BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

Download kinerja auditor. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan akuntansi perilaku di...

0 downloads 200 Views 221KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1

Landasan Teori

2.1.1

Teori akuntansi perilaku (Behavioral accounting) Konsep perilaku (behavioural concept) pada awalnya merupakan kajian

bidang utama dalam psikologi dan sosial psikologi, tetapi faktor-faktor psikologi dan sosial psikologi seperti motivasi, persepsi, sikap dan personalitas sangat relevan dengan bidang akuntansi (Siegel dan Marconi, 1986:28). Para

akuntan,

peneliti

operasional

dan

ahli

manajemen

telah

mengembangkan faktor-faktor psikologi dan sosial psikologi termasuk masalah pengendalian.

Ilmu

sosiologi

dan

psikologi

juga

dikonsentrasikan

pada

pengendalian seperti halnya sosial dan fenomena personal (Hopwood, 1974 dalam Adelia, 2014). Penelitian

ini

mengkaji

tentang

aspek

perilaku

manusia

seperti

profesionalisme, kepribadian hardiness, motivasi kerja, budaya organisasi dan kinerja auditor. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan akuntansi perilaku di Indonesia.

2.1.2

Teori sikap dan perilaku Teori sikap dan perilaku dikembangkan oleh Triandis (1971) dalam Adelia

(2014), menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh sikap, aturan-aturan sosial dan kebiasaan. Sikap terdiri dari komponen kognitif yaitu keyakinan, komponen

1

afektif yaitu suka atau tidak suka, berkaitan dengan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap. Jazen (1975) dalam Chairul (2014) menyatakan (1) sikap dapat dipelajari, (2) sikap mendefinisikan prediposisi kita terhadap aspekaspek yang terjadi di dunia, (3) sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan antara pribadi kita dengan orang lain, (4) Sikap diatur dan dekat dengan inti kepribadian. Menurut Robbins (2003:90) sikap adalah pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan tentang obyek, orang, atau peristiwa. Menurut Khikmah (2005) sikap memberikan pemahaman tentang tendensi atau kecenderungan untuk bereaksi. Sikap bukan perilaku tetapi lebih pada kesiapan untuk menampilkan suatu perilaku, sehingga berfungsi mengarahkan dan memberikan pedoman bagi perilaku. Menurut Triandis (1971) dalam Adelia (2014) bahwa model perilaku interpersonal yang lebih komprehensif dengan menyatakan faktor-faktor sosial, perasaan dan konsekuensi dirasakan akan mempengaruhi tujuan

perilaku.

Kebiasaan

merupakan penentu sikap

yang

langsung dan tidak langsung. Perilaku tidak mungkin terjadi apabila kondisi yang memfasilitasi tidak memungkinkan.

2.1.3

Pengertian auditing Agoes (2012:4) menyatakan auditing adalah suatu pemeriksaan yang

dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan

2

pembukuan

dan

bukti-bukti

pendukungnya

dengan

tujuan

untuk

dapat

memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Jusup

(2014:10),

Pengauditan

adalah

suatu

proses

sistematis

untuk

memperoleh dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan

dan

kejadian-kejadian

ekonomi

secara

obyektif

untuk

menentukan tingkat kepatuhan antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan

dan

mengkomunikasikan

hasilnya

kepada

pihak-pihak

yang

berkepentingan. Menurut Jusup

(2014:14) pada umumnya pengauditan dikelompokkan

menjadi tiga golongan sebagai berikut. 1) Audit Laporan Keuangan Audit laporan keuangan adalah jenis laporan audit yang digunakan untuk menentukan apakah laporan keuangan sebagai informasi kuantitatif yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah diterapkan. 2) Audit Kepatuhan Audit kepatuhan adalah jenis audit yang digunakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit telah mengikuti aturan yang telah diberikan oleh pihak yang berwenang didalam pelaksanaannya. 3) Audit Operasional Audit operasional adalah jenis audit yang digunakan untuk mengkaji setiap bagian dari prosedur dan metode yang telah dijalankan oleh suatu organisasi dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan prosedur tersebut.

