link portion dengan fasilitas IMF. d. Penerapan ex-post conditionality dapat dipertimbangkan bagi negara-negara dengan track record kebijakan yang tidak terlalu baik (Negara-negara yang tingkat soundness policy-nya relative rendah, seperti BCMLV) sebagaimana diterapkan pada PCL (IMF), sedangkan untuk Negaranegara yang memiliki soundness policy yang baik dapat diberikan akses terhadap fasilitas pencegahan krisis dengan penerapan exante conditionality yang memungkinkan proses penarikan yang lebih mudah (automaticity) sebagaimana diterapkan pada FCL (IMF). e. Penerapan commitment fee CPF sebesar 0.15% dengan perlakuan perhitungan netted against interest to be paid.

f. Perlakuan terhadap economic report yang diajukan oleh negara yang melakukan aktivasi sebagai referensi dan bukan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. X.

ASEAN+3 Macroeconomic Research Office Untuk melaksanakan ketentuan CMIM Agreement secara kredibel, dibentuk ASEAN Plus 3 Macroeconomic Research Office (AMRO), suatu lembaga yang independen dengan tugas utamanya adalah untuk melakukan surveillance dan assessment terhadap perekonomian nergara-negara ASEAN+3, serta meningkatkan koordinasi ekonomi makro dan keuangan di kawasan. AMRO berkedudukan di Singapura. Isu Saat Ini Beberapa isu yang akan dikaji terkait dengan pengembangan AMRO untuk dapat mendukung pegembangan CMIM, antara lain: 1. Peningkatan status hukum AMRO menjadi suatu organisasi internasional 2. Kelompok kerja telah melakukan kajian dengan mengundang beberapa organisasi internasional untuk berbagi informasi mengenai proses terkait pembentukan dan perolehan status sebagai organisasi internasional.

Beberapa organisasi yang telah diundang diantaranya adalah IMF, ADB, ASEAN Sekretariat, dan OECD. 3. Pemberian status Privilege and Immunities (PI) merupakan faktor yang sangat penting dan dapat meningkatkan kinerja AMRO selaku entitas yang memiliki sifat sebagai organisasi internasional. Hingga saat ini Singapura selaku negara tuan rumah tempat domisili belum dapat memberikan status dimaksud mengingat status hukum AMRO yang saat ini berlaku masih berupa company limited by guarantee. Negara-negara anggota memahami posisi Kementerian Keuangan dan Bank Sentral Singapura yang mengalami kesulitan untuk dapat memproses pemberian status PI bagi AMRO. Namun demikian, mengingat pentingnya pemberinan status PI dimaksud, negara anggota mengharapkan agar Singapura dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan agar status PI tersebut dapat diberikan. 4. Peningkatan kapasitas AMRO untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.

86

5. Pada kesempatan pertemuan tingkat kelompok kerja di Siem Reap awal Maret 2012, AMRO telah menyampaikan proposalnya terkait upaya untuk meningkatkan kerja sama dengan IFIs lainnya dalam rangka meningkatkan kapasitas AMRO dalam melaksanakan tugas dan fungsi surveillance di tingkat kawasan. Beberapa hal yang disampaikan dalam proposal AMRO, antara lain adalah berupa kerja sama dan kolaborasi dalam hal sharing of information dan diskusi secara regular mengenai pekembangan perekonomian global dan regional, dan usulan untuk pengaturan pelaksanaan secara bersama dengan IFI lain (IMF) dalam hal kunjungan konsultasi (consultation visits) dalam rangka proses surveillance di tingkat nasional ke masingmasing negara anggota. Posisi Indonesia Indonesia mendukung dan berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan konsep AMRO AoA dalam rangka meningkatkan status hukum AMRO menjadi sebuah organisasi internasional

XI. ASEAN Bond Market Initiative (ABMI) ABMI dibentuk dengan kerjasama dengan ADB pada tanggal 7 Agustus 2003 pada kesempatan the 6th AFMM+3. Tujuan dibentuknya ABMI adalah untuk: (i) membangun pasar obligasi Asia yang efisien dan cair (efficient and liquid); (ii) mengoptimalkan pemanfaatan likuiditas (savings) di kawasan sebagai sumber pendanaan investasi untuk kawasan Asia Timur, dan untuk (iii) mengurangi currency mismatch dan maturity mismatch dalam hal pembiayaan di kawasan. Untuk tujuan tersebut, ABMI membentuk 4 taskforces (TF), yaitu: a. Promoting Issuance of Local Currency-Denominated Bonds (supply-side) Hasil yang dicapai adalah dengan terbentuknya Credit Guaranttee and Investment Facility (CGIF). CGIF merupakan trust fund yang bertujuan untuk menjamin penerbitan obligasi bermata uang local. Tujuan CGIF adalah untuk mendorong penerbitan obligasi swasta bermata uang local, meningkatkan akses pasar bagi issuer dengan rating investment grade dan memberikan jaminan investasi dengan biaya rendah. Target Indonesia adalah perusahaan Indonesia dapat mengakses fasilitas CGIF ini.

b. Facilitating the Demand of Local Currency-Denominated Bonds (demand-side) Hasil yang dicapai adalah diterbitkannya ASIAN Bond Market Online, yang memberikan update mengenai bond market di kawasan Asia Timur. c. Improving Regulatory FrameworkDibentuk ASEAN+3 Bond Market Forum (ABMF) yang merupakan forum para regulator untuk menyediakan common platform guna mempercepat standarisasi market practices dan harmonisasi peraturan. d. Improving Related Infrastructure for the Bond Markets Dibentuk Task Force on Regyulatory Intermediary Settlement (RSI) yang membahas mengenai harmonisasi regulasi untuk cross border transaction di ASEAN+3. Isu Saat Ini Beberapa isu yang saat ini masih dalam proses penyelesaiannya yaitu : 1. Pada kesempatan the 14th AFMM+3 pada tanggal 4 Mei 2011 di Hanoi, Vietnam, para Menteri Keuangan menugaskan para Deputi untuk mendiskusikan cara untuk lebih meningkatkan kerangka kerjasama ABMI,

