BAB I PENDAHULUAN

Download Dalam semesta ekonomi moneter, pemikiran ekonomi terpecah dalam berba- gai macam aliran pemikiran, seperti misa...

1 downloads 231 Views 179KB Size
BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Masalah

Sistem moneter saat ini tegak di atas 3 pilar yaitu uang fiat, perbankan dengan sistem cadangan pecahan (fractional reserve banking, FRB) dan bunga uang (lihat Iswardono (2003), Mankiw (2007) dan Saidi (2010)). Uang fiat memungkinkan uang dicetak tanpa batas. Sistem FRB memungkinkan perbankan umum untuk melakukan proses penciptaan uang secara berlipat. Bunga uang memberi landasan bagi perbankan untuk menggelar aktivitas sewa-menyewa uang. Dengan demikian ada kelindan yang kuat antara uang dan perbankan. Uang fiat dan bunga uang merupakan produk lembaga perbankan. Dalam buku Uang dan Bank, Iswardono (2003, hal. 13) menegaskan bahwa indikator kemajuan perekonomian suatu negara dapat dilihat dari tingkat penggunaan uang giral di masyarakat. Semakin maju perekonomian maka kian banyak uang giral yang digunakan. Karena uang giral merupakan produk perbankan, maka kemajuan perbankan akhirnya identik dengan kemajuan perekonomian. Sementara itu, dalam khazanah ekonomi Islam, belum ada kesepakatan yang utuh dalam menyikapi uang fiat, perbankan dan bunga uang. Saat ini mayoritas kaum muslimin menerima uang fiat sebagai instrumen yang halal (Karim, 2008, hal. 322). Ini berbeda dengan Saidi (2007, hal. 140-142). Ia tegas menyatakan bahwa uang fiat (uang kertas) merupakan riba. Demikian juga tentang perbankan yang kemudian diislamisasi menjadi perbankan syariah. Ketika mayoritas menerima perbankan syariah, Saidi (2010) menolak perbankan syariah dan menganggap perbankan syariah tidak syar’i. Vadillo (2005) justru menengarai perbankan syariah sebagai kuda troya yang disisipkan ke dalam tubuh kaum muslimin. Pada 1992 Vadillo mencetak kembali koin Dinar emas dan Dirham perak di Granada, Spanyol. Tindakan ini ia lakukan sebagai kelanjutan dari terbitnya Fatwa Haramnya Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang ia terbitkan setahun sebelumnya, 1991. Ia melakukan gerakan untuk kembali menggunakan koin Dinar dan Dirham sebagai alat tukar. Di Indonesia gerakan ini dimotori oleh Wakala Induk Nusantara (WIN) yang dipimpin Zaim Saidi. Sedangkan untuk bunga uang, Nahdhatul Ulama (NU) dalam Munas Alim

1

2

Ulama NU di Lampung 1992 mengeluarkan 3 pendapat, bunga bank dapat dihukumi sebagai riba sehingga mutlak haram, bunga bank tidak sama dengan riba sehingga halal, dan bunga bank merupakan syubhat (Ghafur W., 2008, hal. 79-80). Ini menunjukkan NU masih memandang bunga uang sebagai sesuatu yang tidak mutlak bergantung pada konteks keadaan. Pendapat ini berbeda dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam keputusan fatwa nomor 1 tahun 2004 MUI menyatakan bahwa hukum bunga adalah haram (Ghafur W., 2008, hal. 97-99). Muhammadiyah dalam fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid ( No. 08 tahun 2006) juga menyatakan bahwa bunga uang adalah riba (Ghafur W., 2008, hal. 67). Saat ini perbincangan tentang sistem moneter tidak dapat dilepaskan dari peran suku bunga. Tingkat bunga menjadi pertemuan antara keseimbangan pasar barang dan pasar uang sehingga memiliki pengaruh yang luar biasa dalam perekonomian. Namun, penerapan bunga yang telah mengakar kuat juga memiliki banyak kelemahan terutama yang terkait dengan ketidakharmonisannya dalam mendorong output riil. Hal ini menimbulkan pemikiran-pemikiran baru mengenai penggunaan suku bunga sebagai alat dalam kebijakan moneter. Landasan perekonomian Islam yang mengharamkan suku bunga sebagai alat kebijakan moneter menimbulkan keragu-raguan yang luas di kalangan ekonom, terutama jika mengingat bahwa penggunaan suku bunga telah mengakar kuat dalam sistem (Masyhuri, 2005, hal. 101-102). Dalam diskursus ekonomi Islam, sistem moneter yang bersendi pada suku bunga merupakan sistem moneter ribawi. Buku El Diwani (2003) dan El Diwany (2008) mengurai dengan baik kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh konsep suku bunga. Meskipun perbankan menjadi indikator kemajuan perekonomian negara, tetapi anehnya data yang dibentangkan oleh Asian Development Bank (ADB) dalam lamannya http://adb.org justru menunjukkan bahwa tidak ada satu pun negara yang kebal inflasi. Seluruh negara yang berada dalam jangkauan ADB mengalami inflasi. Mankiw (2007, hal. 541) memberi catatan tebal untuk persoalan inflasi. Menurutnya, biaya inflasi dan biaya menurunkan inflasi merupakan salah satu pertanyaan dari 4 pertanyaan dalam makroekonomi yang belum terjawab. Milton Friedman (Nobel Ekonomi 1976) juga memberi penegasan, “inflasi adalah fenomena moneter yang selalu terjadi kapan pun dan di mana pun”. Bank Indonesia sebagai pemegang tongkat kebijakan moneter menerapkan kebijakan target inflasi yakni 5%. Ini dapat dimaknai dalam 2 pengertian. Pertama, inflasi memang diniscayakan untuk selalu ada dalam perekonomian, bahwa harga barang akan selalu naik sebesar 5% sepanjang tahun. Kedua, angka inflasi selalu di

