1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Download 1 Arnold Sihombing, 2012, Editorial, Jurnal Persaingan Usaha, Ed, 8, Komisi Pengawas ... UU No. 5 Tahun 1999, J...

0 downloads 415 Views 86KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan dinamika dunia usaha di tanah air dalam 12 tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi tersebut banyak dipengaruhi oleh perubahan ekonomi dunia dan kebijakan liberalisasi ekonomi di dalam negeri.1 Pembangunan ekonomi telah menghasilkan banyak perubahan dan kemajuan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Adanya kegiatan usaha yang diselenggarakan terus menerus oleh masing-masing orang, mendorong dan menyebabkan terjadinya suatu persaingan usaha. Persaingan antar pelaku usaha merupakan persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar.2 Persaingan usaha yang sehat tentunya akan memberikan dampak positif bagi para pelaku usaha karena bisa menjadi motivasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas usahanya itu sendiri. Selain menguntungkan bagi para pelaku usaha, tentu saja konsumen juga memperoleh manfaat yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan, dan peningkatan kualitas produk. Akan tetapi persaingan usaha yang tidak sehat tentunya akan memberikan pengaruh negatif yang tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha saja, tapi konsumen dan perekonomian nasional pun dapat saja terpengaruh.

1

Arnold Sihombing, 2012, Editorial, Jurnal Persaingan Usaha, Ed, 8, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta. Hlm. i 2 Norman S. Pakpahan, 1994, Pokok-pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, ELIPS, Jakarta. Hlm. 2

1

2

Dalam pasar yang kompetitif inilah perusahaan-perusahaan akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak konsumen dengan menjual produk mereka dengan harga yang serendah mungkin, meningkatkan mutu produk, dan memperbaiki pelayanan mereka kepada konsumen. Untuk berhasil dalam suatu pasar yang kompetitif, maka perusahaan-perusahaan harus berusaha untuk mengembangkan proses produksinya yang lebih efisien, serta mengembangkan produk baru dengan desain baru yang inovatif. Dalam hal ini, maka perusahaanperusahaan perlu mengembangkan dan meningkatkan proses produksi mereka, baik teknologi proses (process technology) maupun teknologi produk (product technology). Dengan demikian, ini akan mendorong kemajuan teknologi dan diharapkan juga pertumbuhan ekonomi pesat.3 Dalam perkembangan dunia usaha yang semakin pesat ini, pelaku usaha diharuskan untuk dapat menyesuaikan diri agar tetap survive terutama supaya tidak ketinggalan dari persaingan yang semakin ketat. Upaya yang dilakukan untuk mengembangkan daya saing pelaku usaha diantaranya adalah dengan menerapkan strategi bisnis yang tepat sejalan dengan motif perusahaan untuk mencari keuntungan yang maksimal. Salah satu upaya strategi bisnis tersebut adalah dengan cara menerapkan strategi jual ikat (untuk selanjutnya disebut tyingin) dalam mengemas serta menjual produk kepada konsumen.4 Bentuk produk tying-in yang sering dijumpai di masyarakat misalnya penggunaan produk serta jasa bank, dimana bank menawarkan produk dan 3

Thee Kian Wie, 1999, Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi UU No. 5 Tahun 1999, Jurnal Hukum Bisnis Vol, 7, Hlm. 60 4 Ahmad Adi Nugroho, 2010, Strategi Bundling/Tying Sebagai Upaya Abuse of Dominance: Studi Kasus Penerapan Strategi Tying/Bundling oleh Microsoft, Jurnal Persaingan Usaha, Ed. 3, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta, Hlm. 55

3

jasanya dengan mensyaratkan pembelian produk dan jasa lain sebagai bagian dari produk dan jasa utama. Sehingga praktek tersebut cenderung mengarah kepada peningkatan switching cost5 yang dibebankan kepada konsumen. Sebagai contoh yaitu kasus pemberian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk dengan produk asuransi jiwa dari PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera dan PT. Heksa Eka Life Insurance, dimana dalam perjanjian KPR BRI tersebut memuat persyaratan bahwa debitur KPR BRI selaku pihak yang menerima barang tertentu berupa KPR BRI, diwajibkan membeli produk lain yaitu dengan membayar premi untuk asuransi jiwa. Hal ini tentunya mengakibatkan konsumen tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui klausul asuransi jiwa yang ditawarkan di dalam perjanjian KPR BRI. Melalui perjanjian tertutup (tying agreement) yang dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk dengan produk asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera dan PT. Heksa Eka Life Insurance tersebut, maka akibatnya adalah akses pelaku usaha lain untuk memasarkan produknyajuga menjadi terbatas sehingga menghambat pelaku usaha baru untuk memasuki pasar. Dalam upaya menjamin kondisi persaingan usaha yang sehat maka diterbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang efektif tentunya akan dapat menjadi suatu dasar penggerak restrukturisasi ekonomi dan pada gilirannya akan dapat menciptakan budaya

5

Switching cost di definisikan sebagai biaya yang harus ditanggung oleh pelanggan ketika berpindah dari satu layanan provider ke provider lain.