87

terutama dalam hal tujuan, cakupan kerja, memperluas kerjasama dalam pasar modal, dan kerangka ABMI (objective, scope, including capital market, and framework). 2. Kelompok Kerja ABMI telah menyepakati tiga arah dasar dalam pembahasan terkait ABMI New Roadmap+, yaitu: a. Hasil yang konkret (produce tangible outcome): pengembangan lebih lanjut isu-isu penting dan isu-isu yang sedang dibahas dalam ABMI: i. Launching programprogram CGIF ii. Pengembangan skema pembiayaan infrastruktur (termasuk Lao-Thai Pilot Project); iii. Menciptakan Friendly Investment Environment untuk investor institusional serta mengedukasi mereka dalam meningkatkan pengetahuan mengenai ABMI; iv. Meningkatkan aktivitas ASEAN Bond Market Forum (ABMF), termasuk Common Bond Isuance Program untuk mendorong standarisasi regulasi v. Memfasilitasi pengembangan Regional Settlement Intermediary (RSI): ABMF harus menyelesaikan study nya mengenai RSI di tahun 2012 dan melakukan study lanjutan setelahnya

b. Memperkuat momentum ABMI: Memasukkan isu penting yang belum didiskusikan dalam forum ABMI (isu-isu tambahan): i. Pengembangan lebih lanjut dari Government Bond Market; ii. Meningkatkan akses finansial untuk Consumers dan SMEs; iii. Memperkuat dasar-dasar untuk pengembangan Regional Credit Rating System c. Menjawab tantangan kondisi perekonomian terkini: Memperkenalkan isu terkini yang sedang berkembang dan mengakomodasi kebutuhan Global Financial termasuk mitigasi volatilitas dalam Capital Market dan Bond Market (isu-isu baru): i. Mengkaji upaya untuk mitigasi volatilitas terkait capital flows and bond market ii. Raising financial awareness bagi pembuat kebijakan publik (government officials), regulator, dan investor di kawasan

d. Terkait ulang tahun ABMI yang kesepuluh pada tahun 2012, TF mengusulkan untuk menyelenggarakan Seminar 10th Anniversary of ABMI yang akan diselenggarakan di sela-sela rangkaian acara Sidang Tahunan ADB di Manila tanggal 4 Mei 2012. Posisi Indonesia 1. Indonesia memandang bahwa masih ada beberapa topik penting yang harus di kaji lebih lanjut terkait dengan Bond Market. Forum diharapkan dapat membahas lebih dalam terhadap hal-hal yang relevan dalam Bond Market, termasuk infrastruktur, legal framework, dan dokumentasi. Indonesia juga mendukung untuk dilakukannya kajian yang lebih mendalam tentang government bond market mengingat share pasar ini di tingkat kawasan masih sangat besar jika dibandingkan dengan corporate bond market. 2. Sehubungan dengan telah disetujuinya studi lebih lanjut mengenai Regional

88

Settlement Intermediary (RSI), Indonesia sependapat dengan Group of Experts (GOE) bahwa RSI hanya akan terbatas pada pembahasan Bond Transactions sesuai dengan pembahasan terbaru. Sejalan dengan hal tersebut, forum perlu mengevaluasi lebih lanjut terkait Inclusion of Equity Transactions dalam RSI Initiative 3. Indonesia juga menyampaikan posisinya terkait salah satu items dalam New Road Map+, yaitu mengenai Common Bond Issuance Program. Indonesia berpendapat bahwa penerapan inisiatif ini akan sangat sulit dilakukan mengingat bahwa diperlukan adanya harmonisasi peraturan diantara negaranegara ASEAN+3 guna mendukung pelaksanaan program tersebut, dimana harmonisasi, bahkan pada level ASEAN pun, belum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Selanjutnya, Indonesia berpendapat bahwa kiranya diperlukan studi lebih lanjut oleh ASEAN+3 terkait inisiatif ini. 4. Indonesia sepenuhnya setuju dengan proposal Thailand terkait “Raise Financial Awareness”, untuk meningkatkan pemahaman terkait dengan Bond Market. ABMI selanjutnya dapat melakukan identifikasi

terhadap langkah langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan Financial Awareness antar pejabat pemerintah, badan regulator, dan juga investor regional. Hal ini dapat dicapai dengan pelaksanaan program pelatihan, studi banding, dan program magang. Selanjutnya, posisi Indonesia yang menyangkut CGIF disampaikan hal-hal sebagai berikut: o Indonesia sangat mendukung salah satu Business Plan (BP) dari CGIF untuk mendukung akses pasar bagi emiten dengan rating menengah. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan dengan rating menengah yang tidak dapat memasuki pasar dikarenakan saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut tidak menarik bagi investor di pasar. o Indonesia telah melakukan klarifikasi terkait BP CGIF mengenai dukungan untuk melakukan cross border deals di kawasan ASEAN+3. Pihak CGIF menyampaikan bahwa sifat dukungan

ini hanya dalam bentuk penjaminan yang dilakukan dan bukan dalam bentuk relaksasi peraturan. Indonesia selanjutnya menyampaikan bahwa s etuju dengan bentuk dukungan dalam hal penjaminan, namun tidak akan memberikan relaksasi peraturan saat ini untuk cross border deals. Indonesia mendukung rencana penyelenggaraan 10th ABMI Anniversary seminar di Manila pada tanggal 4 Mei 2012. Gubernur Bank Indonesia akan berpartisipasi sebagai pembicara dalam seminar dimaksud. XII. ASEAN+3 Research Group Kerja sama research yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan mengkaji isu-isu ekonomi dan keuangan di kawasan. The ASEAN+3 Research Group (RG) dibentuk dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi tema-tema

89

(subjects) yang dapat dikembangkan sebagai bentuk kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan pada masa yang akan datang dari sudut pandang jangka menengah maupun jangka panjang, dengan mengakumulasi pemikiran dan ide-ide dari kalangan akademisi di kawasan. Hingga saat ini terdapat 25 topik kajian dan 23 diantaranya merupakan topik yang diusulkan dan dibiayai oleh Negara-negara +3, sedangkan 2 topik merupakan usulan dari Negara-negara ASEAN (Vietnam pada RG putaran 2010/2011 and Indonesia pada RG putaran 2011/2012). Saat ini tema kajian RG untuk periode 2012-2013 adalah “The International Discussions on the Credit Rating Agencies and Enhancing Infrastructure to Strengthen the Regional Credit Rating Capacity in the ASEAN+3 Region” yang merupakan usulan bersama oleh Jepang dan Korea. Adapun tema kajian RG untuk

periode berikutnya (s013-2014) baru akan ditetapkan oleh para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral pada kesempatan pertemuan ASEAN+3 Finance Ministers and Central Bank Governors’ Meeting (AFMGM+3) di New Delhi, India, tanggal 3 Mei 2013. XIII. Future Priorities Task Force Task Force yang dibentuk atas kesepakatan Menteri Keuangan ASEAN+3 ini bertujuan untuk membahas isu-isu strategis dan prioritas dalam rangka kerjasama keuangan kawasan. Saat ini sedang dibahas 3 topik yang dapat dikembangkan menjadi kerjasama ASEAN+3 di masa depan, yaitu i) infrastructure financing, ii) disaster risk insurance dan iii) using local currencies for the regional trade settlement.