3

atas 5% sehingga Bank Indonesia berupaya untuk mengerem lajunya pada kisaran 5%. Dalam buku Sistem Moneter Islam, Chapra (2000, hal. 5) mengecam inflasi. Baginya, inflasi mengandung implikasi bahwa uang tidak dapat berfungsi sebagai satuan hitung yang adil dan benar. Inflasi menyebabkan orang berlaku tidak adil terhadap orang lain, meskipun tidak disadarinya, dengan memerosotkan daya beli aset-aset moneter secara tidak dketahui. Mengakomodasi inflasi berarti mendiamkan penyakit ekonomi. Oleh karena itu, menurutnya, satu-satunya cara untuk memulihkan kesehatan ekonomi dalam jangka waktu lama ialah menghapus inflasi dengan mencabut akar-akarnya. Awal Juli 1997 Indonesia mengalami inflasi. Masyarakat mengenalnya sebagai krisis moneter. Krisis ini akhirnya membawa Indonesia ke krisis ekonomi dan politik, berlangsung sampai kurang lebih 2 tahunan. Yang mencengangkan, krisis ini justru terjadi di tengah fundamental ekonomi Indonesia yang dipandang cukup kuat. Bahkan, Bank Dunia memberikan sanjungan atas fundamental ekonomi Indonesia saat itu. Selama 6 tahun sebelum krisis, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (7,27%), laju inflasi terkendali (8,62%) dan tingkat pengangguran relatif rendah. Lepi P. Tarmidi, ekonom UI, menulis dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan edisi Maret 1999 (diterbitkan Bank Indonesia) tentang krisis moneter ini. Ia mendedah krisis itu dengan sangat panjang sebanyak 22 halaman. Selain menyebutkan pandangan pribadinya, ia juga merinci pandangan-pandangan dari ekonom lainnya. Bagi Tarmidi, akar krisis moneter 1997 ialah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Saat itu inflasi mencapai kisaran 70%. Sebelum krisis moneter ini, 3 dasawarsa sebelumnya Indonesia pernah diterpa krisis. Pada 1965 laju inflasi sebesar 650%. Inflasi yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa menjadi turun. Ini berarti harga-harga naik lebih dari enam kali lipat dalam kurun waktu satu tahun. Inflasi yang tinggi dikenal sebagai hiperinflasi. Friedman benar. Krisis moneter bukan hanya milik Indonesia. Tahun 2008 Zimbabwe mengalami hiperinflasi. Semula, Zimbabwe merupakan negara yang makmur. Kini hiperinflasi sedang melanda negara itu dengan inflasi membumbung tinggi dari 165.000 persen pada Februari 2008 menjadi 11,2 juta persen pada Juni 2008. Akibatnya, Bank sentral Zimbabwe mengedarkan uang kertas dengan nilai nominal 100 miliar dolar Zimbabwe pada Juli 2008.1 Dan pada Januari 2009, nominal uang 1

