BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA

Download (Sumber: http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran- kekuasaan- islam/) a. Masa Kekhalifahan Ban...

7 downloads 242 Views 116KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA PENELITIAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Kekuasaan Islam

Islam pernah mengalami masa keemasannya dan menguasai dunia beberapa abad silam. Ketika itu, wilayah kekuasaan Islam bahkan sampai ke wilayah Spanyol, yaitu ketika Thariq bin Ziyad mulai masuk ke daratan Romawi dan melakukan penaklukan ke wilayah Eropa. Sejak itulah wilayah kekuasaan Islam terus menyebar hingga akhirnya sampai ke seluruh wilayah seluruh penjuru dunia.

Wilayah kekuasaan Islam adalah wilayah yang dimana pengaruh Islam masuk ke wilayah tersebut, baik sistem pemerintahannya maupun pandangan hidup masyarakatnya dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman. Dalam konteks masa lalu, yang disebut dengan wilayah kekuasaan Islam adalah suatu tempat, wilayah (negara) yang ditaklukan dan dikuasai oleh tentara Islam ketika masa kekhalifahan. Sebagai contoh, ketikan pasukan tentara Islam melakukan perluasan wilayah ke pelosok-pelosok negeri, seperti Spanyo, Perancis, dan Portugal. Ketiga negara tersebut dulu disebut sebagai wilayah kekuasaan Islam, tetapi sekarang tidak lagi karena konteksnya sudah berbeda (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm).

8 Dalam konteks masa kini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan Islam adalah sebuah wilayah dimana wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ajaran Islam. Walaupun negara atau wilayah tersebut bukanlah wilayah yang menggunakan sistem pemeritahan Islam, tetapi wilayah itu bisa dikatakan sebagai wilayah kekuasaan Islam (http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm). Lebih tepatnya, dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti misalnya Turki, walaupun merupakan negara sekuler tapi pengaruh Islam sangat kental, atau seperti di Aceh Darussalam, yang jelas menerapkan hukum-hukum Islam. Secara de jure, saat ini tidak ada kekhalifahan Islam seperti konteks masa dahulu, tetapi telah terpecah menjadi negara-negara sendiri, seperti yang terdapat di Timur Tengah. Tetapi secara de facto, ajaran Islam sebenar telah menyebar ke seluruh dunia, dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia.

Sejak awal Islam telah dirasakan oleh umat muslim sebagai sebuah kode universal. Di masa Nabi Muhammad SAW, dua upaya dilakukan untuk memperluas keislaman ke utara ke Bizantium dan ibukotanya di Konstantinopel, dan dalam sepuluh tahun setelah kematian Muhammad, muslim telah mengalahkan Sassanid Persia dan Bizantium, juga telah menaklukkan sebagian besar Persia, Irak, Suriah, dan Mesir. Penaklukan berlanjut, dan setelah Kekaisaran Sassanid hancur dan pengaruh Bizantium secara umum telah berkurang (lihat Kekaisaran Bizantium). Selama beberapa abad tokoh intelektual dan budaya berkembang luas, multinasional, dan Islam menjadi peradaban yang paling berpengaruh di dunia. Pada gambar berikut dapat dilihat persebaran kekuasaan Islam pada masa hidup Nabi Muhammad SAW dan setelah wafatnya beliau.

9

Gambar 1. Daerah Persebaran Islam (Sumber: http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran-kekuasaanislam/)

a. Masa Kekhalifahan Bani Umayyah

(1) Asal Mula Bani Umayyah

Bani Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu Sofyan bin Harb, atau moyangnya Muawiyah bin Abi Sofyan. Umayyah hidup pada masa sebelum Islam, ia termasuk bangsa Quraisy. Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan berlangsung selama 90 tahun (41–132H/661–750M).

Muawiyah bin Abi Sufyan sudah terkenal siasat dan tipu muslihatnya yang licik, dia adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia pernah dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia mempunyai sifat panjang akal, cerdik cendekia lagi bijaksana, luas ilmu dan siasatnya terutama dalam urusan dunia, ia juga pandai mengatur pekerjaan dan ahli hikmah.

10 Muawiyah bin Abi Sufyan dalam membangun Daulah Bani Umayyah menggunakan politik tipu daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak gentar melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa, asal maksud dan tujuannya tercapai (Umam dan Nawawi, 1995:11).

Daulah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, telah diperintah oleh 14 orang kholifah. Namun diantara kholifah-kholifah tersebut, yang paling menonjol adalah Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik (Umam dan Nawawi, 1995:17).

(2) Peta Daerah Perkembangan Islam pada Masa Kejayaan Bani Umayyah

Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah.

Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik , dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut daerah Andalusia.

11 Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuta peta perjalanan sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan mudah ditaklukan, seperti kota Cordova, Granada dan Toledo. Sehingga, Islam dapat tersebar dan menjadi agama panutan bagi penduduknya. Tidak hanya itu, Islam menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebaginya. Andalusia pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Islam (Murodi, 2003:41).

Gambar 2. Wilayah Kekhalifahan Bani Umayyah (Sumber: http://file.upi.edu/C/FPBS/JUR.PEND.BAHASA.ARAB/196503141992031TATANG/ TarikhIslam/KontribusiIslamterhadapKemajuanEropa.pdf)

(3) Keruntuhan Bani Umayyah

Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal, diantaranya adalah terbaginya kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Kholifah Marwan bin Muhammad berkuasa di wilayah Semenanjung Tanah Arab, dan Kholifah Yazid bin Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat di antara kedua wilayah tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk

12 menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun, termasuk menghabisi nyawanya (Umam dan Nawawi, 1995:17).

b. Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah

(1) Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah

Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin AlAbbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132–656H/750–1258M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.

Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah ; Abul Abbas As-Saffah, Abu Ja’far AlMansur, Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas AsSaffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman keemasan (132–232H/749–879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan AlMu’tashim, Islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656H/1258M.

(2) Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat

13 perbedaan antara kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah, diantaranya adalah: a) Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan pada dinasti ini. b) Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya

Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India (Murodi, 2003:51).

Gambar 3. Wilayah Kekhalifahan Bani Abbasiyah (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah)

14 2. Teori Perkembangan dan Keruntuhan Peradaban

Menurut Spengler, peradaban adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, dinyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes) (Rahardjo, 2002:24). Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya (Lauer, 2001:49). Dengan mengacu pada pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal dari kebudayaan.

Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization, berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni (Rahardjo, 2002: 27).

Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur.

15 Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H. Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.

Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna, seperti Yunani, Romawi, Maya, Hindu, dan Barat/Eropa, dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna, seperti Eskimo, Sparta, Polinesia, dan Turki. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan tingkatan-tingkatan seperti berikut (Lauer, 2001:49-57): a. Genesis of Civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan b. Growth of Civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan c. Decline of Civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan: 1) Breakdown of Civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan 2) Disintegration Civilization, yaitu kehancuran kebudayaan 3) Dissolution of Civilization, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan Suatu kebudayaan terjadi, karena challenge and response atau tantangan dan jawaban antara manusia dengan alam sekitarnya). Dalam alam yang baik manusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul juga suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi), maka apabila tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudayaan.

16 Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak (mayoritas) meniru keudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang. Apabila minoritas lemah dan kehilangan daya mencipta, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur, maka pertumbuhan kebudayaan tidak ada lagi. Apabila kebudayaan sudah memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa, yaitu: a. kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap. b. kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan mejadi fosil. c. lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap. Untuk menghindarkan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkina dilakukan adalah mengganti norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Dengan pergantian itu, maka tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau kerajaan Allah menurut paham Protestan. Dengan demikian garis besar teori Toynbee mirip

17 dengan Santo Agustinus, yaitu akhir gerak sejarah adalah Civitas Dei atau Kerajaan Tuhan (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).

Arnold Toynbee menyebutkan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dan kearifan moral dan kemanusiaan yang sama sekali tidak berkembang, kalau tidak dikatakan malah mundur ke belakang. Arnold Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Toynbee lebih menekankan pada masyarakat atau peradaban sebagai unit studinya Peradaban muncul berdasarkan perjuangan mati-matian. Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka (Lauer, 2001:49-57).

Menurut Toynbee, kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya minoritas kreatif dan lingkungan yang sesuai. Lingkungan sesuai ini tidak sangat menguntungkan juga tidak sangat tidak menguntungkan. Mekanisme kelahiran sebuah peradaban berdasarkan kondisi-kondisi ini terformulasi dalam proses saling mempengaruhi dari tantangan dan tanggapan (challenge-and-response). Lingkungan menantang masyarakat dan masyarakat melalui minoritas kreatifnya menanggapi dengan sukses tantangan itu. Solusi yang diberikan minoritas kreatif ini kemudian diikuti oleh mayoritas. Proses ini disebut mimesis. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh tanggapan yang sukses kembali. Proses ini terus berjalan. Masyarakat berada dalam proses bergerak terus dan gerak tertentu membawanya kepada tingkat peradaban. Bentuk tantangan-tantangan atau rangsangan lingkungan yang melahirkan peradaban ini, seperti negeri yang ganas (hard country), tanah baru (new ground,

18 karena migrasi misalnya), serangan (blows, perang misalnya), tekanan (pressures, kompetisi antar masyarakat), hukuman (penalization, hukuman sosial) (Lauer, 2001:49).

Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak diukur dari ekspansi geografis masyarakatnya (kebalikannya malah valid, kemunduran peradaban bisa diasosiasikan dengan ekspansi geografis). Pertumbuhan peradaban juga tidak diukur dari kemajuan teknologinya. Pertumbuhan terdiri dari determinasi diri atau artikulasi diri ke dalam yang progresif dan kumulatif, dalam “etherialisasi” nilai-nilai masyarakat secara progresif dan kumulatif, dan simplifikasi aparatus dan teknik peradabannya [etherialisasi, mengarahkan aksi dari luar ke dalam]. Dari aspek hubungan intrasosial dan antar individu, pertumbuhan adalah tanggapan tak kenal henti dari minoritas kreatif terhadap tantangan-tantangan lingkungan yang ada. Peradaban yang berkembang membentangkan potensi dominannya; estetika pada peradaban Hellenik, religius pada peradaban India dan Hindu, saintifik mekanistik pada peradaban Barat, dan sebagainya (Lauer, 2001:50).

Peradaban yang jatuh kemudian hancur adalah kenyataan sejarah. Tetapi kejatuhan atau kehancuran peradaban bukanlah keniscayaan kosmik atau karena faktor geografis atau karena degenerasi rasial atau karena penyerbuan dari luar. Juga bukan karena kemunduran teknik dan teknologi. Karena kemunduran peradaban adalah sebab, sedang kemunduran teknik adalah konsekuensi atau gejala. Pembeda utama masa pertumbuhan dan disintegrasi adalah pada masa pertumbuhan peradaban sukses memberikan respon terhadap tantangan sedang pada masa disintegrasi peradaban gagal memberi respon yang tepat. Toynbee menegaskan bahwa peradaban runtuh

19 karena bunuh diri (sosial), bukan karena pembunuhan (sosial). Civilizations die from suicide, not by murder. Dalam formulasinya, keruntuhan peradaban berasal dari tiga hal; kegagalan usaha kreatif para minoritas, penarikan mimesis dari mayoritas dan hilangnya kesatuan sosial. Kemunduran peradaban melewati fase-fase berikut; kejatuhan (break-down), distintegrasi dan hancur. Kejatuhan dan disintegrasi bisa berabad-abad, bakan ribuan tahun. Toynbee memberi contoh, peradaban Mesir mulai jatuh pada abad ke-16 SM dan hancur pada abad ke-5 M. Selang dua ribu tahun antara awal jatuh dan kehancurannya adalah masa kehidupan yang membatu (Lauer, 2001:51).

Pada masa pertumbuhan minoritas kreatif memberi respon yang sukses terhadap tantangan yang muncul, pada periode disintegrasi, mereka gagal. Pada masa kejatuhan, minoritas kreatif mulai teracuni kemenangan, kemudian memberhalakan nilai-nilai relatif atas nilai-nilai absolut, kehilangan karisma yang membuat mayoritas mengikuti mereka. Pada masa disintegrasi, minoritas ini kemudian bergantung pada kekuatan (force) untuk mengatur masyarakat. Mereka berubah dari minoritas kreatif menjadi minoritas penguasa. Massa berubah menjadi proletariat. Untuk menjaga kelangsungan hidup peradaban, dikembangkanlah negara universal, semisal Kekaisaran Roma. Sebagian masyarakat, mereka yang ada dalam subordinasi minoritas dalam tubuh peradaban (Toynbee menyebutnya internal proletariat) mulai meninggalkan minoritas ini, tidak puas, kemudian membentuk gereja universal (misal kristianitas dan budhisme). Mereka yang berada di luar peradaban pada kondisi kemiskinan, kekacauan (Toynbee menyebutnya eksternal proletariat) mengorganisasikan diri untuk menyerang peradaban yang mulai runtuh. Perpecahan (schism) menimpa jiwa dan

20 tubuh peradaban. Peperangan kemudian berkobar. Pada jiwa peradaban, schism ini mengubah mentalitas dan prilaku anggotanya (Lauer, 2001:53).

Personalitas manusia pada fase keruntuhan ini terbagi menjadi empat golongan besar. Mereka

yang

mengidealisasikan

masa

lalu

(archaism),

mereka

yang

mengidealisasikan masa depan (futurism), mereka yang menjauhkan diri dari realitas dunia yang runtuh (detachment) dan mereka yang menghadapi keruntuhan dengan wawasan baru (transendence, transfiguration). Kecuali bagi transfigurator, usahausaha manusia berdasarkan tipe personalitasnya tidak menghentikan proses disintegrasi peradaban, paling banter hanya membuat peradaban menjadi fosil. Jalan tranfigurasi, mentransfer tujuan dan nilai kepada spiritualitas baru, tidak menghentikan disintegrasi peradaban, tetapi membuka jalan bagi kelahiran peradaban baru (Lauer, 2001:54).