90

IRFA AMRI. KEPALA PUSAT KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PERUBAHAN IKLIM DAN MULTILATERAL

91

AB “Mengarusutamakan isu ekonomi hijau ke dalam kebijakan pembangunan nasional (Pokok-pokok Kebijakan Fiskal, Rencana Kerja Pemerintah maupun APBN Hijau)”

AB - IRFA-

92

KEBIJAKAN

PEMBIAYAAN PERUBAHAN IKLIM & MULTILATERAL

93

f. Mempersiapkan data base pendanaan dan dukungan fiskal terhadap ekonomi hijau serta penyiapan perangkatperangkat pendukung fiskal dalam ekonomi hijau diantaranya green budgeting dan green GDP g. Mempersiapkan paket-paket kebijakan ekonomi hijau sebagai langkah awal dukungan Kementerian Keuangan dalam program ekonomi hijau diantaranya penyiapan perangkat peraturan dalam mekanisme transfer fiskal dalam dukungan pembiayaan atas RAD GRK, dukungan pendanaan atas program efisiensi energy bagi UMKM dan penyiapan insentif fiskal bagi penyediaan sumber energy ramah lingkungan.

Kajian dan kegiatan di Bidang Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral 1. Kegiatan Penyiapan Green Economy Penyiapan ekonomi hijau dirumuskan dalam kerangka kebijakan fiskal yang dilakukan dengan tujuan untuk: a. Mengarusutamakan isu ekonomi hijau dalam kebijakan pembangunan nasional (Pokok-pokok Kebijakan Fiskal, Rencana Kerja Pemerintah maupun APBN Hijau) b. Melakukan studi-studi atas dampak dari kebijakan ekonomi hijau terhadap perekonomian

c. Melakukan sosialisasi dan menumbuhkan public awareness atas isu ekonomi hijau di lingkungan pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat secara umum d. Melakukan capacity building terhadap pegawai mengenai alat-alat analisis ekonomi, perkembangan isu ekeonomi hijau serta penyiapan perangkat peraturan yang diperlukan e. Mengikuti berbagai kegiatan di forum-forum internasional mengenai ekonomi hijau serta melakukan intervensi atas dokumen-dokumen serta kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang ekonomi hijau

2. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) adalah sebuah kesepakatan internasional yang bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Konferensi tersebut dibentuk pertama kali pada saat Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Setiap tahunnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konvensi tersebut (negara-negara di dunia) bertemu untuk meninjau ulang perkembangannya, mengadaptasi pemecahan masalah, dan sebagainya, dan juga menegosiasi perkembangan terbaru untuk dimasukkan ke dalam kesepakatan, seperti

94

Protokol Kyoto, ketentuan legal yang mengikat terhadap perjanjian, dibuat pada tahun 1997 yang kemudian disahkan pada tahun 2005, yang pada akhirnya mengharuskan negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tujuan utama UNFCCC adalah menggalang kerangka kerjasama dari seluruh negara dan lembaga dunia dalam menanggulangi tantangan yang disebabkan oleh perubahan iklim, dengan cara melindungi sistem iklim bersama yang dapat dipengaruhi oleh berlebihnya konsentrasi gas rumah kaca di udara. Ditandatangani pada tahun 1992, dan berlaku pada 1994 dengan ratifikasi dari 192 negara. Conference of Parties (COP) merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi. Bersidang setiap tahun, umumnya setiap bulan Desember. Keputusan yang dihasilkan COP bersikap mengikat bagi anggota. 3. Green Climate Fund (GCF) Salah satu hasil dari COP-16 pada bidang pendanaan adalah dibentuknya lembaga pendanaan perubahan iklim yang disebut dengan Green Climate Fund (GCF). GCF sebagai lembaga pendanaan baru akan bertindak sebagai operating entity pada mekanisme pendanaan perubahan iklim bila lembaga ini terbentuk. GCF bertanggungjawab pada Board yang beranggotakan 24 negara yang berasal dari negara maju (developed countries) dan negara berkembang (developing countries) dalam proporsi yang seimbang (masing-masing 12 negara).

Board Member telah melakukan pertemuan pertama pada 23-25 Agustus 2012 di Jenewa, Swiss. Indonesia diwakili oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal yang terpilih sebagai Board Member GCF dengan alternate Philippine. Board Member telah melakukan pertemuan kedua pada 18-20 Oktober 2012 dan membicarakan sejumlah persoalan prosedur kerja GCF, pemilihan host country, sistem kerja trustee, pola penggantian trustee saat masa interim trustee berakhir, dan lain sebagainya. GCF direncanakan beroperasi di tahun 2014 setelah terpilihnya Korea Selatan sebagai host country. 4. Climate Investment Fund Climate Investment Fund (CIF) bertujuan untuk membantu negara berkembang dalam pengembangan low emission and climate resilience development. Terdiri dari 2 trust fund yaitu: • Clean Technology Fund (CTF), menyediakan investasi untuk menginisiasi perubahan ke arah teknologi yang lebih bersih. • Strategic Climate Fund (SCF), didirikan untuk mendukung program-program tertentu dan terdiri dari: a. Forest Investment Program (FIP) disetujui pada bulan Mei 2009 dan ditujukan untuk mendukung usaha negara berkembang dalam mengurangi emisi dari deforestation dan forest degradation. b. The Pilot Program for Climate Resilience (PPCR) disetujui pada bulan