http://www.berita8.com/web8/berita/2008/20/krisis-ekonomi-zimbabwe

4

tertingginya sudah mencapai 100 trilyun dolar Zimbabwe. Beberapa negara yang pernah mengalami hiperinflasi sehingga nominal mata uangnya meledak antara lain Jerman/Republik Weimar (1923) dengan 100 trilyun mark, Yunani (1944) dengan 100 trilyun drachmai, Jepang pada akhir Perang Dunia II dengan 75 milyar yen, Hungaria (1945-1946) dengan 1 milyar trilyun pengo, China (1949) dengan 6 milyar yuan, Bosnia Herzegovina (1992) dengan 100 juta dinara dan Yugoslavia (1993) dengan 500 milyar dinara. Laman ensiklopedi bebas Wikipedia menyebutkan rincian daftar negara-negara lainnya yang pernah mengalami hiperinflasi.2 Krisis moneter ternyata tidak memandang kuasa negara. Negara adidaya pun juga dapat diterpa krisis serupa. Pada 1930-an Amerika mengalami masa resesi ekonomi yang panjang. Masa itu dikenang sejarah sebagai Depresi Besar. Depresi merupakan kebalikan hiperinflasi. Selang 7 dasawarsa, tahun 2008 Amerika kembali diterpa krisis. Selain 2 krisis itu, hampir setiap dekade Amerika mengalami krisis dengan tingkat yang beragam. Grafik yang ditayangkan oleh Federal Reserve St Louis menyuguhkan fakta ini. Garis abu-abu dalam gambar 1.1 menunjukkan masamasa resesi ekonomi Amerika.

Gambar 1.1: Daur resesi ekonomi Amerika Sumber: http://research.stlouisfed.org/fred2/series/GDPA?cid=106 2

http://en.wikipedia.org/wiki/Hyperinflation

5

Krisis moneter yang sering terjadi di berbagai belahan dunia menyebabkan para ekonom mencoba mencari penyebab dan pola umumnya. Dari kerja itu diharapkan terbit suatu metode untuk mendeteksi krisis moneter. Radelet dan Sach (1998) membagi tipe penyebab krisis moneter yaitu kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, kepanikan di pasar uang, pecahnya gelembung finansial, ketiadaan aturan baku dan moral hazard (Imansyah, 2009, hal. xxii). Dalam buku yang sama, Imansyah menyebutkan beberapa model empiris yang sudah dikembangkan antara lain model logit, model signal, model jaringan saraf buatan, model hibrida. Selain itu, ada juga pendekatan yang sangat sederhana untuk pemantauan mengenai risiko akan terjadinya krisis moneter yaitu pendekatan macroprudential dan microprudential. Kedua pendekatan ini digunakan oleh IMF dan ADB3 sejak krisis Asia 1997. Tujuan pengembangan model-model itu tidak lain hanya satu, untuk meramal kapan terjadinya krisis moneter. Jantung masalah krisis moneter adalah persoalan uang. Ketika negara mengalami hiperinflasi, dalam tempo yang singkat nilai uang merosot tajam sehingga nominal uang melonjak. Sebaliknya, ketika negara mengalami depresi, nilai uang sangat tinggi sehingga pada saat yang sama harga barang sangat rendah. Keduanya bersifat merugikan dan mematikan napas perekonomian. Dampaknya ialah pengangguran dan kelaparan. Dampak ini biasanya diikuti dengan meletusnya krisis politik dan kepemimpinan. Dalam berbagai situasi krisis, perbankan menjadi pusat perhatian. Pemulihan ekonomi selama krisis selalu berawal dari perbankan dulu. Perlakuan semacam ini berangkat dari pandangan bahwa perbankan merupakan lembaga pendorong pertumbuhan ekonomi negara. Perbankanlah yang akan mengalirkan dana ke sektor riil sehingga perekonomian dapat berjalan. Atas dasar pandangan semacam ini, maka perbankan menjadi titik tumpu pemecahan soal krisis moneter. Atas alasan ini pula, perbankan menjadi lembaga pertama yang akan diselamatkan ketika krisis (Kompas, 22/12/2009). Basis logikanya, keruntuhan satu dua bank akan dianggap membawa petaka sistemik. Dalam pandangan ekonomi madzhab Austria, Rockwell, seorang pegiat di Institue Ludwig von Mises dari Universitas Auburn Austria, menyatakan bahwa melalui kartel perbankan dan inflasi, pemerintah dan sejumlah kelompok favoritnya menjarah pendapatan rakyat, melemahkan nilai uang di pasar, serta menimbulkan resesi dan depresi (Rothbard, 2007). 3

IMF: International Monetary Fund, Dana moneter antarbangsa, ADB: Asian Development Bank