3. Kekhalifahan Islam

Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah" (Khalīfah) sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat islam tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah).

21 Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin umat muslim", yang kadang-kadang disingkat menjadi "emir" atau "amir". Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Usmaniyah, dan beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir (http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah).

Khalifah berperan sebagai kepala ummat, baik urusan negara maupun agama, mekanisme pengangkatan dilakukan dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Khilafah atau Kekhalifahan adalah nama sebuah sistem pemerintahan yang khas, dengan Islam sebagai ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran dan Hadist (http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah). Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia (http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah).

Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of

22 Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah (http://id.wikipedia.org/ wiki/Khalifah).

a. Kekhalifahan Barat Bani Umayyah (bahasa Arab Banu Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I (http://id.wikipedia.org/wiki/ Bani_Umayyah).

Masa Kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, lalu ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai Kabul, sedangkan angkatan

23 lautnya telah mulai melakukan serangan ke ibu kota Bizantium, Constantinopel. Ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai

24 dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerahnya meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah).

b. Kekhalifahan Timur Bani

Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: al-Abbāsidīn) adalah

kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin AbdulMuththalib (566-652). Oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah).

Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin

25 Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132–656 H / 750–1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad (Syalabi, 2000:45).

Masa Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang sejarah yang cukup lama dalam sebuah peradaban. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode: (1) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama; (2) Periode Kedua (232 H/847 M334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama; (3) Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua; (4) Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad (Yatim, 2005:49–50).

Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinastidinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid

26 dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad. Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang (http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah).

B. Kerangka Pikir

Sejarah mencatat bahwa kejayaan suatu bangsa pada saatnya akan berakhir. Berakhir dalam arti kata yang sebenarnya, yakni musnah tanpa tersisa, atau hanya sekedar berakhir masa kejayaannya. Hal tersebut bukanlah satu peristiwa yang berdiri sendiri tetapi merupakan rangkaian peristiwa akhirnya memicu keruntuhan kekuasaan atau kejayaan.

Secara garis besar, hal seperti itulah yang terjadi pada saat runtuhnya Bani Abbasiyah pada tahun 1258 M. Seperti yang diungkapkan oleh Watt (1990) bahwa tanda-tanda keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah sudah terlihat pada periode kesembilan kekuasaan Bani Abbasiyah. Beliau membacanya dari proses sosial politik yang terjadi di dalam negeri Kekhalifahan Abbasiyah, yang pada akhirnya menggeroti kekuatan Bani Abbasiyah dari dalam negeri. Ketika tentara Mongol melakukan penyerbuan Bani Abbasiyah dalam posisi lemah, sehingga mudah dikalahkan bahkan dihancurkan.

27 C. Paradigma Penelitian

-

-

-

Faktor Internal Khalifah Abbasyiah lebih mementingkan urusan pribadi Sulitnya komunikasi pusat-daerah Pengaruh keturunan Turki semakin kuat Ketergantungan angkatan bersenjata kepada Khalifah Korupsi

-

Faktor Eksternal Perang Salib Penyerbuan Pasukan Mongol

Kekuasaan Bani Abbasiyah

Runtuhnya Bani Abbasiyah pada tahun 1258 M Gambar 4. Paradigma Penelitian Keterangan: : Arah pengaruh : Arah akibat : Faktor yang diteliti

28

REFERENSI

Buku Ali, R. Moh. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara. Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam MA. Semarang: Karya Toha Putra Purnomo, Arif. 2003. “Pengantar Memahami Filsafat Sejarah”. Paparan Kuliah. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Syalabi, A. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3. Jakarta: Pustaka Alhusna Zikra. Umam, Chatibul dan Nawawi, Abidin. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam MTs, Semarang: Menara Kudus. Watt, W. Montgomery. 1990. Kejayaan Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Islam: Kajian Kritis dati Tokoh

Yatim, Badri. 2005. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah Ahira, Anne. tt. “Wilayah Kekuasaan Islam”. Artikel pada Blog AnneAhira.com. http://www.anneahira.com/kekuasaan-islam.htm. Diunduh tanggal 9 Agustus 2011. Anonim. 2009. “Sejarah Persebaran Kekuasaan Islam”. Artikel pada Blog MentalBreakdown. http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebarankekuasaan-islam. Diunduh tanggal 9 Agustus 2011.