3

2.1.4

Pengertian auditor Jusup (2014:24) menyatakan bahwa sebutan auditor digunakan bagi orang

yang melakukan salah satu tahapan dalam suatu audit. Jusup (2014:16) membedakan auditor menjadi tiga jenis, yaitu. 1) Auditor Independen (Akuntan Publik) Tanggungjawab akuntan

utama auditor independen atau lebih umum disebut

publik

adalah

melakukan

fungsi pengauditan

atas

laporan

keuangan yang diterbitkan entitas. Menurut Undang-undang No 5 tahun 2011, akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Bidang jasa akuntan publik dibagi menjadi dua jenis yakni jasa atestasi dan jasa non-atetasi. Jasa atestasi yang diberikan oleh akuntan publik meliputi: jasa audit umum atas laporan keuangan, jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma, jasa review atas laporan keuangan dan jasa atestasi lainnya

sebagaimana

tercantum dalam Standar

Profesional Akuntan

Publik. Jasa non-atestasi yang diberikan oleh akuntan publik yakni mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan dan konsultasi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik

dan

peraturan

perundang-undangan

yang

berlaku.

Auditor

independen, sesuai sebutannya, harus independen terhadap klien pada saat melaksanakan audit maupun saat pelaporan hasil audit.

4

2) Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945 mengatur tentang pemeriksaan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan oleh suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit yang dilakukan oleh BPK disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai alat kontrol atas pelaksanaan keuangan negara. Selain BPK, auditor pemerintah di Indonesia juga mengenal adanya

Badan

Pengawasan

Keuangan

dan

Pembangunan

(BPKP) yang merupakan internal auditor pemerintah yang independen terhadap jajaran organisasi pemerintahan. 3) Auditor Internal Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam suatu perusahaan yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. Umumnya pemakai jasa auditor intern adalah Dewan Komisaris atau Direktur Utama perusahaan.

5

2.1.5

Profesi akuntan publik Profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan

keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah dan akuntan sebagai pendidik (Halim, 2008:14). Di Indonesia, menurut Undang-undang No.5 tahun 2011 dijelaskan bahwa akuntan publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia. Bidang jasa akuntan publik yaitu: 1) Jasa Atestasi Jasa

atestasi adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan

seseorang independen dan kompeten mengenai kesesuaian dalam segala hal yang signifikan, asersi suatu entitas dengan kriteria yang telah disiapkan. 2) Jasa Non Atestasi Jasa non atestasi adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang didalamnya

tidak

memberikan

suatu

pendapat,

keyakinan

negatif

ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan.

2.1.6

Kinerja Auditor Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).

Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang), yaitu hasil kerja secara kualitas

6

dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Teori tentang prestasi kerja lebih banyak mengacu pada teori psikologi yaitu tentang proses tingkah laku kerja seseorang, sehingga seseorang tersebut menghasilkan

sesuatu

yang

menjadi

tujuan

dari

pekerjaannya

(Agustia,

2006:104). Kinerja atau prestasi kerja dapat diukur melalui kriteria seperti kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara,

2005:15).

Gibson et al.

(1996) dalam Wibowo (2009),

menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Pengertian kinerja auditor menurut Mulyadi dan Kanaka (2010) adalah auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai

7

dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Kalbers dan Forgarty (1995) dalam Adelia (2014) mengemukakan bahwa kinerja auditor sebagai evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan langsung. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,

pengalaman

dan

kesungguhan

waktu

yang

diukur

dengan

mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Kinerja (prestasi kerja) dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) dimana kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu adalah

kesesuaian

waktu

yang

telah

direncanakan.

Karakteristik

yang

membedakan kinerja auditor dengan kinerja manajer adalah pada output yang dihasilkan. Dimensi yang dipergunakan di dalam melakukan penilaian kinerja Auditor menurut Lubis (2008) dalam Sulton (2010) sebagai berikut. 1.

Pengetahuan atas pekerjaan, kejelasan pengetahuan atas tanggung jawab pekerjaan yang menjadi auditor.

2.

Perencanaan dan organisasi, kemampuan membuat rencana pekerjaan meliputi jadwal dan urutan pekerjaan, sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas.

8

3.

Mutu pekerjaan, ketelitian dan ketepatan pekerjaan.

4.

Produktivitas, jumlah pekerjaan yang dihasilkan dibandingkan dengan waktu yang digunakan.

5.

Pengetahuan teknis, dasar teknis dan kepraktisan sehingga pekerjaannya mendekati standar kinerja.

6.

Judgement,

kebijakan naluriah dan kemampuan menyimpulkan tugas

sehingga tujuan organisasi tercapai. 7.