November 2008 dan ditujukan untuk mendukung usaha mengintegrasikan climate risk and resilience ke dalam perencanaan pembangunan suatu negara. c. The Program for Scaling-Up Renewable Energy in Low Income Countries (SREP disetujui pada bulan Mei 2009 dan ditujukan pengembangan energi terbarukan sebagai suatu perwujudan low carbon development di negara 5. Forum Kerja sama G-20 Beberapa forum dan kerjasama internasional telah dibentuk dan memainkan peran yang besar dalam perekonomian dunia termasuk ketika krisis finansial global melanda Indonesia. Sebagai anggota forum dan kerjasama internasional tersebut, Indonesia sebagai salah satu anggota aktif mempunyai potensi dalam mereformasi arsitektur perkonomian dunia serta selama ini dapat berkontribusi bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi global yang kuat, berimbang dan berkelanjutan yang salah satunya dilakukan melalui wadah kerjasama forum G20. Pada tahun 2012 dalam masa Presidensi Meksiko, beberapa pencapain Indonesia dalam kerjasama forum G20 dilakukan melalui jalur keuangan maupun non keuangan (finance track & nonfinance track). Beberapa kontribusi Indonesia dalam pertemuan dalan forum G20 yang signifikan adalah sebagai berikut:

95

a. G20 Leaders Summit (Los Cabos, 18-19 Juni 2012) Dalam Konferensi Tingkat Tinggi tersebut beberapa kontribusi Indonesia adalah: • Indonesia telah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam pemberian pinjaman US$ 1 miliar untuk penguatan sumber dana IMF. • Indonesia mengusulkan penguatan komitmen pendanaan investasi infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan dan mengurangi ketidakseimbangan ekonomi global. • Presiden SBY menandatangani Deklarasi Keuangan Inklusif G20 dengan komitmen membentuk Strategi Nasional Keuangan Inklusif. • Indonesia meminta perhatian lebih tinggi dari G20 untuk isu ketahanan pangan sebagai kebutuhan dasar dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang menjadi prioritas agenda di tahun 2012 dan 2013 untuk isu pembangunan. b. Finance Ministers Meetings (MGM) dan Finance Deputies Meeting (FCBD) Dalam kegiatan MGM, delegasi Indonesia dipimpin oleh oleh Menteri Keuangan dengan melibatkan Bank Indonesia sementara untuk kegiatan FCBD, delegasi Indonesia dipimpin oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Sepanjang tahun 2012 telah dilakukan tiga kali kegiatan MGM dan empat kali kegiatan FCBD. Dari beberapa pertemuan

tersebut kontribusi Indonesia yang signifikan adalah: • Indonesia menegaskan posisinya terkait penguatan Resource IMF harus dalam kerangka global financial safety net / multilateral surveillance. Selain itu, perhitungan IMF Quota Formula harus memasukkan variabel GDP sebagai komponen utama. Indikator Framework Accountability Assessment tidak memasukkan cadangan devisa. • Indonesia menjadi ketua bersama dengan Inggris dalam Energy and Commodity Working group. • Indonesia mengusulkan keanggotaan yang setara bagi negara anggota G20 dalam plenary meeting Financial Stability Board. c. G20 Sherpas’ Meetings Sherpa Indonesia sebagai wakil diplomatik Presiden untuk forum kerjasama G20 dijabat oleh Wakil Menteri Keuangan II. Sepanjang tahun 2012 telah dilakukan pertemuan Sherpa sebanyak lima kali, dengan kontribusi yang telah dilakukan Indonesia sebagai berikut: • Indonesia menegaskan implementasi komitmen austerity measures oleh Eurozone untuk mendukung pemulihan krisis utang. • Indonesia secara konsisten mengusulkan pembiayaan infrastruktur menjadi salah satu prioritas agenda G20 dalam rangka mengurangi

ketidakseimbangan global. Usulan ini membuahkan hasil dimana saat ini Indonesia terpilih secara aklamasi sebagai co-chair bersama dengan Jerman untuk memimpin Study Group Financing for Investment (SG-FI). • Indonesia mengusulkan peningkatan pembiayaan untuk mendukung produksi dan produktivitas pangan. Isu ini menjadi salah satu prioritas Keketuaan Rusia di 2013. • Indonesia menegaskan dukungan secara penuh terhadap pembiayaan proyek yang mendukung investasi dan perdagangan global secara lebih luas, terutama untuk meningkatkan rantai nilai perdagangan dan nilai tambah perekonomian bagi negara-negara berkembang. Selain beberapa pertemuan di atas, Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah melakukan pertemuan bilateral sepanjang tahun 2012 yang dipergunakan untuk menjalin hubungan kerja yang lebih erat dengan pihak kedutaan asing dalam rangka kemudahan urusan delri dan utamanya mengkomunikasikan posisi dan prioritas Indonesia kepada anggota maupun non-anggota forum G20 dalam ruang lingkup home country seperti Australia, Canada, Amerika Serikat, Rusia, China, Ekuador, Mexico, Polandia, Jerman, Jepang, Inggris, Denmark, Swedia, Korea dan Perancis.

96

97

ORGANISASI KEPEGAWAIAN PERENCANAAN KEUANGAN TEKNOLOGI INFORMASI LAYANAN UMUM

98

SEKRETARIAT

ORGANISASI & KEPEGAWAIAN

99

1. Penataan Sumber Daya Manusia Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi dalam bidang fiskal, ekonomi, keuangan dan kerja sama internasional saat ini BKF didukung oleh 457 pegawai (per 31 Desember 2012) yang terdiri dari 135 pejabat Eselon, 20 tenaga fungsional Peneliti dan 302 pelaksana dengan berbagai latar belakang pendidikan dan keilmuan yang bermuara pada satu tujuan yaitu menjadikan BKF sebagai center of excellence. Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan BKF sebagai salah satu unit eselon I di Kementerian Keuangan diwajibkan untuk selalu melaksanakan reformasi birokrasi secara menyeluruh, untuk itu BKF selalu melakukan peningkatan dalam bidang kompetensi pegawai baik meningkatkan pegawai yang ada di dalam BKF maupun melakukan penerimaan pegawai baru sesuai dengan kebutuhan BKF melalui seleksi penerimaan pegawai secara ketat dan professional. Pegawai BKF saat ini terdiri dari 122 pegawai golongan II, 284 pegawai golongan III serta 51 pegawai golongan IV. Komposisi Pegawai Berdasarkan Pendidikan Hingga akhir tahun 2012, pegawai BKF sebagian besar telah berpendidikan tinggi, yaitu S1/D4 sebanyak 168 orang, S2 sebanyak 137 orang dan S3 sebanyak 11 orang. Sedangkan sisanya berpendidikan D3, D1 dan SLTA. Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