4

persaingan sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan jumlah pelaku usaha. Salah satu bentuk perilaku anti persaingan yang menjadi perhatian dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah melakukan perjanjian tertutup dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan. Perjanjian tertutup adalah suatu perjanjian antara penjual dan pembeli yang mempersyaratkan pembeli hanya dapat membeli barang yang diinginkan apabila pembeli membeli barang yang diinginkan dan pembeli membeli pula barang lain dari penjual yang bersangkutan.6 Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ketentuan yang terkait dengan perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 yang menyebutkan sebagai berikut: (1) pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

6

Richard A. Posner and William E. Kovaic dan Eleanor M. Fox dan Lawrence A. Sullivan, dalam Sutan Remy Sjahdeini, 2000, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Hukum Bisnis Volume 10, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Hlm. 18

5

Perjanjian tertutup khusus untuk strategi tying (perjanjian pembelian dengan mengaitkan produk lain dalam suatu penjualan) yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini dapat menguntungkan karena penjualan berbagai produk secara bersamaan akan mengurangi biaya transaksi. Akan tetapi, perjanjian tertutup dengan strategi tying ini juga merupakan salah satu bentuk pembatasan akses pasar yang diberlakukan oleh pelaku perjanjian ini terhadap pelaku usaha pesaingnya. Dengan demikian praktek perjanjian tertutup dengan strategi tying ini dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila dilihat dari bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut menggunakan pendekatan per se illegal, yaitu pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang karena dampak dari perjanjian tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilangkan persaingan. Oleh karena itu, penegak hukum dapat langsung menerapkan pasal tersebut kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian tertutup (tying agreement) tanpa perlu membuktikan akibat dari perjanjian menimbulkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Tentunya dengan metode pendekatan secara per se illegal ini akan menjadi kekhawatiran bagi pelaku usaha yang akan mengadakan perjanjian dan membatasi rangkaian kegiatan pelaku usaha, karena tidak semua perjanjian pelaku usaha dapat menyebabkan monopoli. Oleh sebab itu harus ada indikator yang jelas untuk menilai bagaimana suatu pelaku usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup (tying agreement) sehingga melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Hal

6

ini disebabkan salah satu kesulitan dalam membuktikan adanya perjanjian tertutup (tying agreement) ini adalah apabila suatu perjanjian tersebut dibuat secara tidak tertulis. Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan terkait Perjanjian Tertutup (Tying Agreement), karena berangkat dari adanya kasus dugaan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, salah satunya yang ditujukan kepada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. dengan PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera dan PT. Heksa Eka Life Insurance yang telah melakukan perjanjian tertutup (tying agreement) dalam pemberian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dan hambatan masuk pasar yang bersangkutan. Sehingga dugaan tersebut kemudian menjadi perkara yang diperiksa oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU) dengan register Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2014 yang telah diputus terbukti melakukan perjanjian tertutup (tying agreement). Selain dalam perkara tersebut di atas, ada beberapa perkara dugaan perjanjian tertutup (tying agreement) yang telah diperiksa dan diputus oleh KPPU, yaitu: Perkara No. 02/KPPU-I/2013 (Jasa bongkar muat di Pelabuhan Teluk Bayur dengan Terlapor I PT. Pelabuhan Indonesia) yang telah diperiksa dan diputus terbukti melakukan perjanjian tertutup (tying agreement); Perkara No. 02/KPPU-I/2004 (Kasus Telkom SLI); dan Perkara No. 01/KPPU-L/2003 (Kasus Garuda) yang telah diperiksa dan diputus tidak terbukti melakukan perjanjian tertutup (tying agreement).

