BAB II KAJIAN TEORI A. Dasar Teori 1. Pertumbuhan

Mayoritas bakteri memiliki waktu generasi berkisar 1-3 jam. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme d...

8 downloads 369 Views 654KB Size
BAB II KAJIAN TEORI

A. Dasar Teori 1. Pertumbuhan Mikroorganisme Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme uniseluler (bersel tunggal), pertumbuhan adalah pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme (Srikandi Fardiaz, 1992: 97). Pertumbuhan mikroorganisme lebih ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah mikroorganisme dan bukan peningkatan ukuran sel individu. Ciri khas reproduksi bakteri adalah pembelahan biner, di mana dari satu sel bakteri dapat dihasilkan dua sel anakan yang sama besar. Interval waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri atau untuk populasi menjadi berjumlah dua kali lipat dikenal sebagai waktu generasi. Tidak semua spesies bakteri memiliki waktu generasi yang sama. Mayoritas bakteri memiliki waktu generasi berkisar 1-3 jam. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia termasuk nutrisi dalam media kultur. Faktor fisik meliputi suhu, pH, gas atmosfer, cahaya, dan tekanan osmosis. Faktor kimia meliputi nutrisi dan media kultur, yaitu substrat (Sylvia, 2008: 106; Khairil, 2008: 4).

10

11

Kombinasi nutrien dan kondisi lingkungan fisik yang sesuai akan menciptakan pertumbuhan optimum bakteri. Pertumbuhan optimum bakteri ialah pertambahan jumlah massa sel atau total massa sel yang maksimal. Pengaruh faktor fisik pada pertumbuhan bakteri yaitu : a. Suhu. Suhu menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia. Peningkatan suhu sebesar 10 °C dapat meningkatkan enzim sebesar dua kali lipat. Pada temperatur yang sangat tinggi akan terjadi denaturasi protein yang bersifat tidak dapat balik (irreversible), sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan berhenti. Pada suhu pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal (Sylvia, 2008: 111). Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Bakteri dapat diklasifikasikan sebagai: psikrofil, yang tumbuh pada 0 °C sampai 30 °C; mesofil, yang tumbuh pada 25 °C sampai 40 °C; dan termofil, yang tumbuh pada suhu 50 °C atau lebih. Suhu inkubasi yang memungkinkan pertumbuhan tercepat selama periode waktu yang singkat (12-24 jam) disebut suhu pertumbuhan optimum (Pelczar dan Chan, 1986: 139).

12

b. Gas Atmosfer Gas-gas utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri ialah oksigen

dan

karbon

dioksida.

Bakteri

memperlihatkan

keragaman yang luas dalam hal respons terhadap oksigen bebas, dan atas dasar ini dibagi menjadi empat kelompok yaitu aerobik (organisme yang membutuhkan oksigen), anaerobik (tumbuh tanpa oksigen molekular), anaerobik fakultatif (tumbuh pada keadaan aerobik dan anerobik), dan mikroaerofilik (tumbuh terbaik bila ada sedikit oksigen atmosferik) (Pelczar dan Chan, 1986: 139-140). c. Potensial Hidrogen (pH) Menurut Pelczar dan Chan (1986: 140), pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri terletak diantara 6,5-7,5. pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino, dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang menganggu pertumbuhan sel. Mikroorganisme asidofil, tumbuh pada kisaran pH optimal 1,05,5; neutrofil, tumbuh pada kisaran pH optimal 5,5-8,0; alkalofil, tumbuh pada pH optimal 8,5-11,5; sedangkan alkalofil ekstrem tumbuh pada kisaran pH optimal ≥10 (Sylvia, 2008: 112).

13

d. Tekanan Osmosis Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Dalam larutan hipotonik, air akan masuk kedalam sel mikroorganisme; sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari dalam sel secara mikroorganisme sehingga membran plasma mengkerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis), serta menyebabkan sel secara metabolik tidak aktif. Mikroorganisme halofil mampu tumbuh pada kadar garam tinggi, umumnya NaCl 3%, mikroorganisme halofil ekstrem mampu tumbuh pada konsentrasi garam (NaCl) tinggi sebesar ≥33% (Sylvia, 2008: 112). e. Cahaya Organisme fotoautotrofik harus diberi sumber pencahayaan, karena cahaya adalah sumber energinya. Organisme heterotrof tidak memerlukan cahaya sebagai sumber energinya. Pengaruh faktor kimia pada pertumbuhan bakteri yaitu : a. Nutrisi Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen, yaitu elemenelemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah banyak (gram) seperti karbon (C), oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen (N),