diarahkan agar memiliki etos kerja yang tinggi, pengetahuan yang luas, khususnya di bidang ekonomi dan keuangan, cakap dan tanggap terhadap kondisi yang sedang berkembang, kreatif, inovatif, serta memiliki kemampuan analisis dan meneliti yang tinggi. Komposisi Pegawai Berdasarkan Usia Menilik klasifikasi pegawai berdasarkan usia. BKF masuk dalam kategori organisasi produktif yang terlihat pada grafik usia dibawah ini. Dimana usia kurang dari 30 tahun ada pada jumlah terbanyak dengan 188 orang. Lalu rentang usia 30-40 tahun dengan 122 pegawai, 40-50 tahun dengan 99 pegawai dan 48 pegawai diatas usia 50 tahun. Dengan perencanaan formasi organisasi yang didasarkan pada kompetensi dan analisis beban kerja pada tiap-tiap unit diharapkan BKF akan menjadi unit organisasi yang berkualitas. 2. Program Pengembangan Pegawai Pada tahun 2011, program pengembangan pegawai BKF masih tetap melanjutkan programprogram yang telah dilaksanakan tahun sebelumnya. Secara garis besar, program pengembangan pegawai BKF dilakukan melalui diklat/training/workshop/seminar dan beasiswa S2/S3 baik yang dilaksanakan di dalam negeri maupun luar negeri. a. Training/Workshop/Seminar Pengembangan pegawai BKF melalui training/workshop/seminar berdasarkan inisiasi

penyelenggaraan dapat dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu - Kegiatan Diklat yang diselenggarakan oleh pusdiklat-pusdiklat pada BPPK. Diklat-diklat yang diselenggarakan BPPK biasanya sudah terjadwal, dan BKF tinggal mengirimkan peserta untuk ikut serta dalam diklat tersebut. Jenis-jenis diklat yang diselenggarakan oleh BPPK antara lain : . Diklat Jabatan, seperti : prajabatan, Diklatpim serta Diklat Penyesuaian Ijazah dan diklat softkompetensi yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Pengembangan SDM . Diklat kompetensi teknis yang mendukung pelaksanaan tugas di bidang keuangan negara, seperti: IT, bahasa, Pengadaan Barang dan Jasa, Pengelolaan BMN dll yg diselenggarakan Pusdiklat Keuangan Umum, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaraaan, Pusdiklat Perimbangan Keuangan dan Kekayaan Negara serta Pusdiklat Pajak - Kegiatan Diklat yang merupakan inisiatif dari para pegawai BKF. Training/ workshop/ seminar yang dapat menunjang pelaksanaan tugas sehari-hari dapat diikuti oleh setiap pegawai BKF, dengan cara diusulkan dan direkomendasikan oleh pejabat eselon II terkait untuk difasilitasi Sekretariat BKF

100

pembiayaan atau penyelenggaraannya. - Kegiatan diklat yang dilakukan oleh Sekretariat BKF guna meningkatkan kompetensi para pegawai BKF melalui in House Training dan pengiriman peserta dalam diklat/training yang diselenggarakan oleh lembaga training profesional . - Kegiatan diklat yang dilakukan oleh masing-masing unit eselon II yang memperoleh program bantuan grant/hibah terutama untuk peningkatan kompetensi teknis spesifik. b. Beasiswa S2/S3 Dalam rangka pemenuhan target rasio pegawai lulusan S2/S3 mencapai 40% dari total pegawai BKF, para pegawai BKF telah diberikan kesempatan untuk memperoleh beasiswa S2/S3 melalui beberapa program bea siswa antara lain : - Australian Award Saat ini BKF menjadi salah satu key organization dari 12 organisasi di Indonesia yang mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh beasiswa S2/S3 dari Australia (ADS dan ALA). Hal ini karena para peserta dari BKF hanya akan bersaing dengan peserta seleksi dari sesama key organization untuk memperebutkan 50% dari total scholarship yang diberikan ke Indonesia (300 bea siswa S2/S3). Sampai dengan saat ini terdapat 36 penerima beasiswa tersebut, terdiri dari 32 S2 dan 4 S3.

- Beasiswa GFMRAP Sebagian dana program GFMRAP telah dimanfaatkan untuk program beasiswa S2 maupun S3 bagi para pegawai BKF. Program beasiswa ke universitas dalam negeri dan luar negeri (Australia dan Jerman) sebanyak 7 S3 dan 12 S2 - Beasiswa Intern BKF Dalam rangka pelaksanaan program talent management, BKF bekerja sama dengan lembaga donor (USAID dab AUSAID) dan universitas di dalam negeri (UI dan UGM) dan universitas di luar negeri (GSU, ANU dan IUJ) menyelenggarakan program Master Dual Degree bidang Ilmu Ekonomi dengan kurikulum tailor made. Adapun program dual degree yg telah dilaksanakan sebanyak 2 batch, yaitu : . Batch I sebanyak 19 orang tahun 2010 mengikuti perkuliahan tahun I di UGM, saat ini 12 orang di AYPS GSU (USAID scholarship) dan 7 orang di IUJ Jepang . Batch II sebanyak 25 orang tahun 2012 mengikuti perkuliahan tahun I di UGM, terdiri dari 14 pegawai BKF, 6 Pegawai DJA dan 5 Pegawai BPPK. Saat ini proses seleksi untuk melanjutkan ke GSU. Khusus pegawai BKF yang

gagal ke GSU akan melanjutkan ke IUJ atau GRIPS Jepang, sedang pegawai dari DJA dan BPPK yang gagal akan melanjutkan di UGM. - Beasiswa Lainnya Pegawai BKF yang potensial untuk melanjutkan program S3 dan S3 diberikan kesempatan untuk secara mandiri mendapatkan bea siswa atau mengikuti program beasiwa lainnya, antara lain : program SPIRIT (PPSDM BPPK), program SEADI USAID, program Ancora, program KOICA, JICA, IRTI-IDB dan ADB. 3. Reformasi Birokrasi Dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan program reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan, BKF telah melaksanaan beberapa kegiatan dalam kerangka reformasi baik di bidang SDM. Proses bisnis maupun organisasi. a. Assessment Center Tahun 2011 telah melaksanakan Assessment Center terhadap 33 orang pegawai dengan rincian 1 orang pejabat eselon III, 12 orang pejabat eselon IV dan 19 orang pelaksana. Sampai dengan tahun 2012 sebanyak total 169 pegawai Badan Kebijakan Fiskal telah mengikuti Assessment Center yang terdiri dari 6 orang pejabat eselon II, 30 orang eselon III, 98 orang eselon IV, 11 orang pejabat fungsional peneliti dan 24 orang pelaksana.

