BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... penelitian di Fiji menunjukkan hubungan antara infestasi skabies dengan impetigo ... 2...

4 downloads 362 Views 231KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Penelitian Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh adanya infestasi

Sarcoptes scabiei var. hominis di kulit, ditandai dengan adanya gatal dan erupsi kulit dengan derajat keparahan yang bervariasi. Onset gejala klinis biasanya menandai terbentuknya respon imun terhadap kutu dan produknya yang berada di epidermis (Prendiville, 2011). Penyakit ini ditemukan di seluruh belahan dunia, dan masih merupakan masalah kesehatan utama di negara dengan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk yang tinggi, dan sosial ekonomi yang rendah, serta masih merupakan penyakit endemik di beberapa negara berkembang (Andrew dkk, 2009). Angka kejadian skabies di seluruh dunia diperkirakan sebesar 300 juta kasus (Chosidow, 2006), dengan tingkat infeksi yang bervariasi antar negara maupun antar daerah dalam suatu negara (Strong, 2010). Secara umum angka kejadian skabies di negara berkembang pada daerah tropis hampir sama pada semua usia, namun angka kejadian tertinggi terjadi pada kisaran usia anak–anak hingga remaja, berkurang pada usia dewasa muda, dan kembali tinggi pada usia lanjut (Burkhart dkk, 2000; dos Santos dkk, 2010). Skabies seringkali berkaitan dengan meningkatnya risiko pioderma dan komplikasi infeksi sekunder oleh Streptokokus grup A dan Staphylococcus aureus (WHO, 2005a). Di beberapa daerah di mana skabies merupakan kasus endemik, seperti di pedesaan Aborigin Australia dan negara–negara kepulauan Fiji,

2

pioderma juga menjadi kasus endemik (WHO, 2005b; Currie, 2000). Sebuah penelitian di Fiji menunjukkan hubungan antara infestasi skabies dengan impetigo pada anak memiliki odds ratio

sebesar 2,4 (Steer, 2009). Di negara–negara

dengan keberhasilan program eliminasi skabies, insidensi pioderma juga mengalami penurunan (Wong, 2001; Carapetis, 1997; Lawrence, 2005). Perjalanan klinis skabies dimulai dari kutu betina yang telah dibuahi akan membuat terowongan pada stratum korneum, dan meletakkan telur–telurnya setiap hari selama 6 minggu sebelum akhirnya mati. Tahap perkembangan dari telur hingga menjadi kutu dewasa membutuhkan waktu selama kurang lebih 2 minggu. Sumber penularan utama adalah kontak kulit langsung dan erat dengan penderita selama minimal 15 menit (berjabat tangan, hubungan seksual, dll) sehingga karena alasan inilah skabies juga digolongkan ke dalam penyakit menular seksual (Hay dkk, 2012). Berbagai obat–obatan dikembangkan untuk mengeliminasi kejadian skabies, termasuk pengobatan herbal dan tradisional, namun hingga saat ini masih belum ada terapi yang benar–benar efektif untuk skabies (Ishii dkk, 2008; Strong, 2010). Permethrin masih merupakan terapi topikal yang paling banyak digunakan dan efektif dalam penatalaksanaan skabies (Strong, 2010; Mounsey dkk, 2013), namun kepatuhan pasien dan ketepatan dalam penggunaan krim permethrin merupakan masalah yang sering dihadapi (Mounsey dkk, 2013). Selain itu terdapat laporan adanya peningkatan toleransi in vitro kutu skabies terhadap permethrin (Walton dkk, 2000), sehingga perlu dipikirkan alternatif lainnya

3

dengan penggunaan yang lebih mudah, sederhana, dan risiko resistensi yang rendah (Mounsey dkk, 2013). Ivermectin adalah salah satu pilihan terapi alternatif yang dapat digunakan dengan efektivitas yang sudah teruji (Strong, 2010). Satu–satunya jalur pemberian ivermectin yang disetujui pada manusia adalah secara per oral (Canga dkk, 2007). Dengan dosis tunggal 0,2 mg/kg ivermectin terbukti mampu memperbaiki lesi kulit dan mengurangi keluhan gatal (Karthikeyan, 2005). Sayangnya hingga saat ini penggunaan ivermectin untuk skabies masih belum diakui di banyak negara kecuali Paris, Selandia Baru, Brazil, dan Jepang (Ishii dkk, 2008). Selain