14

sulfur (S), fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe). Sedangkan mikroelemen, yaitu elemen-elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit (dalam takaran mg hingga ppm) seperti mangan (Mn), zinc (Zn), kobalt (Co), molibdenum (Mo), nikel (Ni), dan tembaga (Cu). Ada juga nutrien tambahan meliputi vitamin yang merupakan molekul organik kecil yang umumnya merupakan seluruh atau sebagian kofaktor enzim, dan hanya sejumlah kecil yang digunakan untuk pertumbuhan; asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein, serta purin dan pirimidin yang diperlukan dalam sintesis asam nukleat (Sylvia, 2008: 114-115). b. Media Kultur Bahan

nutrisi

mikroorganisme

yang di

digunakan

laboratorium

untuk disebut

pertumbuhan media

kultur.

Pengetahuan tentang habitat normal mikroorganisme sangat membantu

dalam

pemilihan

media

yang

cocok

untuk

pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium. Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi dua macam yaitu media cair (liquid media) dan media padat (solid media). Menurut kandungan nutrisinya, media dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu media sintetik (synthetic media), media kompleks (complex media), media umum (general media), media penyubur (enrichment media), media selektif

15

(selective media), media diferensial (differential media), dan media khusus (Sylvia, 2008 : 115-117). Substrat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri. Substrat yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh terhadap aktivitas dan produktivitas enzim. Proses fermentasi terjadi karena adanya aktivitas mikroba dengan substrat organik yang sesuai (Khairil, 2008: 4-7). Kecepatan pertumbuhan bakteri tergantung pada konsentrasi substrat. Pada umumnya bakteri sudah tumbuh pada konsentrasi substrat rendah dengan kecepatan maksimum. Hanya pada konsentrasi substrat rendah kecepatan pertumbuhan tergantung pada konsentrasi substrat (Schlegel, 1994: 232) Fase pertumbuhan mikroorganisme yaitu fase lag, fase log (fase eksponensial), fase stasioner, dan fase kematian. Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak ada peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan bertambahnya ukuran; substansi interselular bertambah (Sylvia, 2008: 106; Pelczar dan Chan, 1986: 152). Lamanya fase ini bervariasi. Lama dari fase lag di pengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah:

16

a. Medium dan lingkungan pertumbuhan. Sel yang ditempatkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan yang sama seperti sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu adaptasi. Tetapi jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru sangat berbeda dari sebelumnya, diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme. b. Jumlah inokulum. Jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat fase adaptasi (Srikandi Fardiaz, 1992: 99). Fase

log

(fase

eksponensial)

merupakan

fase di mana

mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat pertumbuhan (Sylvia, 2008: 107). Menurut Schlegel (1994: 226), di dalam sebuah biak statik juga terjadi perubahan-perubahan sel sepanjang pertumbuhan eksponensial, karena lingkungan terus berubah, konsentrasi substrat semakin berkurang, kerapatan sel bertambah, dan produk-produk metabolisme tertimbun. Karena kecepatan pembelahan diri relatif konstan, maka tahap log ini paling cocok untuk menetapkan kecepatan pembelahan diri (dan kecepatan pertumbuhan). Untuk mempelajari pengaruh faktor-

17

faktor lingkungan seperti suhu, pH, aerasi, demikian juga mengenai kemampuan menggunakan berbagai substrat, dapat diikuti peningkatan jumlah sel misalnya secara turbidimetri sepanjang pertumbuhan eksponensial. Fase stasioner, tahap stasioner dimulai kalau sel-sel sudah tidak tumbuh lagi. Kecepatan pertumbuhan tergantung dari kadar substrat, menurunnya kecepatan pertumbuhan sudah terjadi ketika kadar substrat berkurang sebelum substrat habis terpakai (Schlegel, 1994: 226). Pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik. Ukuran sel-sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Pada fase ini sel-sel menjadi lebih tahan terhadap keadaan ekstrem. Pergantian sel terjadi dalam fase ini yaitu terdapat kehilangan sel yang lambat karena kematian diimbangi oleh pembentukan sel-sel baru melalui pertumbuhan dan pembelahan dengan nutrisi yang dilepaskan oleh sel-sel yang mati karena mengalami lisis (Sylvia, 2008: 107; Srikandi Fardiaz, 1992: 100-101).

18

Fase kematian, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi, energi cadangan di dalam sel habis, dan akumulasi produk buangan yang toksik (Sylvia, 2008: 108; Srikandi Fardiaz, 1992: 101).