Komunikasi, kemampuan berhubungan secara lisan dengan orang lain.

8.

Kerjasama, kemampuan bekerja sama dengan orang lain dan sikap yang konstruktif dalam tim.

9.

Kehadiran dalam rapat, kemampuan dan keikutsertaan (partisipasi) dalam rapat berupa pendapat atau ide.

10. Manajemen proyek, kemampuan mengelola proyek, baik membina tim, membuat jadwal kerja, anggaran dan meciptakan hubungan baik antar karyawan. 11. Kepemimpinan,

kemampuan mengarahkan dan membimbing bawahan,

sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas. 12. Kemampuan memperbaiki diri sendiri, dengan studi lanjutan atau kursus-kursus.

9

kemampuan memperbaiki diri

2.1.7

Profesionalisme Kalbers dan Fogarty (1995:72) dalam Adelia (2014) menyatakan bahwa

profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi,

termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini

merupakan pengorbanan pribadi. Profesionalisme berasal dari kata profesi yang berarti suatu pekerjaan yang memerlukan

pengetahuan,

mencakup

ilmu

pengetahuan,

keterampilan

dan

metode. Profesional suatu kemampuan yang dilandasi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi dan latihan khusus, daya pemikiran yang kreatif untuk melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan bidang keahlian dan profesinya Armawan (2010). Hardjana (2002) memberikan pengertian bahwa profesional adalah orang yang menjalani profesi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Dalam hal ini, seorang profesional dipercaya dan dapat diandalkan dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga dapat berjalan lancar, baik dan mendatangkan hasil yang diharapkan. Hall (1968) dalam Astriyani (2007) menyatakan terdapat lima elemen profesionalisme

individual,

antara

lain:

(1)

Meyakini

pekerjaan

mereka

mempunyai kepentingan, (2) Berkomitmen ke jasa barang publik, (3) Kebutuhan otonomi pada persyaratan pekerjaan, (4) Mendukung regulasi mandiri untuk pekerjaan mereka dan (5) Afiliasi dengan anggota profesinya.

10

Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Astriyani

(2007)

banyak

digunakan

oleh

para

peneliti

untuk

mengukur

profesionalisme dari profesi auditor internal yang tercermin dari sikap dan perilaku. Hall (1968) dalam Astriyani (2007)

menjelaskan bahwa ada hubungan

timbal balik antara sikap dan perilaku, yaitu perilaku profesionalisme adalah refleksi dari sikap profesionalisme dan demikian sebaliknya. Menurut Hall (1968) dalam Astriyani (2007)

terdapat lima dimensi

profesionalisme, yaitu sebagai berikut. 1) Pengabdian pada profesi Keteguhan

untuk

tetap

melaksanakan

pekerjaan

meskipun

imbalan

ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan dan sudah merupakan komitmen yang kuat. 2) Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3) Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional yang harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Adanya intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang dapat mengganggu otonomi profesional. 4) Keyakinan terhadap peraturan profesi

11

Merupakan suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5) Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompokkelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini, para profesional dapat mengembangkan profesinya. Arens

dan

profesionalismenya,

Loebbecke auditor

(2009:45)

harus

menyatakan

memperlihatkan

untuk

perilaku

meningkatkan

profesinya

yang

berupa: 1) Tanggung jawab Melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, auditor harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitas mereka 2) Kepentingan masyarakat Auditor harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan yang mendahulukan

kepentingan

masyarakat,

menghargai

kepercayaan

masyarakat dan menunjukkan komitmen pada profesionalisme. 3) Integritas Mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat, auditor harus melaksanakan semua tanggung jawab profesional dengan integritas yang tinggi.

12

2.1.8

Kepribadian hardniness Maddi dan Kobasa (Kreitner dan Kinicki, 2014) menyatakan bahwa