6

Pendapat-pendapat semacam ini dalam ekonomi arus utama (ekonomi mainstream) tentu saja tidak berterima dan diabaikan begitu saja. Dalam ekonomi arus utama, perdebatannya ialah seputar bagaimana cara terbaik untuk menjalankan kebijakan moneter. Apa sebenarnya yang dapat dijadikan panduan bagi bank sentral? Apakah PDB, tingkat bunga, kurva yield, nilai tukar mata uang terhadap dolar atau indeks harga barang? Perdebatan-perdebatan macam ini dapat disimak dalam bukubuku teks ekonomi arus utama, misalnya Mankiw (2007). Rothbard (2007) mengingatkan kepada seluruh pemegang uang fiat bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut menyangkut akar dari segala kejahatan moneter. Dengan demikian, konsep tentang uang, bank beserta perilakunya merupakan persoalan serius dalam model moneter yang adil bagi semua masyarakat. Sukasah Syahdan juga mempertanyakan mengapa sistem perbankan sejak lama telah dijadikan semacam cermin kemajuan perekonomian negara (Rothbard, 2007, hal. xv-xvi, Pengantar Edisi Indonesia). Ia menyarankan agar landasan teoretis ini harus dijawab tuntas secara ilmiah, sebab seperti disampaikan oleh Rothbard bahwa cara yang ditempuh semua negara di bawah baku fiat dan sistem keuangan dewasa ini mustahil dapat mengatasi krisis moneter secara berkesinambungan. Semua negara akhirnya hanya punya waktu untuk menyongsong sebab krisis berikutnya sudah menunggu di tikungan. 1.2

Rumusan Masalah

Sistem moneter ribawi yang bersendikan pada uang fiat, perbankan (FRB) dan bunga uang menyimpan masalah besar. Dalam sistem ini, tidak ada negara yang kebal inflasi. Negara dengan fundamental ekonomi yang kuat tiba-tiba dapat mengalami keruntuhan moneter. Apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem moneter ini? Bagaimana jalan keluarnya? 1.3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem moneter ribawi sehingga dapat dicari pola perilaku uang dalam sistem moneter tersebut. Dari sini diharapkan pola yang ditemukan dapat digunakan untuk meramalkan keruntuhan sistem moneter ribawi dan menemukan model (sistem) moneter yang ideal dengan menggunakan pendekatan fisika. Dengan demikian, penelitian

7

ini bermaksud untuk mengurai sistem moneter ribawi dalam bingkai fisika sehingga hasilnya dapat dijadikan landasan dalam diskursus ekonomi, baik konvensional maupun Islam. 1.4

Tinjauan Pustaka

Dalam semesta ekonomi moneter, pemikiran ekonomi terpecah dalam berbagai macam aliran pemikiran, seperti misalnya aliran Keynesian, pasca-Keynesian, Neo-Keynesian, aliran Klasik, aliran Neo-Klasik, aliran Monetaris, aliran Chicago, aliran Virginia dan juga madzhab Austria (Rothbard, 2007, hal. xvi, Pengantar Edisi Indonesia). Sebagaimana sudah disinggung di muka bahwa jantung persoalan ekonomi adalah uang. Maka untuk dapat mengurai dengan jernih, perlu ditelisik dulu bagaimana pemikiran-pemikiran tentang uang ini. Salah satu pemikiran aliran Klasik tentang uang ialah Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money) yang diusulkan oleh Irving Fisher. Teori ini menganggap orang memegang uang untuk membeli barang dan jasa. Semakin banyak uang yang dibutuhkan untuk bertransaksi, semakin banyak uang yang dipegang. Jadi, jumlah uang dalam perekonomian sangat erat kaitannya dengan jumlah rupiah atau dolar yang dipertukarkan dalam transaksi. Hubungan antara transaksi dan uang dinyatakan sebagai M × V = P × T,

(1.1)

lambang M menyatakan jumlah uang, V perputaran, P harga dan T jumlah transaksi selama periode tertentu. Tetapi persamaan ini mengandung masalah, yakni sulitnya mengukur jumlah transaksi. Jalan keluarnya ialah mengganti jumlah transaksi T dengan output total dari perekonomian. Lambangnya Y . Dengan demikian, persamaan kuantitas menjadi M × V = P × Y, (1.2) dengan P Y merupakan PDB nominal. Persamaan ini menggunakan andaian perputaran uang selalu ajeg sehingga nilai V tetap (Mankiw, 2007, hal. 82-85). Pada saat yang hampir bersamaan, Marshal dan Pigou dari Universitas Cambridge juga mengembangkan perumusan permintaan uang. Rumusan Cambridge