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Mikroba dalam Biakan Sistem Tertutup (batch culture) (Sumber: Sumarsih, 2003: 53) 2. Pengukuran Pertumbuhan Mikroorganisme Pertumbuhan

mikroorganisme

dapat

diukur

berdasarkan

konsentrasi sel (jumlah sel per satuan isi kultur) ataupun densitas sel (berat kering dari sel-sel per satuan isi kultur). Densitas sel adalah kuantitas yang lebih bermakna, sedangkan dalam penelitian mengenai inaktivasi mikroorganisme, konsentrasi sel adalah kuantitas yang bermakna. Pertumbuhan mikroorganisme dapat diukur dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung yaitu

19

mengunakan metode Petroff-Hausser, metode hitungan cawan, metode MPN (Most Probable Number), dan metode turbidimetri (kekeruhan). Sedangkan pengukuran secara tidak langsung yaitu pengukuran aktivitas metabolik dan pengukuran berat sel kering (BSK) (Srikandi Fardiaz, 1992: 118; Sylvia, 2008: 110). Pengukuran secara langsung yaitu : a. Metode Petroff-Hausser. Pada pengukuran ini, untuk bakteri digunakan bilik hitung Petroff-Hausser, sedangkan untuk mikroorganisme eukariot digunakan hemositometer. Bilik hitung ini berbentuk kotak-kotak skala, setiap ukuran skala seluas 1 mm2 dan terdapat 25 buah kotak besar dengan luas 0,04 mm2, dan setiap kotak besar terdiri dari 16 kotak kecil. Tinggi contoh yang terletak antara gelas objek dengan gelas penutup adalah 0,02 mm. Cara menghitungnya yaitu jumlah sel dalam beberapa kotak besar dihitung, kemudian dihitung jumlah sel rata-rata dalam satu kotak besar. Jumlah sel per ml contoh

=

Jumlah sel per kotak besar

X

1,25

x

106

Keuntungan menggunakan metode ini adalah mudah, cepat, murah, serta dapat memperoleh informasi tentang ukuran dan morfologi mikroorganisme.

Kerugiannya

adalah populasi

mikroorganisme yang digunakan harus banyak (minimum berkisar 10 6 CFU/mL), tidak dapat membedakan sel yang hidup

20

dan mati, serta kesulitan menghitung sel yang motil (Srikandi Fardiaz, 1992: 121-122; Sylvia, 2008: 108). b. Metode hitungan cawan. Menurut Srikandi Fardiaz (1992: 123125), prinsip metode ini adalah jika jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan bantuan mikroskop. Keuntungan metode ini yaitu

hanya sel yang hidup dapat

dihitung, beberapa jenis jasad renik dapat dihitung sekaligus, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi. Sedangkan kerugiannya yaitu hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin akan menghasilkan nilai berbeda, memerlukan persiapan dan waktu inkubasi yang cukup lama untuk dapat dihitung, dan jasad renik yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat, membentuk koloni yang kompak dan jelas, tidak menyebar. Jumlah koloni terbaik yang dapat dihitung yaitu 30-300 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat, 0,85% NaCl atau larutan ringer. Metode hitungan cawan dibedakan atas dua cara yaitu metode tuang (pour plate) dan

21

metode permukaan (spread plate). Cara menghitung jumlah koloni yaitu : Koloni per ml atau per gr

=

Jumlah koloni per cawan

X

1 Faktor pengenceran

c. Metode MPN (Most Probable Number). Menurut Srikandi Fardiaz (1992: 126-127), metode ini menggunakan medium cair di dalam tabung reaksi, di mana perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif yaitu yang ditumbuhi jasad renik setelah inkubasi. Pengamatan tabung yang positif biasanya ditandai dengan adanya kekeruhan atau terbentuknya gas di dalam tabung durham yang diletakkan pada posisi terbalik. Setiap pengenceran umumnya digunakan tiga atau lima seri

tabung.

Metode

MPN

biasanya

digunakan

untuk

menghitung jumlah jasad renik dalam sampel yang berbentuk cair. Cara menghitung jumlah sel yaitu : MPN sampel

=

Nilai MPN dari Tabel

x

1 Pengenceran tabung tengah

d. Metode Turbidimetri (kekeruhan). Secara rutin jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan cara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin banyak jumlah selnya. Prinsip dasar metode turbidimetri adalah jika cahaya mengenai sel, maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya akan diteruskan. Jumlah cahaya yang diserap