konsep hardiness pertama kali diidentifikasi oleh Kobasa (1982) sebagai faktor perlawanan di awal 1980-an. Penemuan awal menunjukkan bahwa individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi, namun tetap sehat, memiliki struktur kepribadian yang berbeda dari individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi dan menjadi sakit. Kemudian didefinisikan sebagai "penggunaan sumber daya ego yang diperlukan untuk menilai, menafsirkan dan menanggapi stres yang sehat". Konsep hardiness memungkinkan individu untuk tetap sehat secara psikologis dan fisik meski berhadapan dengan stres pada situasi atau pengalaman.. Disebutkan bahwa hardiness terdiri dari tiga aspek yaitu komitmen, kontrol, dan tandangan (Kreitner dan Kinicki, 2014), yaitu: 1) Komitmen mencerminkan rasa tujuan umum dan kebermaknaan yang dinyatakan sebagai kecendrungan untuk menjadi aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan daripada tidak terlibat secara pasif. 2) Kontrol menyangkut perasaan dan keyakinan bahwa peristiwa kehidupan mungkin dipengaruhi daripada merasa tak berdaya ketika dihadapkan dengan kesulitan. 3) Tantangan menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa hidup yang dianggap, bukan sebagai satu beban berat adalah tertimbang

tetapi sebaliknya

sebagai bagian dari kehidupan normal yang memberikan kesempatan bagi pembangunan. Kobasa (Iva, 2014) menyatakan bahwa komitmen, kontrol, dan tantangan

13

merupakan faktor yang saling berhubungan dan faktor-faktor ini akan terefleksi jika individu berhadapan dengan kejadian-kejadian yang membuat stres. Menurut Wadey (2009) orang tinggi ditahan banting merasa sangat terlibat dalam atau berkomitmen untuk kegiatan dalam kehidupan mereka, percaya bahwa mereka dapat mengontrol peristiwa yang mereka alami dan menganggap perubahan sebagai sebuah tantangan yang menarik untuk pengembangan pribadi lebih lanjut. Patton (1996) menyatakan bahwa perilaku yang diwujudkan oleh individu hardiness yaitu dapat mengidentifikasi makna pribadi yang bisa diperoleh dari peristiwa stres dan perubahan hidup (faktor tantangan), dapat membuat keputusan berbasis realitas tentang serangkaian tindakan pribadi (faktor kontrol putusan), dapat mengintegrasikan pengalaman baru ke dalam kehidupan kerja dan tujuan pribadi (faktor komitmen), dapat memperoleh pengetahuan untuk menilai secara akurat peristiwa stres dan perubahan hidup (faktor kontrol kognitif), dapat mengembangkan keterampilan coping baru yang diperlukan (faktor kemampuan coping). Menurut Rahardjo (2005), manfaat dari hardiness yaitu membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih memiliki toleransi terhadap stres, mengurangi akibat buruk dari stres kemungkinan terjadinya burnout dan penilaian negatif terhadap suatu kejadian yang mengancam dan meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil, membuat individu tidak mudah jatuh sakit, dan membantu individu mengambil keputusan yang baik dalam keadaan stres. Bower (1998) dalam Iva (2014) mengungkapkan tiga karakteristik umum orang yang memiliki hardiness yaitu:

14

1) Percaya bahwa mereka bisa mengendalikan dan mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, 2) Memiliki perasaan yang dalam atau rasa komitmen yang tinggi terhadap semua kegiatan yang ada dalam hidupnya, 3) Menganggap perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.

2.1.9

Motivasi kerja Ardana,

dkk

(2012)

menyatakan

motivasi adalah

kekuatan

yang

mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau tidak pada hakekatnya ada secara internal dan internal yang dapat positif atau negatif untuk mengarahkan sangat

bergantung

kepada

ketangguhan

sang

pemimpin.

Motivasi

dalam

manajemen ditunjukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan mewujudkan

tujuan

yang

telah

ditentukan.

Pentingnya

motivasi

karena

menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia, supaya mau berkerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Definisi lain tentang motivasi menurut (Agustina, 2009) motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. (1)

Teori motivasi Teori jenjang kebutuhan Abraham H. Maslow dalam Ardana, dkk (2012)

mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia dapat di kategorikan dengan lima jenjang dari yang rendah hingga jenjang yang paling tinggi.

15

1) Kebutuhan Fisiologi, kebutuhan fisiologi sebagai kebutuhan yang paling mendasar berkaitan langsung dengan keberadaan atau kelangsungan hidup manusia.