8

ialah

1 . (1.3) V Secara matematis, rumusan Cambridge sama dengan rumusan Fisher, namun keduanya memiliki filosofi yang berbeda. Marshall-Pigou menyatakan bahwa k merupakan tingkat keinginan seseorang untuk menyimpan sebagian kekayaannya. Dengan demikian konsep Cambridge memandang uang ialah sebagai konsep stok. Ini membedakan dengan konsep uang dalam teori kuantitas uang, yakni sebagai konsep aliran (Karim, 2008, hal. 181-182). Konsep ini berbeda dengan konsep Keynes yang mulai mengaitkan peran bunga uang (riba). Mulanya, ia berasumsi bahwa aliran uang di masyarakat akan dipengaruhi 3 motif yakni transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi. Konsep Keynes dapat ditulis sebagai M = kP Y,

k=

Md = [kY + φ(r, w)] P

(1.4)

dengan lambang φ(r, w) menyatakan motif spekulasi yang dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat suku bunga yang berlaku r dan nilai riil dari kekayaan yang ada di masyarakat (Boediono, 2010, hal. 35-38). Setelah Keynes, beberapa teori tentang uang juga selalu mengaitkan dengan tingkat suku bunga. Misalnya teori Baumol-Toubin dan teorinya Friedman. Pustaka yang mengupas ini lebih rinci diantaranya ialah Boediono (2010, hal. 39-73). Kelindan hubungan antara uang, bank dan distribusi kekayaan di masyarakat sudah dicoba beberapa fisikawan untuk diurai. Saslow (1999) membangun sebuah teori untuk memaparkan sistem ekonomi secara fenomenologis. Metode yang digunakan ialah kias (analogi) antara termodinamika dan ekonomi. Dengan kias ini, besaran-besaran ekonomi dapat merinci keadaan sistem ekonomi dalam kesetimbangan. Beberapa besaran termodinamika yang dikiaskan dengan ekonomi ialah F sebagai kekayaan, E sebagai utilitas, T S sebagai surplus, µ sebagai harga dan N sebagai jumlah barang. Saslow beranggapan bahwa hubungan mendasar dalam ekonomi dijelaskan oleh besaran ekonomi terukur, yakni kekayaan W = λM + pN ekonomi (1.5) dengan lambang λ dan M merupakan nilai dan jumlah uang, p dan N merupakan vektor harga dan jumlah barang. Dari analogi itu Saslow kemudian berangkat mela-

9

kukan serangkaian kias antara termodinamika dengan ekonomi. Hasil kerja Saslow masih berupa paparan teoretik murni, tidak dilengkapi dengan data-data ekonomi. Dragulescu dan Yakovenko (2000) memulai kajian dengan menganggap uang lestari (conserved) dalam sistem ekonomi tertutup. Kemudian, mereka mengkiaskannya dengan tenaga dan mendapati bahwa distribusi peluang kesetimbangan uang harus mengikuti hukum eksponensial Boltzmann-Gibbs yang dicirikan oleh suhu efektif. Menurutnya suhu efektif sama dengan jumlah rerata uang tiap pelaku ekonomi. Jika P (m) ialah distribusi peluang kesetimbangan uang, m ialah uang dan T ialah suhu efektif maka P (m) ∝ exp(−m/T ). Mereka menyadari bahwa ekonomi riil tidak setimbang sehingga harapannya konsep kesetimbangan statistik ini akan menjadi titik tumpu untuk kajian ekonomi riil yang tidak setimbang. Makalah ini segera disusul dengan makalah baru yang membuktikan kesimpulan itu. Dalam makalah Evidence for the exponential distribution of income in the USA (Dragulescu dan Yakovenko, 2001), mereka menggunakan data pajak dan sensus tahun 1947-1994 untuk menunjukkan bahwa distribusi pendapatan warga USA adalah eksponensial. Lain lagi dengan kerja Chakrabarti dan Chatterjee (2003). Makalahnya menggunakan model gas ideal untuk mengurai distribusi dalam ekonomi. Mereka menguji bagaimana dampak kecenderungan sikap menabung dalam distribusi uang. Dalam modelnya, tiap pelaku ekonomi dipandang sebagai molekul gas dan tiap aktivitas perdagangan sebagai tumbukan elastik sehingga kelestarian uang terjaga. Tidak seperti dalam gas ideal, kecenderungan untuk menabung sebesar λ merupakan bagian dari uang dan sisanya digunakan untuk perdagangan. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa distribusi kekayaan menyerupai Gibbs untuk λ = 0 dan menyerupai Pareto ketika λ tersebar merata diantara pelaku ekonomi. Hasil ini ternyata mendekati dengan data pengamatan distribusi kekayaan untuk Jepang dan Amerika Serikat. Ferrero (2004) dari Universitas Nasional Cordoba di Argentina juga menelisik distribusi uang dengan distribusi tenaga Boltzmann untuk molekul-molekul terdegenerasi. Ketika dicocokkan dengan data pengamatan, hasilnya tidak jauh dari hasil kerja Chakrabarti dan Chatterjee (2003). Makalah-makalah lainnya ialah Money in Gas-Like Markets: Gibbs and Pareto Laws oleh Chatterjee, dkk. (2003), Gibbs versus Non-Gibbs Distributions in Money Dynamics oleh Patriarca, dkk. (2004), How the Rich Get Richer oleh Mehta, dkk. (2005), Analyzing Money Distributions in ’Ideal Gas’ Model of Markets oleh Chatterje, dkk. (2005), How Required Reserve Ratio Affects Distribution and Velocity of