7

Putusan perkara-perkara tersebut, akan menjadi bahan kajian bagi penulis dalam penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah penerapan pendekatan tying agreement sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UndangUndang No. 5 Tahun 1999 secara per se illegal sudah tepat atau tidak. Selain itu juga untuk mengetahui indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup (tying agreement) sehingga melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga kedepan dapat dijadikan referensi bagi masyarakat umum untuk menambah pengetahuan dan khasanah ilmu pengetahuan serta diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi para pemangku kepentingan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam mengambil keputusan maupun perumusan kebijakan di masa mendatang. B. Rumusan Masalah 1. Apakah penerapan pendekatan secara per se illegal pada tying agreement sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sudah tepat? 2. Apa sajakah indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup (tying agreement) sehingga melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan tujuan penelitian ini, yaitu:

8

1. Untuk mengetahui penerapan pendekatan secara per se illegal pada tying agreement sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sudah tepat atau tidak. 2. Untuk mengetahui indikator yang harus dipenuhi agar pelaku usaha dianggap melakukan perjanjian tertutup (tying agreement) sehingga melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. D. Manfaat Penelitian Salah satu aspek penting dalam penelitian yang tidak dapat diabaikan adalah manfaat penelitian. Sebuah penelitian hukum diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri maupun dapat diterapkan dalam prakteknya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan Usaha pada khususnya. b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai masukan dan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan penelitian ini. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan serta memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

9

b. Memberikan jawaban praktis mengenai “Analisis Yuridis Perjanjian Tertutup (Tying Agreement) dalam Hukum Persaingan Usaha (Studi Beberapa Putusan Persaingan Usaha)” E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian pada kepustakaan, khususnya di lingkungan perpustakaan hukum Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, penulis tidak menemukan tesis karya mahasiswa yang mengangkat tema tentang perjanjian tertutup (tying agreement). Penulis hanya menemukan penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan. Penelitian pertama dilakukan oleh Yosef Vito Herfianto7 dengan judul “Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason Pada Vertical Marketing System PT. Semen Gresik Tbk di Area 4 (Empat) Pemasaran Jawa Timur Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.” Permasalahan yang diambil yaitu: 1.

Bagaimanakah pola VMS PT. Semen Gresik Tbk yang diterapkan di Area 4 (Empat) pemasaran Jawa Timur melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

2.

Bagaimanakah pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason dapat mengecualikan praktek VMS PT. Semen Gresik Tbk di Area 4 (Empat)

7

Yosef Vito Herfianto, 2012, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason Pada Vertical Marketing System PT. Semen Gresik Tbk di Area 4 (Empat) Pemasaran Jawa Timur Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

10

pemasaran Jawa Timur terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? Penelitian kedua dilakukan oleh Anung Trijoko Wasono8 dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penyediaan dan Pelayanan Jasa Bongkar Muat Barang di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat”. Permasalahan yang diambil yaitu: 1.

Bagaimanakah aturan hukum terhadap kegiatan usaha penyediaan dan pelayanan jasa bongkar muat barang di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat?

2.

Apakah penetapan tarif jasa kepelabuhan dapat menimbulkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dalam penyediaan dan pelayanan jasa bongkar muat barang di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat?

3.

Apakah yang dapat menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat di dalam penyediaan dan pelayanan jasa bongkar muat barang di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat? Penelitian ketiga dilakukan oleh Maria Westri Andriyani9 dengan judul

“Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Penetapan Harga Fuel Surcharge Pada Penerbangan Domestik di Indonesia)”. Permasalahan yang diambil yaitu: 8

Anung Trijoko Wasono, 2014, Analisis Hukum Terhadap Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penyediaan dan Pelayanan Jasa Bongkar Muat Barang di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat, Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 9 Maria Westri Andriyani, 2013, Perjanjian Penetapan Harga Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Penetapan Harga Fuel Surcharge Pada Penerbangan Domestik di Indonesia), Thesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

11

1. Jika ditinjau dari sisi akademik hukum persaingan usaha, apakah penerapan Pasal 5 tentang Perjanjian Penetapan Harga yang ditetapkan KPPU beserta analisisnya pada Putusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009 sudah tepat? 2. Apakah perjanjian penetapan harga Fuel Surcharge pada penerbangan domestik di Indonesia ditinjau dari ketentuan kartel menurut UU No. 5/1999 merupakan bentuk dari kartel? Selain itu tema serta judul dalam penelitian ini bersumber dari hasil pemikiran penulis sendiri, yang berkeinginan untuk meneliti dan mengetahui lebih jauh mengenai perkara perjanjian tertutup (tying agreement). Dengan demikian maka penelitian ini adalah asli sumber, judul, tema serta isinya, dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.