Perwujudan

kebutuhan

akan

pangan,

sandang,

dan

papan

merupakan contoh kebutuhan konkrit dari kebutuhan fisiologis. 2) Kebutuhan Rasa Aman, bentuk dari kebutuhan rasa aman yang paling mudah disimak

adalah

keinginan

manusia

untuk

terbebas dari bahaya yang

mengancam kehidupannya. Penanganan terhadap kebutuhan rasa aman ini, dapat dilakukan dengan cara positif yaitu melalui berbagai macam program seperti asuransi, pensiun, atau dengan cara negatif yaitu dengan penetapan berbagai macam sanksi seperti teguran, pemindahan dan pemecatan. 3) Kebutuhan Sosial, Manusia adalah mahluk sosial sehingga suka bahkan butuh berhubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari yang lain. Motivasi untuk berafiliasi seperti itu tidak selalu demi persahabatan namun dapat juga untuk

mengkonfirmasi keyakinan.

Timbulnya

kelompok

informal dalam

suatu organisasi merupakan gejala umum yang terjadi. Keserasian serta keterpaduan antara tujuan kelompok informal dengan organisasi dapat menjadi aset besar demi peningkatan produktivitas. 4) Kebutuhan

Penghargaan,

melalui berbagai macam upaya,

orang ingin

dipandang penting. Hal ini merupakan salah satu contoh dari kebutuhan penghargaan ini. Banyak orang memenuhi dengan melalui macam-macam symbol status kebendaan yang secara mencolok segera dapat diketahui orang lain yang merupakan prestasi pribadi.

16

5) Kebutuhan Aktualisasi Diri, aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi hirrarki, tetapi juga paling kurang dipahami orang. Pada hakekatnya kebutuhan ini mendorong orang untuk melakukan apa dia mampu lakukan perwujudan diri yang baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Menurut Mangkunegara (2005), motivasi yaitu produktivitas seseorang sangat ditentukan oleh “virus mental” yang ada pada dirinya. Virus mental adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal.

Virus mental yang dimaksud terdiri dari tiga dorongan

kebutuhan, yaitu: 1) Kebutuhan untuk berprestasi (Need of achievement), merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses, yang diukur berdasarkan standar kesempatan dalam diri seseorang. Kebutuhan ini berhubungan erat dengan pekerjaan dan mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu. 2) Kebutuhan berafiliasi (Need for affiliation), merupakan kebutuhan akan kehangatan

dan

sokongan

dalam hubungannya

dengan

orang

lain.

Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. 3) Kebutuhan kekuatan (Need for power), merupakan kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi situasi dan orang lain agar menjadi dominan

dan

pengontrol.

Kebutuhan

ini menyebabkan orang yang

bersangkutan kurang memperdulikan perasaan orang lain.

17

Pembinaan virus mental manajer dengan cara mengembangkan potensi karyawan melalui lingkungan kerja secara efektif agar terwujudnya produktivitas perusahaan yang berkualitas tinggi dan tercapainya tujuan utama organisasi. Ada tiga faktor atau dimensi dari motivasi, yaitu motif, harapan dan insentif. Ketiga dimensi dari motivasi tersebut diuraikan secara singkat pada bahasan berikut. 1) Motif Motif adalah suatu prangsang keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja. Setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Suatu dorongan di dalam diri setiap orang, tingkatan alasan atau motif-motif yang menggerakkan tersebut menggambarkan tingkat untuk menempuh sesuatu. 2) Harapan Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu. Seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya tinggi bila karyawan meyakini upaya tersebut akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaranganjaran organisasional (memberikan harapan kepada karyawan) seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi, dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan. 3) Insentif Menurut Mangkunegara (2005), menyimpulkan bahwa insentif berupa uang jika pemberiannya dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan tugas sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan. Pimpinan

18

perlu membuat perencanaan pemberian insentif dalam bentuk uang yang memadai agar karyawan terpacu motivasi kerjanya dan mampu mencapai produktivitas kerja maksimal.

2.1.10 Budaya organisasi Dalam literatur teori organisasi budaya telah didefinisikan dalam berbagai ragam oleh berbagai ahli. Menurut Hofstede (1990:4) dalam Adelia (2014), setiap manusia membawa mental program yang terbentuk sejak dini, dari masa kecil di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan organisasi. Hofstede (1990:15) dalam Adelia (2014) membagi budaya organisasional ke dalam tujuh dimensi: 1) Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana anggota organisasi didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. 2) Perhatian ke hal yang rinci. Sejauh mana anggota organisasi diharapkan mampu menunjukkan ketepatan, analisis dan perhatian pada hal yang rinci. 3) Orientasi hasil. Sejauh mana para pimpinan berfokus pada hasil/keluaran dan bagaimana orientasi para pimpinan pada proses/teknik yang dilakukan untuk mencapai hasil. 4) Orientasi

orang.