10

Money oleh Ning Xi, dkk. (2005). Makalah-makalah ini masih membahas seputar bagaimana distribusi uang/kekayaan dalam masyarakat. Sementara itu, makalah ekonofisika tentang perbankan ditulis oleh Aleksiejuk dan Holyst (2001). Mereka mengajukan model sederhana bagaimana perbankan mengalami kebangkrutan. Mereka berangkat dari anggapan bahwa kerjasama antar bank dapat menguntungkan tetapi juga sekaligus dapat membawa perbankan menuju kehancuran moneter. Fenomena fisika yang dipakai ialah masalah rembesan acak dalam kekisi (percolation problem). Semua makalah di atas, meskipun berhasil memodelkan bagaimana distribusi uang atau kekayaan menyebar di masyarakat, tetapi tidak menyediakan model atau penjelasan mengapa terjadi ketimpangan dalam distribusi. Makalah-makalah itu juga tidak menjelaskan bagaimana krisis moneter dan inflasi selalu terjadi. Demikian juga makalah Aleksiejuk dan Holyst (2001). Makalah itu dapat memodelkan kebangkrutan perbankan yang terjadi secara domino selama Depresi Besar AS tetapi tidak menjawab mengapa kebangkrutan perbankan dapat terjadi. Kebangkrutan sistem moneter ribawi (uang, perbankan) secara teoretik dan kualitatif banyak dibahas dalam buku-buku ekonomi yang melawan arus utama. Bukubuku itu antara lain: 1. The Problem With Interest: Sistem Bunga dan Permasalahannya (El Diwani, 2003), 2. Bank Tetap Haram: Kritik terhadap kapitalisme, Sosialisme, dan Perbankan Syariah (Vadillo, 2005), 3. Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia (Alwie, 2007), 4. Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan Islam Menurut ’Amal Madinah (Saidi, 2007), 5. Apa yang Dilakukan Pemerintah terhadap Uang Kita? (Rothbard, 2007), 6. Membongkar Konspirasi Bunga Bank (El Diwany, 2008), 7. Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat (Saidi, 2010), 8. Euforia Emas: Mengupas Kekeliruan dan Cara yang Benar Pengembangan Dinar, Dirham, dan Fulus Agar Sesuai AL-Qur’an dan Sunnah (Saidi, 2011), dan

11

9. Hidup Mapan dengan Dinar Dirham (Sufyan Al Jawi, 2012). Tentu saja, buku-buku ini tidak menyuguhkan bagaimana pandangan fisika atas kebangkrutan sistem moneter. V. Z. Nuri (2002) menulis makalah fisika tentang inflasi dengan mengulik topik uang dan perbankan. Judul makalahnya, Fractional Reserve Banking as Economic Parasitism: A Scientific, Mathematical, & Historical Expose, Critique and Manifesto. Dalam makalah itu ia berangkat dari persamaan Irving Fisher M V = P Y . Persamaan ini kemudian dikiaskan dengan persamaan gas ideal pv = nRT . Dalam perumusannya, ia berkias 1 P MV Y

⇔ p ⇔ v ⇔ T.

(1.6)

Dengan persamaan gas ideal ia menunjukkan bahwa inflasi merupakan konsekuensi dari meningkatnya pasokan uang. Dalam telisik sepanjang 60 halaman itu ia berkesimpulan sistem perbankan cadangan pecahan (FRB) sebagai parasit perekonomian yang dilakukan oleh kartel perbankan swasta. Meskipun menggunakan metafora gas ideal, makalah Nuri lebih banyak membahas perbankan secara teoretik dan kualitatif. Ia juga tidak menyuguhkan bukti data-data yang mendukung kesimpulannya. Model perekonomian dengan termodinamika yang lebih lengkap dibangun oleh Bryant (2012) melalui bukunya Thermoeconomics: A Thermodynamics Approach to Economics. Dalam bab 5 tentang uang, ia juga menggunakan kias gas ideal seperti V. Z. Nuri (2002) tetapi perpadanan antar besarannya berbeda. Dalam kiasnya, Bryant memodelkan persamaan gas ideal P V = N kT setara dengan persamaan kuantitas uang M V = P Y . Rinciannya ialah P ⇔ P V

⇔ Y

Nk ⇔ M T ⇔ V

(tingkat harga) (volume output) (jumlah uang) (indeks perdagangan yakni kecepatan sirkulasi uang). (1.7)

Untuk besaran N k, terdiri dari N sebagai jumlah instrumen mata uang dalam peredaran dan k nominal uang yang berlaku misalnya $1, Rp 1 dan sebagainya.