22

proporsional (berbanding lurus) dengan jumlah sel bakteri. Atau jumlah cahaya yang diteruskan berbanding terbalik dengan jumlah sel bakteri. Semakin banyak jumlah sel, semakin sedikit cahaya yang diteruskan. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah

spektrofotometer

atau

kolorimeter

dengan

cara

membandingkan densitas optik (optical density, OD) antara media

tanpa

pertumbuhan

bakteri

dan

media

dengan

pertumbuhan bakteri. Metode ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat membedakan antara sel mati dan sel hidup (Tjahjadi, 2007: 30-31; Sylvia, 2008: 110). Pengukuran secara tidak langsung yaitu : a. Pengukuran aktivitas metabolik. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah produk metabolit tertentu, misal asam atau CO2, menunjukkan jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam media. b. Pengukuran berat sel kering (BSK). Metode ini umum digunakan untuk mengukur pertumbuhan fungi berfilamen (Sylvia, 2008: 110). 3. Bakteri Selulolitik Bakteri yang memiliki kemampuan menguraikan selulosa menjadi monomer glukosa dan menjadikannya sebagai sumber karbon dan sumber energi (Hardjo et al., 1994: 15). Proses degradasi selulosa dimulai dari perombakan selulosa oleh selulase bakteri menjadi

23

selobiosa, kemudian selobiosa dirombak lagi menjadi glukosa-1-fosfat yang merupakan proses akhir. Dekomposisi selulosa oleh bakteri selulolitik dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, yaitu faktor biotik dan abiotik, meliputi suhu, pH, komposisi media, salinitas, aktifitas enzimatis dari bakteri selulolitik serta macam bakteri itu sendiri (Mouzouras et. al., 1988 dalam Ronny, 2000: 11). Kebanyakan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri selulolitik yang diisolasi dari rayap, suhu optimumnya yaitu 37 °C (Tresnawati et. al., 2003: 41). 4. Bakteri Selulolitik Genus Flavobacterium Sel berbentuk batang sejajar dan membulat pada ujungnya, berukuran 0,5 x 1,0-3,0 µm. Tidak mempunyai granula intraseluler yang

tersusun

dari

poly-β-hydroxybutyrate.

Tidak

membentuk

endospora. Sel termasuk gram-negatif. Bersifat non-motil. Koloni tidak melebar. Termasuk kedalam bakteri aerob. Isolat tumbuh pada suhu 37 °C. Pada media padat, koloni biasanya menunjukkan warna kuning sampai oranye tetapi ada beberapa koloni yang tidak menunjukkan warna tersebut. Koloni biasanya transparan (terkadang ada yang tidak transparan), bentuk koloni bundar (diameter 1-2 mm), permukaan koloni berbentuk convex atau low convex, seluruh tepi koloni mempunyai bentuk smooth dan shiny. Uji katalase, oksidase, dan phosphatase bersifat positif. Tidak dapat mencerna agar. Bersifat asam, tetapi tidak memproduksi gas dari karbohidrat dalam media yang

24

mempunyai konsentrasi pepton rendah. Distribusi bakteri ini tersebar luas di tanah dan air, ditemukan juga di kulit hewan, susu pada makanan, dan lingkungan rumah sakit pada alat-alat pemeriksaan klinis untuk manusia. Contoh tipe spesies : Flavobacterium aquatile (Holt, et.al., 1994: 83). 5. Selulosa Selulosa adalah karbohidrat berpolimer berantai lurus (1,4)-ß-Dglukosa berbentuk seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu jaringan tumbuhan. Selulosa tidak hanya merupakan polisakarida struktural ekstraselular yang paling banyak dijumpai pada dunia tumbuhan, tetapi juga merupakan senyawa yang paling banyak di antara semua biomolekul pada tumbuhan atau hewan. Selulosa merupakan homopolisakarida linear tidak bercabang, terdiri dari 10.000 atau lebih unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1-4 glikosida dalam konfigurasi ß. Karena ikatan ß nya, rantai Dglukosa pada selulosa membentuk konformasi yang melebar dan mengalami pengelompokan antar sisi menjadi serat yang tidak larut. Rayap mudah mencernakan selulosa, hanya karena saluran ususnya memiliki suatu organisme parasit, yang mengeluarkan selulase, suatu enzim penghidrolisa selulosa yang menyebabkan rayap mampu mencernakan kayu (Lehninger, 1982: 326-328).

25

Selulosa terdiri dari rantai ß-D-glukosa dengan derajat polimerisasi sebesar kurang lebih 14.000. Sifat-sifat fisik dari fibril selulosa terutama kekokohannya dan ketidaklarutannya, tidak sesuai dengan struktur berupa rantai tunggal. Rantai-rantai ini harus saling berhubungan dengan cara menutupi gugus hidrofil dan peningkatan stabilitas. Berdasarkan hasil analisis struktur sinar rontgen terdapat daerah sisi kristalin silih berganti dengan daerah tidak kristalin. Seutas benang selulosa terdiri dari fibril selulosa yang diliputi oleh selaput lilin dan pektin (Schlegel, 1994: 470).