Sejauh

mana

keputusan-keputusan

pimpinan

mempertimbangkan efek hasil pada anggota organisasi. 5) Orientasi tim atau kelompok. Sejauh mana aktifitas kerja diorganisasikan dalam kelompok-kelompok kerja dibandingkan pada kerja individual. 6) Keagresifan. Kondisi agresifitas dan kompetisi anggota organisasi.

19

7) Stabilitas

(Stability).

Suatu

tingkatan

dimana

kegiatan

organisasi

menekankan di pertahankannya status quo daripada pertumbuhan. Menurut Mondy and Noe III (1993:321) dalam Wibowo (2009) , terdapat tiga faktor yang membentuk budaya dalam organisasi, yaitu: (1) komunikasi, (2) motivasi, dan (3) kepemimpinan. Komunikasi merupakan transfer informasi, ide pemahaman dan perasaan diantara para anggota organisasi. Manajer yang ingin berhasil dalam organisasi harus mampu berkomunikasi secara efektif. Motivasi merupakan

kemauan

untuk

berusaha

dalam

mengejar

tujuan

organisasi

sebelumnya manajer tidak dapat secara langsung memotivasi bawahan karena memotivasi adalah masalah internal masing- masing individu. Tugas mendorong

manajemen perilaku

adalah

menghadirkan

positif dari bawahannya,

budaya

organisasi

manajemen

yang

organisasi perlu

memahami faktor-faktor yang memicu perilaku bawahan dan mengembangkan serta

mempertahankan

kepemimpinan bertindak

merupakan

sesuai

dengan

lingkungan proses

yang

produktif

mempengaruhi

keyakinan

pemimpin.

anggota Para

dalam

organisasi,

organisasi manajer

untuk

organisasi

menggunakan pendekatan yang beragam dalam mempengaruhi anggota organisasi dan hal ini sangat mempengaruhi budaya organisasi berdampak signifikan terhadap kinerja ekonomi jangka panjang. Menurut Robbins (2003:97), fungsi budaya organisasi adalah (1) berperan menetapkan batasan, (2) mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi, (3) mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingan individual seseorang, (4) meningkatkan stabilitas sistem sosial karena

20

merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi, (5) sebagai mekanisme control dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. Supartha (2008) menjelaskan dalam mengukur budaya organisasi yang kuat sebagai budaya organisasi yang dipegang semakin intensif. Unsur-unsur yang merupakan ciri khas budaya kuat sebagai berikut. 1) Kejelasan nilai-nilai dan keyakinan (clarity of ordering). Nilai-nilai dan keyakinan yang disepakati oleh anggota organisasi dapat ditentukan secara jelas. Organisasi yang mempunyai nilai-nilai budaya yang jelas dapat memberikan pengarahan yang nyata dan jelas kepada perilaku anggota organisasi. 2) Penyebarluasan nilai-nilai dan keyakinan ( extent of ordering). Nilai-nilai ini terkait

dengan

seberapa

banyak

orang/anggota organisasi yang

menganut niai-nilai dan keyakinan budaya organisasi. Penyebarluasan nilai-nilai sangat tergantung kepada sistem sosialisasi atau pewarisan yang diberikan oleh pimpinan organisasi khususnya anggota-anggota baru. 3) Intensitas pelaksanaan nilai-nilai inti (care values being intensively held). Intensitas

dimaksudkan

seberapa

jauh

nilai-nilai

budaya

organisasi

dihayati, dianut, dan dilaksanakan secara konsisten oleh organisasi.

2.1.11 Pembahasan hasil penelitian sebelumnya Penelitian

sebelumnya

yang

dilakukan

oleh

Wibowo

(2009)

yang

merupakan pengembangan dari penelitian Trisnaningsih (2007) dengan judul

21

“Independensi Auditor dan Komitmen Organisasi sebagai Mediasi Pengaruh Pemahaman Good Governance, Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Auditor”. Di mana penelitian tersebut menggunakan data primer berupa kuesioner. Pengujian variabel bebas terhadap variabel terikat dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda dengan hasil yang

diperoleh

bahwa

independensi

auditor,

komitmen

organisasi,

gaya

kepemimpinan dan pemahaman good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Wibowo adalah terletak pada objek penelitian. Di mana objek penelitian di atas yaitu pengaruh profesionalisme,