12

Meskipun beberapa bagian model Bryant dapat disahihkan dengan data-data moneter, tetapi Bryant juga belum menunjukkan bagaimana krisis-krisis moneter dapat terjadi. Seluruh pembahasan yang sudah dilakukan para fisikawan di atas tidak ada satupun yang berusaha untuk mencari akar penyebab mengapa sistem moneter ribawi seolah-olah rapuh. Pembahasan yang dilakukan lebih cenderung memaparkan apa yang terjadi. Ini dapat dipahami sebab para fisikawan di atas tidak mengasumsikan bahwa sistem moneter saat ini merupakan sistem moneter ribawi. 1.5

Metode Penelitian

Penelitian tesis ini merupakan penelitian teoretik fenomenologis. Metode yang digunakan ialah metode kajian pustaka, kias (analogi) dan telaah analitik. Untuk menelaah apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem moneter saat ini, saya mengkaji pustaka-pustaka tentang uang, perbankan dan bunga uang. Kajian ini untuk mendapatkan gambaran utuh bagaimana mekanisme bekerjanya sistem moneter saat ini. Awalnya, saya mengkaji pustaka-pustaka yang melancarkan kritik dan membongkar kebangkrutan sistem moneter saat ini. Pustaka-pustaka itu antara lain El Diwani (2003), El Diwany (2008), Saidi (2010), V. Z. Nuri (2002) dan Alwie (2007). Kajian dilanjutkan terhadap kepustakaan ekonomi arus utama seperti Mankiw (2007), Boediono (2010), Hartono (2006), Iswardono (2003), juga Rosyidi (2011). Selain pustaka-pustaka ekonomi, saya juga mengkaji makalah-makalah ekonofisika yang berkaitan dengan ini seperti Dragulescu dan Yakovenko (2000), Dragulescu dan Yakovenko (2001) dan sebagainya. Dalam menelaah, saya mengiaskan sistem moneter dengan persamaan gas ideal. Kias ini berbeda dengan kias-kias yang sudah digunakan oleh V. Z. Nuri (2002) dan Bryant (2012). Jika keduanya berangkat dari teori kuantitas uang dan mengiaskannya dengan persamaan gas ideal, maka saya akan berangkat dari model perdagangan yang paling awal yaitu barter. Dari barter (barang langsung ditukar dengan barang) kemudian masuk ke uang sebagai alat tukar universal. Dalam barter, tiap barang akan memiliki nisbah yang unik ketika ditukar dengan barang yang lain. Maka, uang sebagai alat tukar universal, juga akan memiliki nisbah yang unik ini. Nisbah ini saya definisikan sebagai daya beli. Akibat adanya nisbah unik tersebut ialah tiap jumlah tertentu uang akan memi-

13

liki daya belinya masing-masing ketika ditukar dengan suatu barang, dapat ditulis uang × daya beli = barang.

(1.8)

Dalam perspektif yang lebih luas persamaan ini dapat diperumum menjadi jumlah uang beredar × indeks daya beli = produksi barang.

(1.9)

Persamaan ini kemudian dikiaskan dengan persamaan gas ideal P V = nRT menjadi volume gas V × tekanan

P = suhu

T.

(1.10)

Dalam kias ini, n dan R untuk sementara dapat diabaikan sebab keduanya merupakan bilangan saja. Setelah kias dilakukan, telaah analitik terhadap keadaan-keadaan gas ideal diterapkan untuk keadaan sistem moneter. Akibat-akibat teoretik dari penerapan ini dicocokkan dengan data-data moneter. Data-data moneter akan diplot ke dalam grafik seperti plot keadaan gas ideal. Berdasarkan plot dan telaah analitik diharapkan dapat menunjukkan pola perilaku uang sehingga keruntuhan sistem moneter dapat diramalkan dan dicari jalan keluarnya. Pada tahap awal data-data moneter yang akan digunakan berdasarkan informasi Mankiw (2007, hal. 3) yang menyatakan bahwa 3 variabel makroekonomi yang penting ialah PDB riil, tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran. Tingkat inflasi sering juga dinyatakan sebagai indeks harga konsumen (IHK). Selain itu, karena penelitian ini hendak menelisik perilaku uang dalam sistem moneter maka juga dibutuhkan data jumlah uang beredar. Dengan demikian data moneter yang akan digunakan ialah jumlah uang beredar, indeks harga barang, harga beberapa barang (komoditas) dan pendapatan nasional (PDB riil). Untuk menjamin kesahihan data diambil dari sumber-sumber yang dapat dipercaya seperti laman Bank Indonesia, ADB (Asian Development Bank) dan Badan Pusat Statistik. Data yang berasal dari sumber sekunder diuji kesahihannya dengan melihat kepustakaan yang digunakan dalam perujukan data. Data moneter yang ada kemudian akan diolah untuk disesuaikan dengan datadata yang dibutuhkan dalam kias gas ideal. Data indeks harga barang dan harga barang (komoditas) diolah menjadi data indeks daya beli. Untuk konversi satuan mata uang dari dolar AS ke rupiah digunakan kurs Bank Indonesia.