101

Selain itu, pada tahun 2012 Badan Kebijakan Fiskal juga telah melakukan perbaruan tools yang selama ini digunakan dalam kegiatan assessment center di lingkungan Badan Kebijakan Fiskal. b. Survei Kepuasan Pegawai Survey Kepuasan pegawai telah dilakukan mulai tahun 2009, namun metode yg sama dan dapat diperbandingkan adalah survei tahun 2010 dan 2011.

Pada tahun 2011 tingkat kepuasan pegawai di BKF sebesar 3,19 (skala 5) atau Cukup Puas . Angka ini tidak berbeda jauh dengan persepsi pegawai terhadap kepuasan bekerja di BKF sebesar 3,39 atau Cukup Puas. Sedangkan pada tahun 2012, tingkat kepuasan pegawai BKF relatif tetap atau konsisten dibanding tahun 2011 yaitu sebesar 3,21 (skala 5) atau cukup puas dengan nilai persepsi tingkat kepuasan sebesar 3,63.

102

SEKRETARIAT

PERENCANAAN & KEUANGAN

103

1. Pendapatan Negara dan Hibah Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah pada Tahun Anggaran 2012 adalah sebesar Rp304.932.951. Dalam DIPA Badan Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2012 tidak memiliki estimasi pendapatan. Keseluruhan Pendapatan Negara dan Hibah adalah Pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yaitu berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya. (lihat Tabel 1) Realisasi PNBP Lainnya Tahun Anggaran 2012 mengalami penurunan sebesar Rp912.935.396 atau 74,97 persen dibandingkan Tahun Anggaran 2011. Penurunan tersebut terutama bersumber dari Pendapatan Penjualan Aset lainnya yang Berlebih/Rusak/Dihapuskan sebesar Rp882.500.000 yaitu dari penjualan aset lainnya yang dihapuskan berupa penghapusan 13 unit kendaraan operasional BKF pada tahun 2011 dan adanya denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah sebesar Rp18.184.481 (lihat Tabel2).

PNBP 2011-2012 2011

2012

1.217.868.347

304.932.951

Realisasi PNBP

Tabel 1: Rincian Estimasi Pendapatan dan Realisasi PNBP No. 1. 2. 3. 4. 5.

Uraian

Estimasi

Pendapatan Sewa Tanah, Gedung dan Bangunan Penerimaan Kembali Peg. Pusat TAYL Penerimaan Kembali Belanja Lainnya TAYL Pendapatan Pelunasan Piutang non Bendahara Penerimaan Kembali Persekot/UM Gaji

0 0 0 0 0 0

Realisasi

% Naik/ (Turun) 174.405 558.727 278.818.125 22.303.922 3.077.772 304.932.951 -

Tabel 2: Perbandingan Realisasi PNBP Tahun Anggaran 2012 dan 2011 No.

Uraian

2012

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Pendapatan Penjualan Aset Lainnya yang Berlebih/Rusak/Dihapuskan Pend. Sewa Rumah Dinas/Rumah Negeri Pendapatan Jasa Giro Pendapatan denda keterlambatan Penyelesaian Pekerjaan Pemerintah Penerimaan Kembali Peg. Pusat TAYL Penerimaan Kembali Belanja Lainnya TAYL Pendapatan Pelunasan Piutang non Bendahara Penerimaan Kembali Persekot/UM Gaji Pend. Anggaran Lain-lain

174.405 558.727 278.818.125 22.303.922 3.077.772 304.932.951

2011 882.500.000 244.167 50.137 18.184.481 118.964 62.166.215 254.604.383 1.217.868.347

Kenaikan / (Penurunan) Rp % (882.500.000) (100) (69.762) (28,57) (50.137) (100) (18.184.481) (100) 439.763 369,66 216.651.910 348,50 22.303.922 100 3.077.772 100 (254.604.383) (100) (912.935.396) 74,96

104

Belanja 2011-2012

2. Belanja Negara Realisasi belanja Badan Kebijakan Fiskal pada Tahun Anggaran 2012 adalah sebesar Rp131.568.747.608 atau terserap sebesar 90,12 persen dari pagu anggaran sebesar Rp145.989.695.000 .

2011

2012

137.345.556.506

Anggaran dan realisasi belanja Badan Kebijakan Fiskal per kegiatan yang dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2012 disajikan dalam tabel berikut:

131.568.747.608

Realisasi

Tabel 3. Anggaran dan Realisasi Belanja per kegiatan Tahun Anggaran 2012

Kode Keg. 1740 1741 1742 1743 1744 1745 5135

Uraian Kegiatan

Anggaran

Realisasi Belanja

%

Perumusan Kebijakan APBN Perumusan Kebijakan Ekonomi Perumusan Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Perumusan Kebijakan Pajak, Kepabeanan, Cukai dan PNBP Pengelolaan Risiko Fiskal dan Sektor Keuangan Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Badan Kebijakan Fiskal Perumusan Kebijakan dan Pelaksanaan Kerja Sama Keuangan Regional dan Bilateral

8.726.694.000 12.205.780.000 15.147.230.000 10.973.564.000 13.332.768.000 73.341.563.000 12.262.096.000 145.989.695.000

8.322.881.489 11.556.051.931 14.386.510.245 10.704.812.638 9.045.510.539 66.567.205.944 10.985.774.822 131.568.747.608

95,37 94,68 94,98 97,55 67,84 90,76 89,59 90,12

Tabel 4. Rincian Anggaran dan Realisasi Belanja Tahun Anggaran 2012 Kode Jenis Belanja 51 52 53

Uraian Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal

Anggaran

Realisasi Belanja

22.477.348.000 100.673.477.000 22.838.870.000 145.989.695.000

%

Naik/Turun

22.396.601.873 87.521.987.335 21.650.158.400 131.568.747.608

99,64 86,94 94,80 90,12

Tabel 5. Perbandingan realisasi Belanja TA 2012 dan 2011 Kode 51 52 53

Uraian Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal

Realisasi Belanja 2012 2011 22.396.601.873 20.270.215.108 87.521.987.335 109.070.304.253 21.650.158.400 8.005.037.145 131.568.747.608 137.345.556.506

Naik/Turun RP 2.126.386.765 (21.548.316.918) 13.645.121.255 (5.776.808.898)

% 10,49 (19,76) 170,46 (4,21)

105

a. Belanja Pegawai Realisasi belanja pegawai Tahun Anggaran 2012 adalah sebesar Rp22.396.601.873 sedangkan Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp20.270.215.108. Kenaikan realisasi belanja pegawai sebesar 10,49 persen antara lain disebabkan kenaikan belanja gaji pokok dan tunjangan seiring dengan bertambahnya jumlah pegawai. .