komitmen

organisasi,

gaya

kepemimpinan

dan pemahaman

budaya organisasi terhadap kinerja auditor, sedangkan objek penelitian yang dilakukan

peneliti

adalah

pengaruh

profesionalisme

auditor,

kepribadian

hardiness, motivasi kerja, dan budaya organisasi terhadap kinerja auditor. Perbedaan kedua yaitu pada lokasi penelitian, dimana Wibowo melakukan penelitian di Kantor Akuntan Publik

yang terdapat di Daerah Istimewa

Yogyakarta, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada Kantor Akuntan Publik di wilayah Bali. Selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Gunawan Cahyasumirat (2006) dengan judul “Pengaruh Profesionalisme dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Auditor, dengan Kepuasan Kerja sebagai variabel intervening ” menunjukkan hasil bahwa variabel profesionalisme dan komitmen organisasi tidak mempengaruhi kinerja internal auditor. Persamaan penelitian ini dengan

22

penelitian

Cahyasumirat

adalah sama-sama meneliti kinerja auditor.

perbedaannya

terlihat

jelas

Cahyasumirat

menggunakan

pada objek

beberapa pengaruh

objek

penelitiannya,

profesionalisme,

Tetapi dimana

komitmen

organisasi dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening terhadap kinerja auditor. Kemudian,

penelitian

yang

dilakukan

Trisnaningsih

(2007)

yang

pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) pemahaman good governance tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor, melainkan berpengaruh tidak langsung melalui indenpendensi auditor; 2) gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap inerja auditor; 3) budaya organisasi tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor, namun secara tidak langsung komitmen organisasi memediasi hubungan antara budaya organisasi terhadap kinerja auditor.

2.2

Rumusan Hipotesis

2.2.1

Pengaruh profesionalisme pada kinerja auditor Cahyasumirat

(2006)

yang

berjudul “Pengaruh

Profesionalisme

dan

Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Auditor, dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening”. Menunjukkan hasil tidak adanya pengaruh yang positif antara profesionalisme dengan kinerja auditor, yang berarti berarti tidak ada pengaruh antara tingkat profesionalisme seorang internal auditor terhadap tingkat kinerja kerja mereka.

23

Selanjutnya dalam penelitian Kusnadi (2015) yang berjudul “Pengaruh Profesionalisme dan Locus Of Control terhadap Kinerja Auditor di Kantor Akuntan

Publik

Provinsi Bali”.

Menunjukkan

hasil bahwa profesionalisme

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja internal auditor. Adelia (2014) menemukan dalam hasil peneltiannya bahwa profesionalisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja auditor. Penelitian yang dilakukan oleh Kompiang (2013) dan Septiani (2014) menunjukkan bahwa profesionalisme berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H1: Profesionalisme berpengaruh positif pada kinerja auditor

2.2.2

Pengaruh kepribadian hardiness pada kinerja auditor Keterkaitan antara hardiness dengan kinerja diperkuat dengan hasil

penelitian

yang

dilakukan

Kobasa

(Kreitner

dan

Kinicki,

2014)

yang

menyebutkan hardiness melibatkan kemampuan untuk secara sudut pandang atau secara keperilakuan mengubah bentuk stressor yang negatif menjadi tantangan yang positif. Yang mana commitment mencerminkan sejauh mana individu terlibat dalam apapun yang dilakukannya. Selanjutnya, individu yang mmiliki control percaya mereka dapat memengaruhi peristiwa

yang menyangkut kehidupan

mereka. Challenge dipandang sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Senada dengan penelitian Bartone (1999) yang menyatakan bahwa hardiness merupakan prediktor yang signifikan pada kinerja. Hasil penelitian

24

yang

dilakukan Bartone (2009) dan Dian (2014) menyebutkan bahwa hardiness berpengaruh pada kinerja. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut. H3: Kepribadian hardiness berpengaruh positif pada kinerja auditor

2.2.3

Pengaruh motivasi kerja pada kinerja auditor Siregar (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Kualitas

Sumber Daya Manusia, Komitmen Organisasi, dan Motivasi Kerja dengan Tindakan Supervisi sebagai Variabel Moderating terhadap Kinerja Auditor pada Inspektorat Provinsi Sumatera Utara”. Menunjukkan hasil bahwa secara parsial variabel motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor. Pada

Standar

Profesional Akuntan Publik

tercantum bahwa untuk

memenuhi persyaratan sebagai seorang professional, auditor harus memiliki motivasi kerja (Meylinda, 2015). Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi kerja merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh auditor. Motivasi dapat membangkitkan semangat kinerja auditor yunior untuk bekerja lebih baik sehingga seorang auditor yang memiliki motivasi yang tinggi akan mempengaruhi kerja

menjadi

lebih

tinggi.