Gambar 2. Struktur Selulosa (Sumber: M. Edy, 2008: 6) Selulosa bersifat tahan terhadap asam lemah dan basa lemah, tetapi dengan asam yang kuat dihidrolisis menjadi glukosa. Selulosa selain larut dalam asam kuat, juga larut dalam reagen Switser dan dalam pencernaan mikroorganisme tertentu (Mozur, 1971 dalam Ronny, 2000: 5). Rantai molekul selulosa tersusun sejajar dan dipengaruhi oleh ikatan hidrogen antara gugus-gugus OH yang bersebelahan. Ikatan hidrogen dari gugus-gugus hidroksil antar rantai akan menyebabkan terjadinya orientasi paralel memanjang. Susunan selulosa yang teratur

26

disebut dengan kristalin, sedangkan bagian yang kurang teratur dikenal dengan daerah amorf (Wirahadikusumah, 1990 dalam Ronny, 2000: 56). 6. Carboxymethyl Cellulose (CMC) Dalam penelitian Hari Sumardikan (2007: 25), Carboxymethyl Cellulose (CMC) dalam daftar makanan dapat ditulis sebagai cellulose gum,

CMC,

Sodium

Carboxymethyl

Cellulose

(Na-CMC).

Carboxymethyl cellulose (CMC) adalah eter asam karboksilat turunan selulosa yang berwarna putih, tidak berbau, padat, digunakan sebagai bahan penstabil (Fennema, 1996). Carboxymethyl Cellulose (CMC) dibuat dari reaksi sederhana yaitu pulp kayu ditambah dengan NaOH kemudian direaksikan dengan Na monokhlor asetat atau dengan asam monoklor asetat (Tranggono, 1990). Carboxymethyl Cellulose (CMC) dapat membentuk sistem dispersi koloid dan meningkatkan viskositas sehingga partikel-partikel yang tersuspensi akan tertangkap dalam sistem tersebut dan tidak mengendap oleh pengaruh gaya gravitasi (Potter and Norman, 1986). Carboxymethyl Cellulose (CMC) dapat mencegah pengendapan protein pada titik isoelektrik dan meningkatkan kekentalan, disebabkan bergabungnya gugus karboksil CMC dengan gugus muatan positif dari protein (Srikandi Fardiaz, 1986).

27

Gambar 3. Struktur Carboxymethyl Cellulose (CMC) (Sumber: http://www.lsbu.ac.uk/water/hycmc.html) 7. Enzim Selulase Enzim selulase termasuk jenis enzim hidrolase yaitu mengkatalisis reaksi hidrolisis pemutusan ikatan β-1,4-glikosida pada molekul selulosa.

Nama

sistematik

enzim

ini

adalah

β-1,4-glukan-4-

glukanohidrolase. Nomor sistematiknya adalah 3.2.1.4 (Gagen, 1976 dalam Ronny, 2000 : 8). Pada proses penguraian selulosa, bakteri selulolitik mengeluarkan enzim selulase dan enzim kelompok selobiose, tergantung pada kondisi lingkungan material tersebut berada. Penguraian selulosa menjadi glukosa-1-phosphat oleh enzim hidrolitik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a. 1,4-β-D-glukan-4-glukanohidrolase atau endo-1,4-β-glukanase (EC 3.2.1.4). Enzim tersebut secara acak menyerang ikatan β1,4 yang terdapat dalam CMC dan merombak selulosa dengan memecah ikat unit single glukosa. b. 1,4-β-D-glukan-selobiohidrolase (EC 3.2.1.19) dan 1,4-β-Dglukan-glukohidrolase (EC 3.2.1.74). Keduanya merupakan exo-