Belanja Pegawai 2011-2012 2011

2012 22.377.338.207

20.256.768.415

Tabel 6. Perbandingan Belanja Pegawai TA 2012 dan TA 2011 URAIAN BELANJA GAJI POKOK PNS BELANJA PEMBULATAN GAJI PNS BELANJA TUNJ. SUAMI/ISTRI PNS BELANJA TUNJ. ANAK PNS BELANJA TUNJ. STRUKTURAL PNS BELANJA TUNJ. FUNGSIONAL PNS BELANJA TUNJ. PPH PNS BELANJA TUNJ. BERAS PNS BELANJA UANG MAKAN PNS BELANJA TUNJ. LAIN-LAIN PNS BELANJA TUNJ. UMUM PNS BELANJA UANG LEMBUR REALISASI BELANJA BRUTO PENGEMBALIAN BELANJA REALISASI BELANJA NETTO

2012 14.362.376.330 305.862 1.044.858.174 296.004.065 1.388.510.000 363.875.000 466.049.542 862.495.200 1.708.455.000 12.251.700 565.435.000 1.325.986.000 22.396.601.873 19.263.666 22.377.338.207

2011 12.746.836.920 447.526 867.449.464 245.562.842 1.301.110.000 264.925.000 382.590.826 849.538.530 1.348.920.000 0 611.430.000 1.651.404.000 20.270.215.108 13.446.693 20.256.768.415

NAIK/ (TURUN) 1.615.539.410,00 (141.664,00) 177.408.710,00 50.441.223,00 87.400.000,00 98.950.000,00 83.458.716,00 12.956.670,00 359.535.000,00 12.251.700,00 (45.995.000,00) (325.418.000,00) 2.126.386.765,00 5.816.973,00 2.120.569.792,00

% 12,67 (31,65) 20,45 20,54 6,72 37,35 21,81 1,53 26,65 100,00 (7,52) (19,71) 10,49 43,26 10,47

106

a. Belanja Modal Realisasi Belanja Modal Tahun Anggaran 2012 dan Tahun Anggaran 2011 masing-masing adalah sebesar Rp21.650.158.400 dan Rp8.005.039.156. Kenaikan realisasi Belanja Modal sebesar 170,46 persen bersumber dari : 1. kenaikan belanja modal gedung dan bangunan terkait dengan pembangunan gedung arsip BKF di Bekasi. 2. Kenaikan belanja modal fisik lainnya berupa renovasi gedung R.M. Notohamiprodjo.

Belanja Modal 2011-2012 2011

2012 21.650.158.400

8.005.037.145

Tabel 7. Perbandingan Realisasi Belanja Modal TA 2012 dan 2011 URAIAN BELANJA MODAL PERALATAN DAN MESIN BELANJA MODAL JALAN, IRIGASI DAN JARINGAN BELANJA MODAL GEDUNG DAN BANGUNAN BELANJA MODAL FISIK LAINNYA REALISASI BELANJA BRUTO PENGEMBALIAN BELANJA REALISASI BELANJA NETTO

2012 7.399.449.200 0 1.523.009.000 12.727.700.200 21.650.158.400 0 21.650.158.400

2011 7.699.220.900 98.973.050 0 206.843.195 8.005.037.145 0 8.005.037.145

NAIK/ (TURUN) (299.771.700) (98.973.050) 1.523.009.000 12.520.857.005 13.645.121.255 13.645.121.255

% (3,89) (100,00) 100,00 6.053,31 170,46 170,46

107

3. Pinjaman dan Hibah Luar Negeri BKF a. Penerimaan Pinjaman Luar Negeri BKF Dalam rangka membantu penyempurnaan manajemen keuangan Pemerintah Indonesia, Word Bank telah memberikan pinjaman dengan nomor PHLN LN/Cr 4762-IND dan 4026-IDA : Government Financial Management and Revenue administion Project (GFMRAP) sebesar USD1.661.730,32 setara dengan Rp15.121.745.912 (US$1 = Rp9.100).

Sampai dengan akhir tahun 2012, realisasi pinjaman GFMRAP adalah sebagai berikut :

Tabel 8. Realisasi Pinjaman GFMRAP s.d. Tahun Anggaran 2012 PINJAMAN RP15.121.745.912

Pinjaman tersebut berlaku efektif mulai tanggal 22 Maret 2005 dan mempunyai closing date tanggal 31 Desember 2013 serta telah mendapat register dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dengan nomor 10694001 dan 10695701. Pada Tahun Anggaran 2012, BKF mempunyai pagu anggaran untuk kegiatan GFMRAP sebesar Rp1.436.745.000. Dari anggaran tersebut dapat direalisasikan sebesar Rp1.200.466.267 atau 83,55 persen, sehingga terdapat sisa pagu anggaran sebesar Rp236.278.733. Realisasi anggaran untuk kegiatan GFMRAP tersebut digunakan untuk membiayai beasiswa tugas belajar 7 pegawai BKF, dengan rincian : • Program S2=3 orang di Jepang • Program S3=4 orang di Australia, Jerman dan Universitas Indonesia

Tahun 2012 9%

TOTAL

REALISASI RP13.620.562.202

TAHUN 2005 TAHUN 2006 TAHUN 2007 TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010 TAHUN 2011 TAHUN 2012