14

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut: 1. Data harga emas 1 oz t dalam dolar AS 1833-2012 2. Data M2, Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Daya Beli (IDB) Periode 1990-2011 3. Data M2, Daya beli dan PDB 2003-2011 4. Data Upah Buruh Industri di Bawah Mandor 2007-2012 5. Utang, Uang dan Kekayaan Perbankan AS 1992-2012 6. Data Uang Beredar M2 dan Produk Domestik Bruto Periode Triwulanan 20032012 7. Data PDB Indonesia 2003-2011 dalam rupiah dan emas 8. Data PDB AS dalam dolar dan emas AS 1929-2012 9. Pertumbuhan kredit bank umum dan bank perkreditan rakyat periode 20062011 10. Data Keuangan Amerika selama Depresi Besar 1930-an 11. Daya beli beras 1kg dan uang 10rb terhadap emas 1 gr Mei 2011-Mei 2012 12. Data Daya beli Beberapa Komoditas Periode Mei 2009-Mei 2012 13. Data daya beli uang terhadap komoditas bahan pokok periode Mei 2011-Mei 2012 14. Data Indeks Harga Konsumen (IHK) 1990-2011 15. Data M2, indeks daya beli dan PDB AS 1913-2012. Dalam tesis ini, saya membuat definisi operasional untuk model moneter sebagai suatu model perekonomian yang berdasarkan perilaku uang. Sedangkan definisi operasional untuk sistem moneter ialah rezim model perekonomian yang berlaku sekarang. Dalam definisi operasional ini, sistem moneter saat ini dianggap sebagai sistem moneter ribawi. Oleh karena itu, setiap kali dilakukan penyebutan sistem moneter maka yang dimaksud ialah sistem moneter ribawi kecuali ada keterangan khusus yang mengikutinya.

15

1.6

Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dilakukan dalam 7 bab utama dan 2 bab lampiran. Bab utama berisi tentang pemodelan moneter dengan gas ideal dan bab lampiran berisi data-data moneter yang digunakan serta kode gnuplot untuk melukis dan fitting grafik data-data moneter yang ada. Bab I mendedah persoalan-persoalan mendasar dalam sistem moneter yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan oleh pemikiran ekonomi arus utama. Dalam bab ini juga dikemukakan beberapa pustaka yang sejalan dengan persoalan yang diangkat. Dari sini diharapkan, penelitian tesis ini dapat menemukan titik pentingnya diantara sekian banyak pustaka dengan topik serupa. Dengan menguraikan pustakapustaka terkait, juga diharapkan peta persoalan dan peta karya jalan keluar-nya secara jernih dapat dibentangkan sehingga karya tesis ini dapat diletakkan pada posisi yang tepat diantara yang sudah ada. Bab II mengurai seluk-beluk uang dan perbankan. Wacana ekonomi seperti jenis-jenis uang yang beredar, peristiwa inflasi dan mekanisme penciptaan uang yang akan digunakan dalam tesis ini dirinci dasar-dasarnya di bab ini. Bab III menjelaskan alat fisika, yakni gas ideal, yang akan digunakan untuk mengurai persoalan uang dan perbankan. Alat fisika ini kemudian diterapkan dalam bab IV. Di sini dibahas inflasi, deflasi, pertumbuhan ekonomi dan proses moneter ditinjau secara fisika. Berdasarkan telisik proses moneter ini kemudian disusun ramalan-ramalan keruntuhan sistem moneter dan jalan keluar untuk selamat dari keruntuhan tersebut. Ramalan keruntuhan dan jalan keluar ini diurai dalam dua bab. Seluruh hasil telisik ini kemudian diikat dengan lebih sederhana dalam bab VII yang merupakan bab kesimpulan.