28

1,4-β-D-glukanase yang bekerja pada rantai selulosa non reduksi dan dapat memecah selobiosa menjadi glukosa. c. 1,4-β-D-glukosidase (EC 3.2.1.21). Enzim ini menghidrolisa selobiosa menjadi enam unit glukosa (Enari and Markkanen, 1992 dalam Ronny, 2000: 9). Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 4. Mekanisme Hidrolisis Selulosa (Sumber : wikipedia.org/wiki/cellulase) 8. Rayap Rayap adalah serangga-serangga sosial pemakan selulosa yang berukuran sedang merupakan ordo Isoptera. Mereka hidup dalam masyarakat-masyarakat dengan organisasi yang tinggi dan terpadu, atau koloni-koloni, dengan individu-individu

yang secara morfologi

dibedakan menjadi bentuk-bentuk, berlainan atau kasta-kasta yaitu

29

reproduktif, pekerja, dan prajurit yang melakukan fungsi-fungsi biologi yang berbeda. Sayap-sayap (hanya ada pada kasta reproduktif) berjumlah empat dan berselaput tipis. Sayap-sayap depan dan belakang hampir sama ukurannya, dari itulah nama Isoptera diperoleh. Sungutsungutnya berbentuk untaian seperti merjan atau berbentuk serabut. Bagian-bagian mulut rayap pekerja dan reproduktif adalah tipe pengunyah. Nimfa-nimfa mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi salah satu kasta tersebut. Kasta-kasta yang mandul (pekerja dan prajurit) pada rayap terdiri dari dua jenis kelamin, dan kasta-kasta reproduktif dan mandul terbentuk dari telur-telur yang dibuahi (Borror et al, 1992: 295-296). Kasta-kasta pada rayap dijelaskan sebagai berikut: a. Kasta Reproduktif (Raja dan Ratu) Rayap ini bersklerotisasi keras dan memiliki mata-mata majemuk. Raja

biasanya

kecil,

tetapi

dalam

banyak

jenis

ratu

mengembangkan abdomennya yang membesar sebagai akibat kapasitas telur yang meningkat. Tugas rayap kasta ini adalah mencari tempat untuk bersarang, kawin, dan mendirikan kolonikoloni baru. b. Kasta Pekerja Individu-individu yang paling banyak dalam sebuah koloni. Mereka bertubuh pucat dan lunak, dengan bagian mulut tipe pengunyah. Tugas rayap kasta pekerja dalam koloni yaitu

30

pembuatan dan perbaikan sarang, mencari makan, memberikan makan, dan merawat anggota-anggota lain dari koloni tersebut. c. Kasta Prajurit Rayap kasta ini mempunyai kepala sangat bersklerotisasi, memanjang, hitam dan besaryang diperuntukkan dalam berbagai cara untuk pertahanan. Kebanyakan mempunyai mandibelmandibel panjang, sangat kuat, mempunyai kait, dan dimodifikasi untuk memotong dengan cara seperti gunting untuk memotong pkepala, anggota tubuh, atau merobek-robek musuh atau pemangsa.

a

c

b

Gambar 5. Ratu Rayap (a) dikelilingi Pekerja (b) dan Prajurit (c) dan Individu-individu Rayap Coptotermes sp yang Bergerombol (Sumber: Tarumingkeng, 2001: 122).

31

9. Klasifikasi Rayap Jika dilihat dari cara hidupnya, rayap dibagi menjadi empat golongan yaitu : a. Rayap pohon yaitu jenis yang menyerang kayu hidup, bersarang dalam pohon dan berhubungan dengan tanah. b. Rayap kayu lembab yaitu jenis yang menyerang kayu lembab yang telah mati, sarangnya berada dalam kayu tanpa berhubungan dengan tanah. c. Rayap kayu kering adalah jenis yang hidup dalam kayu kering terutama kayu-kayu dibawah atap. Koloni bersarang dalam kayu, tidak memerlukan air dan tidak berhubungan dengan tanah. d. Rayap subteran ialah jenis yang menyerang kayu baik yang terdapat didalam maupun di atas tanah dan umumnya bersarang di dalam tanah. Jenis ini dapat menyerang kayu yang terletak jauh dari pusat sarangnya dengan membuat jalan yang tertutup dari bahan tanah untuk mengangkut bahan makanan ke dalam sarangnya (Tarumingkeng, 1971 dalam Adawiah, 2000: 7-8). Berdasarkan tingkat evolusi rayap, dibagi dalam rayap tingkat rendah

(lower

termite)

terdiri

dari

famili

Mastotermitidae,

Kalotermitidae, Hadotermitidae, dan Rhinotermitidae dan rayap tingkat tinggi (higher termite) yaitu dari famili Termitidae. Selanjutnya dikatakan rayap tingkat rendah mempunyai banyak protozoa disamping