ivermectin,

dilaporkan

juga

keberhasilan

terapi

skabies

menggunakan albendazole dengan dosis 800–1000 mg/hari yang diberikan selama 3 hari berturut turut (Ayoub, 2009; Douri, 2009). Albendazole (benzimidazole carbamate) adalah antihelmintik dan antiprotozoa dengan mekanisme kerja menghambat polimerisasi mikrotubulus dengan cara berikatan secara irreversible pada β–tubulin, yaitu komponen penting pada sitoskeleton eukariota. Efektivitas albendazole juga terbukti setara dengan pemberian permethrin 1% dalam penatalaksanaan pedikulosis kapitis (Akisu, 2006). Hingga saat ini permethrin 5% krim topikal masih dianggap sebagai terapi pilihan utama dalam penatalaksanaan skabies. Harga yang cukup mahal dan pengolesan di seluruh tubuh yang didiamkan selama minimal 8 jam menyebabkan tingkat kepatuhan yang rendah sehingga kontrol skabies dalam komunitas masih sulit dilakukan (Elgart, 1996; Usha dan Nair, 2000). Penggunaan ivermectin untuk skabies pada manusia masih belum banyak disetujui di berbagai negara meskipun

4

sudah terbukti keamanan dan efektivitasnya. Sebaliknya, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas albendazole terhadap skabies. Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan keamanan dan efektivitas albendazole sehingga dapat menjadi alternatif terapi untuk skabies dengan penggunaan yang lebih mudah dan sederhana dibanding terapi permethrin 5% topikal yang merupakan terapi standar.

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.

Bagaimana efektivitas terapi albendazole oral dibandingkan dengan permethrin 5% krim topikal dalam penatalaksanaan skabies?

2.

Bagaimana efek samping terapi albendazole oral dibandingkan dengan permethrin 5% krim topikal dalam penatalaksanaan skabies?

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum: 1.

Mengetahui efektivitas terapi albendazole oral dan permethrin 5% krim topikal pada penatalaksanaan skabies

2.

Mengetahui efek samping terapi albendazole oral dan permethrin 5% krim topikal pada penatalaksanaan skabies

5

Tujuan khusus: 1.

Mengevaluasi perbaikan skabies sesudah pemberian albendazole oral

2.

Mengevaluasi perbaikan skabies sesudah pemberian permethrin 5% krim topikal

3.

Mengetahui efek samping yang dikeluhkan oleh pasien dan teramati secara klinis setelah mendapat terapi albendazole oral

4.

Mengetahui efek samping yang dikeluhkan oleh pasien dan teramati secara klinis setelah mendapat terapi permethrin 5% krim topikal

D.

Manfaat Penelitian

1.

Bagi peneliti, memperoleh data mengenai terapi oral alternatif serta efektivitas terapi albendazole oral dibanding permethrin 5% krim topikal untuk skabies

2.

Bagi institusi, dapat sebagai masukan dalam: a. Mempertimbangkan terapi alternatif untuk skabies selain terapi topikal yang telah ada b. Menentukan kebijakan pengendalian infeksi kulit dalam komunitas

3.

Bagi subyek penelitian, dapat memberikan informasi mengenai penyebab, penularan, dan penatalaksanaan skabies.

E.

Keaslian Penelitian Penelitian mengenai efektivitas dan keamanan permethrin dalam

penatalaksanaan skabies pada manusia sudah banyak dilakukan. Hasil

6

penelusuran melalui PUBMED dengan kata kunci scabies dan permethrin menemukan 149 artikel. Cochrane Database melaporkan terdapat 11 penelitian klinis acak terkontrol yang membandingkan permethrin topikal sebagai terapi standar dengan terapi skabies lainnya (Strong, 2010). Penelitian mengenai efektivitas albendazole terhadap skabies belum pernah dilakukan, hasil penelusuran melalui PUBMED dengan kata kunci scabies dan albendazole menemukan 9 artikel, 2 di antaranya adalah laporan kasus yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini (Ayoub, 2009; Douri, 2009). Beberapa laporan serupa mengenai efektivitas albendazole terhadap pedikulosis kapitis juga pernah dilaporkan (Akisu, 2006; Anindya, 2011). Sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan penelitian yang membandingkan efektivitas albendazole oral dan permethrin 5% krim topikal dalam penatalaksanaan skabies.