Handoko

(2001:199)

mengemukakan

bahwa

“Karyawan biasanya memperoleh kompensasi lebih baik, kondisi kerja nyaman, dan pekerjaan mereka memungkinkan penggunaan segala kemampuan yang mereka punyai sehingga mereka mempunyai alasan-alasan untuk lebih terpuaskan. Sulton

(2010)

menyatakan

motivasi kerja

adalah

pemberian daya

penggerak yang menciptakan kegairahan seseorang agar mereka mau bekerja

25

sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kinerja yang maksimal. Motivasi kerja seorang auditor akan mendukung semangat dan kecepatan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga tingkat kesalahan akan semakin berkurang. Penelitian Sarita dan Agustina (2009) menyatakan bahwa motivasi kerja terbukti berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kinerja auditor. Winidiantari (2015) dalam penelitiannya menemukan pengaruh positif motivasi kerja terhadap kinerja auditor. Sehingga dapat dikatakan kinerja auditor sangat dipengaruhi

oleh

motivasi

kerja.

Berdasarkan

penjelasan

tersebut

dapat

dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut. H3: Motivasi kerja berpengaruh positif pada kinerja auditor

2.2.4

Pengaruh budaya organisasi pada kinerja auditor Setiap perusahaan pasti memiliki makna sendiri terhadap kata budaya itu

sendiri, yang meliputi: identitas, ideologi, etos, budaya, pola perilaku, eksistensi, aturan, filosofi, tujuan spirit, sumber informasi, gaya dan visi perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi (corporate culture) adalah sebagai aturan main yang ada dalam perusahaan yang menjadi pegangan bagi sumberdaya manusia

perusahaan

dalam

menjalankan

kewajiban

dan

nilai-nilai

untuk

berperilaku dalam perusahaan. Trisnaningsih (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Independensi Auditor dan Komitmen Organisasi sebagai Mediasi Pengaruh Pemahaman Good Governance, Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja

26

Auditor”.

Menunjukkan

hasil bahwa

budaya organisasi tidak

berpengaruh

terhadap kinerja auditor. Hasil penelitian ini berlawanan dengan temuan Adelia (2014) penelitiannya menyatakan bahwa variabel budaya organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja auditor. Budaya mempengaruhi banyak aspek kehidupan baik organisasi maupun individu, Sherriton and Stren (1997: 212). Peran budaya organisasi adalah sebagai sarana untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang patut dan tidak patut dikerjakan, bagaimana mengalokasikan sumber daya organisasi (Pramastuti, 2006). Budaya organsasi diprediksi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi di masa mendatang. Budaya yang merosot akan berdampak menghambat

negatif kinerja

terhadap terdapat

kinerja pada

organisasi. banyak

Budaya

organisasi,

organisasi

yang

bahkan diberbagai

organisasi yang penuh dengan orang pandai sekalipun. Walaupun budaya relative sulit berubah, tetapi budaya organisasi dapat dibuat agar lebih meningkatkan kinerja.

Budaya

meningkatkan

organisasi adalah komponen yang sangat penting dalam

kinerja

karyawan,

namun

demikian

agar

kinerja

karyawan

meningkat maka harus ditingkatkan pula motivasi kerjanya. Budaya organisasi pada sisi internal karyawan akan memberikan sugesti kepada semua perilaku yang diusulkan oleh organisasi agar dapat dikerjakan, penyelesaian yang sukses, dan akibatnya akan memberikan keuntungan pada karyawan itu sendiri (Hofstede, 1990) dalam Adelia (2014). Akibatnya karyawan akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, kemandirian dan mengagumi dirinya sendiri. Sifat-sifat ini akan dapat

27

meningkatkan

harapan

karyawan

agar

kinerjanya

semakin

meningkat.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut. H4: Budaya organisasi berpengaruh positif pada kinerja auditor

28