32

bakteri dan spirokaeta. Sedangkan rayap tingkat tinggi mengalami evolusi sangat lanjut dan memiliki sedikit protozoa dalam ususnya. 10. Kebiasaan-kebiasaan Rayap Seringkali rayap-rayap membersihkan satu sama lain dengan bagian-bagian mulut mereka. Makanan rayap terdiri dari kupasan kulit dan tinja individu-individu lain, individu-individu yang mati, bahanbahan tumbuh-tumbuhan seperti kayu-kayuan dan produk-produk kayu. Di dalam saluran pencernaan rayap terdapat mikroba selulolitik yang berperan dalam mendegradasi partikel-partikel kayu menjadi senyawa terlarut yang banyak mengandung selulosa (kurang lebih 4045% bahan kering) (Novianto, 2009: 14-15). Selulosa dalam makanan rayap dicerna oleh berbagai macam protista flagellata tak terbilang jumlahnya yang hidup dalam saluran pencernaan rayap. Hubungan ini adalah salah satu contoh yang sangat bagus dari simbiosis mutualisme. Beberapa rayap mengandung bakteri daripada flagellata. Ada beberapa sifat penting yang perlu diperhatikan dari perilaku rayap dalam mencari makan yaitu : a. Trophalaxis yaitu sifat rayap untuk saling menjilat, kemudian melakukan pertukaran makanan melalui mulut dan anus. Sifat ini diinterpretasikan sebagai cara untuk memperoleh protozoa bagi individu yang baru saja ganti kulit (ekdisis), karena pada saat ekdisis kulit, usus juga tanggal sehingga protozoa simbion yang diperlukan untuk mencerna selulosa ikut keluar dan perlu reinfeksi

33

dengan jalan trofalaktin. Juga untuk pertukaran feromon yaitu hormon untuk dikeluarkan (keluar tubuh) untuk pengaturan populasi koloni. b. Kanibalistik yaitu rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit, sifat ini banyak menonjol apabila rayap dalam keadaan kekurangan makanan. c. Neorophagy yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya. d. Kriptobiotik yaitu menyembunyikan diri dari sinar dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama periode dalam hidupnya memerlukan cahaya (Adawiah, 2000: 16). 11. Mikroba dalam Saluran Pencernaan Rayap Usus belakang berwarna sama dengan usus depan kecuali pada kantong rektum yang merupakan bagian agak gelap karena pada bagian ini terdapat sejumlah besar mikroorganisme, protozoa (flagellata), bakteri, dan spirokhaeta. Semua jenis rayap tingkat rendah ditunjukkan dengan fauna usus yang kompleks yang memiliki bakteria dan protozoa. Pada rayap tingkat tinggi bakteri usus mempunyai peranan yang khusus dalam metabolisme nutrisi, walaupun mereka tidak dipercaya sebagai kontributor utama pada dekomposisi selulosa. Distribusi

bakteri

yang

diidentifikasi

pada

setiap

rayap

menujukkan bahwa terdapat korelasi antara bakteri utama usus dan

34

famili rayap tersebut. Famili Mastotermitidae dan Kalotermitidae yang merupakan famili yang terendah dari rayap tingkat rendah memiliki bakteri

utama

Streptococcus

sp,

famili

Rhinotermitidae

yang

merupakan famili tertinggi dari rayap tingkat rendah terdapat bakteri utama

Enterobacter dan famili

Termitidae

ditemukan

bakteri

Staphylococcus sp (Eutick et. al., 1997 dalam Adawiah, 2000 : 14). Menurut Breznak (1982) dalam Novianto (2009 : 15), masingmasing mikroorganisme mempunyai peran yang berbeda dalam mencerna

selulosa

tergantung

kepada

kelas

rayap

dimana

mikroorganisme tersebut berdiam. Pada rayap kelas rendah, protozoa mempunyai peran lebih besar daripada bakteri dalam mencerna sumber serat. Namun hal sebaliknya terjadi pada rayap kelas tinggi dimana bakteri menjadi mikroba dominan dalam mencerna pakan. Keberadaan mikroorganisme di dalam usus rayap merupakan suatu bentuk interaksi yang menguntungkan (simbiosis mutualisme). Rayap memberikan perlindungan berupa tempat yang anaerob dan makanan bagi mikroorganisme. Di lain pihak mikroorganisme menyumbang enzim selulase untuk membantu proses pencernaan serat kasar bagi rayap (Novianto, 2009: 16). 12. Rayap Famili Rhinotermitidae Rayap-rayap ini kecil (yang dewasa panjangnya kira-kira 6-8 mm). Bentuk-bentuk yang tidak bersayap sangat pucat (rayap prajurit memiliki kepala yang berwarna coklat), dan bentuk-bentuk yang