RP2.264.060.478 RP3.238.201.236 RP1.848.740.727 RP1.880.579.127 RP1.278.808.438 RP1.909.705.929 RP1.200.466.267

Tahun 2005 0%

Tahun 2006 17%

Tahun 2011 14% Tahun 2007 24% Tahun 2010 9%

Tahun 2009 14%

Tahun 2008

108

b. Penerimaan Hibah Luar Negeri BKF : Hibah TA ADB 4872-INO (70712601) Dalam rangka membantu penyediaan infrastruktur di Indonesia, World Bank melalui Asian Development Bank berkomitmen untuk memberikan hibah kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk Technical Assistance dengan nomor PHLN 4872-INO : Enhancing Private Sector Participation in Infrastructure Provision. Hibah tersebut berlaku efektif mulai tanggal 12 April 2007 dan mempunyai closing date tanggal 31 November 2011. Pihak ADB telah memperpanjang masa closing date sampai dengan tanggal 30 September 2012. Hibah dimaksud telah mendapat register dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dengan nomor 70712601. Pada Tahun Anggaran 2012 pagu anggaran untuk Hibah Technical Assistance ADB 4872INO sebesar Rp3.348.763.000, yang terdiri dari : 1. Belanja Barang Operasional Lainnya sebesar Rp1.336.754.000. 2. Belanja Jasa Konsultan sebesar Rp1.913.094.000. 3. Belanja Modal Peralatan dan Mesin sebesar Rp98.915.000. Dari anggaran tersebut tidak ada yang dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 dan 2012 dengan total

pengeluaran sebesar US$258,654.82 baru mendapat pengesahan dari negara donor pada tanggal 18 Desember 2012. Sedangkan batas akhir pengajuan SP3HL-BJS ke Direktorat EAS DJPU adalah tanggal 18 Desember 2012. Adapun kegiatan yang telah mendapat pengesahan dari negara donor tersebut adalah : 1. Training/Workshop dengan jumlah pengesahan sebesar RpUS$143,259.74. 2. Jasa Konsultan dengan jumlah pengesahan sebesar US$115,395.08. Sampai dengan akhir tahun 2012, realisasi hibah Technical Assistance ADB 4872-INO adalah sebagai berikut : Tabel 9. Realisasi Hibah TA ADB 4872-INO s.d. Tahun Anggaran 2012 MATA UANG TOTAL HIBAH TOTAL REALISASI 2007 2008 2009 2010 2011 2012 SISA HIBAH

RUPIAH 13.517.560.000 8.874.708.013 3.731.850.491 3.305.916.857 1.836.940.665 4.642.851.987

USD 1.469.300,00 931.111,69 373.185,05 359.338,79 198.587,85 538.188,31

109

REKAM PERISTIWA

“RAPAT KERJA BK

SI NILAI-NILAI F DAN SOSIALISA -2 FEBRUARY 2012

-

KEMENKEU 2012”

110

“INDONESIA-AUSTRALIA HIGH LEVEL POLICY DIALOGUE” - HLPD PULLMAN 21-22 MARET 2012 -

111

“MEMPERKUAT KEBIJAKAN EKONOMI KAKAO NASIONAL” -JAKARTA,10 MEI 2012 -

Memperkuat Kebijakan Ekonomi Kakao Nasional Kamis, 10 Mei 2012 Jakarta (09/05): Dalam rangka memfasilitasi pembahasan sekaligus menyediakan sarana sosialisasi kebijakan ekonomi dan perkembangan terkini industri kakao di Indonesia, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal pada hari Rabu, tanggal 9 Mei 2012, bertempat di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, menyelenggarakan workshop dengan tema “Memperkuat Kebijakan Ekonomi Kakao Nasional”. Workshop ini dihadiri kurang lebih 75 peserta dari kementerian lembaga, asosiasi industri, dan lain-lain. Tujuan workshop ini adalah untuk memberikan gambaran langkah-langkah yang dapat ditempuh melalui kebijakan-kebijakan ekonomi untuk memperkuat subsektor perkebunan kakao sebagai komoditas unggulan Indonesia ke arah yang lebih baik.

112

“PAMERAN FOTO NILAI-NILAI KEMENKEU” - JAKARTA, JUNI 2012 -

Pameran Visualisasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan Senin, 11 Juni 2012 Jakarta(11/6): Bambang P.S. Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal secara resmi membuka pameran foto yang diselenggarakan di gedung R.M. Notohamiprodjo, Kementerian Keuangan, Jakarta. Bertemakan Visualisasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan, foto-foto dikirimkan oleh para pegawai Kementerian Keuangan yang berkantor baik di Kementerian Keuangan Pusat maupun Kantor Wilayah dan Teknis di berbagai daerah seluruh nusantara. Pameran yang merupakan kolaborasi antara karya seni dan nilai-nilai Kementerian Keuangan ini dimulai hari ini sampai dengan hari Jumat (15/6). Usai pemberian kata sambutan, Kepala BKF membuka pameran ini secara simbolis dengan meng”klik” kamera ke arah poster bergambar maskot pameran yang telah disediakan. Selanjutnya, Beliau berkeliling melihat seluruh karya foto yang dipamerkan dan tidak lupa untuk memberikan polling kepada foto favorit pilihan beliau. Pameran ini juga dikemas dengan perlombaan foto. Foto yang terkumpul sampai batas waktu pengumpulan sebanyak 189 foto yang berkategorikan Nilai-nilai Kementerian Keuangan: Integritas, Sinergi, Profesionalisme, Pelayanan, dan Kesempurnaan. Pelaksanaan pameran ini menampilkan foto-foto hasil pilihan Juri independen (Professional Photographer). Tidak hanya Pameran dan Lomba, tetapi juga ikut diramaikan dengan adanya Coaching Clinic (12/6) dan Workshop (13/6) dibidang seni Photography.

113

“INDONESIA INVESTMEN FORUM” - JAKARTA, JULII 2012 -

114

“SEMINAR ON CHARTING THE WAY TO A GREEN ECONOMY THROUGH FISCAL POLICY” - JAKARTA, OKTOBER 2012 -

Seminar Ekonomi Hijau (Green Economy) Kamis, 25 Oktober 2012 Jakarta (24/10): konsep Green Economy adalah komponen penting dari rencana pembangunan ekonomi Indonesia. Konsep ini merupakan pendekatan yang komprehensif untuk mencerminkan saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem, dengan mempertimbangkan dampak negatif dari kegiatan ekonomi terhadap lingkungan dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan. Implementasi Green Economy bukan hanya tentang masalah lingkungan, melainkan bagaimana mengelola sumber daya alam yang terbatas untuk meningkatkan kegiatan ekonomi secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan Kebijakan nasional jangka panjang dan menengah diarahkan untuk mendorong pembangunan yang pro-poor, pro-jobs, pro-growth dan pro-environment. Selain itu, prioritas nasional untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang yang ditetapkan dalam rencana pembangunan nasional untuk 2005 - 2025 ( UU no 17/2007), yang berisi kebijakan yang spesifik dan tujuan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan.

115

“ANALYST MEETING POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL” - JAKARTA, NOVEMBER 2012 -

116