35

bersayap berwarna hitam. Terdapat ubun-ubun di bagian atas depan kepala. Anggota-anggota ini selalu melakukan kontak dengan tanah. Rayap-rayap prajurit dapat dikenali dengan kepala mereka yang bulat telur dan sebuah lubang ubun-ubun yang besar di tepi muka kepala. Sarangnya dibawah tanah atau di dalam kayu. Ciri-ciri rayap dewasa bersayap famili Rhinotermitidae yaitu terdapat ubun-ubun, Rangka sayap tebal di bagian anterior sayap di belakang sisik, sisik sayap depan lebih panjang daripada protonum, protonum datar, sersi 2 ruas, R biasanya tanpa cabang-cabang anterior, sangat luas penyebarannya. Sedangkan ciri-ciri rayap prajurit famili Rhinotermitidae yaitu sama seperti ciri-ciri rayap dewasa tetapi dengan kepala lebih panjang dan lebar, mandibel-mandibel tanpa geligi tepi, dan sangat luas tersebar (Borror et al., 1992: 298-299).

B. Kerangka Berpikir Bakteri selulolitik adalah bakteri yang memiliki kemampuan menguraikan selulosa menjadi monomer glukosa dan menjadikannya sebagai sumber karbon dan sumber energi (Hardjo et al., 1994: 15). Pemanfaatan bakteri selulolitik yaitu sebagai penghasil enzim selulase yang digunakan untuk menghidrolisis selulosa. Salah satu hewan perombak (decomposer) selulosa yang sangat potensial di daerah tropis adalah rayap (insekta: Isoptera). Kemampuan

36

rayap dalam mendegradasi selulosa ini dimungkinkan karena keberadaan bakteri selulolitik dalam ususnya (Eutick et al., 1978: 824). Meilani

(2012:

53)

berhasil

melakukan

isolasi

dan

mengidentifikasi isolat bakteri selulolitik dari usus rayap kasta pekerja dan prajurit. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa isolat bakteri terpilih dengan kode C5I1; C5I5; C5I6; C6I5 merupakan bakteri selulolitik dari genus Flavobacterium sedangkan isolat bakteri dengan kode C6I6 merupakan bakteri selulolitik dari genus Acinetobacter. Namun demikian, informasi tentang kemampuan bakteri selulolitik yang diisolasi dari rayap dalam mendegradasi selulosa masih terasa kurang, padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya memanfaatkan potensi bakteri selulolitik dalam mendegradasi selulosa pada berbagai limbah yang mengandung selulosa. Langkah awal penting dalam upaya memanfaatkan potensi bakteri selulolitik yang diisolasi dari rayap dalam mendegradasi selulosa adalah mengetahui pertumbuhan bakteri tersebut. Pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh nutrisi dan berbagai faktor fisik antara lain suhu, pH, gas atmosfer, tekanan osmosis, dan lain-lain. Faktor substrat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri. Kecepatan pertumbuhan bakteri tergantung pada konsentrasi substrat (Schlegel, 1994: 232). Carboxymethyl Cellulose (CMC) merupakan salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk media pertumbuhan

37

bakteri selulolitik. Kombinasi nutrien dan lingkungan fisik yang sesuai akan menghasilkan pertumbuhan optimum bakteri. Bakteri selulolitik yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari usus rayap kasta pekerja dan prajurit belum dilakukan penelitian tentang optimasi pertumbuhannya terhadap faktor-faktor pertumbuhan. Maka perlu dilakukan penelitian lanjutan, antara lain dengan memberikan perlakuan variasi suhu, konsentrasi Carboxymethyl Cellulose (CMC), dan jenis isolat bakteri selulolitik untuk mengetahui apakah variasi perlakuan tersebut mempengaruhi pertumbuhan bakteri selulolitik yang diisolasi dari usus rayap kasta pekerja dan prajurit.

C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan dasar teori yang dikemukakan, didapatkan hipotesis penelitian yaitu: 1. Pertumbuhan bakteri selulolitik yang diisolasi dari usus rayap kasta pekerja dan prajurit lebih meningkat pada suhu 37 °C (suhu optimum) dibandingkan dengan suhu ruang (25-28 °C). 2. Pertumbuhan bakteri selulolitik yang diisolasi dari usus rayap kasta pekerja dan prajurit lebih meningkat pada medium Carboxymethyl Cellulose (CMC) cair konsentrasi 2% dibandingkan dengan medium Carboxymethyl Cellulose (CMC) cair konsentrasi 1%.

38

3. Pola pertumbuhan tiga isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari usus rayap kasta pekerja dan prajurit berbeda setelah diberi pengaruh variasi suhu dan konsentrasi Carboxymethyl Cellulose (CMC).